Sepanjang jalan taxi online yang ditumpangi Pras lengang, hanya terdengar deru halus dari mesin mobil. Sesekali driver melirik kaca spion kecil di atas kepalanya, mencari tahu apa sebab laki-laki di bangku belakang terlihat sedih.
Pras menatap keluar, menyapu kampung halaman yang tidak banyak berubah sejak setahun lalu. Hanya perubahan-perubahan kecil seperti tanah-tanah kosong yang sudah mulai ditanami bangunan-bangunan dengan folding gate. Sepertinya orang-orang desa sudah mulai berpikir maju dengan mendirikan ruko-ruko kecil sebagai tempat usaha, pikirnya.
“Pak ... Pak, berhenti sebentar.” Pras meminta driver untuk menghentikan mobil ketika berada di depan rumah Sulaiman. Dia memasang mata dengan seksama, memperhatikan setiap jengkal halaman dan rumah tua itu. Pras memicingkan mata, benaknya mulai menduga-duga bahwa Raisa telah berbohong jika telah menikah, sebab Pras tidak melihat tanda-tanda diadakannya pesta pernikahan.
“Ini rumahnya, Mas?” tanya sang driver bingung. Karena tempat pemberhentian saat ini tidak sesuai dengan titik lokasi pengantaran yang berada di GPS.
“Bukan, Pak. Tunggu sebentar, ya, Pak.” Pras akhirnya turun dari mobil. Melangkah menuju rumah itu untuk menghilangkan cemas dan waswas yang sejak tadi mengkungkung.
Pras tersenyum ketika melihat seorang anak perempuan berusia sekitar sebelas tahun melangkah menuju teras. Anak itu menghentikan langkah ketika menjangkau seseorang berdiri di depan rumahnya. Pras tahu persis anak itu, namanya Nesha, adik bungsu Raisa. Apakah anak itu lupa dengannya yang dulu sering berkunjung ke sini?
“Nesha ....” Pras menyapa ramah.
Nesha kebingungan, ia benar-benar tidak mengenali sosok pria tegap yang berada di hadapannya saat ini. Ia pun memutar arah, melangkah ke dalam seraya berseru memanggil bapaknya.
Lelaki paruh baya dengan kaos oblong putih melangkah keluar untuk menyongsong siapa yang berada di depan. Matanya memicing saat menjangkau pria di depan teras tersenyum ramah. Senyum tipis tersungging untuk menyambut. Sejurus kemudian, senyum itu sirna saat matanya benar-benar mengenali siapa sosok yang bertamu kali ini.
“Assalamualaikum, Pak.”
Sulaiman tertegun untuk beberapa saat.
“Wa-walaikum salam. Silahkan.”Gurat canggung dari Sulaiman tertangkap jelas oleh Pras. Seutuhnya dia paham kenapa bisa demikian. Berita tentang pelecehan seksual yang dituduhkan padanya di Kuala Lumpur beberapa bulan lalu pasti sudah menyebar ke seantero desa dan menjadi bahan perbincangan. Akan tetapi, apakah mereka tahu bahwa itu hanyalah fitnah?
Setelah sebulan meringkuk di dalam bui dan mengenyam bermacam-macam siksaan, akhirnya Pras bebas setelah dinyatakan tidak bersalah. Namun, sayang, pelajarannya di Universitas Malaya (UM) harus rela ia tinggalkan setelah dikeluarkan secara tidak hormat.
“Gimana kabarnya, Pak. Sehat?”
“Alhamdulillahs sehat.”
Teras rumah sulaiman lengang. Ekor mata Pras menyapu pintu yang terbuka lebar, berharap seorang wanita yang sangat dirinduinya menampakkan diri.
“Yang lain ... apa kabar, Pak? Sehat?” Pras bertanya lagi, memecah canggung.
Sulaiman mengangguk samar. Mencoba untuk menyuguhkan senyum hanya untuk sopan santun terhadap tamu. Sebagaimana warga desa yang lain, Sulaiman juga tidak menyangka bahwa Pras yang terkenal pintar dan berbudi pekerti luhur telah melakukan tindakan asusila di negeri orang. Apalagi, sebelumnya dia tahu bahwa Pras memiliki hubungan dengan Raisa, dan dia sangat mengamini hubungan tersebut.
“Alhamdulillah, sehat semua.”
