Aku tidak siap menghadapi situasi ini.
Ya Allah, bolehkah aku kabur lagi kali ini?
Dengan cepat, Naras berbalik dan berlari menuju pintu. Yang ada di pikirannya hanyalah ia harus segera keluar dari ruangan ini. Namun, ketika tangannya baru saja meraih gagang pintu, tiba-tiba dari belakang seseorang menahan pintu itu supaya tidak terbuka.
BRAKK!
Tubuh Naras menegang ketika menyadari siapa yang ada di belakangnya. Jarak mereka begitu dekat hingga gadis itu kesusahan untuk bergerak. Bulu kuduknya merinding ketika ada sebuah suara berbisik di dekat telinganya.
“Maaf, Ara. Kali ini aku tak bisa menahan diri untuk tidak membiarkanmu melarikan diri lagi. Banyak hal yang harus kita bahas kali ini,” ujar Arta dengan lembut, tapi terdengar memuakkan di telinga Naras.
Perlahan, tangan Arta mengunci pintu dengan sidik jarinya dan berbalik duduk di kursi kebesaran miliknya. Dengan santai ia membuka berkas-berkas milik Naras dan bergumam tentang beberapa hal. Sedangkan Naras sendiri terduduk di lantai tak kuat menahan tremor hebat yang mendera dirinya.
Tahan Narasya!
Atur nafasmu!
Kamu harus tenang!
“Ya Rabb, aku harus bagaimana, aku sama sekali belum siap...” gumam Naras lirih.
Terdengar suara langkah kembali mendekat.
“Apa kamu mau di situ terus, Ra? Ayo duduk di kursi. Banyak hal yang harus kita bicarakan,” ucap Arta sambil mengulurkan tangan bermaksud membantu Naras untuk berdiri.
Dengan sisa keberaniannya, Naras berdiri dan berjalan perlahan di kursi. Ia tak menghiraukan uluran tangan dari Arta. Terlihat seluruh tubuhnya bergetar hebat dan raut wajah gadis itu memucat. Melihat hal itu, Arta langsung mengambil segelas air dan menanyakan keadaan Naras.
“Hei, Ara sakit? Minum dulu deh biar seger,” pinta Arta dengan wajah khawatir.
Tak menolak tawaran dari Arta, tangan Naras segera meraih gelas itu dan meneguk air di dalamnya dengan sebutir obat penenang yang sekarang selalu ia bawa di sakunya. Gadis itu menarik nafas dalam sambil memejamkan matanya. Berusaha mencari ketenangan dan bersiap untuk bicara.
“Kamu sakit apa kok sampai minum obat dan dibawa kemana-mana gitu?” tanya Arta penasaran.
“I-itu cuma vitamin...”
Bukan, itu obat penenang bodoh!
Batin Naras bergejolak ketika apa yang ia ucapkan dan yang ada di pikirannya tidak sinkron. Namun, saat ini ia sudah jauh lebih tenang. Obat itu sudah bereaksi. Untungnya ia membawa obat yang tidak ada efek mengantuknya, jadi ia hanya merasa lemas setelah meminum obat itu. Setidaknya ia yakin bisa bertahan.
Arta menelesik wajah Naras yang gugup. Memastikan kebenaran yang diucapkan gadis itu.
“Ngga mungkin vitamin sebesar itu. Ara jujur deh kamu sakit apa?” tanya Arta lagi.
“Beneran, itu vitamin. Setiap pagi biasanya aku minum, tapi karena tadi keburu-buru jadi baru sempet minum sekarang,” jelas Naras beralibi.
“Padahal kalau sakit kamu boleh pulang aja, ngobrol bisa lain kali,” ucap Arta.
Haishh.
Tahu begitu kenapa aku ngga bilang sakit aja sih.
Ngga! Udah sampai sini aku harus menghadapi Danu.
Aku yakin siap, Naras, ngga boleh lari lagi.
Dalam hati Naras terus merutuki langkah yang ia ambil. Entah salah atau benar ia harus menghadapinya.
“Btw, kontrak kerja dan data tentang kamu sudah aku terima. Kamu bisa langsung kerja besok. Mohon kerjasamanya, Narasya Zhalea,” ujar Arta profesional sambil mengulurkan tangan bermaksud mengajak Naras berjabat tangan.
Sebenarnya Naras enggan menyambut tangan yang pernah melepaskannya itu. Tapi demi menjaga image dan profesionalitasnya, ia menjabat tangan Arta dengan singkat dan cepat. Saat itulah ia merasakan sengatan yang begitu menyakitkan di hatinya. Namun karena sudah terlatih, ia bisa menyembunyikan apa yang ia rasakan dengan tersenyum.
