Sepanjang perjalanan tak ada suara yang dikeluarkan Alva maupun Elena. Hening yang lagi-lagi membuatnya tak nyaman. Elena tahu mungkin ini masih perihal tentang pertemuan Alva dengan ayahnya. Masalah keluarga Alva yang bergitu saja Elena dengar walaupun tak sepenuhnya. Tapi dilihat dari respon dan sikap Alva saat ini, membuat Elena begitu saja berkesimpulan bahwa ini bukanlah masalah yang sederhana. Elena harus menahan dirinya bertanya banyak untuk saat ini, ia tak ingin membuat Alva semakin tertekan.
Mobil yang dikendarai Alva sudah sampai di area basement apartment, Elena segera ikut melepaskan seat belt saat melihat Alva yang sudah siap untuk keluar. Elena mempercepat langkahnya untuk mensejajarkan dirinya dengan Alva tanpa ragu ia meraih tangan Alva lalu menggenggamnya. Alva memperlambat gerak kakinya ketika tangan mereka terpaut, ia menunduk melihat Elena yang begitu saja menggenggamnya. Matanya pun beralih menatap Elena yang berjalan di sampingnya. Elena menoleh seraya tersenyum menetralkan ekspresinya karena detakan jantung beritme cepat ia rasakan. Senyum tipis Alva berikan seraya mempererat genggaman tangan itu mereka berjalan beriringan menuju lift untuk mengantarkan mereka ke lantai dimana tempat tinggal Alva berada.
Elena membukakan pintu apartemen untuk Alva dengan sebelah tangan yang masih Alva genggam erat. Alva mulai masuk mengikuti Elena dari belakang, pintu itu kembali Elena tutup rapat takut ada orang lain yang sembarang masuk. Elena berbalik dan mendapati Alva yang memandangnya, matanya pun melirik tangan yang masih berpaut erat.
“Apa kamu mau mandi air hangat? Biar aku siapkan,” tanya Elena.
“Aku bisa menyiapkannya sendiri,” respon Alva.
“Hari ini belum selesai bukan? aku masih jadi asisten pribadi kamu,” balas Elena berbicara sambil memiringkan kepalanya.
Alva tersenyum miring, ia pun menarik Elena mendekat ke arah sofa. Alva menduduki sandaran sofa dengan Elena yang ada di depannya.
“Kalau begitu bantu aku melepaskan baju ini,” tutur Alva berhasil membelalakan mata Elena. Gelengan Elena berikan.
“Asisten pribadiku kan? Seharusnya kamu siap untuk melakukan hal-hal yang sifatnya pribadi juga,” tutur Alva membuat Elena semakin terbelalak.
“Tapi Va, inikan-“
“Bukannya sejak tadi kamu membantuku berganti pakaian?”
“Ini beda Alva, tadi aku lakukan karena…” Hal ini sungguh membingungkan Elena. “A..aku isi bathtub dulu,” ucap Elena kemudian yang langsung berjalan meninggalkan Alva menghindari sejenak permintaan nyeleneh Alva. Senyum miring kembali terbit di wajah Alva, kegugupan Elena menjadi hiburan baginya. Menghilangkan sejenak tekanan yang sedang ia rasakan.
***
Perona pipi yang sudah Elena tambahkan menjadi tahap akhir ia berhias pagi ini. Pukul tujuh pagi ia sudah siap dengan sweater berwarna khaki yang pas di tubuhnya di padukan dengan celana jeans panjang. Elena membuka pintu kamar hendak membangunkan Alva yang sepertinya belum ia lihat sosoknya sejak tadi. Beberapa langkah Elena tiba-tiba terhenti ketika mendengar samar-sama suara obrolan dari lantai bawah. Perlahan ia pun mengintip dan sungguh terkejut ketika melihat Alva yang sedang berhadapan dengan Rosie. Elena segera memundurkan langkahnya, ia tak ingin Rosie mengetahui dirinya tinggal di sini. Entahlah ia takut Rosie berpikir macam-macam karena memang tak ada yang mengetahui dirinya tinggal di apartemen Alva kecuali Alva dan Mei.