Pras meneguk ludah, menyadari bahwa keadaannya telah berubah, tidak seperti dulu. Semuanya hancur. Detik berikutnya Pras tersadar bahwa driver taxi tumpangannya pasti sudah sangat bosan menunggu. Ia menoleh kebelakang, tapi enggan beranjak sebelum mengetahui bagaimana keadaan Raisa saat ini. Bukan, bukan itu. Tapi, apakah benar Raisa telah menikah?
“Raisa? Raisa ... Raisa di mana, Pak?” Akhirnya pertanyaan utama itu keluar juga setelah sempat tercekat.
Sulaiman tersenyum. “Raisa ikut suaminya.”
Bagai terhantam godam, jantung Pras seolah berhenti berdetak setelah mendengar ucapan Sulaiman. Raisa, wanita yang sangat ia cintai itu benar-benar telah menikah. Ingin sekali saat ini Pras berontak untuk melampiaskan kekecewaannya. Namun, semua itu hanya akan sia-sia.
Dengan mata mulai kemerahan dan berair, Pras hanya bisa menunduk pasrah. Jelas sudah, Raisa bukan jodohnya. Dia telah memilih jalannya sendiri, melupakan semua janji-janji setia yang pernah terucap.
Pras mencoba meneguk ludah berkali-kali, tapi tenggorokannya terasa kerontang.
“Saya permisi, Pak.” Pras mendongak dan berusaha tersenyum.
Sulaiman mengembuskan napas lega, ini yang sejak tadi diharapkan olehnya.
“Oh, iya.” Sulaiman berdiri setelah melihat pria di hadapannya berdiri.
Pras menyalami Sulaiman takzim dan berlalu dari hadapannya setelah sebelumnya megucapkan salam.
Pras melangkah gontai menuju mobil yang terparkir di bahu jalan. Dengan perasaan berkecamuk dia menjawil gagang pintu mobil lalu menariknya. Menghempaskan bokongnya kasar setelah pintu terbuka. Laki-laki yang berada di balik kemudi melihat Pras dari kaca spion kecil di atasnya yang terlihat semakin sedih. Terlepas dari hatinya yang hancur, Pras masih beruntung mendapatkan driver yang sangat baik yang tidak menghujaninya dengan umpatan-umpatan karena telah membiarkannya menunggu lama.
“Jalan, Pak,” ucap Pras pelan. Ucapan Pras disahut oleh deru mobil yang menggerung, kemudian mobil itu berjalan pelan membelah jalan desa.
“Ada masalah, Mas Pras?” Sang driver yang sudah berusia hampir setengah abad itu mencoba memotong sunyi, bertanya dengan menyebut nama agar terdengar lebih akrab. Mencoba untuk menampung keluh kesah yang kini menohok sang pemuda di belakang. Dengan kecepatan saat ini, estimasi waktu untuk sampai ke tempat tujuan masih 37 menit lagi.
Pras hanya tersenyum getir saat menatap kaca spion dan mata keduanya bersirobok. Sang driver balas tersenyum.
“Dunia memang tempat masalah, Mas Pras. Terkadang masalah itulah yang akan membuat kita bertumbuh lebih dewasa.” Orang tua itu bekata sangat hati-hati agar tidak sampai membuat Pras tersinggung.
Mobil kembali senyap. Sang driver tidak melanjutkan kalimatnya, menunggu apakah Pras bersedia diajak bicara atau tidak.
“Wanita yang berjanji akan menungguku sudah menikah, Pak Bin.” Akhirnya Pras mengeluarkan kalimatnya. Unek-unek yang menjadi sebabnya terlihat sangat sedih.
“Siapa?”
“Namanya Raisa, kami sudah pacaran dua tahun.”
Menanggapi ucapan Pras, Pak Bin hanya tertawa kecil. Membuat Pras seketika melirik kaca spion di depan.
“Kita merasa kehilangan karena kita merasa memiliki, Mas Pras. Bukankah diri kita sendiri bukan milik kita?”
Pras tersentak, memperhatikan siapa sebenarnya sosok yang kini menjadi sopir di depannya.
“Semakin kita beharap, maka peluang kecewa akan semakin besar.” Pak Bin melanjutkan, melirik kaca spion di atasnya dan mendapati Pras sedang menyandarkan kepalanya pada bangku, matanya menatap keluar.
