Pandangannya berpusat pada dua orang yang baru saja memasuki ruangan luas yang menjadi studio foto kali ini. Seseorang yang datang bersamaan dengan Alva menjadi pusat perhatian beberapa orang yang ada di sekitarnya, begitu juga dengan Reno yang memperhatikannya dari jauh.
Dia datang bersamanya? Batin Reno.
Mata Reno terus berpusat pada seorang gadis yang ia ketahui namanya. Ini kali kedua Reno bertemu dengannya. Tapi sesuatu mengganjal pikirannya sejak tadi. Kenapa perempuan itu bersama Alva di pagi buta?
Keterkejutan Reno rasakan ketika mendengar suara perempuan saat ia menghubungi Alva pagi tadi. Berbagai praduga pun muncul dibenaknya, termasuk praduga negatif terhadap kedua orang itu. Reno menggelengkan kepalanya, ia berusaha untuk berpikiran positif dan meyakinkan dirinya bahwa Alva tak akan melakukan sesuatu yang dapat membahayakan dirinya dan reputasinya. Bagaimana jadinya jika media tahu Alva bersama perempuan di pagi buta dengan posisi Alva yang baru bangun tidur. Aku berharap dia tak gegabah, batin Reno yang kemudian berjalan menghampiri Alva dan Elena.
“Selamat pagi,” sapa Reno pada kedua orang yang kini menoleh ke arahnya. Elena membungkuk sopan setelah itu tersenyum pada Reno. Reno membalas senyuman Elena lalu ia mengulurkan tangan ke arah Elena.
“Reno, manajernya Alva,” ucap Reno memperkenalkan diri.
“Oh, mm Elena,” ucap Elena yang ikut memperkenalkan diri.
“Mmm Elena temen lo Va atau...” Reno menggantungkan ucapannya dengan mata yang melirik Alva dan Elena bergantian. Alva menarik dan menggamit pinggang Elena membuat mata gadis itu terbelalak kaget.
“Gue harus siap-siap dimana?” tanya Alva yang bukannya menjawab apa yang ditanyakan Reno tapi malah kembali bertanya hal lain. Reno mengerti sepertinya Alva sedang menghindar, tapi mengingat Alva harus segera bersiap Reno pun mengantarkan Alva ke tempat dimana Alva bisa mempersiapkan dirinya.
***
Elena duduk di kursi yang tak jauh dari keberadaan Alva, ia sungguh tak tahu harus melakukan apa. Sejak tadi pun Alva tak menyuruhnya melakukan sesuatu, katanya dirinya menjadi asisten pribadi seharian ini tapi Alva tak memberitahu tugasnya. Elena mana tahu tugas seorang asisten pribadi Alva itu bagaimana.
Sungguh Elena menghabiskan satu jam waktunya hanya untuk bermain ponsel dan duduk berdiam diri. Ingin bertanya pada Alva tapi tak memungkinkan karena sedari tadi Alva dikelilingi beberapa orang yang sedang merias wajahnya dan menata rambutnya. Sepertinya Elena harus mencuri ruang untuk mendekat dan bertanya tak maukan ia hanya diam seperti ini, lebih baik ia berada di butik saja kalau begitu.
Tak lama setelah itu, akhirnya ada ruang untuk Elena menanyakan tugasnya ia pun berjalan ke arah Alva yang memandangi sosok Elena lewat cermin besar yang ada di depannya.
“Va, aku harus melakukan apa?” tanyanya tanpa basa-basi. Alva menoleh ke samping dimana Elena berada.
“Temani aku disini, itu tugasmu,” jawab Alva yang kini merogoh ponsel lalu memainkannya. Mata Elena terbelalak dengan kening berkerut.
“Bukannya kamu bilang, aku jadi asisten pribadi kamu untuk hari ini. Gak mungkin seorang asisten pribadi tugasnya hanya menemani,” tutur Elena dengan suara pelannya karena tak ingin beberapa orang yang ada di sana mendengar obrolannya bersama Alfa.
“Kamu yakin mau setuju dengan apapun yang aku perintahkan?” Alva bertanya masih dengan fokus yang tertuju pada benda pipih yang berwarna hitam miliknya itu. Elena tak langsung menjawab, entah kenapa ia merasa takut Alva meminta hal yang tidak-tidak. Tapi tak mungkin rasanya, dirinya harus percaya bahwa semua akan baik-baik saja.
