Perjalanan yang cukup melelahkan. Alva duduk di sofa ruang tamu seraya memainkan ponselnya. Elena masuk lebih dulu untuk membersihkan diri sedangkan Naura sedang menerima tamu di teras depan. Lelah dengan layar ponsel, Alva pun mengedarkan pandangannya memperhatikan detail ruang tamu yang tertata rapi. Tak begitu banyak dekorasi tapi tetap nyaman dan cantik. Rupanya ada ruang kecil yang tak jauh dari ruangan tersebut. Sebuah mesin Jahit Alva lihat dari arah luar dan sepertinya itu adalah ruang kerja yang selalu dipakai mamanya Elena untuk menjahit. Profesi yang diketahui Alva dari cerita pendek Mei kala itu, ketika Elena belum lama bekerja di butik Mei.
“Maaf buat kamu menunggu,” suara itu membuat Alva menoleh. Elena datang dengan pakaian tidurnya yang terlihat nyaman. Sebuah handuk yang melingkar di kepala Elena menarik fokus Alva, rupanya Elena baru saja selesai keramas.
“Gak masalah,” jawab Alva seraya memperlihatkan senyum lebarnya.
“Mm kamu mau mandi?” tanya Elena yang sempat bingung untuk menawarkan hal ini.
“Boleh, mandi bareng?” tanya Alva mengundang tatapan tajam Elena. Senyum lebar kembali Alva berikan, gemas Alva melihat Elena yang menatap tajam ke arahnya tapi dengan pipi yang bersemu merah.
Elena melirik keberadaan Naura yang masih mengobrol dengan tamu di teras, ia khawatir Naura menangkap ucapan Alva yang sembarangan tadi.
“Jadi gimana? Mau mandi bareng?” tanya Alva lagi membuat Elena semakin geram.
“Alva jangan bercanda ya, sana kamu mandi dulu biar segeran,” ketus Elena dengan pandangan yang ia alihkan ke arah lain karena kesal dengan Alva yang terus saja memperlihatkan ekspresi menyebalkannya. Terlepas dari hal apapun sepertinya Alva memanglah orang yang menyebalkan.
Alva terkekeh, ia pun mengikuti Elena yang memberi tahunya dimana kamar mandi berada. Tak lupa handuk yang juga Elena berikan pada Alva.
“Tidak ada laki-laki di sini jadi aku harus meminta mama untuk carikan baju yang bisa kamu pakai malam ini,” tutur Elena ketika sudah sampai di dekat pintu kamar mandi. Hal yang juga sudah Alva ketahui, bahwa ayah Elena sudah meninggal. Sesuatu yang juga Alva ketahui ketika Mei bercerita padanya kala itu.
“Baiklah sayang,” respon Alva menimbulkan decakan Elena sebelum meninggalkannya di sana. Alva terkekeh, ia pun mulai memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Alva belum keluar dari kamar mandi, Naura sudah selesai menerima tamu. Kini ia sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan makan malam. Tak lama Elena pun bergabung untuk membantu mamanya memasak.
“Biar mama sayang, kamu istirahat saja hm,” ucap Naura ketika melihat Elena mulai memegang pisau untuk memotong beberapa bumbu dapur.
“Gak apa-apa Ma,” jawab Elena yang meneruskan kegiatannya. Deheman pun terdengar, Naura mendekat pada Elena dan mulai menanyakan sesuatu.
“Siapa dia?” tanya Naura yang baru berani bertanya lebih karena kebetulan Alva masih berada di kamar mandi.
“Dia.. temanku ma,” jawab Elena tak memuaskan Naura. Pasalnya Naura menginginkan Elena menjawab dengan lebih spesifik.
“Hanya teman?” tanya Naura lagi memastikan.
“Iya Ma,” jawaban cepat pun kembali Elena berikan. Naura mengangguk tapi kembali dengan pertanyaan yang mengarah pada laki-laki muda itu.
“Mama rasa namaya tak asing, apa kamu pernah menceritakan sesuatu pada Mama?” gerakan tangan Elena melambat, ia teringat sesuatu. Dirinya pernah menceritakan Alva pada Naura saat dirinya pulang beberapa minggu lalu.
“Hm, Alva keponakan Nyonya Mei. Bosku Ma,” jawab Elena sejujurnya. Naura pun sedikit membelalakan matanya setelah mendengar kembali pernyataan itu padahal ia sempat mendengarnya. Tapi saat ini berbeda, laki-laki itu berada di sini dan mengantarkan putrinya pulang. Bagaimana pun hal ini menjadi tanda tanya besar untuknya.
