Sudah tiga puluh menit berlalu sejak Arta memandangi satu per satu foto Naras yang tertempel di dinding. Selama itu pula ia membuka obrolan dengan membahas masa lalu kebersamaan dirinya dan Naras dulu. Cowok itu sengaja menceritakan kebahagiaan mereka saja. Sesuai permintaan dan pesan Naras di awal.
“Ngga bisa. Ayo kita lanjutin obrolan. Kata kamu mau ngelurusin masalah kita dulu.”
Tindakan Naras membuat Arta menatap wajah gadis itu dengan intens. “Kamu beneran ngga apa-apa?”
“Iya untuk sekarang. Ngga tahu nanti. Tapi setidaknya aku udah memberanikan diri sampai saat ini masih baik-baik aja bukan? Sekalian saja, Danu...” pinta Naras lirih.
Arta tak mengerti maksud Naras. ”Sekalian? Sekalian apa, Ra?”
“Susah jelasinnya. Ceritanya panjang. Intinya, selagi aku masih baik-baik begini aku ingin sekalian mendengarkan segala hal yang ingin kamu sampaikan dan menyelesaikan tentang kita dulu. Tapi aku pesan satu hal sama kamu, Dan. Apapun responku nanti kamu harus melanjutkan pembicaraan sampai selesai. Meski keadaanku memburuk dan benar-benar memohon padamu untuk diam dan berhenti berbicara, tetap lanjutkanlah. Sungguh, aku masih mendengarmu hanya saja bagian dari diriku yang lain tidak menginginkannya. Bicaralah tentang kebahagiaan kita ketika masih bersama terlebih dahulu supaya aku bisa lebih siap mendengarkan. Baru kamu bisa masuk ke inti pembicaraan.”
Ekspresi Arta terkejut ketika mencerna setiap kata yang susah dipahami dari Naras. Tapi cowok itu benar-benar paham apa maksudnya.
“Ara... do you have alter?”
“Waktuku ngga banyak Danu. Simpan pertanyaan ngga penting itu di kepalamu aja. Let’s start this conversation. I hear you.”
Naras mengambil posisi duduk di depan meja CEO setelah menanggalkan jas yang ia pakai di sofa. Sengaja gadis itu lakukan karena ia pikir seburuk apapun nanti keadaannya, obat penenang itu harus dijauhi.
Dan pada akhirnya Arta hanya bisa menuruti apa yang Naras katakan dengan menyimpan sejuta pertanyaan di benaknya. Cowok itu menceritakan kisah bahagia mereka yang selalu utuh di memori otaknya tanpa pernah tercecer atau luput. Mereka saling mendengar dan berbicara tanpa saling menatap karena Arta memilih untuk berbincang sembari mengamati sisi dinding yang penuh dengan foto Naras. Sesekali Naras menanggapinya dengan dengusan, protes, ataupun elakan. Tapi sesekali juga gadis itu menambahkan cerita ataupun memberi senyum mengenang.
Tak terasa ringkasan cerita bahagia mereka sudah sampai di penghujung, lagi pula foto-foto tentang Naras juga sudah selesai diamati seluruhnya oleh Arta. Sayang, penghujung kisah yang ingin dicipta bahagia oleh keduanya berujung duka.
“Kamu tahu Ra apa yang kurang dari semua foto yang ada di sini? Ya, foto wisuda kita. Kalau bisa kembali ke masa lalu, aku ingin mengulang saat-saat kita wisuda dan mengambil foto kamu. Juga memelukmu erat, alih-alih memperlaku-“
“Tapi aku ngga mau Danu! Justru aku ingin menghapus masa itu dan jika diijinkan kembali ke masa lalu aku memilih untuk tidak bertemu denganmu!”
Penolakan Naras yang disuarakan dengan tegas itu membuat perasaan Arta hancur. Meski begitu, Arta tetap menampilkan senyumannya untuk Naras. Perlahan, cowok itu berbalik dan berjalan menuju kursi CEO. Di sana ia duduk berhadapan dengan Naras yang menatapnya datar.
“Apa kamu tidak bahagia ketika bersamaku dulu, Ra?”
“Nggak!”
Bohong.
Ucapan dan sorot mata Naras sangat kontras hingga mudah saja di baca oleh Arta.
“Kamu seriusan dengan semua kata-kata kamu tadi?”
