Naras berusaha untuk mengabaikan suara yang terus memanggilnya. Ia terus saja berlari hingga sampai di jalan depan restoran. Saat ini ia sungguh-sungguh ketakutan. Sedaritadi tubuhnya mengalami tremor hebat. Bahkan gadis itu mulai kesusahan bernafas.
“Ara... tunggu! Kamu mau kemana?”
“Ra!”
“Berhenti, Ra!”
Ngga. Aku ngga boleh berhenti. Ini cuma halusinasiku aja. Dia ngga nyata. Tenang pokoknya harus tetap tenang. Aku harus segera pergi dari sini. Pikiran Naras benar-benar kacau saat ini.
Untung saja letak restoran ini berada di daerah yang cukup ramai dan ada banyak taksi lewat. Dengan segera, Naras menghentikan sebuah taksi dan masuk ke dalamnya.
Tok. Tok. Tok.
“Ara, please, turun ya? Aku mau ngomong banyak sama kamu,” ucap Arta dari luar.
“Pak ayo langsung jalan aja!” pinta Naras dengan nada ketakutan.
Pak sopir yang sedikit memahami situasi langsung menjalankan taksinya. Sedangkan Arta yang mengejar Naras hanya bisa terus memanggil gadis itu sampai taksi tak terlihat lagi. Di dalam taksi, Naras menangis tergugu. Ia masih teringat kejadian yang baru saja dialaminya.
“Assalamu’alaikum... Ara? Akhirnya kita bisa bertemu ya, gimana kabar kamu?” sapa Arta.
Cowok itu mendekati Naras yang terdiam di tempatnya hingga jarak mereka hanya terpisah tiga langkah.
“Rindu sama kamu, Ra. Sampai rasanya aku mau memelukmu sekarang. Kamu kenapa ngga pernah bales email dariku?” tanya Arta dengan nada sendu.
Naras menatap Arta dengan tajam. Tangannya mengepal erat dan giginya saling beradu menimbulkan suara gemeletuk. Gadis itu benar-benar sedang menahan segala rasa campur aduk dalam dirinya. Arta yang melihat respon dari Naras berusaha lebih mendekat.
“Ra, aku minta maaf. Banyak hal yang perlu aku jelasin ke kamu. Please, ngobrol sama aku mau ya?” pinta Arta memelas.
Tanpa sadar mata Naras sudah berkaca-kaca menatap Arta. Ada sorot benci dan rindu kepada sosok di depannya. Setelah mengumpulkan tekad, gadis itu membuka bibirnya untuk membalas semua perkataan Arta dengan satu kata.
“Bullshit!” desis Naras tajam.
Setelah mengucapkan makian itu, Naras berlari meninggalkan Arta setelah sempat menabrak bahu cowok itu cukup keras. Tidak tinggal diam, Arta berusaha mengejar Naras.
Naras menggelengkan kepalanya cepat untuk menghalau kilas balik ingatan tentang Arta. Tangannya berkali-kali memukul bahu kanan yang tadi ia gunakan untuk menabrak Arta, bermaksud untuk meyakinkan diri bahwa kejadian tadi hanyalah ilusinya saja. Gadis itu berusaha menghubungi Mam Dara masih dengan tergugu dan kesusahan bernafas.
“Hai, dear. How are... hei, are you crying? What happen?” ujar Mam Dara khawatir.
“Ma-am, I me-et hi-m aga-in...”
***
Di sudut kamar gelap apartement, Naras terbaring lemah sambil menatap kosong sebuah foto besar yang terpajang di dinding. Foto Arta dan dirinya dulu ketika di pesantren.
“Naras, tarik nafas dalam lalu hembuskan perlahan. Tenangkan dirimu dulu, coba pikirkanlah hal-hal lain yang membuatmu bahagia,” ucap Mam Dara berusaha menenangkan Naras.
“A-aku ngga mungkin ketemu dia Mam. Ta-tadi cuma halusinasiku a-aja kan ya?”ujar Naras sambil tertawa hampa dalam tangisnya.
“Ayo, Naras dengarkan Mam Dara dan jangan meracau sendiri. Kamu bisa melewati semua ini. Hanya butuh tenang, tenang dan tenang. Coba tarik nafas lalu hembuskan sebanyak tiga kali. Boleh sambil memejamkan mata dan bayangkan hal-hal bahagia,” tuntun Mam Dara dengan nada menekan tapi tetap lembut.