Pintu kamar mandi mulai terbuka, Elena dan Naura menoleh. Tapi Elena langsung kembali berbalik karena melihat Alva yang bertelanjang dada. Naura tersenyum melihat reaksi putrinya.
“Bajunya tadi Mama sudah simpan di kamar kamu ya El, antar Alva kasihan dia kedinginan,” seru Naura pada Elena yang masih menyibukkan dirinya dengan memotong cabai.
“I..iya Ma.” Elena mulai berbalik untuk mengantarkan Alva kekamarnya. Pintu kamar Elena buka, ia pun masuk. Sungguh terkejut dirinya ketika mendapatkan Alva yang berdiri tepat di belakangnya.
Berbeda dengan Elena, Alva terlihat sangat santai. Ia mengedarkan pandangannya dan memperhatikan seisi kamar Elena.
“Ini bajunya, celananya pendek. Apa tidak masalah?” tanya Elena pada Alva yang kini berjalan ke arah sisi ranjang dan sedang melihat beberapa foto yang menggantung di sana. Elena menggaruk tengkuknya malu, melihat Alva yang memperhatikan fotonya dengan seksama. Biarlah Elena tak peduli, ia pun segera keluar kamar dan menutupnya membiarkan Alva mengganti pakaiannya di sana.
Beberapa menit setelah Elena keluar dan menutup pintu, Alva masih betah memperhatikan foto-foto Elena. Terlihat lucu dan menggemaskan. Rupanya gadis ini tak malu bergaya konyol seperti ini.
***
Perbincangan sederhana menjadi teman kegiatan makan malam ini. Pertanyaan perihal kegiatan, lingkungan, keadaan yang ditanyakan Naura pada Elena yang duduk di sampingnya. Sedangkan Alva masih betah menikmati makan malam seraya mendengarkan setiap untaian kalimat yang dilontarkan kedua wanita yang berada di hadapannya ini. Hal sederhana yang luar biasa telah Alva tangkap dari keluarga kecil ini. Ketulusan yang terpancar dari seorang Naura membuat Alva sedikit iri. Tapi hal itu Alva singkirkan, bersyukur ia dapat berada di tempat ia bisa merasakan keluarga yang sebenarnya walaupun tak ada seorang ayah yang berada di sampingnya.
“Ikannya masih banyak, jangan lupa habiskan ya,” suara Naura menyadarkan Alva.
“Baik tan, jangan khawatir,” balas Alva yang mengundang kekehan Naura sedangkan Elena memutar bola matanya malas.
“Oh ya, Elena bilang dia tinggal di apartemenmu,” ucapan Naura membuat gerak tangan Alva terhenti. Rupanya hal itu sudah diketahui Naura, ia melirik Elena. Apakah dia selalu menceritakan dirinya di belakang? Alva tersenyum senang.
“Kamu membiarkan Elena menempatinya dengan cuma-cuma. Tante benar-benar berterima kasih,” tambah Elena. Alva tersenyum seraya membalas tatapan mata Naura padanya.
“Tante tak perlu khawatir, aku juga akan memastikan keadaan Elena selalu baik-baik saja. Lokasi apartemenku aman untuk ditinggali,” tutur Alva. Naura mengangguk, lalu mengusap punggung tangan Elena.
“Lalu, kamu tinggal dimana Alva? Apa rumahmu jaraknya cukup jauh dengan apartemen yang ditempati Elena?” pertanyaan yang mengejutkan keduanya. Alva dan Elena saling lirik, bersyukur Naura tak begitu memperhatikan karena sedang menyiapkan suapan makannya.
“Aku tinggal di-“
“Alva tinggal bersama orang tuanya, rumahnya cukup jauh dari apartemen.” Elena memotong ucapan Alva, ia khawatir Alva akan mengatakan yang sebenarnya tentang kondisinya saat ini. Dimana Alva yang mulai tinggal di apartemen bersama Elena.
Bukan tak ingin memberi tahu Naura. Tapi Elena sungguh takut Naura akan marah padanya, mengingat Alva dan dirinya adalah orang asing tak ada ikatan darah apapun. Memang sebenarnya hal itu tak baik dilakukan, tapi Elena berjanji akan memikirkan hal ini lagi dan ia akan mencari cara agar tak tinggal satu atap dengan Alva.
Acara makan itu selesai, kini ketiganya sedang berada di ruang keluarga. Elena merasa geraknya terbatas karena keberadaan Alva di sana. Padahal Alva sendiri terlihat biasa saja dan begitu santai. Bahkan sesekali ia kembali mengajak Naura berbincang.