“Iyalah!”
Bohong. Lagi.
“Hm. Gitu ya.”
Ruangan itu hening beberapa saat. Hanya terdengar deru nafas dari keduanya yang saling menatap dengan pandangan yang berbeda. Seperti saling berbicara dalam diam.
“Rasanya aku ingin memelukmu, Ra...”
“Jangan!” tolak Naras dengan tegas.
“Kenapa?”
“Kamu sudah milik orang lain, Danu!”
Sontak saja Arta tertawa sendu mendengar ucapan dari Naras. Sambil menebak-nebak kesiapan Naras, cowok itu akhirnya memustuskan untuk masuk ke pembicaraan serius.
“Milik orang lain, siapa Ra? Amanda?”
Nama cewek itu.
Baru disebut namanya saja sudah membuat hati Naras berdenyut nyeri. Apalagi membayangkan Arta sedang bersama cewek itu. Hal itu membuat Naras tidak bisa menjawab petanyaan retoris dari Arta. Gadis itu hanya menatap Arta dengan terluka. Sedangkan cowok itu melanjutkan kalimatnya dengan nada sedih.
“Nggak, Ra. Aku bukan milik Amanda...”
“Bohong! Jelas-jelas hari itu... ha-ri i-tu, ka-mu...”
Naras benar-benar tak sanggup lagi meneruskan ucapannya. Dengan nafas yang tercekat, ia berusaha untuk tenang dengan mengambil nafas tiga kali. Kemudian ia menaruh kedua tangannya di bahu dalam posisi menyilang seperti memeluk dirinya sendiri. Tak lupa ia memejamkan matanya sambil terus menangambil nafas dalam. Naras melakukan teknik butterfly hug yang umumnya cukup ampuh untuk healing ketika panik. Benar saja, tak lama kemudian ia bisa kembali tenang meski hatinya masih diliputi kegelisahan.
Arta yang melihat Naras kehilangan kendali lagi merasa khawatir, namun bagaimanapun ia harus menyelesaikan pembicaraan ini. Ia harus menyampaikan fakta dan alasan yang ia sembunyikan selama ini. Maka dari itu ia memutuskan untuk terus berbicara tanpa mendengar tanggapan dari Naras.
“Maaf Ra. Aku bener-bener minta maaf buat hari itu. Ngga seharusnya aku berlebihan bersikap dan berkata buruk padamu, jujur rasanya nyesel banget dan kecewa sama diriku sendiri. Namun, aku punya alasan kuat, Ra. Dan aku sudah berusaha memberi tahu ke kamu sedari enam tahun yang lalu sampai sekarang. Lewat email. Apa kamu pernah membukanya sekali saja, Ra?”
Pertanyaan di kalimat terakhir Arta membuat Naras membeku. Email-email itu ternyata benar dikirim untuknya, bukan hanya sekadar ilusi saja. Sayangnya, Arta mengirimnya di waktu yang salah saat Naras sedang dalam kondisi kacau dan dalam perawatan Mam Dara. Jadi, dulu ketika ia membaca habis email dari Arta, ada bagian dirinya yang memberontak kuat menolak isinya sehingga antara sadar dan tidak email itu selalu ia hapus dan tidak dianggap ada sampai ia berganti alamat email. Sekarang, Naras berusaha keras mengingat kembali kilas balik isi email itu. Tapi kepalanya tiba-tiba malah terasa nyeri.
“Email? A-aku lupa... shh,” ucap Naras sambil meringis kesakitan.
“Sudah aku duga. Kamu ngga buka, kan? Tapi kamu pasti tahu kalau aku pernah mengirim email...”
Arta menatap Naras dengan sorot sedih dan kecewa.
“Bu-bukan gitu, Dan. Saat itu...”
“Saat itu kenapa, Ara?!” Arta memotong kalimat Naras dengan nada tinggi. Cowok itu sepertinya terbawa emosi.
“Kenapa, sih, Ra. Di sini yang paling salah emang aku. Tapi aku juga menderita ngga cuma kamu doang. Kalau boleh memilih aku juga ngga mau kita jadi begini, Ra. Aku menyesal, Ra. Sungguh-sungguh menyesal. Dan aku ngga sekadar ngomong doang. Bertahun-tahun aku selalu berusaha untuk minta maaf sama kamu, tapi kamu ngga mau sekalipun kasih aku kesempatan dan menghargai perjuanganku. Why?”