Akhirnya Naras lebih tenang setelah mempraktekan apa yang Mam Dara katakan. Tapi nafasnya masih tersengal dan tremornya masih belum mereda.
“Kamu dimana sekarang, Nar?” tanya Mam Dara setelah memperkirakan keadaan Naras sudah lebih tenang.
“Di taksi, Mam. Naras baru otw pulang dari acara reuni. Tapi ngga mau ke rumah, ini mau ke apartement aja,” jelas Naras.
“Iya, ngga apa-apa kalau kamu butuh waktu sendiri dulu. Masih nyimpen obatnya? Minum satu butir aja buat redain tremor sama sesak nafas kamu. Habis itu kalau bisa langsung tidur aja ya, dear!” pesan Mam Dara.
Meski dirinya sudah tenang dan mengantuk karena efek obat yang baru saja ia minum, pikiran Naras masih berputar pada sosok cowok yang ada di foto.
“Masih kurang kah kamu menyakitiku?” ucap Naras mulai meracau.
“Sampai kamu muncul lagi di hadapanku setelah sekian lama...”
“Ah, benarkah itu kamu? Atau hanya halusinasiku saja?”
“Sudahlah... aku ngantuk...”
“Tidur dulu ya...”
“Danu...”
Satu tetes cairan bening mengalir dari mata Naras yang terpejam. Malam itu, Naras tak tahu betapa banyak orang yang mencemaskan dirinya. Handphonenya mati setelah ia gunakan untuk menelepon Mam Dara.
***
Terbangun pukul lima pagi membuat Naras tergesa-gesa menyiapkan diri dan keperluannya untuk pergi ke kantor Perusahaan Grahayasa. Jam tujuh tepat ia sudah harus ada di sana untuk bertemu dengan Pak Farel, orang yang menawarkan pekerjaan untuknya. Lelaki itu adalah General Manager baru yang katanya dipercaya sebagai tangan kanan CEO perusahaan. Naras berhubungan baik dengan Pak Farel setelah mereka bertemu dalam suatu acara sukarelawan setahun yang lalu.
“Haduh, ini udah jam berapa ya? Handphone dari tadi malem mati lagi,” keluh Naras sambil memakai sepatu.
Setelah mencomot dua lapis roti tawar dari atas meja makan, gadis itu segera pergi dari apartementnya berlari menuju jalan raya. Di pinggir jalan, ia melihat taksi. Awalnya memang berniat akan naik taksi, tapi setelah mengingat peristiwa semalan Naras mengurungkan niatnya dan lebih memilih memesan ojek online. Sambil menunggu ojek datang, Naras mengecek handphonenya sambil sarapan.
Ketika ia menghidupkan jaringan internet tadi, banyak notifikasi yang masuk baik chat maupun panggilan. Ada dari Livya, Umi, Abi, Mam Dara, dan teman-teman yang kemarin meminta nomernya. Hampir semua isi chat mereka sama, menanyakan keberadaan dan kabar dirinya. Ada juga satu nomer tanpa nama. Karena penasaran ia lebih memilih untuk membuka chat dari nomer tanpa nama itu. Namun, belum sampai ia membukanya, ojek yang ia pesan telah datang.
Setelah lima belas menit kemudian, Naras sampai di tempat tujuan pada pukul tujuh kurang dua puluh menit. Masih ada waktu untuk menjawab chat dari beberapa orang. Ia sempat membuka chat dari nomor tanpa nama yang berisi permintaan maaf dan ajakan mengobrol. Oh, Naras tahu siapa pengirimnya. Tiba-tiba Livya meneleponnya.
“Naras! Oh, syukurlah akhirnya kamu udah bisa dihubungi. Kamu dimana sekarang? Apa kamu baik-baik saja? Semua orang khawatir tiba-tiba kamu pergi tanpa pamit. Aku kira pulang ke rumah tapi Umi bilang kamu ngga ke sana semalam. Terus aku nebaknya kamu di apartement tapi semalem aku datang ngga ada respon dari kamu, aku pikir kamu tidur, jadi aku balik ke rumah. Kalau sampai pagi ini kamu masih ngga bisa dihubungi aku mau dobrak pintu apartement kamu rencananya,” ujar Livya panjang dengan nada khawatir.
“Aku ngga apa-apa Liv. Maaf ya semalam ngga pamit pulang duluan. Oh ya aku keburu ada urusan nih, nanti lagi oke?” ucap Naras menenangkan sahabatnya.