“Terimakasih Bapak Danuarta Bagaskara. Suatu kehormatan bisa bekerja dengan Bapak. Kalau begitu urusan saya di sini sudah selesai, izinkan saya untuk keluar,” pinta Naras dengan tenang.
Arta memberikan senyum manis yang terlihat menakutkan di mata Naras.
“Nah, karena urusan pekerjaan sudah selesai, mari kita ngobrol seperti dulu, Ra.”
Bukannya menanggapi permintaan Naras, cowok itu malah bangkit dari duduknya dan berjalan santai menuju satu sisi dinding yang berisi foto-foto perempuan.
Siapa perempuan yang ada di foto-foto itu? Apakah... perempuan itu?
“Mau ngobrolin apa lagi sih, Dan?” tanya Naras enggan.
Naras belum sempat melihat sisi dinding itu tadi. Dari tempatnya duduk, ia mengamati gerak-gerik Arta sekaligus foto yang sedang cowok itu amati. Setelah beberapa saat, ia baru sadar kalau semua foto itu familiar di ingatannya. Bagaimana tidak? Perempuan yang ada di semua foto itu adalah dirinya sendiri. Tentu saja Naras terkejut dan tidak bisa berkata-kata. Situasi ini terlalu membingungkan untuknya.
“Pesantren kita sekarang gimana ya, Ra? Sudah lama aku ngga ke sana. Besok mau nemenin aku ke sana? Sekalian nostalgia gitu,” ajak Arta yang tidak ditanggapi sedikitpun oleh Naras.
“Lihat, Ra. Ini foto candid yang aku ambil pas kamu tidur di kelas dulu, lucu ya?” kenang Arta yang kali ini ditanggapi Naras dengan dengusan.
“Ngomongin basa-basi ngga ada faedahnya,” ujar Naras sarkas.
“Dulu kita sering tuh ngobrolin hal-hal yang ngga penting. Nyatanya hal itu buat aku sama kamu bahagia,” sahut Arta.
Bullshit!
Umpatan itu hanya bisa Naras suarakan dalam hatinya mengingat posisinya sekarang yang menjadi bawahan Arta.
“Dulu ya dulu, Dan. Kamu hidup di masa sekarang, kenapa harus membahas hal yang udah berlalu sih?” tanggap Naras dengan malas.
“Karena tujuanku memang ingin membahas masa lalu kita, Ara.”
Pernyataan Arta membuat hati Naras tak tenang.
“Aku mau pulang.”
Pengulangan kata dari Naras itu membuat Arta membalikkan badannya. Cowok itu berjalan ke arah Naras dan berhenti tepat di samping gadis itu. Dengan mudah, Arta memutar kursi yang diduduki Naras hingga menghadap dirinya. Sedangkan Naras sendiri langsung memalingkan wajahnya. Gadis itu enggan menatap sorot mata yang ia rindukan.
“Kamu kenapa sih, Ra kok kayak menghindar dari aku? Aku cuma mau kita ngobrol seperti dulu, sesusah itu kah buatmu? Kita juga udah lama ngga ketemu, apa kamu ngga kangen sama aku?”
Pertanyaan bertubi-tubi dari Arta sontak membuat Naras menatap cowok itu dengan sorot terluka.
“Tahu apa kamu tentang yang terjadi sama aku selama ini sehingga dengan mudahnya bertanya perihal rindu ke aku?!” ujar Naras dengan suara tercekat.
Gadis itu sudah tak tahan lagi menahan beban yang selama ini ia simpan. Air matanya luruh bersamaan dengan luka masa lalunya yang perlahan mulai terbuka kembali.
“Kamu dan seluruh dunia ngga akan pernah ngerti apa-apa, Dan. Deritaku, lukaku, dukaku. Tahu apa kamu, huh?!”
Tiba-tiba tanpa Naras duga, Arta berlutut dan menaruh kepalanya di pangkuan Naras. Seketika semua pikiran dan tubuh gadis itu membeku.
“Maaf, Ara... maaf. Danu minta maaf,” ucap Arta dengan nada penuh penyesalan.
Karena syok, Naras langsung mendorong Arta dan berdiri dari tempat duduknya. “Ja-jangan begini, a-aku ngga mau...”
Berjabat tangan dengan cowok itu saja cukup membuat Naras merasakan sakit apalagi bersentuhan fisik lainnya. Akhirnya, Arta mengubah posisinya hingga sekarang kembali berhadapan dengan Naras.