“Syukurlah kamu ada di sini.” Rosie mengedarkan pandangannya. “Mama sempat khawatir kamu pergi begitu saja dan tak pulang ke rumah,” tambah Rosie yang kembali memusatkan pandangannya ke arah Alva yang sedari tadi berdiri seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
Mata Rosie kembali menjelajah area dapur dan meja makan. “Belum ada sarapan, mau Mama siapkan?” Rosie menawarkan diri.
“Bisa to the point? Mau apa mama ke sini?” pertanyaan yang keluar dari mulut Alva cukup mengejutkan Rosie dan cukup menyayat hatinya.
“Mama pikir gak sepantasnya kamu berbicara seperti itu pada Mama.” Rosie menatap tak percaya ke arah Alva yang kini malah memalingkan wajahnya. “Apakah salah mama ingin memastikan kamu baik-baik aja?” masih dengan suara tenang tetapi berbeda dengan matanya, Rosie sudah berkaca-kaca.
“Apakah baru kali ini Mama punya waktu untuk memastikan keadaanku.. baik-baik saja?” pertanyaan berbalik Alva membuat Rosie terdiam, menatap nanar putranya yang juga kini sedang menatapnya dengan tatapan kosong.
***
Terdengar suara pintu tertutup menandakan Rosie sudah pamit pergi. Ini saatnya Elena keluar dari persembunyiannya. Elena menyembulkan kepalanya untuk memastikan bahwa sudah tak ada Rosie di sana. Setelah itu Elena perlahan melangkah ke arah tangga, ia melihat Alva yang berdiri diambang pintu yang mengarah ke balkon. Elena menghembuskan nafas pelan dengan langkah yang mendekat ke arah Alva.
Enggan Elena rasakan ketika ingin menyapa, tapi rupanya Alva berbalik lebih dulu dan tersenyum padanya.
“Selamat pagi,” sapa Alva yang kini menghadapkan tubuhnya ke arah Elena.
“Pagi,” jawab Elena yang juga membalas senyuman manis Alva.
“Mau sarapan apa? Maaf aku belum sempat memasak tadi,” ucap Elena yang sedikit tersinggung atas ucapan Rosie tadi yang memang belum ada apapun di meja makan. Seharusnya ia menyiapkan sarapan untuk Alva sebelum bersiap seperti ini.
“Aku suka apapun yang kamu masak,” tutur Alva yang mampu membuat rona merah di wajah Elena muncul. Gemas Alva rasakan, ingin sekali ia mendekat dan mengecupnya tapi apa daya Alva harus menahan diri untuk saat ini, tapi entah nanti.
“Mau kopi?” tanya Alva bergantian.
“Boleh,” jawab Elena.
Keduanya kini berjalan beriringan menuju dapur dengan Elena yang menyiapkan sarapan dan Alva yang membuat kopi. Nasi goreng menjadi pilihan yang tepat saat ini, mengingat waktu yang Elena punya tak banyak karena harus pergi bekerja.
Perbedaan Elena rasakan, Alva lebih banyak diam sejak kemarin. Rasanya pendiam bukanlah sifat Alva menjadikan Elena penasaran apa sebenarnya masalah yang sedang Alva alami. Untuk menjemput rasa penasarannya Elena menggerakkan tangannya lebih cepat, sepertinya ia bertanya nanti saja ketika mereka memakan sarapannya. Apakah itu ide yang bagus? Tanyanya dalam hati.
Dua gelas kopi dan dua piring nasi goreng telah tersaji di meja makan. Mereka duduk berhadapan dan mulai menyantap sarapan paginya. Anggukan Alva berikan ketika mencicipi nasi goreng buatan Elena. Ia kembali menyuapkannya tak sabar sampai merasa kepanasan padahal Elena sudah memperingati kalau Alva harus meniupnya terlebih dahulu.
Cukup khawatir ketika Elena ingin memulai pembicaraan perihal masalah itu, ia tak ingin mengganggu Alva yang terlihat sangat menikmati sarapan paginya. Elena kembali harus menahan diri menunggu waktu yang tepat untuk bertanya.