“Iya,” jawab Elena kemudian membuat Alva mengangkat wajah menoleh ke arahnya, senyum miring yang Alva berikan membuat Elena memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Alva mari ganti pakaianmu,” ucap penata busana yang kini sudah berdiri di samping Elena.
Alva tak langsung menoleh ia malah menatap Elena seraya tersenyum. “Berikan padanya,” pinta Alva kemudian. Sang penata busana tadi menoleh ke arah Elena yang ada di sampingnya. Elena mengerjapkan matanya, apa ini tugas pertamaku, batin Elena.
“Bantu aku pakai ini,” ucap Alva. Elena memperhatikan pakaian yang akan Alva gunakan.
“Ini baju pertama yang akan kamu kenakan. Beberapa pakaian lainnya sudah disiapkan. Oh ya selagi menunggu model wanitanya kamu bisa melihat beberapa produk lainnya nanti aku bawakan bagianmu ke sini,” tutur penata busana seraya menyerahkan hanger berisi pakaian yang akan Alva gunakan untuk sesi foto pertama.
“Terima kasih,” ucap Alva pada penata busana yang bernama Tina, nama yang tertera pada name tag yang tergantung di lehernya. Elena mengangguk seraya tersenyum ketika Tina juga tersenyum padanya. Setelah Tina pergi, Reno datang menghampiri keduanya.
“Oh ini kostum pertama lo,” kata Reno yang baru datang. “Sini.” Reno hendak mengambil alih tapi Alva menahannya.
“Dia yang akan bantu gue,” ucap Alva pada Reno yang kini mengerutkan keningnya.
“Gue manajer merangkap asisten lo bukan?” tanya Reno seraya melirik Elena sebentar.
“Tidak untuk hari ini, dia yang akan jadi asisten gue,” ucap Alva yang tersenyum manis ke arah Elena.
Apa ini tujuan Alva ngajak Elena kesini, batin Reno.
Alva berjalan ke arah tirai yang dimana itu adalah tempat berganti pakaian. Elena mengikuti Alva seraya membawa pakaian pertama Alva. Elena sedikit berlari mendahului Alva dan membukakan tirai tersebut. Alva tersenyum melihatnya. Ia masuk dan Elena menyerahkan hanger berisi pakaian itu. Alva menaikkan sebelah alisnya.
“Masuk,” pinta Alva. Elena mengerutkan kening mendengar perintah Alva. Tak sabar menunggu Alva pun menarik Elena dan menutup kembali tirai tersebut. Mungkin Elena akan berteriak jika ia tak menutup mulutnya dengan segera.
“Ish Alva.” Elena menggerutu karena Alva yang begitu saja menariknya. Elena memandang berkeliling ruang ganti itu, tak terlalu kecil masih ada ruang walaupun diisi oleh dua orang. Tapi yang benar saja Elena masuk ke sini bersama Alva, ini terasa canggung.
Alva menarik ujung kaosnya hendak menanggalkan pakaian bagian atasnya itu tapi Elena menahannya.
“Va, aku tunggu diluar ya,” ucap Elena serara menganggtungkan pakaian yang ia bawa pada tempat yang sudah tersedia.
“Bukannya tadi kamu minta tugas?”
“Ta..tapi kan kamu mau berganti pakaian, gak mungkin aku ada disini,” kata Elena yang memalingkan wajahnya ke arah tembok samping.
“Gak masalah,” katanya yang kembali menarik kaosnya dan Elena kembali menahan tangan Alva ketika kaos itu akan melewati bagian wajahnya.
“Sebentar, hati-hati rambutmu sudah di tata rapi,” kata Elena yang membantu Alva untuk menanggalkan kaosnya.
Alva membiarkan itu dan sedikit menunduk agar Elena dapat menjangkaunya. Alva tak bersuara begitu juga Elena yang terlihat fokus agar penataan rambut yang telah dilakukan tak terganggu sama sekali. Walaupun begitu sebenarnya penata rambut dapat kembali memperbaikinya tapi tak apa bukan jika ingin berhati-hati setidaknya dapat mengurangi tugas mereka.
Penataan rambut Alva kali ini seperti ciri khasnya. Bagian belakang yang dikuncir kuda dan bagian depan dengan setiap sisinya yang menjuntai bergelombang. Entah kenapa Elena sangat menyukai gaya rambut Alva yang seperti ini. Cute, pikirnya.