Naras yang terjebak antara bingung dan paham dengan perkataan Arta mencoba menebak-nebak arah pembicaraan cowok itu.
“Kenapa? Justru harusnya aku yang tanya ke kamu dong, Dan. Kok malah kamu yang tanya hal itu ke aku... kamu sama sekali ngga tahu apa-apa tentangku...”
“Tahu! Aku tahu kamu! Kamu yang susah ditemui, kamu yang sibuk dengan kariermu, kamu yang baik-baik saja dan terlihat bahagia tanpaku! Aku tahu, Ra! Dan aku suka bertanya-tanya kenapa, Ra? Kenapa kamu bisa terlihat seperti itu? Jadi, selama ini apa hanya aku yang menderita? Padahal...”
“Danu, please, kamu cuma tahu ‘luar’ nya aku...”
Tanpa menghiraukan jawaban Naras, Arta tetap melanjutkan kalimatnya.
“Padahal selama ini, aku sudah merasa sangat bersalah padamu. Tapi kamu terlihat baik-baik saja, ternyata. Andai kamu tahu, Ra. Setelah hari itu, aku menangis untuk pertama kalinya dalam hidupku ketika sadar bodohnya aku melepas sesosok wanita baik sepertimu denga cara yang begitu buruk. Namun aku ngga punya pilihan lain selain harus melakukannya.”
“A-apa, maksudmu, Dan?”
“Agar kamu bisa meraih impianmu menjadi seorang psikolog terkenal seperti saat ini...”
“Tunggu. Dan! A-aku ngga ngerti...”
“Terpaksa aku harus mengikuti aturan Ayah agar bertunangan dengan Amanda dan kuliah di Amerika...”
“Hah?”
“Dengan begitu kamu bisa mewujudkan impianmu. Kupikir seiringnya waktu kita bisa kembali bersama dan saling memahami posisi sulit masing-masing waktu SMA dulu. Kamu bisa memaafkan aku karena keterpaksaanku melakukan hal buruk padamu. Dan ketika aku sudah benar-benar bisa berdiri di atas kakiku sendiri, aku pun kembali menjemputmu. Tepat saat masing-masing dari kita sudah lulus kuliah sarjana. Namun, kamu malah... gantian pergi.”
Tak terima dirinya merasa dipersalahkan, Naras menggebrak meja dan menunjuk Arta tepat di depan wajahnya.
“Kamu! Ngga bisa nyalahin aku gitu aja dengan kepergianku, Dan...”
“Siapa yang menyalahkan? Aku berbicara fakta, Ra. Kamu pergi ketika aku berusaha datang tanpa memberiku kesempatan sama sekali walau hanya sekadar menyapamu. Itu faktanya, bukan?”
“Nggak! Kamu ngga ngerti apa-apa!”
Teriakan Naras bergema kembali. Kali ini gadis itu kembali duduk sambil terdiam memejamkan matanya. Rasa sakit di kepala dan hatinya semakin terasa.
“Ngga ngerti, gimana, Ra? Apa yang ngga aku ngertiin lagi, sih? Kamu pergi melanjutkan sekolahmu sampai sukses berkarier tanpa pernah memikirkan aku. Padahal aku yang berkorban banyak supaya kamu bisa sukses, Ra! Tapi kamu ngga pernah tahu!”
“A-apa?”
Sambil menatap nanar Arta, Naras mengingat-ingat kembali dugaan lamanya dulu tentang hal-hal ganjil semasa kuliah sarjananya di Indonesia. Di saat itu ada satu dugaan yang sangat Naras sangkal dan tidak mungkin terjadi. Namun ternyata dugaan itulah yang paling benar. Arta adalah jawaban dari pertanyaan mengapa ia bisa selancar itu menjalani hidup dan kuliah tanpa ada sedikit pun hambatan, padahal waktu itu keadaan sangat sulit.
“Waktu itu aku membuat perjanjian dengan Ayah supaya kamu bisa kuliah dan hidup dengan terjamin di Indonesia. Syaratnya aku harus bertunangan dengan teman Ayah dan kuliah di luar negeri agar kelak bisa meneruskan perusahaan. Aku setuju karena ini demi kamu. Toh pada akhirnya Ayah juga menepati janjinya padaku. Aku seneng banget rasanya ngelihat kamu bisa lulus sarjana psikologi sesuai rencanamu.”
