Tirai putih bercorak batik mega mendung yang menemaninya selama ini tersibak lembut ditiup angin musim panas, seperti memberinya salam perpisahan. Seolah tirai itu tahu dirinya akan pergi jauh. Jari-jari lentiknya menyentuh kaca jendela yang memperlihatkan pemandangan indah kota London. Pandangannya menerawang jauh. Tujuh tahun hidupnya di London penuh dengan perjuangan dan sekarang ia harus meninggalkan kota yang penuh kenangan ini. Gadis itu tersenyum pilu.
“Dear, are you ready? Sudah waktunya...”
Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu. Ia membawa sebuah map berisikan catatan konseling atas nama 'Narasya Zhalea'. Merasa tidak ada jawaban dari gadis yang dipanggilnya, wanita itu berjalan mendekat hingga berdiri di samping si gadis.
“Apa yang kamu pikirkan sekarang?” tanya wanita itu.
“Aku... ingin tetap berada di sini, Mam,” sahut si gadis tanpa mengalihkan pandangannya yang menatap keluar jendela.
Wanita dengan panggilan Mam Dara itu menyentuh bahu si gadis. Ia menyodorkan map yang tadi dibawanya pada si gadis.
“Narasya yang Mam Dara kenal bukan seorang gadis yang labil. Kemarin, kamu sudah memutuskan untuk pulang. Lalu, mengapa sekarang malah ingin menetap di sini?”
Kali ini gadis dengan nama Narasya itu menatap mata Mam Dara dalam. Rautnya terlihat resah, seperti ada yang dikhawatirkan.
“Bagaimana kalau aku bertemu dia, Mam?” tanya Naras.
Mam Dara terdiam sejenak. Ia mengambil nafas sejenak sebelum akhirnya memberi Naras senyuman menenangkan.
“Sudah 5 tahun berlalu sejak terapi terakhir kamu jalani. Dan selama lima tahun itu kamu bisa melalui hidup dengan normal di sini. Kamu juga sudah pulang ke Indonesia tiga kali. Nyatanya kamu bisa dan tidak bertemu dengan dia. Lalu, apa yang membuatmu begini Nar?”
Naras terdiam. Sebenarnya tiga hari ini ia juga mempertanyakan hal itu pada dirinya sendiri. Mengapa? Apa karena intuisinya berkata ia akan bertemu dengan sosok masa lalu itu?
Melihat Naras tenggelam dalam pikirannya sendiri dan masih tidak menjawab pertanyaan dari dirinya, Mam Dara pun melanjutkan kalimatnya.
“Intuisi. Mam tahu kamu terganggu karena hal itu. Begini Nar, terkadang intuisi itu tidak selalu benar dan ada hubungannya dengan apa yang terjadi di dunia nyata. Karena apapun kejadian yang kita alami semua adalah takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan sejak dahulu. Jadi, tidak usah risau akan hal yang belum pasti terjadi. Mungkin saja itu hanya hasil dari kekhawatiranmu saja. Pada akhirnya nanti kamu bisa saja tidak bertemu dengan dia,” ujar Mam Dara.
“Tapi Mam... kemungkinan aku juga bisa bertemu dengannya. Lalu, aku harus bagaimana jika hal itu terjadi?” kali ini Naras langsung menyahut perkataan Mam Dara.
Kedua wanita itu sama-sama terdiam. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Naras masih menunggu jawaban dari Mam Dara. Sejenak, wanita setengah baya itu menghela nafas kemudian menjawab pertanyaan dari Naras.
“Sebenarnya Mam juga khawatir tentang hal itu. Tetapi setelah Mam pikir-pikir lagi, mungkin sudah waktunya kamu berhenti melarikan diri dan mulai menghadapi masa lalu itu kembali,” tukas Mam Dara sambil membalikan badan hendak pergi.
“Apakah aku sudah siap Mam? Apa aku akan baik-baik saja?” pertanyaan lirih yang diucapkan Naras dengan nada pilu itu sukses membuat Mam Dara mengurungkan niatnya untuk pergi.