Elena sudah berhasil membantu Alva untuk melepaskan kaosnya, dan kini ia mengambil pakaian yang tergantung di hanger dan memberikannya pada Alva. Alva mengernyit menetap pakaian itu membuat Elena bingung dibuatnya.
“Pakai ini Va,” ucap Elena.
“Pakaikan,” pinta Alva menjadikan Elena membelalakan matanya.
***
Kilatan blitz mengejutkan Elena beberapa kali, seharusnya ia terbiasa dengan hal ini tapi tak jarang ia terkejut karena cahaya itu dan suara melengking flash yang digunakan. Rasanya ia ingin keluar saja dari tempat ini. Ketahuilah bukan karena kilatan dan suara flash tadi, tapi ia ingin melakukan itu karena merasa tak nyaman melihat Alva yang sedang berpose dengan partner kerjanya kali ini. Seorang model cantik berambut coklat bergelombang, tubuhnya yang ramping dengan tinggi badan yang hanya beberapa centi meter di bawah Alva. Terlihat sangat cocok ketika mereka bersanding. Perpaduan yang sangat tepat, pesona Alva dengan model cantik bernama Rachel itu mampu merebut fokus semua yang ada di studio. Entah berapa banyak Elena mendengar ucapan kagum yang dilayangkan para crew terhadap kedua model yang sedang melakukan tugasnya itu. Elena kembali memalingkan wajahnya ketika melihat Alva berpose memeluk Rachel dari belakang. Entah kenapa Elena merasa tak nyaman pada peras
Atas perintah bosnya hari ini, Elena harus menahan diri untuk tidak kemana-mana. Berada tak jauh dari keberadaan Alva saat ini sungguh memuakkan baginya. Dirinya sendiri pun tak tahu kenapa ini bisa ia rasakan begitu saja. Sang fotografer terus saja mengarahkan Alva dan Rachel untuk berpose bak sepasang kekasih dan hal itu membuat perasaan Elena panas. Apalagi kini Alva menatap ke arahnya dengan Rachel yang sedang berpose mengecup pipi kiri Alva. Elena memalingkan wajahnya. Kenapa Alva menatapku seperti itu, batin Elena. “Dekatkan wajah kalian sedikit, dengan tangan yang tergantung, berpose seraya memperlihatkan bagian tangannya ya,” ucap seorang fotografer itu. Elena kembali mengarahkan tatapannya ke arah Alva dan Rachel. Elena kesal sendiri kenapa perasaannya terus saja terganggu. Kenapa sih aku ini, gerutu Elena. “Sttt.” Suara itu sungguh mengagetkan Elena. “Ops maaf, aku mengagetkanmu?” tanya Reno yang sudah berdiri di samping Elena.
Sepanjang perjalanan tak ada suara yang dikeluarkan Alva maupun Elena. Hening yang lagi-lagi membuatnya tak nyaman. Elena tahu mungkin ini masih perihal tentang pertemuan Alva dengan ayahnya. Masalah keluarga Alva yang bergitu saja Elena dengar walaupun tak sepenuhnya. Tapi dilihat dari respon dan sikap Alva saat ini, membuat Elena begitu saja berkesimpulan bahwa ini bukanlah masalah yang sederhana. Elena harus menahan dirinya bertanya banyak untuk saat ini, ia tak ingin membuat Alva semakin tertekan. Mobil yang dikendarai Alva sudah sampai di area basement apartment, Elena segera ikut melepaskan seat belt saat melihat Alva yang sudah siap untuk keluar. Elena mempercepat langkahnya untuk mensejajarkan dirinya dengan Alva tanpa ragu ia meraih tangan Alva lalu menggenggamnya. Alva memperlambat gerak kakinya ketika tangan mereka terpaut, ia menunduk melihat Elena yang begitu saja menggenggamnya. Matanya pun beralih menatap Elena yang berjalan di sampingnya. Elena menoleh seraya