“Harusnya! Kamu ngga perlu...”
“Hingga aku benar-benar menjadi pemimpin perusahaan dan bisa kembali padamu. Dengan seluruh penyesalanku, aku datang menemuimu saat kamu lulus sarjana. Ingin sekali aku mengakui semua kesalahanku. Mengatakan padamu kalau semua kata dan sikap burukku hanya kebohongan saja. Bahkan perihal tunangan dengan Amanda juga hanya rekayasa. Itu semua aku lakukan karena ingin kamu bahagia meraih impianmu. Aku ngga mau kamu mengorbankan semua mimpi dan berakhir dengan hidup bersamaku yang waktu itu ngga bisa apa-apa...”
“Siapa juga yang nyuruh kamu ngelakuin semua itu, Dan? Itu salah kamu sendiri...”
“Kan! Lagi-lagi aku yang salah! Bahkan meski aku sudah menjelaskan dan meminta maaf padamu, kamu ngga bisa menghargai usahaku, Ra!”
Tubuh Naras membeku, suara nada tinggi Arta terproses di dalam otaknya sebagai pengingat memori buruk ketika mereka lulus SMA dulu. Dua kali ia menerima perlakuan yang sama dari Arta. Seperti kaset yang rusak, gambaran kejadian di masa-masa ia terpuruk terputar dengan cepat hingga tak beraturan lagi mana yang nyata dan ilusi pikiran semata. Naras merasa sudah tak kuat lagi.
“Kamu pikir! Aku minta kamu melakukan semua hal itu? Nggak! Kamu pikir aku bahagia dengan pengorbananmu? Nggak! Buat apa? Aku justru menderita! Lebih menderita daripada yang kamu alami! Kamu dan dunia ngga pernah tahu apapun yang terjadi sama aku! Malam-malam panjang penuh tangisan, pemikiran ingin bunuh diri, obat penenang, terapi... sungguh kamu... ngga pernah tahu kan kalau aku se-menderita itu?!”
Arta tertegun di tempatnya. Ia sama sekali tak pernah menyangka Naras melalui penderitaan seperti itu.
“Ra... maaf, aku ngga tahu...”
“Diem! Aku ngga mau ndengerin kamu bicara lagi!” teriak Naras sambil menutup kedua telinganya.
Meski Naras menyuruhnya untuk diam, Arta tetap melanjutkan kalimatnya. Sesuai dengan permintaan gadis itu.
“Aku ngga tahu kalau kamu lebih menderita selama ini. Kamu ngga pernah bilang...”
“Please, bisa diem ngga sih! Hiks, aku ngga tahan...”
Saat ini pikiran Naras kalut. Tubuhnya mulai mengalami tremor dan ia merasa kepala dan dadanya berdenyut nyeri. Tinggal menunggu waktu saja sebelum bom waktu yang ada di dalam memorinya meledak.
“Kalau saja aku tahu keputusanku malah membuatmu menderita, aku ngga bakal melakukan hal itu... maaf, Ra. Aku nyesel banget. Padahal aku melakukan semuanya buat kamu, karena aku cinta sama kamu, Ara. Dari dulu sampai sekarang... makanya aku ingin yang terbaik buat kamu.”
“Omong kosong! Se-semua yang ka-kamu katakan ngga guna! Kamu brengsek Danu! Aku benci kamu!”
Bruk! Tubuh Naras terjatuh dari tempatnya duduk. Bersamaan itu, Arta menghampirinya. Sayang, Naras sudah telanjur tak sadarkan diri.
Duar!
Bom waktu yang tersimpan di dalam memori Naras akhirnya meledak oleh kalimat yang sudah ia tunggu selama bertahun-tahun. Memisahkan jiwa dengan raga yang tak bisa lagi kompromi dengan keadaan. Jiwa ingin mengingkari karena telanjur benci sedangkan raga menerima dengan senang hati.
“Makanya, aku minta maaf, Ra. Loh... Ara?! Ra? Kamu kenapa, Ra!”
Suara Arta hanya terdengar sayup-sayup sebelum akhirnya Naras hanya merasakan kegelapan.
Terimakasih telah membaca cerita Evanescent.