“Malam ini kamu tidur bersama Mama El, biar Alva tidur di kamarmu,” kata Naura.
“Kalau begitu aku siapkan dulu.”
“Tidak perlu, aku bisa tidur di sofa biar Elena tidur di kamarnya pasti Elena sangat merindukan suasana kamarnya,” tutur Alva.
“Badanmu bisa sakit kalau tidur di sofa,” ucap Naura yang tak setuju.
“Aku sudah biasa tidur di sofa, tante tak perlu khawatir.” Alva mengatakan itu seraya melirik Elena. Sungguh Elena merasa tersindir. Ia mengerti akhir-akhir ini Alba harus tidur di sofa ketika di apartemen karena kamarnya Elena tempati.
“Kamu bisa tidur di kamarku,” ucap Elena seraya melirik Alva kesal. Senyum miring Alva berikan, rupanya candaannya itu berhasil membuat Elena kesal padanya. Lucu sekali, batin Alva.
***
Elena berjalan keluar rumah, keningnya berkerut ketika melihat Alva yang membukakan pintu mobil untuknya. Tak ada niat untuk dirinya mengajak Alva ke acara reuni sekolah. Tapi kenapa dia sudah siap saja di sana? “Kamu mau berangkat bareng Alva El?” suara mamanya membuat Elena sontak menoleh ke belakang. “Iya tan aku akan menemaninya,” seru Alva dengan cengiran khasnya. Baru saja akan menjawab tapi Alva mendahuluinya. Elena memutar bola matanya malas, bagaimana jadinya kalau ia mengajak Alva. Apa yang harus ia katakan kalau teman-temannya bertanya siapa dia. Elena pun berjalan mendekat ke arah Alva yang begitu percaya dirinya di sana. “Aku mau datang ke acara reuni Va, kamu tunggu saja di sini ya,” kata Elena. “Aku akan menemanimu,” jawab Alva dengan tangan yang mempersilahkan Elena memasuki mobilnya. Malas berdebat, Elena pun hanya menurut saja. Ia masuk dan membiarkan Alva menutup pintu itu untuknya. Kursi kemudi mulai terisi, Alva me
Sudah lima menit Rosie menatap putranya yang sedang duduk santai tak mengeluarkan suara apapun. Saat kedatangannya ke butik Meisie, Rosie langsung meminta Alva untuk mengikutinya menuju butik miliknya. Disinilah mereka sekarang, di ruang kerja Rosie. Namun semenjak bertemu pagi ini, Alva belum juga berbicara padanya bahkan sekedar sapaan hai pun tak ada. Perdebatan dua hari lalu masih membekas sampai sekarang, beberapa hari ini pula Rosie tak mendapatkan Alva berada di rumah. Di tambah kemarin, Alva yang begitu saja pergi meninggalkan pekerjaannya hanya untuk mengantar Elena pulang sungguh membuat Rosie tersulut emosi. Reno sang manager Alva menjadi sasaran kemarahannya kemarin. “Apa kamu tahu kesalahanmu apa?” tanya Rosie akhirnya mengawali pembicaraan. “Meninggalkan pekerjaan tanpa kabar,” jawab Alva tanpa ragu. Namun tak sedikit pun Alva menoleh, ia masih fokus pada benda pipih berwarna hitam yang ada pada genggamannya. “Apa pekerjaanmu kemarin memai
“Mama kenapa gak ada kabarin aku?” tanya Elena pada Naura yang duduk di sampingnya.“Sengaja,” jawab Naura singkat dengan senyuman di akhirnya.Alva yang sedang menyetir melirik Naura dan Elena lewat kaca spion depan. Ketiganya kini berada di perjalanan menuju apartemen yang ditempati Elena alias apartemen milik Alva.Setelah mendapat panggilan dari Naura 30 menit lalu, Elena langsung meluncur di temani Alva menuju stasiun dimana Naura berada. Elena sempat tak enak hati meminta izin pada Mei, namun respon Mei yang tak mempermasalahkan itu membuat Elena lega. Malah Mei meminta Elena untuk mempertemukan Naura dengannya.Elena sempat menolak ketika Alva menawarkan diri untuk menemaninya, namun bukan Alva namanya yang menyerah begitu saja. Ia tak menghiraukan penolakan Elena dan tetap menemani Elena menjemput Naura di stasiun.“Kita mau langsung ke apartemen aja?” tanya Alva yang kembali melirik kaca spion untuk meli