20 menit kemudian, piring yang berada di hadapan Alva sudah kosong. Alva begitu lahap sampai tak menyisakan satu butir nasi pun. Elena senang melihatnya karena Alva penerimaan atas sarapan pagi yang ia buat.
“Ada yang ingin aku tanyakan padamu.” Awalan Elena berikan, ini saatnya pikir Elena.
“Perihal masalah keluargaku?” Belum juga memberitahu maksudnya, Alva sudah lebih dulu mengetahuinya. Kepala Elena mengangguk mengiyakan akhirnya.
“Maaf kalau aku jadi ikut campur masalah kamu.” Elena menunduk sebentar dan kembali mengangkat kepala memusatkan perhatiannya pada Alva. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Jeda Alva berikan, ia menyesap kopinya terlebih dahulu setelah itu bersiap untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Elena. Karena kedekatan yang ia rasakan membuat Elena tak lagi perlu berpikir panjang untuk menimbang-nimbang apakah ia harus berbagi cerita atau tidak dengan Elena.
“Selama ini aku hanya mengikuti keinginannya agar bisa menjadi anak yang membanggakan.” Kekehan Alva lakukan setelah mengatakan itu, tapi Elena tahu bahwa Alva merasakan sakit akan hal itu. “Menjadi model bukanlah keinginanku, itu hanya keinginan mereka.” Kalimat yang sepertinya terdengar biasa itu kini ikut menyayat perasaan Elena. Entah kenapa, begitu saja ia juga merasakan apa yang Alva rasakan.
***
Elena mengetukkan jarinya beberapa kali, apa yang diucapkan Alva kembali berputar dipikirannya. Rupanya apa yang ia lihat tak senyaman yang ia pikirkan. Alva begitu pintar menyembunyikan luka dibalik sifat menyebalkannya. Getaran benda pipih yang berada tak jauh dari jangkauannya terdengar, Elena meraih benda itu dan melihat notifikasi yang baru saja ia dapatkan. Keningnya berkerut, melihat sebuah undangan online yang tertera pada layar ponselnya. Elena menghembuskan nafas pelannya, ia menimbang-nimbang apakah perlu menghadirinya atau tidak. “Ada yang sedang mengganggu pikiranmu Elena?” suara Mei yang sangat ia kenal terdengar. Elena langsung menoleh ke sumber suara. Mei berjalan mendekat dan duduk di kursi yang berseberangan dengan kursi yang Elena duduki. Elena tersenyum, ia pun kembali menyimpan ponsel itu pada meja dan mulai memusatkan perhatiannya pada Mei. “Apakah Alva merepotkanmu?” Elena terkekeh lalu menggeleng. “Lalu apa?” Mei masih
Perjalanan yang cukup melelahkan. Alva duduk di sofa ruang tamu seraya memainkan ponselnya. Elena masuk lebih dulu untuk membersihkan diri sedangkan Naura sedang menerima tamu di teras depan. Lelah dengan layar ponsel, Alva pun mengedarkan pandangannya memperhatikan detail ruang tamu yang tertata rapi. Tak begitu banyak dekorasi tapi tetap nyaman dan cantik. Rupanya ada ruang kecil yang tak jauh dari ruangan tersebut. Sebuah mesin Jahit Alva lihat dari arah luar dan sepertinya itu adalah ruang kerja yang selalu dipakai mamanya Elena untuk menjahit. Profesi yang diketahui Alva dari cerita pendek Mei kala itu, ketika Elena belum lama bekerja di butik Mei. “Maaf buat kamu menunggu,” suara itu membuat Alva menoleh. Elena datang dengan pakaian tidurnya yang terlihat nyaman. Sebuah handuk yang melingkar di kepala Elena menarik fokus Alva, rupanya Elena baru saja selesai keramas. “Gak masalah,” jawab Alva seraya memperlihatkan senyum lebarnya. “Mm kamu mau mandi?” t