“Bagaimanapun saya juga pernah muda, Mas Pras. Dan saya pernah mengalami persis dengan apa yang dialami sama Mas Pras saat ini.” Pak Bin tertawa kecil, matanya menatap kosong jalan, mencoba mengingat-ingat potongan kisah menyakitkan miliknya.
Pras menatap spion di atas Pak Bin.
“Dari itu saya sadar, bahwa mencintai itu sewajarnya saja, boleh jadi yang kita cinta saat ini akan menjadi orang yang kita benci di kemudian hari. Pun membenci sekadarnya saja, besok-besok kita tidak tahu bahwa yang kita benci saat ini akan jadi orang kita cintai nantinya.”
Pras mengusap wajah setelah mencerna setiap kalimat Pak Bin. Kemudian Pras menyandarkan kembali kepalanya pada bangku, memejamkan mata, berharap setelah membuka mata mobil sudah sampai di depan rumahnya.
Perjalanan sudah tersisa satu menit lagi. Mobil semakin berjalan pelan, karena banyak papan peringatan bahwa di daerah itu banyak anak-anak. Sekitar lima puluh meter dari tempat tujuan, mobil tiba-tiba berguncang karena menabrak “polisi tidur”. Pak Bin tidak melihatnya.
Sontak Pras terbangun dari tidurnya dan berseru, “Astaghfirullah!”
Pak Bin tertawa kecil. “Maaf, Mas. Saya tidak melihat kalau ada ‘aparat tidur’ di jalanan.”
“Iya, tidak apa-apa, Pak Bin.”
“Persis seperti perjalanan hidup, Mas. Terkadang butuh goncangan baru kita akan mengingat Allah.”
Pras beristigfar berkali-kali dalam hati, membenarkan apa yang dikatakan oleh Pak Bin.
“Sudah sampai, Mas.” Akhirnya mobil berhenti.
“Terima kasih, Pak Bin.” Pras membuka pintu mobil dan bergegas turun.
Pak Bin membuka kaca mobil dan melemparkan senyum pada Pras yang mulai memasang tas ranselnya.
“Mampir dulu, Pak Bin,” tawar Pras.
“Tidak usah, belum sampai target.” Pak Bin tertawa. Mendengar itu Pras merasa bersalah karena telah banyak menyita waktu kerja Pak Bin.
Mobil itu berlalu dari hadapan Pras setelah sebelumnya keduanya bersalaman.
Bersambung
Kun yang ingin melangkah ke dalam terpaksa urung setelah melihat Raisa tengah berdiri di samping tembok pembatas teras. Entah sejak kapan Raisa berada disitu? Keterkejutan jelas berjejak di mata Kun yang membulat. “Raisa!” Kun terlonjak. Mendapati ekspresi Kun, Raisa mengernyit bingung. “Kenapa, Mas? Kok, seperti lihat hantu gitu?” Kun mengembuskan napas pelan saat tidak melihat gurat curiga dari wajah sang istri. Ia menyunggingkan senyum, keterkejutannya seketika menghilang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Em, tidak.” Kun mengangkat bahu. Lalu pandangan Raisa beralih pada sosok wanita yang berada di belakang Kun. Kepalanya dijubeli tanda tanya saat wanita itu terlihat habis menangis. Kun memutar kepalanya kebelakang. “Sayang, perkenalkan dia Delila.” Kun menunjuk Delila yang mematung dengan wajah datar. Raisa melangkah mendekat sambil tersenyum, meskipun rasa heran masih menggantung di wajahnya, bertanya-tanya kenap
“Pakai ini!”Kun melemparkan sepotong lingerie di depan Raisa yang sedang mengotak-atik ponselnya. Raisa mengernyit melihat pakaian aneh itu, pakaian yang tidak pernah terbayangkan untuk dikenakannya.“Apa ini, Mas?”“Aku ingin kamu mengenakannya setiap akan tidur.” Kun duduk di dekat Raisa seraya menjulurkan tangan untuk menyentuh wajah lembut perempuan itu. Namun, Raisa mengelak saat tangan itu tinggal beberapa senti dari pipinya. Senyum manis Kun seketika menguncup, menandakan bahwa dia tidak suka dengan sikap Raisa.“Aku ... aku tidak biasa pakai itu, Mas.”“Makanya harus dibiasakan mulai sekarang. Kamu akan terlihat cantik dengan pakaian itu, Sayang.” Kun tersenyum genit. Matanya yang tajam menatap lamat-lamat Raisa. Nafasnya mulai memburu menahan gejolak nafsu. Dada Raisa berdegup kencang saat nafas Kun menyapu wajahnya.“Cepatlah, Sayang. Aku tidak bisa menunggu lebih l