“Ingat tujuan utama kamu pulang Naras, Umi butuh kamu di dekatnya. Jangan terlalu memikirkan hal lain yang tidak penting. Jika kamu ingin tahu apakah kamu siap menghadapi dia, kamu sendiri yang tahu jawabannya. Dan untuk jawaban apa kamu akan baik-baik saja... kalau kamu tidak siap mungkin keadaanmu bisa seperti dulu lagi. Mam hanya bisa menyarankan kamu untuk memberitahu orang dekatmu di Indonesia terkait kondisimu karena Mam sudah tidak bisa menjagamu lagi. Meski begitu, kamu harus tetap tenang dan positif thinking apapun yang terjadi. Oke sepertinya kita akan sedikit terlambat, Mam tunggu di luar ya.”
Setelah mengakhiri kalimatnya, Mam Dara segera beranjak pergi meninggalkan Naras yang memandangi pemandangan kota London untuk terakhir kalinya.
“I will missing you, London...” bisiknya lirih.
Tangan Naras meraih koper miliknya dan segera keluar dari ruangan untuk menyusul Mam Dara. Mereka akan ke bandara untuk mengantar Naras pulang ke Indonesia.
***
Definisi Pulang...
Apakah rumah masih pantas disebut sebagai tempat berpulang
Ketika pelarianku sudah telanjur membuat nyaman?
Meski begitu aku tetap harus kembali
Pada tempat segalanya pernah dimulai
So, hello Indonesia, I'm back...
Ting! Ting! Ting!
Baru sepuluh menit Naras mengaktifkan nomor ponsel Indonesia miliknya. Dan baru dua menit dia memposting story tentang kepulangannya ke Indonesia sudah banyak notifikasi komentar yang masuk. Akhirnya dia mengaktifkan mode diam pada handphone karena terlalu berisik. Ketika akan melakukan itu dia melihat ada panggilan dari Livya, sahabat sejak SMA nya.
“Pulang ngga bilang-bilang, untung aku liat berita!” suara tinggi Livya menyapa telinga Naras untuk pertama kalinya.
“Assalamu’alaikum... mantan anak pondok apa bukan sih kok ngga inget salam,” sahut Naras menyindir.
“Ck, iya iya. Wa'alaikumussalam. Sekarang dimana kamu? Ini wartawan banyak banget di pintu kedatangan ngga aman buat lewat sini,” ujar Livya.
“Loh? Kamu jemput aku? Seriusan? Uwah terharu aku dijemput orang sibuk,” gurau Naras.
“Jangan salah, jaman now ngga ada yang gratisan. Nanti aku tagih bayarannya. Heh, terus ini gimana nemuin kamunya?” tanya Livya dengan nada bingung.
“Ah, ngga asyik sih sama sahabat sendiri pakai bayar-bayaran. Aku udah keluar woi daritadi sebelum para wartawan berdatangan. Take off lebih cepet dari jadwal jadi landing juga maju. Ini lagi di kafe depan bandara. Kesini deh samperin, aku bawain oleh-oleh loh,” kata Naras dengan santai.
“Haishh. Untung sayang. Jangan kemana-mana, aku otw.”
Setelah panggilan dari Livya berakhir, Naras kembali menikmati secangkir cappucino yang ia pesan sembari menatap pejalan kaki yang lalu lalang di trotoar. Tiba-tiba tubuhnya membeku dan gerakannya terhenti. Ia melihat sesosok laki-laki dengan jas hitam sedang tersenyum pada nenek penjual buah di seberang. Tak lama kemudian laki-laki itu masuk ke dalam mobil sport berwarna silver dan pergi.
“Aku lagi ngga ngehaluin dia kan?” tanya Naras tanpa sadar.
“Hayoloh halu siapa nih? Bule Inggris ya? Wah kamu mah gitu Nar, punya doi ngga pernah cerita ke aku.”
Sahutan dari Livya yang ternyata sudah duduk di sampingnya membuat Naras tersentak. Dengan cengiran khas miliknya, Naras menatap setiap gurat wajah sahabat karib yang sudah dua tahun tak ia jumpai.
“Makin tua ya kamu Liv. Tuh kantong mata nambah tebel,” komentar Naras.
“Dua tahun kita jarang kontakan dan baru bisa ketemu lagi sekarang ini, apa-apaan kamu malah bilang gitu. Bukannya ngomong kangen atau peluk gitu?” Protes Livya.