Butik Mei kembali menjadi tujuan Alva. Sesuai apa yang ia katakan tadi bahwa dirinya akan mengantar Elena dan Naura ke apartemen. Pekerjaannya yang belum stabil akibat ulah kemarin menjadikan Alva merecoki keseharian Elena, hal itu menjadi pelarian yang menyenangkan juga pikirnya. Mobil hitam Alva kini sudah kembali terparkir tepat di depan butik Meisie. Ia keluar dari mobil dan melirik dua papan nama yang ada di depan sana. Dua butik yang bersebelahan namun menjual koleksi yang berbeda. Alva memalingkan wajahnya dari toko Rosie, ia pun mulai melangkah menaiki tangga demi tangga yang ada di bagian depan. “Alva,” suara berat menjadikan langkahnya tiba-tiba terhenti. “Apa malam ini kamu bisa menyempatkan waktu untuk pulang?” Alva mulai berbalik ke arah seseorang yang sedang mengajaknya bicara. Matanya menangkap sosok Roy yang sedang berdiri di ambang pintu butik Rosie. Senyum tipis Roy berikan, ia pun melangkah mendekati Alva. Tepukan pelan sampai di pu
Langkah kaki terdengar, Alva mengangkat kepalanya melihat ke arah tangga. Ia tersenyum pada Elena dan Naura yang baru saja menuruni tangga. Alva menyadari pandangan Naura yang tertuju pada hidangan yang sudah ia sediakan di atas meja.“Kamu masak semua ini?” tanya Naura yang begitu tercengang dengan semua makanan yang sudah tersedia di atas meja makan. Anggukan dan ulasan senyum Alva berikan. Ia pun menarik salah satu kursi dan mempersilahkan Naura duduk.“Silahkan menikmati hidangannya tan,” ucap Alva yang mulai ikut bergabung dengan menduduki salah satu kursi makan yang ada di hadapan Elena. Kebetulan Elena duduk tepat di samping Naura.“Ini adalah keahlian lain Alva ma, memasak,” ucap Elena yang lagi-lagi membuat Alva sendiri tertegun. Ia merasa hari ini Elena lebih banyak memberikan pujian dan mengatakan hal-hal baik tentangnya. Diam-diam Alva tersenyum.“Mmmm,” gumaman Naura terdengar, Alva menoleh dan
Kakinya kembali melangkah menuju taman belakang ketika melihat gelagat kedua orang itu akan keluar dari balik pembatas ruangan. Alva langsung mendudukan bokongnya di kursi yang ada di samping Felicia. Untungnya Felicia tak begitu memperhatikan Alva yang kembali dengan terburu-buru, membuat Alva tak perlu mendapat pertanyaan lebih akan hal itu. Tak lama Roy dan Rosie bergabung. Pandangan mereka langsung tertuju pada keberadaan Alva yang kini menoleh ke arah mereka. “Sejak kapan kamu datang?” tanya Rosie yang tersenyum ke arah Alva dan mulai duduk di kursi yang berseberangan dengan Alva. “Belum lama,” jawab Alva dengan ekspresi datarnya. Roy yang masih berdiri pun ikut tersenyum dan mulai bergabung menduduki kursi yang ada di hadapan putrinya. “Terima kasih sudah menyempatkan waktumu untuk datang,” ungkap Roy yang masih tersenyum ke arah putranya. “Papa, seharusnya aku yang mengatakan itu,” seru Felic. Roy terkekeh ia pun mempersilahkan putrinya
Ting Tong! Ting Tong! Bel salah satu apartemen di tekan beberapa kali. Jari itu terus menekan tombol kecil itu sampai pintu apartemen terbuka dan menampilkan seseorang yang mendengus kesal karena risih dengan suara bel yang terus saja berbunyi.“Lo Va, gila lo gak sabar banget,” ucap sang pribumi. Alva langsung masuk tanpa di minta. Ia langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa dengan kepala yang ia hadapkan ke langit-langit ruangan. Matanya mulai terpejam dengan kening yang berkerut, sungguh ia sedang merasakan sakit pada kepalanya.“Udah berapa purnama lo gak kesini? Dan sekarang masuk gitu aja tanpa di minta. Gak sopan lo,” gerutuan kembali terdengar dari sang pribumi.“Malam ini gue numpang tidur di sini Rick,” ucap Alva. Ya, pribumi itu bernama Erick, teman yang paling dekat dengannya. Kata sahabat juga mungkin bisa tersemat dalam hubungan pertemanan mereka.“Tumbenan, apartemen lo kemana? Di jual?” t