Raisa segera melangkah menuju kamarnya setelah memberikan teh tawar pada Sanjaya, mertuanya. Dengan perasaan bimbang, perempuan itu meniti satu-persatu tangga menuju lantai dua. Perempuan itu berhenti di depan kamar, kembali mengingat suara erangan, baju Delila yang kancing bagian atasnya tidak terpasang, serta tingkahnya yang gugup saat bertemu Raisa. Apa mungkin Kun ... ah, Raisa segera menepis pikiran itu untuk kesekian kalinya.Perempuan itu mulai membuka pintu kamar dan masuk. Alangkah leganya saat matanya menangkap Kun tengah berbaring di atas kasur sambil memainkan ponsel.Sejak kapan Kun berada di dalam kamar? Ah, itu tidak penting. Yang penting saat ini adalah dugaan-dugaan negatif yang sejak tadi menderanya tidak benar-benar terjadi.“Mas ke mana?”“Aku?”“Iya. Siapa lagi? Memangnya aku bicara dengan siapa lagi?”Kun mengernyit, menatap sang istri lamat-lamat.“Bukannya aku ada
Raisa mengirimi Kun pesan WhatsApp.[Mas, pulang kan hari ini?]Sudah beberapa hari Kun tidak pulang. Benak Raisa tentu saja meraba-raba sebab apa Kun mulai berubah menjadi tidak acuh dan seolah menjauhinya.Suami mana yang tidak kecewa karena sang isteri tidak bisa memuaskan kebutuhan biologisnya. Setengah bulan sudah mereka menikah, tapi Raisa masih seperti gadis perawan ketika berhubungan badan. Raisa tidak bisa berpura-pura baik-baik saja ketika rasa sakit mendera, sehingga membuat Kun selalu keluar kamar meninggalkan Raisa dengan perasaan kesal.Kun memang hanya izin bekerja sebelum pergi, tapi pekerjaan apa yang membuatnya tidak bisa pulang hingga tiga hari?[Tidak tahu]Raisa kembali menahan sakit saat membaca pesan Kun. Bukan hanya karena Kun tidak akan pulang lagi, tapi karena pesannya terlihat yang sangat cuek. Terlepas dari itu, Raisa sudah menyadari bahwa perubahan Kun sedikit banyak disebabkan oleh dirinya yang
Dering ponsel membuat tidur Kun terusik. Siapa yang pagi-pagi begini meneleponnya? Dengan susah payah Kun meraih ponsel yang terus melengking memekakkan telinganya. Dia menggeser tombol berwarna hijau tanpa melihat siapa yang sedang menelepon.“Halo?” seru Kun dengan suara serak.“Halo. Mas, kamu di mana?”Ketika mendengar suara perempuan di ujung telepon, Kun melebarkan jarak ponsel dari telinganya, menatap layarnya dengan mata terpicing. Ah, Delila. Kun mendesah malas.“Ada apa?”“Mas jangan mengelak terus. Aku mohon, Mas. Perutku semakin hari semakin membesar. Kapan Mas akan menikahiku?”Dari seberang telepon suara Delila terdengar mengiba. Namun, Kun benar-benar terganggu dengan telepon dari perempuan itu, apalagi dengan topik yang kontan membuat kepala Kun berdenyut.“Aku sudah berkali-kali bilang sama kamu, Delila, aku pasti bertanggung jawab. Tapi tidak sekarang. Aku s
Semburat cerah menjalar di wajah Pras saat melihat Raisa mendekat kepadanya. Perlahan senyumnya tersungging. Selain karena kasihan pada Pras jika membatalkan ojek, Raisa juga bisa terlambat untuk bertemu dengan Dokter Farah.“Terima kasih.” Dua kata keluar dari mulut Pras saat Raisa berada di dekatnya. Tangannya terjulur untuk memberi helm kepada perempuan di sampingnya. Raisa sama sekali tidak tertarik untuk menanggapi sikap ramah Pras.Ketika Pras sudah siap memegang stang, Raisa naik. Menjaga jarak, duduk di ujung jok dengan berpegangan pada behel sepeda motor. Setelah memastikan Raisa siap, Pras memacu kendaraannya memecah jalan.“Apa kabar?” Setelah cukup lama keduanya berdiam diri, akhirnya Pras menanyakan kabar.Namun, Raisa lagi-lagi tidak menanggapi ucapan Pras. Pria itu mafhum, keadaan sudah tidak sama lagi seperti dulu. Raisa punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan Pras setelah semua yang terjadi.Keduanya kemba