“Tapi, Nar... aku minta maaf semalam ternyata...”
“Nanti kita bicara lagi ya, maaf aku tutup,” potong Naras.
Dia sudah bisa menebak arah pembicaraan Livya. Lagi pula saat ini jam telah menunjukkan pukul tujuh kurang dua menit. Ia langsung menuju bagian resepsionis untuk menanyakan keberadaan Pak Farel. Salah satu resepsionis tersebut langsung mengarahkan Naras ke ruangan General Manager tersebut berada. Di sana ia disambut baik oleh Pak Farel dan langsung mempersilahkan Naras untuk duduk.
“Assalamu’alaikum, Pak Farel. Selamat Pagi. Apa kabarnya?” sapa Naras.
“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah baik, Naras. Kamu gimana balik ke Indonesia, harusnya seneng dong bisa kumpul lagi sama keluarga dan temen-temen hehehe,” ungkap Pak Farel sambil tertawa akrab.
“Alhamdulillah, iya dong seneng. Apalagi bisa kerja sama orang hebat seperti Pak Farel,” ujar Naras sambil tersenyum.
“Wahahaha, kamu bisa aja Nar. Justru saya yang harusnya tersanjung bisa bekerja sama dengan seorang psikolog kelas dunia seperti kamu,” balas Pak Farel.
“Yah, pokoknya saya berterimakasih sekali kepada Pak Farel karena sudah menawarkan pekerjaan untuk saya di Indonesia, semoga ke depannya kita bisa bekerja sama dan menjadi partner yang baik,” ucap Naras sambil menjabat tangan Pak Farel.
“Aamiin. Kalau begitu mohon bantuan dan kerjasamanya Narasya,” kata Pak Farel.
“Oh ya, mohon maaf, Pak. Berhubung lusa lalu saya baru tiba dan ada beberapa kesibukan saya belum sempat membuka file data perusahaan yang bapak kirimkan. Bolehkah saya mempelajarinya terlebih dahulu?” tanya Naras dengan sopan.
“Wah, boleh-boleh. Silahkan dipelajari dulu baru nanti kita diskusikan beberapa hal yang berkaitan dengan kontrak kerja ya,” jawab Pak Farel.
Hanya butuh tiga menit saja bagi Narasya memahami seluk beluk perusahaan dan pekerjaan yang akan ia jalani. Tidak terlalu membebani malah menurut dirinya tugas-tugasnya selama menjadi konsultan di sini cukup mudah. Enaknya lagi, kontrak di awal hanya sampai tiga bulan dan akan diperpanjang jika Naras menyetujuinya.
Satu jam berlalu tanpa terasa. Berdiskusi membahas beberapa hal yang masih butuh penjelasan lebih dan berujung membahas banyak hal berkaitan dengan isu dunia membuat Naras dan Pak Farel larut dalam obrolan panjang. Surat kontrak pekerjaan telah ditandatangani lima belas menit yang lalu oleh Naras. Dan Naras tiba di sesi terakhir penetapan dirinya sebagai bagian dari Perusahaan Grahayasa yaitu bertemu dengan CEO perusahaan. Saat ini mereka berdua sedang berjalan di lorong lantai empat dimana letak ruang pemilik perusahaan berada.
“Kalau boleh tahu, Perusahaan Grahayasa ini bergerak di bagian penawaran dan pengembangan hotel juga vila di tempat wisata kan ya Pak. Dan masih baru berdiri beberapa bulan lalu. Apakah murni di bangun dari nol atau bagian dari perusahaan lain yang lebih besar? Di data yang bapak kirim tidak tertera soalnya,” selidik Naras.
“Nah, hampir saja saya kelupaan lagi memberitahu kamu. Perusahaan Grahayasa sebenarnya bagian dari Bagaskara Corp. CEO muda yang baru diangkat tiga tahun lalu ingin mengembangkan ide kreatifnya untuk memajukan pariwisata di Yogyakarta,” terang Pak Farel.
“Bagaskara Corp.? Bukankah... itu perusahaan real estate terbesar di Asia Tenggara Pak?” tanya Naras.
Gadis itu merasa tak asing dengan nama Bagaskara Corp. Dan tiba-tiba saja perasaan khawatir dan gelisah kembali menghampiri dirinya.
“Ya, benar. Pemiliknya adalah keluarga Bagaskara,” jawab Pak Farel.