Elena berjalan keluar rumah, keningnya berkerut ketika melihat Alva yang membukakan pintu mobil untuknya. Tak ada niat untuk dirinya mengajak Alva ke acara reuni sekolah. Tapi kenapa dia sudah siap saja di sana? “Kamu mau berangkat bareng Alva El?” suara mamanya membuat Elena sontak menoleh ke belakang. “Iya tan aku akan menemaninya,” seru Alva dengan cengiran khasnya. Baru saja akan menjawab tapi Alva mendahuluinya. Elena memutar bola matanya malas, bagaimana jadinya kalau ia mengajak Alva. Apa yang harus ia katakan kalau teman-temannya bertanya siapa dia. Elena pun berjalan mendekat ke arah Alva yang begitu percaya dirinya di sana. “Aku mau datang ke acara reuni Va, kamu tunggu saja di sini ya,” kata Elena. “Aku akan menemanimu,” jawab Alva dengan tangan yang mempersilahkan Elena memasuki mobilnya. Malas berdebat, Elena pun hanya menurut saja. Ia masuk dan membiarkan Alva menutup pintu itu untuknya. Kursi kemudi mulai terisi, Alva me
Sudah lima menit Rosie menatap putranya yang sedang duduk santai tak mengeluarkan suara apapun. Saat kedatangannya ke butik Meisie, Rosie langsung meminta Alva untuk mengikutinya menuju butik miliknya. Disinilah mereka sekarang, di ruang kerja Rosie. Namun semenjak bertemu pagi ini, Alva belum juga berbicara padanya bahkan sekedar sapaan hai pun tak ada. Perdebatan dua hari lalu masih membekas sampai sekarang, beberapa hari ini pula Rosie tak mendapatkan Alva berada di rumah. Di tambah kemarin, Alva yang begitu saja pergi meninggalkan pekerjaannya hanya untuk mengantar Elena pulang sungguh membuat Rosie tersulut emosi. Reno sang manager Alva menjadi sasaran kemarahannya kemarin. “Apa kamu tahu kesalahanmu apa?” tanya Rosie akhirnya mengawali pembicaraan. “Meninggalkan pekerjaan tanpa kabar,” jawab Alva tanpa ragu. Namun tak sedikit pun Alva menoleh, ia masih fokus pada benda pipih berwarna hitam yang ada pada genggamannya. “Apa pekerjaanmu kemarin memai
“Mama kenapa gak ada kabarin aku?” tanya Elena pada Naura yang duduk di sampingnya.“Sengaja,” jawab Naura singkat dengan senyuman di akhirnya.Alva yang sedang menyetir melirik Naura dan Elena lewat kaca spion depan. Ketiganya kini berada di perjalanan menuju apartemen yang ditempati Elena alias apartemen milik Alva.Setelah mendapat panggilan dari Naura 30 menit lalu, Elena langsung meluncur di temani Alva menuju stasiun dimana Naura berada. Elena sempat tak enak hati meminta izin pada Mei, namun respon Mei yang tak mempermasalahkan itu membuat Elena lega. Malah Mei meminta Elena untuk mempertemukan Naura dengannya.Elena sempat menolak ketika Alva menawarkan diri untuk menemaninya, namun bukan Alva namanya yang menyerah begitu saja. Ia tak menghiraukan penolakan Elena dan tetap menemani Elena menjemput Naura di stasiun.“Kita mau langsung ke apartemen aja?” tanya Alva yang kembali melirik kaca spion untuk meli
Butik Mei kembali menjadi tujuan Alva. Sesuai apa yang ia katakan tadi bahwa dirinya akan mengantar Elena dan Naura ke apartemen. Pekerjaannya yang belum stabil akibat ulah kemarin menjadikan Alva merecoki keseharian Elena, hal itu menjadi pelarian yang menyenangkan juga pikirnya. Mobil hitam Alva kini sudah kembali terparkir tepat di depan butik Meisie. Ia keluar dari mobil dan melirik dua papan nama yang ada di depan sana. Dua butik yang bersebelahan namun menjual koleksi yang berbeda. Alva memalingkan wajahnya dari toko Rosie, ia pun mulai melangkah menaiki tangga demi tangga yang ada di bagian depan. “Alva,” suara berat menjadikan langkahnya tiba-tiba terhenti. “Apa malam ini kamu bisa menyempatkan waktu untuk pulang?” Alva mulai berbalik ke arah seseorang yang sedang mengajaknya bicara. Matanya menangkap sosok Roy yang sedang berdiri di ambang pintu butik Rosie. Senyum tipis Roy berikan, ia pun melangkah mendekati Alva. Tepukan pelan sampai di pu