“Apa yang ingin kamu bicarakan? Cepatlah, aku harus segera pulang.” Raisa menatap lamat-lamat pria di depannya.“Aku minta maaf, Raisa ....” Pras berkata pelan dan langsung disambar oleh Raisa sebelum pria itu merampungkan ucapannya. Perih hati Pras.“Kamu tidak perlu minta maaf.” Raisa berusaha tegar, menatap jauh ke samping kanan. Memandang kosong lalu lalang kendaraan di atas aspal yang terpanggang matahari. Sebenarnya, cappucino dingin di depannya terlihat sangat menggoda di cuaca panas seperti ini, tapi entahlah, tiba-tiba dia tidak berselera walau hanya sekadar menyentuhnya.“Dengarkan penjelasanku ....”“Semua sudah jelas, Pras. Aku sudah menjadi istri orang lain. Apa lagi yang kamu harapkan dariku?” Raisa menatap Pras dengan mata berkaca-kaca.Sakit rasanya saat wanita di hadapannya tidak lagi memanggilnya dengan sebutan “Mas” seperti biasanya.“Semua
Dengan jantung kebat-kebit Raisa meraih ponsel Kun. Betapa terkejutnya, saat layar ponsel menyala dan mendapati sebuah video dirinya dengan Pras.Itu adalah videonya dengan Pras saat duduk di dekat kantin rumah sakit. Dari mana Kun mendapatkannya? Batin Raisa bertanya-tanya. Namun, itu hanya video percakapan biasa. Raisa tidak melakukan apa-apa dengan Pras. Apa hanya karena itu Kun cemburu?“Apa ini, Mas?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Raisa.Mata elang Kun menohok tajam Raisa, hingga membuatnya terlihat ciut.“Kamu keluar untuk menemui laki-laki itu, kan?” Kun menatap Raisa penuh selidik.“Mas ... dia cuma tukang ojek online.” Raisa menjelaskan, karena memang tidak ada apa-apa dengannya dan Pras. Tetap mengatur volume suara agar tidak pecah.“Ojek online?” Kun tertawa kecil, sinis. “Kamu liat video satunya. Jangan bodohi aku. Aku bukan anak kecil lagi, Raisa.”
Saat itu, setelah mendapatkan kecewa lagi dari perempuan yang sangat dicintainya, Ben langsung pergi begitu saja, tidak menghiraukan panggilan Raisa.Beberapa hari terakhir, pria itu juga tidak masuk kantor. Raisa semakin gelisah sebab nomor Ben tak dapat dihubungi.Raisa berjalan menuju sebuah rungan di mana Pras berada. Barangkali dia tahu di mana keberadaan Ben kini."Pak Ben tidak masuk kerja beberapa hari. Kamu tahu dia ke mana?""Ben sedang ke luar negeri. Aku tidak tahu pasti ada urusan apa," jawab Pras.Raisa tersenyum dan berterima kasih. Lalu dia berderap keluar ruangan.Waktu pulang tiba. Rasa penat yang mendera kian bertambah saat Dokter Farah menunjukkan sebuah foto.Raisa membekap mulut saat tiba-tiba dadanya terasa terhimpit."Ini Pak Ben, bukan?" Dokter Farah awalnya ragu untuk memberi tahu Raisa. Namun, jika mendiamkannya, sama halnya dengan mengkhianati Raisa.Raisa tak mampu berkata-kata, dia han
Ben tidak kuasa menahan cemburu saat Raisa bertemu Kun. Bayangan Kun ketika membingkai wajah Raisa bergelantungan di matanya. Kejadian empat hari lalu itu benar-benar membuat hatinya perih.Ben mendengkus, sebelum akhirnya Raisa masuk dengan membawa sebuah baki berisi segelas teh dan kudapan."Ada apa?" tanya Raisa. Perempuan itu mengambil posisi duduk di depan Ben."Tidak ada apa-apa, Raisa." Ben berbohong.Raisa mengangguk dengan senyum lembut tersungging. Kemudian dia berlalu dari hadapan Ben.Tadi pagi, Sanjaya mengabarkan pada Raisa jika Kun akan dibawa pulang besok. Berkat Raisa yang selalu datang menemui Kun, kondisi pria itu berangsur pulih.Sementara, Raisa merasa ragu untuk memberi tahu Ben jika setiap hari dirinya mengunjungi Kun. Takut pria itu cemburu.Setelah mempertimbangkan, Raisa memutuskan untuk tetap merahasiakannya pada Ben. Dia yakin sebentar lagi Kun akan kembali seperti sediakala dan dirinya tidak perlu mengunju