Elena mengetukkan jarinya beberapa kali, apa yang diucapkan Alva kembali berputar dipikirannya. Rupanya apa yang ia lihat tak senyaman yang ia pikirkan. Alva begitu pintar menyembunyikan luka dibalik sifat menyebalkannya. Getaran benda pipih yang berada tak jauh dari jangkauannya terdengar, Elena meraih benda itu dan melihat notifikasi yang baru saja ia dapatkan. Keningnya berkerut, melihat sebuah undangan online yang tertera pada layar ponselnya. Elena menghembuskan nafas pelannya, ia menimbang-nimbang apakah perlu menghadirinya atau tidak. “Ada yang sedang mengganggu pikiranmu Elena?” suara Mei yang sangat ia kenal terdengar. Elena langsung menoleh ke sumber suara. Mei berjalan mendekat dan duduk di kursi yang berseberangan dengan kursi yang Elena duduki. Elena tersenyum, ia pun kembali menyimpan ponsel itu pada meja dan mulai memusatkan perhatiannya pada Mei. “Apakah Alva merepotkanmu?” Elena terkekeh lalu menggeleng. “Lalu apa?” Mei masih
Perjalanan yang cukup melelahkan. Alva duduk di sofa ruang tamu seraya memainkan ponselnya. Elena masuk lebih dulu untuk membersihkan diri sedangkan Naura sedang menerima tamu di teras depan. Lelah dengan layar ponsel, Alva pun mengedarkan pandangannya memperhatikan detail ruang tamu yang tertata rapi. Tak begitu banyak dekorasi tapi tetap nyaman dan cantik. Rupanya ada ruang kecil yang tak jauh dari ruangan tersebut. Sebuah mesin Jahit Alva lihat dari arah luar dan sepertinya itu adalah ruang kerja yang selalu dipakai mamanya Elena untuk menjahit. Profesi yang diketahui Alva dari cerita pendek Mei kala itu, ketika Elena belum lama bekerja di butik Mei. “Maaf buat kamu menunggu,” suara itu membuat Alva menoleh. Elena datang dengan pakaian tidurnya yang terlihat nyaman. Sebuah handuk yang melingkar di kepala Elena menarik fokus Alva, rupanya Elena baru saja selesai keramas. “Gak masalah,” jawab Alva seraya memperlihatkan senyum lebarnya. “Mm kamu mau mandi?” t
Elena berjalan keluar rumah, keningnya berkerut ketika melihat Alva yang membukakan pintu mobil untuknya. Tak ada niat untuk dirinya mengajak Alva ke acara reuni sekolah. Tapi kenapa dia sudah siap saja di sana? “Kamu mau berangkat bareng Alva El?” suara mamanya membuat Elena sontak menoleh ke belakang. “Iya tan aku akan menemaninya,” seru Alva dengan cengiran khasnya. Baru saja akan menjawab tapi Alva mendahuluinya. Elena memutar bola matanya malas, bagaimana jadinya kalau ia mengajak Alva. Apa yang harus ia katakan kalau teman-temannya bertanya siapa dia. Elena pun berjalan mendekat ke arah Alva yang begitu percaya dirinya di sana. “Aku mau datang ke acara reuni Va, kamu tunggu saja di sini ya,” kata Elena. “Aku akan menemanimu,” jawab Alva dengan tangan yang mempersilahkan Elena memasuki mobilnya. Malas berdebat, Elena pun hanya menurut saja. Ia masuk dan membiarkan Alva menutup pintu itu untuknya. Kursi kemudi mulai terisi, Alva me
Sudah lima menit Rosie menatap putranya yang sedang duduk santai tak mengeluarkan suara apapun. Saat kedatangannya ke butik Meisie, Rosie langsung meminta Alva untuk mengikutinya menuju butik miliknya. Disinilah mereka sekarang, di ruang kerja Rosie. Namun semenjak bertemu pagi ini, Alva belum juga berbicara padanya bahkan sekedar sapaan hai pun tak ada. Perdebatan dua hari lalu masih membekas sampai sekarang, beberapa hari ini pula Rosie tak mendapatkan Alva berada di rumah. Di tambah kemarin, Alva yang begitu saja pergi meninggalkan pekerjaannya hanya untuk mengantar Elena pulang sungguh membuat Rosie tersulut emosi. Reno sang manager Alva menjadi sasaran kemarahannya kemarin. “Apa kamu tahu kesalahanmu apa?” tanya Rosie akhirnya mengawali pembicaraan. “Meninggalkan pekerjaan tanpa kabar,” jawab Alva tanpa ragu. Namun tak sedikit pun Alva menoleh, ia masih fokus pada benda pipih berwarna hitam yang ada pada genggamannya. “Apa pekerjaanmu kemarin memai