Langkah kaki terdengar, Alva mengangkat kepalanya melihat ke arah tangga. Ia tersenyum pada Elena dan Naura yang baru saja menuruni tangga. Alva menyadari pandangan Naura yang tertuju pada hidangan yang sudah ia sediakan di atas meja.“Kamu masak semua ini?” tanya Naura yang begitu tercengang dengan semua makanan yang sudah tersedia di atas meja makan. Anggukan dan ulasan senyum Alva berikan. Ia pun menarik salah satu kursi dan mempersilahkan Naura duduk.“Silahkan menikmati hidangannya tan,” ucap Alva yang mulai ikut bergabung dengan menduduki salah satu kursi makan yang ada di hadapan Elena. Kebetulan Elena duduk tepat di samping Naura.“Ini adalah keahlian lain Alva ma, memasak,” ucap Elena yang lagi-lagi membuat Alva sendiri tertegun. Ia merasa hari ini Elena lebih banyak memberikan pujian dan mengatakan hal-hal baik tentangnya. Diam-diam Alva tersenyum.“Mmmm,” gumaman Naura terdengar, Alva menoleh dan
Kakinya kembali melangkah menuju taman belakang ketika melihat gelagat kedua orang itu akan keluar dari balik pembatas ruangan. Alva langsung mendudukan bokongnya di kursi yang ada di samping Felicia. Untungnya Felicia tak begitu memperhatikan Alva yang kembali dengan terburu-buru, membuat Alva tak perlu mendapat pertanyaan lebih akan hal itu. Tak lama Roy dan Rosie bergabung. Pandangan mereka langsung tertuju pada keberadaan Alva yang kini menoleh ke arah mereka. “Sejak kapan kamu datang?” tanya Rosie yang tersenyum ke arah Alva dan mulai duduk di kursi yang berseberangan dengan Alva. “Belum lama,” jawab Alva dengan ekspresi datarnya. Roy yang masih berdiri pun ikut tersenyum dan mulai bergabung menduduki kursi yang ada di hadapan putrinya. “Terima kasih sudah menyempatkan waktumu untuk datang,” ungkap Roy yang masih tersenyum ke arah putranya. “Papa, seharusnya aku yang mengatakan itu,” seru Felic. Roy terkekeh ia pun mempersilahkan putrinya
“Nunduk sedikit Va.”Alva menunduk mengikuti arahan Andres. Apalagi urusannya dengan Andres kalau bukan perihal pemotretan. Ya, Alva sedang melakukan pemotretan koleksi terbaru butik Meisie yang mengeluarkan rancangan terbaru edisi pria. Mei sendiri yang meminta Alva untuk menjadi modelnya dan Alva tak keberatan karena memang ia masih menjalani karirnya sebagai model. Walaupun profesi ini adalah profesi yang sempat Rosie paksakan padanya tapi seiring berjalannya waktu Alva pun mulai menikmatinya. Profesi ini sudah menjadikan namanya dikenal banyak orang, tak lupa Alva juga sudah berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Rosie karena pernah ada perselisihan di antara mereka. Dengan senang Rosie menerima maaf dan terima kasih itu, dan terjadilah moment haru di antara mereka. Alva tersenyum tipis mengingat semua itu, ia bersyukur kini hubungannya dengan keluarga sudah membaik apalagi dilengkapi dengan seseorang yang sudah ia ikat beberapa bulan lalu.Waktu b