Sanjaya semringah melihat Kun tersenyum. Sudah sangat lama dirinya tidak melihat sang anak segembira itu. Hampir setiap malam, Kun mengalami mimpi buruk.Lalu saat terjaga, maka yang selalu disebut adalah nama Raisa. Hingga sakit yang diderita Kun semakin parah dan tubuhnya semakin kurus.Beberapa psikiater sudah dikunjungi. Akan tetapi, tidak ada hasil signifikan. Semua menyarankan agar Kun dipertemukan dengan seseorang yang selalu disebutnya.Semakin hari, Kun semakin aneh. Nama Raisa selalu diracaukan olehnya. Terkadang, ketika melihat seorang wanita berhijab, maka dia tersenyum girang dan sambil berseru nama Raisa. Begitu mendekat, maka senyum itu menguncup."Raisa ...."Raisa yang sejak tadi melamun, menoleh ke arah Sanjaya di sampingnya. Menunggu kalimat lanjukan yang akan dikatakan oleh pria itu.Hari sudah hampir gelap. Sesuai janjinya, Sanjaya akan mengantar perempuan itu pulang."Terima kasih," ucap Sanjaya.
Seorang diri, Ben termenung meratapi betapa sialnya nasibnya. Setelah sekian lama berjuang untuk mendapatkan cinta Raisa, dia kira semuanya akan berjalan mulus sesuai harapan. Nyatanya anggapannya meleset. Pada saat makan malam waktu itu, setelah kedua orang tuanya tau jika Raisa janda dan sudah memiliki anak, mereka dengan lantang mengutarakan ketidaksetujuan pada hubungan Ben dan Raisa. "Pokoknya Mama tidak setuju kamu menikah dengan Raisa!" Ben yang sudah melihat jejak tidak mengenakkan di wajah sang mama, menghela napas panjang. Dia menggeleng pelan dengan kepala terasa berdenyut. "Apa yang salah dengan dia, Ma?" Ben bertanya dengan suara keras dan dahi mengkerut, sekilas menatap sang Papa yang hanya menyimak dengan mata fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan berita. "Apa kamu sudah tidak waras, Ben? Tidak adakah wanita yang masih gadis?" Perempuan itu menatap nanar wajah sang anak. Ben membuang napas. Dia sangat t
Raisa mematut diri di depan cermin. Saat ini, dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Ben akan memperkenalkan dirinya kepada orangtua pria tersebut. Entahlah, ini benar-benar membuat dia gugup.Setelah segalanya siap, Raisa menoleh kepada Nadia di dalam box bayi. Perempuan anggun itu menatap wajah polos sang bayi. Tiba-tiba berkelebat wajah pria yang sangat familier saat melihat sang anak. Ya, wajah bayi itu begitu mirip dengan Kun.Teringat kembali tentang permintaan Sanjaya dua hari lalu agar menemui Kun, Raisa merasa kepalanya berdenyut. Itu adalah kunjungan Sanjaya yang kedua kalinya dengan permintaan sama."Apakah Kun benar-benar sakit? Atau ini hanya akalan mereka saja?" Raisa memijit pelipis sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar."Masuk," kata Raisa.Rahmi masuk dan langsung berkata, "Pak Ben menunggu di ruang tamu."Raisa mengerutkan kening lalu buru-buru melihat ponsel. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab d