“Maaf, Ra. Aku emang ngga tahu kamu selama ini menderita. Tapi kamu ngga sendirian. Aku juga ngerasain hal yang sama seperti kamu.”
Tanpa mendengar tanggapan dari Naras, Arta melanjutkan kalimatnya.
“Aku terlalu berlebihan ya? Habisnya aku ngga tahu harus gimana lagi supaya kamu maafin aku dan mau bicara sama aku, Ra,” Arta berusaha meraih tangan Naras.
Namun, dengan sigap Naras menghempaskan tangan Arta dan memberanikan diri untuk menatap cowok itu. Sorotnya penuh dengan kebencian. “Maaf? Setelah semua yang kamu lakukan membuatku sakit, aku maafin kamu? Ngga akan pernah, Dan!”
“Aku tahu, Ra. Ngga sepantasnya aku minta maaf ke kamu. Tapi aku kan udah bilang, aku juga menderita selama ini. Dan aku harus ngelakuin ini semua buat ngelurusin semua hal yang ada di antara kita,” pinta Arta dengan sendu.
“A-apa maksudmu ngelakuin ini semua? Oh, jadi semua ini udah direncanain ya, biar aku bisa ketemu terus berhubungan lagi sama kamu, iya?!”
Teriakan Naras bergema hingga ke sudut ruangan. Arta diam saja karena hal itu memang fakta. Pertemuan mereka adalah rencana yang ia buat sejak lama. Kemarahan Naras terlontar susul menyusul.
“Lagian mau ngelurusin apa lagi, sih? Bukankah udah jelas hari itu kamu mutusin buat pergi setelah memperlakukanku dengan buruk?”
“Kamu juga menderita? Ngga salah denger, Dan? Bukankah kamu udah bahagia sama cewek itu?!”
“Justru aku yang paling menderita di sini, Dan! Kamu ngga tau gimana perjuanganku melawan semua rasa sakit yang kamu beri! Kamu ngga bakalan tahu!”
Naras merasa dalam dirinya ada gejolak yang berbeda dari sebelumnya. Biasanya ia hanya merasakan sesak atau tremor saja. Namun kali ini ia juga merasa dada serta kepalanya berdenyut sakit. Namun, sebisa mungkin ia tahan.
“Kamu diem aja ngga bisa jawab kan, Dan! Jawab dong! Tadi siapa yang mau ngajak ngobrol?!”
Pikiran Naras kosong ketika Arta tiba-tiba memeluknya. Tubuhnya seakan membatu di tempat. Ia tak punya daya untuk berontak ataupun membalas. Yang bisa gadis itu lakukan adalah diam.
“Aku ngga diem, Ara. Hanya menunggumu selesai meluapkan segala emosi tentangku. Supaya hatimu menjadi sedikit lega dan beban yang kamu simpan terkeluarkan.”
Lagi-lagi pikiran Naras dibuat ngeblank atas tindakan Arta. Cowok itu menghapus derai air mata yang sedari tadi membasahi pipi Naras.
Melihat kekalutan yang dihadapi Naras, Arta menjadi tak tega. “Kalau kamu ngga mau dan ngga siap buat ngobrol sama aku sekarang ngga apa-apa, Ra. Kelihatannya kamu baru ngga baik-baik aja, mending kamu pulang terus istirahat ya cantik,” putus Arta pada akhirnya sambil beranjak ke pintu untuk membukakannya.
Sebelum sempat pintu itu terbuka, dari arah belakang Arta ada tangan yang menarik lengan bajunya. Ternyata Naras sudah menyusul langkah Arta.
Dengan penuh kepasrahan, Naras akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan. Ia tak suka dengan urusan yang sudah telanjur dimulai tidak ia selesaikan.
“Ngga bisa. Ayo kita lanjutin obrolan. Kata kamu mau ngelurusin tentang kita dulu.”