Elena menoleh ke arah samping, dimana Alva yang sedang mengemudikan mobilnya. Ia pun melirik ke bawah, dimana tangannya yang sejak tadi terus saja digenggam oleh Alva. Elena sudah beberapa kali melepaskan genggaman tangan itu karena ia takut Alva tak leluasa mengemudi. Tapi, Alva sendiri yang tak membiarkan itu. Ia kembali menarik tangan Elena ketika genggaman tangan itu terlepas. Ia menyimpan tangan Elena di pangkuannya saat perlu mengemudi dengan dua tangan dan selebihnya ia kembali menggenggam tangan Elena.“Va, lepas dulu ya, biar kamu leluasa,” ucap Elena yang masih membujuk Alva agar tak terus menggenggam tangannya.“Gak apa-apa, masih bisa ko. Tenang aja,” jawabnya yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat Elena membujuknya.“Tapi Va-““Stttt, kamu ngantuk hm? Tidur aja nanti aku bangunin kalau udah sampe.” Alva malah mengalihkan pembicaraan.“Sebentar lagi juga sampe, tangg
Aku tidak akan membiarkanmu terlepas darikuAku akan membuatmu tak sanggup untuk pergiKarena aku membutuhkanmu dan ingin memilikimu seutuhnyaBisakah kamu menyukaiku , bersamalah dengankuKamu bilang tak mau bertemu lagi jika aku masih menahanmu seperti iniJustru dengan ini aku tak akan membiarkanmu pergiSepertinya banyak hal yang aku tak tahu tentangmumenolak karena takut dicampakkan setelah didapatkanApa kamu perlu waktu untuk memikirkan jawabannyaTolong jaga hati kamu untukku selama aku dalam proses meyakinkan kamuAku tak pernah main-main tentang perasaan, yang hanya bisa dirasakan tanpa alasan. Aku menyukaimu bahkan menyayangimu, entah kenapa dan bagaimanaIzinkan aku untuk berjalan bersamamuAkan aku kendalikan apa yang bisa ku kendalikanBerhara
Ini pertama kalinya Elena memasuki ruang kerja Rosie, ia mengagumi ruangan yang didesain sangat cantik dengan perpaduan warna putih dan gold yang memang merupakan tema warna butik Rosie. Namun, hal itu bukan yang menjadi fokusnya saat ini, tetapi tujuan Rosie melibatkan dirinya atas pertemuannya dengan Alva memberikan tanda tanda tanya besar untuknya. Ada apa ini, tidak seperti biasanya.“Jangan khawatir, ada aku disini,” ucap Alva tiba-tiba. Sepertinya ia mengetahui kekhawatiran dari raut wajah Elena.Elena tersenyum tipis, ia menunduk seraya mengulum bibirnya. Sungguh ini menegangkan baginya. Rasa penasaran membuatnya semakin tegang, apa kabar nanti? Elena berharap masih dapat bernafas dengan lancar.Pintu ruangan terbuka. Rosie yang tadi izin keluar sebentar kini sudah kembali. Elena semakin menunduk, rasanya ia segan untuk mengangkat wajahnya. Berbeda dengan Alva yang duduk santai dan terlihat biasa saja.“Maaf menunggu lama,”
Punggungnya terasa pegal, padahal sudah diganjal oleh bantal. Elena mulai membuka matanya, ia menunduk melihat Alva yang begitu pulas dipelukannya. Lengannya yang Alva tindih ingin sekali Elena gerakan tapi takut Alva terbangun. Elena mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam dinding. Pukul dua dini hari, waktu saat ini. Rupanya sudah beberapa jam mereka dalam posisi seperti ini. Sebelumnya Elena meminta Alva untuk tidur di kamar, tapi Alva ingin Elena menemaninya. Karena enggan dan tak enak jika harus berduaan di dalam kamar Elena pun menolak. Bersikukuh tak ingin tidur tanpa Elena, Alva pun mengatur posisi tidur dan hasil akhirnya seperti ini. Elena pikir Alva hanya akan bertahan sebentar saja dengan posisi tidur itu, tapi nyatanya tidak. Ia begitu pulas tidur di lengan Elena dengan tangan yang melingkar di pinggang Elena. Sungguh, Elena merasa memiliki bayi besar.Bagaimana tidak pulas, kalau di lihat-lihat Alva tidur dengan posisi cukup nyaman. Kakinya ia selonjork