“Mama kenapa gak ada kabarin aku?” tanya Elena pada Naura yang duduk di sampingnya.“Sengaja,” jawab Naura singkat dengan senyuman di akhirnya.Alva yang sedang menyetir melirik Naura dan Elena lewat kaca spion depan. Ketiganya kini berada di perjalanan menuju apartemen yang ditempati Elena alias apartemen milik Alva.Setelah mendapat panggilan dari Naura 30 menit lalu, Elena langsung meluncur di temani Alva menuju stasiun dimana Naura berada. Elena sempat tak enak hati meminta izin pada Mei, namun respon Mei yang tak mempermasalahkan itu membuat Elena lega. Malah Mei meminta Elena untuk mempertemukan Naura dengannya.Elena sempat menolak ketika Alva menawarkan diri untuk menemaninya, namun bukan Alva namanya yang menyerah begitu saja. Ia tak menghiraukan penolakan Elena dan tetap menemani Elena menjemput Naura di stasiun.“Kita mau langsung ke apartemen aja?” tanya Alva yang kembali melirik kaca spion untuk meli
“Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b
Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg
Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara
Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”
Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork
Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al
Roy mengusap bahu Rosie beberapa kali, ia mencoba menenangkan Rosie yang tak tenang semenjak penyampaian Alva pada media. Ponselnya berdering sejak tadi, beberapa pesan sempat Rosie terima tak lain mereka menanyakan kebenaran atas apa yang Alva sampaikan dan beberapa lainnya kembali mengulang masa lalu. Hal yang sangat Rosie khawatirkan saat ini, mereka yang tahu kembali mengungkit apa yang telah terjadi. Keterpurukan yang sudah Rosie kubur dalam-dalam dan menggantikannya dengan gemerlap yang merubah segalanya. Sungguh ia tak ingin masa itu kembali datang.Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Terlihat Reno yang hanya datang seorang diri tidak bersama seseorang yang ingin mereka temui saat ini.“Mana Alva?” tanya Rosie yang tak melihat keberadaan Alva memasuki ruang tunggu agensi musik itu.“Dia masih di studio, baru bisa ditemui 15 menit lagi. Maaf membuat Tuan dan Nyonya menunggu lama.” Reno menunduk memperlihatkan rasa hormatny
“Ya, aku memiliki hubungan yang cukup dekat dengannya.”“Apa kalian pacaran? Kamu terlihat memasuki rumah Rachel Aditya malam tadi. Apakah itu benar kamu Alva?”Alva tersenyum tipis, ia menunduk sebentar dan kembali memperlihatkan wajahnya pada kamera. “Dia adikku,” jawaban itu mengejutkan semua awak media.“Adik? Bukannya adikmu adalah Felicia?” tanya salah satu reporter yang ada di sana. Alva tak langsung menjawab, ia hanya menampilkan senyumnya di sana membuat semuanya penasaran akan apa yang Alva katakan selanjutnya.“Aku baru mengetahui kenyataan yang cukup mengejutkan.” Apa yang Alva utarakan begitu membuat riuh.“Nyonya Rosie, pemilik Rosie boutique yang cukup terkenal dikalangan para selebriti itu adalah ibumu, bukan begitu?” Alva menoleh pada reporter yang baru saja bertanya dan kembali menampilkan senyum tipisnya di sana.“Ibu kandungku bernama Kalina,&rd
Dua orang yang menempati meja dekat jendela itu masih saling diam. Rosie yang memandang keluar jendela memperhatikan keadaan di luar sana, sedangkan Rachel yang menunduk seraya mengaduk minumannya. Mulai tak nyaman dengan keadaan ini, Rachel pun menghembuskan nafas pelan seraya menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia mulai memandang lurus ke arah Rosie yang belum mengatakan alasannya kenapa mengajak bertemu pagi ini juga.“Apa yang anda ingin sampaikan Nyonya Rosie?” tanya Rachel yang sudah tak tahan dengan keadaan saling diam.Helaan nafas Rosie terdengar, masih dengan memandang keluar ia pun menjawab, “Aku penasaran kenapa kamu dan Alva bisa ada di pemakaman itu?” akhirnya Rosie mengatakan maksudnya.Hal yang sudah Rachel duga sebelumnya, dan dugaan itu benar rupanya. Beberapa saat Rachel terdiam, sampai Rosie mulai menoleh ke arahnya karena gadis itu yang tak langsung menjawab.“Kenyataan ini sangat mengejutkan, ha