Sudah tiga puluh menit berlalu sejak Arta memandangi satu per satu foto Naras yang tertempel di dinding. Selama itu pula ia membuka obrolan dengan membahas masa lalu kebersamaan dirinya dan Naras dulu. Cowok itu sengaja menceritakan kebahagiaan mereka saja. Sesuai permintaan dan pesan Naras di awal. “Ngga bisa. Ayo kita lanjutin obrolan. Kata kamu mau ngelurusin masalah kita dulu.” Tindakan Naras membuat Arta menatap wajah gadis itu dengan intens. “Kamu beneran ngga apa-apa?” “Iya untuk sekarang. Ngga tahu nanti. Tapi setidaknya aku udah memberanikan diri sampai saat ini masih baik-baik aja bukan? Sekalian saja, Danu...” pinta Naras lirih. Arta tak mengerti maksud Naras. ”Sekalian? Sekalian apa, Ra?” “Susah jelasinnya. Ceritanya panjang. Intinya, selagi aku masih baik-baik begini aku ingin sekalian mendengarkan segala hal yang ingin kamu sampaikan dan menyelesaikan tentang kita dulu. Tapi aku pesan satu
Tirai putih bercorak batik mega mendung yang menemaninya selama ini tersibak lembut ditiup angin musim panas, seperti memberinya salam perpisahan. Seolah tirai itu tahu dirinya akan pergi jauh. Jari-jari lentiknya menyentuh kaca jendela yang memperlihatkan pemandangan indah kota London. Pandangannya menerawang jauh. Tujuh tahun hidupnya di London penuh dengan perjuangan dan sekarang ia harus meninggalkan kota yang penuh kenangan ini. Gadis itu tersenyum pilu.“Dear, are you ready? Sudah waktunya...”Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu. Ia membawa sebuah map berisikan catatan konseling atas nama 'Narasya Zhalea'. Merasa tidak ada jawaban dari gadis yang dipanggilnya, wanita itu berjalan mendekat hingga berdiri di samping si gadis.“Apa yang kamu pikirkan sekarang?” tanya wanita itu.“Aku... ingin tetap berada di sini, Mam,” sahut si gadis tanpa mengalihkan pandangannya yang menatap keluar jendela.Wa
Sinar jingga menyorot sebuah cangkir putih yang isinya telah tandas diminum. Menandakan matahari akan tiba di peraduannya, tergantikan oleh sang malam. Dua orang sahabat yang sedari tadi asyik bercakap kini sama-sama saling bungkam. Bukan karena kehabisan topik pembicaraan. Namun, keduanya larut akan keindahan pemandangan senja yang terlihat di kejuhan sana.“Jadi, kamu bakalan menetap di Indonesia ya? Dimana kamu mau melamar kerja?” pertanyaan Livya mengawali percakapan lagi.“Seriously kamu nanyain ke aku tentang lamaran kerja?” ujar Naras sambil tertawa sombong.“Ck, iya deh. Seorang Narasya Zhalea sang konsultan psikolog terkenal dunia ngga kenal apa itu susahnya melamar kerja. Aku ganti pertanyaannya kalau gitu, dimana kamu direkrut kerja ibu konsultan?” Livya bertanya ulang dengan nada kesal.“Sebenarnya aku punya rencana mau buat klinik sendiri Liv, tapi itu semua butuh waktu dan proses yang ngga sebentar.
Naras berusaha untuk mengabaikan suara yang terus memanggilnya. Ia terus saja berlari hingga sampai di jalan depan restoran. Saat ini ia sungguh-sungguh ketakutan. Sedaritadi tubuhnya mengalami tremor hebat. Bahkan gadis itu mulai kesusahan bernafas.“Ara... tunggu! Kamu mau kemana?”“Ra!”“Berhenti, Ra!”Ngga. Aku ngga boleh berhenti. Ini cuma halusinasiku aja. Dia ngga nyata. Tenang pokoknya harus tetap tenang. Aku harus segera pergi dari sini. Pikiran Naras benar-benar kacau saat ini.Untung saja letak restoran ini berada di daerah yang cukup ramai dan ada banyak taksi lewat. Dengan segera, Naras menghentikan sebuah taksi dan masuk ke dalamnya.Tok. Tok. Tok.“Ara, please, turun ya? Aku mau ngomong banyak sama kamu,” ucap Arta dari luar.“Pak ayo langsung jalan aja!” pinta Naras dengan nada ketakutan.Pak sopir yang sedikit memahami situasi