“Saya sudah menghubungi Pak CEO tadi dan kamu langsung di suruh masuk menunggu dulu. Beliau sudah di dalam tapi di ruangan pribadinya sedang menyelesaikan urusan sebentar. Nanti pasti menemui kamu kok,” sambung Pak Farel menjelaskan pada Naras.
“Baik bapak, terimakasih banyak sudah mengantar saya sampai di sini,” ucap Naras sambil tersenyum ramah.
“Terimakasih juga Naras sudah mau bekerja di sini. Kalau begitu saya turun dulu, ya.”
Setelah membalas senyuman Naras dengan menganggukkan kepala, Pak Farel berbalik dan turun menggunakan lift. Naras sendiri berdiri dengan gugup di depan pintu ruangan CEO. Ketika tekadnya sudah terkumpul barulah ia memberanikan dirinya untuk masuk ke dalam ruangan itu.
“Assalamu’alaikum...” salam Naras.
Tidak ada siapapun di dalam ruangan ini, kursi CEO kosong. Hal yang pertama kali dilakukan Naras adalah mengamati setiap sudut ruangan dan tata letak setiap benda. Menurut ilmu yang ia dalami, memperhatikan hal sepele seperti itu bisa jadi petunjuk untuk mengenal kepribadian si pemilik ruangan.
“Hm, nuansa monokromatik ini melambangkan karakteristik yang kontras. Apakah CEO perusahaan ini seseorang yang punya dua kepribadian? Oh, tidak pasti juga sih. Bisa jadi salah satunya merupakan warna kesukaan orang lain yang begitu penting untuknya. Sejujurnya lebih dominan hitam, ah seperti kebanyakan lelaki sukanya warna hitam menunjukkan kemisteriusan mereka. Tata letak ruangan ini oke juga, tegas tapi tetap bebas. Di dindingnya terdapat banyak foto-foto alam yang diambil dengan aestetik. CEO nya suka fotografi? Bisa jadi iya. Bersih dan rapi. Tipe perfeksionis,” gumam Naras.
Gadis itu berjalan menyusuri dinding yang terdapat banyak foto-foto. Ia merasa tak asing dengan beberapa foto yang terpajang di sana. Dan benar saja, ia melihat foto gapura pesantrennya terpasang di dinding itu. Seketika ia teringat ucapan Livya waktu di kafe depan bandara dulu.
“Perusahaan Grahayasa? Kayak pernah baca di postingan grup angkatan. Itu yang punya masih temen kita loh, tapi aku lupa siapa.”ucap Livya.
Naras langsung berjalan tergesa menuju meja CEO. Di sana terdapat tulisan nama si pemilik ruangan. Entah mengapa jantungnya berdebar keras ketika akan membaca tulisan itu.
Danuarta Bagaskara
CEO Bagaskara Corporation
Pikiran Naras terasa runtuh ketika mengeja tulisan itu. Raut wajahnya berubah ketakutan. Beberapa saat ia hanya menatap kosong karena masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Bersamaan itu, seorang lelaki keluar dari ruangan yang tersambung dengan tempat Naras berada.
“Narasya Zhalea. Mari kita mengobrol banyak hal.”
Ajakan itu terdengar seperti neraka baru di telinga Naras. Berdenging dan terus terngiang-ngiang. Tubuhnya mulai mengalami tremor dan nafasnya juga semakin pendek-pendek.
“Tolong aku!” jerit Naras dalam hati.