Tawa menguar dari mulut Naras. Dengan sangat erat ia memeluk sahabatnya, menyalurkan segenap kerinduan yang selama ini ia pendam. Livya membalas pelukan itu tak kalah erat. Tak terasa air mata haru mengalir dari keduanya, namun tak lama kemudian mereka malah tertawa mengejek.
“Udah mau kepala tiga aja masih cengeng!” cibir Livya pada Naras.
“Halah, kamu udah punya buntut dua sama aja masih nangis kayak anak kecil,” balas Naras tak mau kalah.
Meski waktu berlalu mengubah segalanya, sifat kekanakan diantara mereka berdua masih tetap sama. Namun, justru hal itu yang membuat Naras dan Livya masih bersahabat erat hingga dewasa.
“Jadi, siapa yang kamu haluin tadi, huh?” Livya masih bersikeras mengejar jawaban dari Naras.
“Ck, apa sih. Bukan bule kok. Tadi ceritanya lihat orang lewat gitu terus kok mirip sama klien aku,” jawab Naras berbohong. Ia tak mungkin menceritakan hal yang sebenarnya pada Livya.
“Oalah, kirain kamu ketemu mas bule di sana. Padahal udah seneng tadi ngiranya kamu mau nyusul aku. Nah, jadi kapan kamu mau nikah?” tembak Livya.
“Yah, ini nih yang jadi alasan aku males balik ke Indonesia. Ditanyain mulu kapan nikah. Kayak nikah itu segala-galanya aja,” keluh Naras.
“Habis kamu udah mau tiga puluh tahun...”
“Dua puluh sembilan tahun aja belum,” potong Naras tak terima.
“Oke, intinya umur dimana wanita Indonesia biasanya udah menikah. Kamu malah belum nikah. Di angkatan cewek SMA kita yang belum nikah cuma tinggal kamu loh, Nar,” Livya menyampaikan pernyataan yang tidak bisa dielak oleh Naras. Karena memang itu fakta.
“Yang cowok masih banyak tahu Liv yang belum nikah,” Naras masih terus beralibi.
“Narasku sayang, cowok ngga usah dibahas ya. Mereka dipandang berbeda dari kaum cewek tentang pernikahan tuh,” ujar Livya. Kemudian, ia melanjutkan kalimatnya.
“Aku ngerti Nar, kamu sibuk dengan pekerjaanmu yang padat. Tapi pikirkanlah masa depan juga. Kamu butuh keluarga baru, ngga mungkinkan jadi single abadi?”
Pertanyaan Livya membuat Naras tersenyum. Ia tahu betul kalau sahabatnya itu memikirkan dirinya. Karena hidupnya tidak bisa terus bergantung pada keluarga inti atau teman-temannya yang mulai sudah berkeluarga.
“Iya ngga kok, entar aku pikirin lagi oke? Nah, kebiasaan kita banget kan kalau ketemu ngga nanya kabar dulu malah basa-basi. So, apa kabar dirimu kelihatan sibuk banget?” tanya Naras menutup topik pernikahan dan dirinya.
“Kan sukanya gitu, pokoknya ngga cuma ngomong aja Nar, dipikirin bener soal pernikahanmu itu. Hm... memang akhir-akhir ini aku agak sibuk sih Nar. Di kampus lagi musim skripsi jadi ketambahan tugas jadi pembimbing sama penguji. Belum lagi masih ada tanggungan riset penelitian yang aku tunda karena cuti hamil tahun lalu. Terus sekarang si kecil lagi rewel-rewelnya ditinggal. Lalu...”
Dua sahabat itu melanjutkan obrolan seru mereka menceritakan tentang banyak hal. Mulai dari curhatan kehidupan saat ini, mengenang masa di pesantren dan kuliah sarjana mereka, sampai berdebat tentang masalah sepele seperti kopi siapa yang lebih manis dan berujung saling menukar minuman masing-masing untuk pembuktian. Sederhana namun sangat berharga bagi Naras dan Livya melakukan hal seperti ini. Hingga tak berasa sudah berjam-jam mereka menghabiskan waktu di kafe itu.