Lembaran itu menjadi perhatian Mei saat ini. Ia menyunggingkan senyumnya dan melirik seseorang yang terlihat tegang duduk pada satu kursi lainnya.“Aku….” Mei menggantungkan ucapannya membuat perasaan Elena semakin tak karuan karena khawatir dengan apa yang akan menjadi pendapat Mei terhadap karyanya itu.“Seperti biasa.” Tambahan kalimat itu membuat Elena bingung. Seperti biasa apa yang dimaksud Mei. Apakah karyanya terlalu biasa dan tak berbeda dengan karya-karya sebelumnya atau hal lain.“Seperti biasa aku sangat menyukai rancanganmu.” Kalimat lengkap itu sungguh melegakan perasaan Elena. Sejak tadi pundaknya tak merosot sama sekali, namun kini Elena dapat melemaskannya dengan perasaan tenang.“Namun ada hal kecil yang ingin aku ganti, hanya sedikit tak banyak,” ucap Mei yang membuat Elena langsung bertanya apa yang ingin Mei tambahkan. Tak apa Mei ingin menambahkan yang terpenting Mei menyukai ran
“Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b
Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg
Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara
Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”
Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork
Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al
Roy mengusap bahu Rosie beberapa kali, ia mencoba menenangkan Rosie yang tak tenang semenjak penyampaian Alva pada media. Ponselnya berdering sejak tadi, beberapa pesan sempat Rosie terima tak lain mereka menanyakan kebenaran atas apa yang Alva sampaikan dan beberapa lainnya kembali mengulang masa lalu. Hal yang sangat Rosie khawatirkan saat ini, mereka yang tahu kembali mengungkit apa yang telah terjadi. Keterpurukan yang sudah Rosie kubur dalam-dalam dan menggantikannya dengan gemerlap yang merubah segalanya. Sungguh ia tak ingin masa itu kembali datang.Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Terlihat Reno yang hanya datang seorang diri tidak bersama seseorang yang ingin mereka temui saat ini.“Mana Alva?” tanya Rosie yang tak melihat keberadaan Alva memasuki ruang tunggu agensi musik itu.“Dia masih di studio, baru bisa ditemui 15 menit lagi. Maaf membuat Tuan dan Nyonya menunggu lama.” Reno menunduk memperlihatkan rasa hormatny
“Ya, aku memiliki hubungan yang cukup dekat dengannya.”“Apa kalian pacaran? Kamu terlihat memasuki rumah Rachel Aditya malam tadi. Apakah itu benar kamu Alva?”Alva tersenyum tipis, ia menunduk sebentar dan kembali memperlihatkan wajahnya pada kamera. “Dia adikku,” jawaban itu mengejutkan semua awak media.“Adik? Bukannya adikmu adalah Felicia?” tanya salah satu reporter yang ada di sana. Alva tak langsung menjawab, ia hanya menampilkan senyumnya di sana membuat semuanya penasaran akan apa yang Alva katakan selanjutnya.“Aku baru mengetahui kenyataan yang cukup mengejutkan.” Apa yang Alva utarakan begitu membuat riuh.“Nyonya Rosie, pemilik Rosie boutique yang cukup terkenal dikalangan para selebriti itu adalah ibumu, bukan begitu?” Alva menoleh pada reporter yang baru saja bertanya dan kembali menampilkan senyum tipisnya di sana.“Ibu kandungku bernama Kalina,&rd
Dua orang yang menempati meja dekat jendela itu masih saling diam. Rosie yang memandang keluar jendela memperhatikan keadaan di luar sana, sedangkan Rachel yang menunduk seraya mengaduk minumannya. Mulai tak nyaman dengan keadaan ini, Rachel pun menghembuskan nafas pelan seraya menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia mulai memandang lurus ke arah Rosie yang belum mengatakan alasannya kenapa mengajak bertemu pagi ini juga.“Apa yang anda ingin sampaikan Nyonya Rosie?” tanya Rachel yang sudah tak tahan dengan keadaan saling diam.Helaan nafas Rosie terdengar, masih dengan memandang keluar ia pun menjawab, “Aku penasaran kenapa kamu dan Alva bisa ada di pemakaman itu?” akhirnya Rosie mengatakan maksudnya.Hal yang sudah Rachel duga sebelumnya, dan dugaan itu benar rupanya. Beberapa saat Rachel terdiam, sampai Rosie mulai menoleh ke arahnya karena gadis itu yang tak langsung menjawab.“Kenyataan ini sangat mengejutkan, ha