Perasaan apa ini? Kenapa begitu sakit? Seharusnya aku tak merasa kecewa, kenapa malah sebaliknya, batin Elena dengan tangan yang terus menggenggam erat pegangan pintu. Emosi yang ia rasakan sedang tak dapat bekerja sama. Tangan Elena menutup pintu dengan kasar, gerakan di luar kendalinya membuat ia sendiri terkejut.Takut ketahuan, Elena pun bergegas menjauhi pintu dan masuk ke kamar mandi. Berharap kedua orang yang ada di luar tak mendengar suara itu. Tenang El, mereka pasti gak denger, batin Elena menenangkan diri sendiri.Elena menghadapkan tubuhnya ke arah cermin wastafel yang ada di kamar mandi. Ia mengusap wajahnya, memejamkan mata sebentar seraya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar.“Kenapa sesakit ini sih liat mereka pelukan.”“Gak boleh El, kamu gak boleh kayak gini. Mereka saudara, tapi kenapa tatapan Rachel…” Elena menggelengkan kepalanya, ia membuang pikiran buruknya terhadap Rachel. Bayangan akan Al
Roy mengusap bahu Rosie beberapa kali, ia mencoba menenangkan Rosie yang tak tenang semenjak penyampaian Alva pada media. Ponselnya berdering sejak tadi, beberapa pesan sempat Rosie terima tak lain mereka menanyakan kebenaran atas apa yang Alva sampaikan dan beberapa lainnya kembali mengulang masa lalu. Hal yang sangat Rosie khawatirkan saat ini, mereka yang tahu kembali mengungkit apa yang telah terjadi. Keterpurukan yang sudah Rosie kubur dalam-dalam dan menggantikannya dengan gemerlap yang merubah segalanya. Sungguh ia tak ingin masa itu kembali datang.Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh. Terlihat Reno yang hanya datang seorang diri tidak bersama seseorang yang ingin mereka temui saat ini.“Mana Alva?” tanya Rosie yang tak melihat keberadaan Alva memasuki ruang tunggu agensi musik itu.“Dia masih di studio, baru bisa ditemui 15 menit lagi. Maaf membuat Tuan dan Nyonya menunggu lama.” Reno menunduk memperlihatkan rasa hormatny
“Ya, aku memiliki hubungan yang cukup dekat dengannya.”“Apa kalian pacaran? Kamu terlihat memasuki rumah Rachel Aditya malam tadi. Apakah itu benar kamu Alva?”Alva tersenyum tipis, ia menunduk sebentar dan kembali memperlihatkan wajahnya pada kamera. “Dia adikku,” jawaban itu mengejutkan semua awak media.“Adik? Bukannya adikmu adalah Felicia?” tanya salah satu reporter yang ada di sana. Alva tak langsung menjawab, ia hanya menampilkan senyumnya di sana membuat semuanya penasaran akan apa yang Alva katakan selanjutnya.“Aku baru mengetahui kenyataan yang cukup mengejutkan.” Apa yang Alva utarakan begitu membuat riuh.“Nyonya Rosie, pemilik Rosie boutique yang cukup terkenal dikalangan para selebriti itu adalah ibumu, bukan begitu?” Alva menoleh pada reporter yang baru saja bertanya dan kembali menampilkan senyum tipisnya di sana.“Ibu kandungku bernama Kalina,&rd
Dua orang yang menempati meja dekat jendela itu masih saling diam. Rosie yang memandang keluar jendela memperhatikan keadaan di luar sana, sedangkan Rachel yang menunduk seraya mengaduk minumannya. Mulai tak nyaman dengan keadaan ini, Rachel pun menghembuskan nafas pelan seraya menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia mulai memandang lurus ke arah Rosie yang belum mengatakan alasannya kenapa mengajak bertemu pagi ini juga.“Apa yang anda ingin sampaikan Nyonya Rosie?” tanya Rachel yang sudah tak tahan dengan keadaan saling diam.Helaan nafas Rosie terdengar, masih dengan memandang keluar ia pun menjawab, “Aku penasaran kenapa kamu dan Alva bisa ada di pemakaman itu?” akhirnya Rosie mengatakan maksudnya.Hal yang sudah Rachel duga sebelumnya, dan dugaan itu benar rupanya. Beberapa saat Rachel terdiam, sampai Rosie mulai menoleh ke arahnya karena gadis itu yang tak langsung menjawab.“Kenyataan ini sangat mengejutkan, ha