Sinar jingga menyorot sebuah cangkir putih yang isinya telah tandas diminum. Menandakan matahari akan tiba di peraduannya, tergantikan oleh sang malam. Dua orang sahabat yang sedari tadi asyik bercakap kini sama-sama saling bungkam. Bukan karena kehabisan topik pembicaraan. Namun, keduanya larut akan keindahan pemandangan senja yang terlihat di kejuhan sana.“Jadi, kamu bakalan menetap di Indonesia ya? Dimana kamu mau melamar kerja?” pertanyaan Livya mengawali percakapan lagi.“Seriously kamu nanyain ke aku tentang lamaran kerja?” ujar Naras sambil tertawa sombong.“Ck, iya deh. Seorang Narasya Zhalea sang konsultan psikolog terkenal dunia ngga kenal apa itu susahnya melamar kerja. Aku ganti pertanyaannya kalau gitu, dimana kamu direkrut kerja ibu konsultan?” Livya bertanya ulang dengan nada kesal.“Sebenarnya aku punya rencana mau buat klinik sendiri Liv, tapi itu semua butuh waktu dan proses yang ngga sebentar.
Naras berusaha untuk mengabaikan suara yang terus memanggilnya. Ia terus saja berlari hingga sampai di jalan depan restoran. Saat ini ia sungguh-sungguh ketakutan. Sedaritadi tubuhnya mengalami tremor hebat. Bahkan gadis itu mulai kesusahan bernafas.“Ara... tunggu! Kamu mau kemana?”“Ra!”“Berhenti, Ra!”Ngga. Aku ngga boleh berhenti. Ini cuma halusinasiku aja. Dia ngga nyata. Tenang pokoknya harus tetap tenang. Aku harus segera pergi dari sini. Pikiran Naras benar-benar kacau saat ini.Untung saja letak restoran ini berada di daerah yang cukup ramai dan ada banyak taksi lewat. Dengan segera, Naras menghentikan sebuah taksi dan masuk ke dalamnya.Tok. Tok. Tok.“Ara, please, turun ya? Aku mau ngomong banyak sama kamu,” ucap Arta dari luar.“Pak ayo langsung jalan aja!” pinta Naras dengan nada ketakutan.Pak sopir yang sedikit memahami situasi
Apa yang harus aku lakukan?Aku tidak siap menghadapi situasi ini.Ya Allah, bolehkah aku kabur lagi kali ini?Dengan cepat, Naras berbalik dan berlari menuju pintu. Yang ada di pikirannya hanyalah ia harus segera keluar dari ruangan ini. Namun, ketika tangannya baru saja meraih gagang pintu, tiba-tiba dari belakang seseorang menahan pintu itu supaya tidak terbuka.BRAKK!Tubuh Naras menegang ketika menyadari siapa yang ada di belakangnya. Jarak mereka begitu dekat hingga gadis itu kesusahan untuk bergerak. Bulu kuduknya merinding ketika ada sebuah suara berbisik di dekat telinganya.“Maaf, Ara. Kali ini aku tak bisa menahan diri untuk tidak membiarkanmu melarikan diri lagi. Banyak hal yang harus kita bahas kali ini,” ujar Arta dengan lembut, tapi terdengar memuakkan di telinga Naras.Perlahan, tangan Arta mengunci pintu dengan sidik jarinya dan berbalik duduk
Sudah tiga puluh menit berlalu sejak Arta memandangi satu per satu foto Naras yang tertempel di dinding. Selama itu pula ia membuka obrolan dengan membahas masa lalu kebersamaan dirinya dan Naras dulu. Cowok itu sengaja menceritakan kebahagiaan mereka saja. Sesuai permintaan dan pesan Naras di awal. “Ngga bisa. Ayo kita lanjutin obrolan. Kata kamu mau ngelurusin masalah kita dulu.” Tindakan Naras membuat Arta menatap wajah gadis itu dengan intens. “Kamu beneran ngga apa-apa?” “Iya untuk sekarang. Ngga tahu nanti. Tapi setidaknya aku udah memberanikan diri sampai saat ini masih baik-baik aja bukan? Sekalian saja, Danu...” pinta Naras lirih. Arta tak mengerti maksud Naras. ”Sekalian? Sekalian apa, Ra?” “Susah jelasinnya. Ceritanya panjang. Intinya, selagi aku masih baik-baik begini aku ingin sekalian mendengarkan segala hal yang ingin kamu sampaikan dan menyelesaikan tentang kita dulu. Tapi aku pesan satu