Apa yang harus aku lakukan?Aku tidak siap menghadapi situasi ini.Ya Allah, bolehkah aku kabur lagi kali ini?Dengan cepat, Naras berbalik dan berlari menuju pintu. Yang ada di pikirannya hanyalah ia harus segera keluar dari ruangan ini. Namun, ketika tangannya baru saja meraih gagang pintu, tiba-tiba dari belakang seseorang menahan pintu itu supaya tidak terbuka.BRAKK!Tubuh Naras menegang ketika menyadari siapa yang ada di belakangnya. Jarak mereka begitu dekat hingga gadis itu kesusahan untuk bergerak. Bulu kuduknya merinding ketika ada sebuah suara berbisik di dekat telinganya.“Maaf, Ara. Kali ini aku tak bisa menahan diri untuk tidak membiarkanmu melarikan diri lagi. Banyak hal yang harus kita bahas kali ini,” ujar Arta dengan lembut, tapi terdengar memuakkan di telinga Naras.Perlahan, tangan Arta mengunci pintu dengan sidik jarinya dan berbalik duduk
Sudah tiga puluh menit berlalu sejak Arta memandangi satu per satu foto Naras yang tertempel di dinding. Selama itu pula ia membuka obrolan dengan membahas masa lalu kebersamaan dirinya dan Naras dulu. Cowok itu sengaja menceritakan kebahagiaan mereka saja. Sesuai permintaan dan pesan Naras di awal. “Ngga bisa. Ayo kita lanjutin obrolan. Kata kamu mau ngelurusin masalah kita dulu.” Tindakan Naras membuat Arta menatap wajah gadis itu dengan intens. “Kamu beneran ngga apa-apa?” “Iya untuk sekarang. Ngga tahu nanti. Tapi setidaknya aku udah memberanikan diri sampai saat ini masih baik-baik aja bukan? Sekalian saja, Danu...” pinta Naras lirih. Arta tak mengerti maksud Naras. ”Sekalian? Sekalian apa, Ra?” “Susah jelasinnya. Ceritanya panjang. Intinya, selagi aku masih baik-baik begini aku ingin sekalian mendengarkan segala hal yang ingin kamu sampaikan dan menyelesaikan tentang kita dulu. Tapi aku pesan satu
Tirai putih bercorak batik mega mendung yang menemaninya selama ini tersibak lembut ditiup angin musim panas, seperti memberinya salam perpisahan. Seolah tirai itu tahu dirinya akan pergi jauh. Jari-jari lentiknya menyentuh kaca jendela yang memperlihatkan pemandangan indah kota London. Pandangannya menerawang jauh. Tujuh tahun hidupnya di London penuh dengan perjuangan dan sekarang ia harus meninggalkan kota yang penuh kenangan ini. Gadis itu tersenyum pilu.“Dear, are you ready? Sudah waktunya...”Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu. Ia membawa sebuah map berisikan catatan konseling atas nama 'Narasya Zhalea'. Merasa tidak ada jawaban dari gadis yang dipanggilnya, wanita itu berjalan mendekat hingga berdiri di samping si gadis.“Apa yang kamu pikirkan sekarang?” tanya wanita itu.“Aku... ingin tetap berada di sini, Mam,” sahut si gadis tanpa mengalihkan pandangannya yang menatap keluar jendela.Wa
Sinar jingga menyorot sebuah cangkir putih yang isinya telah tandas diminum. Menandakan matahari akan tiba di peraduannya, tergantikan oleh sang malam. Dua orang sahabat yang sedari tadi asyik bercakap kini sama-sama saling bungkam. Bukan karena kehabisan topik pembicaraan. Namun, keduanya larut akan keindahan pemandangan senja yang terlihat di kejuhan sana.“Jadi, kamu bakalan menetap di Indonesia ya? Dimana kamu mau melamar kerja?” pertanyaan Livya mengawali percakapan lagi.“Seriously kamu nanyain ke aku tentang lamaran kerja?” ujar Naras sambil tertawa sombong.“Ck, iya deh. Seorang Narasya Zhalea sang konsultan psikolog terkenal dunia ngga kenal apa itu susahnya melamar kerja. Aku ganti pertanyaannya kalau gitu, dimana kamu direkrut kerja ibu konsultan?” Livya bertanya ulang dengan nada kesal.“Sebenarnya aku punya rencana mau buat klinik sendiri Liv, tapi itu semua butuh waktu dan proses yang ngga sebentar.