Sudah tiga puluh menit berlalu sejak Arta memandangi satu per satu foto Naras yang tertempel di dinding. Selama itu pula ia membuka obrolan dengan membahas masa lalu kebersamaan dirinya dan Naras dulu. Cowok itu sengaja menceritakan kebahagiaan mereka saja. Sesuai permintaan dan pesan Naras di awal. “Ngga bisa. Ayo kita lanjutin obrolan. Kata kamu mau ngelurusin masalah kita dulu.” Tindakan Naras membuat Arta menatap wajah gadis itu dengan intens. “Kamu beneran ngga apa-apa?” “Iya untuk sekarang. Ngga tahu nanti. Tapi setidaknya aku udah memberanikan diri sampai saat ini masih baik-baik aja bukan? Sekalian saja, Danu...” pinta Naras lirih. Arta tak mengerti maksud Naras. ”Sekalian? Sekalian apa, Ra?” “Susah jelasinnya. Ceritanya panjang. Intinya, selagi aku masih baik-baik begini aku ingin sekalian mendengarkan segala hal yang ingin kamu sampaikan dan menyelesaikan tentang kita dulu. Tapi aku pesan satu
Apa yang harus aku lakukan?Aku tidak siap menghadapi situasi ini.Ya Allah, bolehkah aku kabur lagi kali ini?Dengan cepat, Naras berbalik dan berlari menuju pintu. Yang ada di pikirannya hanyalah ia harus segera keluar dari ruangan ini. Namun, ketika tangannya baru saja meraih gagang pintu, tiba-tiba dari belakang seseorang menahan pintu itu supaya tidak terbuka.BRAKK!Tubuh Naras menegang ketika menyadari siapa yang ada di belakangnya. Jarak mereka begitu dekat hingga gadis itu kesusahan untuk bergerak. Bulu kuduknya merinding ketika ada sebuah suara berbisik di dekat telinganya.“Maaf, Ara. Kali ini aku tak bisa menahan diri untuk tidak membiarkanmu melarikan diri lagi. Banyak hal yang harus kita bahas kali ini,” ujar Arta dengan lembut, tapi terdengar memuakkan di telinga Naras.Perlahan, tangan Arta mengunci pintu dengan sidik jarinya dan berbalik duduk
Naras berusaha untuk mengabaikan suara yang terus memanggilnya. Ia terus saja berlari hingga sampai di jalan depan restoran. Saat ini ia sungguh-sungguh ketakutan. Sedaritadi tubuhnya mengalami tremor hebat. Bahkan gadis itu mulai kesusahan bernafas.“Ara... tunggu! Kamu mau kemana?”“Ra!”“Berhenti, Ra!”Ngga. Aku ngga boleh berhenti. Ini cuma halusinasiku aja. Dia ngga nyata. Tenang pokoknya harus tetap tenang. Aku harus segera pergi dari sini. Pikiran Naras benar-benar kacau saat ini.Untung saja letak restoran ini berada di daerah yang cukup ramai dan ada banyak taksi lewat. Dengan segera, Naras menghentikan sebuah taksi dan masuk ke dalamnya.Tok. Tok. Tok.“Ara, please, turun ya? Aku mau ngomong banyak sama kamu,” ucap Arta dari luar.“Pak ayo langsung jalan aja!” pinta Naras dengan nada ketakutan.Pak sopir yang sedikit memahami situasi
Sinar jingga menyorot sebuah cangkir putih yang isinya telah tandas diminum. Menandakan matahari akan tiba di peraduannya, tergantikan oleh sang malam. Dua orang sahabat yang sedari tadi asyik bercakap kini sama-sama saling bungkam. Bukan karena kehabisan topik pembicaraan. Namun, keduanya larut akan keindahan pemandangan senja yang terlihat di kejuhan sana.“Jadi, kamu bakalan menetap di Indonesia ya? Dimana kamu mau melamar kerja?” pertanyaan Livya mengawali percakapan lagi.“Seriously kamu nanyain ke aku tentang lamaran kerja?” ujar Naras sambil tertawa sombong.“Ck, iya deh. Seorang Narasya Zhalea sang konsultan psikolog terkenal dunia ngga kenal apa itu susahnya melamar kerja. Aku ganti pertanyaannya kalau gitu, dimana kamu direkrut kerja ibu konsultan?” Livya bertanya ulang dengan nada kesal.“Sebenarnya aku punya rencana mau buat klinik sendiri Liv, tapi itu semua butuh waktu dan proses yang ngga sebentar.
Tirai putih bercorak batik mega mendung yang menemaninya selama ini tersibak lembut ditiup angin musim panas, seperti memberinya salam perpisahan. Seolah tirai itu tahu dirinya akan pergi jauh. Jari-jari lentiknya menyentuh kaca jendela yang memperlihatkan pemandangan indah kota London. Pandangannya menerawang jauh. Tujuh tahun hidupnya di London penuh dengan perjuangan dan sekarang ia harus meninggalkan kota yang penuh kenangan ini. Gadis itu tersenyum pilu.“Dear, are you ready? Sudah waktunya...”Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu. Ia membawa sebuah map berisikan catatan konseling atas nama 'Narasya Zhalea'. Merasa tidak ada jawaban dari gadis yang dipanggilnya, wanita itu berjalan mendekat hingga berdiri di samping si gadis.“Apa yang kamu pikirkan sekarang?” tanya wanita itu.“Aku... ingin tetap berada di sini, Mam,” sahut si gadis tanpa mengalihkan pandangannya yang menatap keluar jendela.Wa