Raisa dan Ben memasuki sebuah restoran mewah bergaya Italia yang sudah terlihat ramai oleh pengunjung. Raisa berjalan di samping Ben yang kini memasuki lift. Keduanya tiba di lantai tiga tak lama kemudian berjalan menuju lift. Mereka menuju lantai tiga. Ruangan luas dengan dinding nyaris seluruhnya kaca itu tidak seramai di lantai dasar.Dari sana, Raisa dapat melihat kendaraan yang padat merayap di jalanan. Ben menuju meja di dekat kaca. Tak lama setelah mereka duduk, waiter datang dengan menyerahkan buku menu setelah sebelumnya menyapa dengan begitu ramah."Mau makan apa?" Ben bertanya, membuat Raisa yang sebelumnya melempar pandangan ke luar menoleh ke arah pria di depannya."Apa saja." Raisa menjawab sekenanya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada semua objek yang tertangkap mata di luar.Ben mengembuskan napas, kemudian memberitahu waiter menu yang dia pesan."Kamu sepertinya lebih tertarik memandang keluar daripada ke sini," celetuk Ben.&n
Raisa meraih sebuah kunci yang berada di balik selarik kertas kecil. Ragam tanya berkelindan di benak, sebelum akhirnya dirinya menemukan jawaban pada kertas yang ternyata berisi tulisan dari Sanjaya."Raisa, terimalah ini. Ini kunci rumah yang berada di pusat kota. Rumah itu papa hadiahkan untukmu dan Nadia. Papa tahu, itu tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah kami perbuat padamu."Raisa terduduk dengan perasaan campur aduk. Senang? Tidak sama sekali. Bahkan perempuan itu merasa terbenani dengan pemberian Sanjaya. Dengan menerima hadiah besar itu, sama saja dengan membiarkan dirinya dillit hutang budi.'Ah, berpikirlah logis, Raisa! Dia itu bukan Kun. Lagi pula, Sanjaya adalah kakek dari Nadia.'Raisa mengusap wajah sebelum akhirnya terdengar ketukan. Daun pintu melebar setelah dirinya menyuruh Rahmi untuk masuk. Baby sitter Nadia itu berjalan pelan menuju box bayi.Dering ponsel terdengar menggema memenuhi ruangan yang lengang.
Suasana berubah menjadi sangat kaku bagi Raisa. Tak menampik, pria paruh baya di depan Raisa juga merasakan hal sama, hanya saja dia lebih pandai mengontrol kondisi hati, sehingga tidak kentara terlihat di wajahnya.Setelah Sanjaya membayar semua belanjaan Raisa, pria itu mengajak sang mantan menantu untuk duduk di kursi teras supermarket.Rasa kecewa yang diperbuat Kun, membuat Raisa tidak mau berhubungan lagi dengan orang-orang di rumah itu, kecuali dengan Bi Imas yang sudah dianggapnya layaknya orangtua sendiri. Sanjaya, dengan segala ragu yang mendera hati, dia juga enggan menghubungi perempuan di depannya sebab merasa kecewa.Hingga tempo hari Kun mengungkapkan bahwa Raisa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Dan hari ini setelah meneguhkan hati, Sanjaya mencoba untuk menemui Raisa. Entah kebetulan atau memang rencana Tuhan, dia dipertemukan di sini saat hendak membeli oleh-oleh untuk sang cucu."Apa kabar, Nak?" Suara itu terdengar begitu berat
Kun meringis menahan sakit di bagian pelipisnya. Dia terkesiap setelah pandangannya teralih pada pria yang kini berada di dekat Raisa. Rasa kesal berjelanak, tapi dia tidak ada waktu untuk meladeninya saat ini. Raisa lebih penting dari apa pun."Raisa ...." Kun kembali berseru pelan."Pergi sekarang, atau aku tambah!" Pria di samping Raisa mengancam. Sementara, Raisa terisak. Terpahat rasa iba di wajahnya melihat sang mantan suami yang pelipisnya tampak lebam."Aku tidak punya urusan denganmu!" Kun sudah tegak berdiri. Dia melangkah pelan untuk mendekati Raisa.Sigap, Ben mengangkat tangan untuk menghadiahi pria di depannya dengan satu bogem berikutnya. Namun, Raisa berseru, "Jangan ...!"Merasa dibela, Kun terkekeh dengan menumbuk tatapan sinis kepada Ben yang terlihat kesal."Lihat. Raisa masih ingin mendengarkanku, jadi minggirlah!"Raisa menggeleng. "Aku minta kamu angkat kaki dari sini. Dan jangan pernah temui aku dan Nadia lagi