Tirai putih bercorak batik mega mendung yang menemaninya selama ini tersibak lembut ditiup angin musim panas, seperti memberinya salam perpisahan. Seolah tirai itu tahu dirinya akan pergi jauh. Jari-jari lentiknya menyentuh kaca jendela yang memperlihatkan pemandangan indah kota London. Pandangannya menerawang jauh. Tujuh tahun hidupnya di London penuh dengan perjuangan dan sekarang ia harus meninggalkan kota yang penuh kenangan ini. Gadis itu tersenyum pilu.“Dear, are you ready? Sudah waktunya...”Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu. Ia membawa sebuah map berisikan catatan konseling atas nama 'Narasya Zhalea'. Merasa tidak ada jawaban dari gadis yang dipanggilnya, wanita itu berjalan mendekat hingga berdiri di samping si gadis.“Apa yang kamu pikirkan sekarang?” tanya wanita itu.“Aku... ingin tetap berada di sini, Mam,” sahut si gadis tanpa mengalihkan pandangannya yang menatap keluar jendela.Wa
Sinar jingga menyorot sebuah cangkir putih yang isinya telah tandas diminum. Menandakan matahari akan tiba di peraduannya, tergantikan oleh sang malam. Dua orang sahabat yang sedari tadi asyik bercakap kini sama-sama saling bungkam. Bukan karena kehabisan topik pembicaraan. Namun, keduanya larut akan keindahan pemandangan senja yang terlihat di kejuhan sana.“Jadi, kamu bakalan menetap di Indonesia ya? Dimana kamu mau melamar kerja?” pertanyaan Livya mengawali percakapan lagi.“Seriously kamu nanyain ke aku tentang lamaran kerja?” ujar Naras sambil tertawa sombong.“Ck, iya deh. Seorang Narasya Zhalea sang konsultan psikolog terkenal dunia ngga kenal apa itu susahnya melamar kerja. Aku ganti pertanyaannya kalau gitu, dimana kamu direkrut kerja ibu konsultan?” Livya bertanya ulang dengan nada kesal.“Sebenarnya aku punya rencana mau buat klinik sendiri Liv, tapi itu semua butuh waktu dan proses yang ngga sebentar.
Naras berusaha untuk mengabaikan suara yang terus memanggilnya. Ia terus saja berlari hingga sampai di jalan depan restoran. Saat ini ia sungguh-sungguh ketakutan. Sedaritadi tubuhnya mengalami tremor hebat. Bahkan gadis itu mulai kesusahan bernafas.“Ara... tunggu! Kamu mau kemana?”“Ra!”“Berhenti, Ra!”Ngga. Aku ngga boleh berhenti. Ini cuma halusinasiku aja. Dia ngga nyata. Tenang pokoknya harus tetap tenang. Aku harus segera pergi dari sini. Pikiran Naras benar-benar kacau saat ini.Untung saja letak restoran ini berada di daerah yang cukup ramai dan ada banyak taksi lewat. Dengan segera, Naras menghentikan sebuah taksi dan masuk ke dalamnya.Tok. Tok. Tok.“Ara, please, turun ya? Aku mau ngomong banyak sama kamu,” ucap Arta dari luar.“Pak ayo langsung jalan aja!” pinta Naras dengan nada ketakutan.Pak sopir yang sedikit memahami situasi
Apa yang harus aku lakukan?Aku tidak siap menghadapi situasi ini.Ya Allah, bolehkah aku kabur lagi kali ini?Dengan cepat, Naras berbalik dan berlari menuju pintu. Yang ada di pikirannya hanyalah ia harus segera keluar dari ruangan ini. Namun, ketika tangannya baru saja meraih gagang pintu, tiba-tiba dari belakang seseorang menahan pintu itu supaya tidak terbuka.BRAKK!Tubuh Naras menegang ketika menyadari siapa yang ada di belakangnya. Jarak mereka begitu dekat hingga gadis itu kesusahan untuk bergerak. Bulu kuduknya merinding ketika ada sebuah suara berbisik di dekat telinganya.“Maaf, Ara. Kali ini aku tak bisa menahan diri untuk tidak membiarkanmu melarikan diri lagi. Banyak hal yang harus kita bahas kali ini,” ujar Arta dengan lembut, tapi terdengar memuakkan di telinga Naras.Perlahan, tangan Arta mengunci pintu dengan sidik jarinya dan berbalik duduk