Sudah tiga puluh menit berlalu sejak Arta memandangi satu per satu foto Naras yang tertempel di dinding. Selama itu pula ia membuka obrolan dengan membahas masa lalu kebersamaan dirinya dan Naras dulu. Cowok itu sengaja menceritakan kebahagiaan mereka saja. Sesuai permintaan dan pesan Naras di awal. “Ngga bisa. Ayo kita lanjutin obrolan. Kata kamu mau ngelurusin masalah kita dulu.” Tindakan Naras membuat Arta menatap wajah gadis itu dengan intens. “Kamu beneran ngga apa-apa?” “Iya untuk sekarang. Ngga tahu nanti. Tapi setidaknya aku udah memberanikan diri sampai saat ini masih baik-baik aja bukan? Sekalian saja, Danu...” pinta Naras lirih. Arta tak mengerti maksud Naras. ”Sekalian? Sekalian apa, Ra?” “Susah jelasinnya. Ceritanya panjang. Intinya, selagi aku masih baik-baik begini aku ingin sekalian mendengarkan segala hal yang ingin kamu sampaikan dan menyelesaikan tentang kita dulu. Tapi aku pesan satu
Apa yang harus aku lakukan?Aku tidak siap menghadapi situasi ini.Ya Allah, bolehkah aku kabur lagi kali ini?Dengan cepat, Naras berbalik dan berlari menuju pintu. Yang ada di pikirannya hanyalah ia harus segera keluar dari ruangan ini. Namun, ketika tangannya baru saja meraih gagang pintu, tiba-tiba dari belakang seseorang menahan pintu itu supaya tidak terbuka.BRAKK!Tubuh Naras menegang ketika menyadari siapa yang ada di belakangnya. Jarak mereka begitu dekat hingga gadis itu kesusahan untuk bergerak. Bulu kuduknya merinding ketika ada sebuah suara berbisik di dekat telinganya.“Maaf, Ara. Kali ini aku tak bisa menahan diri untuk tidak membiarkanmu melarikan diri lagi. Banyak hal yang harus kita bahas kali ini,” ujar Arta dengan lembut, tapi terdengar memuakkan di telinga Naras.Perlahan, tangan Arta mengunci pintu dengan sidik jarinya dan berbalik duduk
Naras berusaha untuk mengabaikan suara yang terus memanggilnya. Ia terus saja berlari hingga sampai di jalan depan restoran. Saat ini ia sungguh-sungguh ketakutan. Sedaritadi tubuhnya mengalami tremor hebat. Bahkan gadis itu mulai kesusahan bernafas.“Ara... tunggu! Kamu mau kemana?”“Ra!”“Berhenti, Ra!”Ngga. Aku ngga boleh berhenti. Ini cuma halusinasiku aja. Dia ngga nyata. Tenang pokoknya harus tetap tenang. Aku harus segera pergi dari sini. Pikiran Naras benar-benar kacau saat ini.Untung saja letak restoran ini berada di daerah yang cukup ramai dan ada banyak taksi lewat. Dengan segera, Naras menghentikan sebuah taksi dan masuk ke dalamnya.Tok. Tok. Tok.“Ara, please, turun ya? Aku mau ngomong banyak sama kamu,” ucap Arta dari luar.“Pak ayo langsung jalan aja!” pinta Naras dengan nada ketakutan.Pak sopir yang sedikit memahami situasi
Sinar jingga menyorot sebuah cangkir putih yang isinya telah tandas diminum. Menandakan matahari akan tiba di peraduannya, tergantikan oleh sang malam. Dua orang sahabat yang sedari tadi asyik bercakap kini sama-sama saling bungkam. Bukan karena kehabisan topik pembicaraan. Namun, keduanya larut akan keindahan pemandangan senja yang terlihat di kejuhan sana.“Jadi, kamu bakalan menetap di Indonesia ya? Dimana kamu mau melamar kerja?” pertanyaan Livya mengawali percakapan lagi.“Seriously kamu nanyain ke aku tentang lamaran kerja?” ujar Naras sambil tertawa sombong.“Ck, iya deh. Seorang Narasya Zhalea sang konsultan psikolog terkenal dunia ngga kenal apa itu susahnya melamar kerja. Aku ganti pertanyaannya kalau gitu, dimana kamu direkrut kerja ibu konsultan?” Livya bertanya ulang dengan nada kesal.“Sebenarnya aku punya rencana mau buat klinik sendiri Liv, tapi itu semua butuh waktu dan proses yang ngga sebentar.
Tirai putih bercorak batik mega mendung yang menemaninya selama ini tersibak lembut ditiup angin musim panas, seperti memberinya salam perpisahan. Seolah tirai itu tahu dirinya akan pergi jauh. Jari-jari lentiknya menyentuh kaca jendela yang memperlihatkan pemandangan indah kota London. Pandangannya menerawang jauh. Tujuh tahun hidupnya di London penuh dengan perjuangan dan sekarang ia harus meninggalkan kota yang penuh kenangan ini. Gadis itu tersenyum pilu.“Dear, are you ready? Sudah waktunya...”Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu. Ia membawa sebuah map berisikan catatan konseling atas nama 'Narasya Zhalea'. Merasa tidak ada jawaban dari gadis yang dipanggilnya, wanita itu berjalan mendekat hingga berdiri di samping si gadis.“Apa yang kamu pikirkan sekarang?” tanya wanita itu.“Aku... ingin tetap berada di sini, Mam,” sahut si gadis tanpa mengalihkan pandangannya yang menatap keluar jendela.Wa