Jadi, apa yang benar-benar asli di hidupku? Jika kenangan hanyalah kepalsuan, berarti hidupku sama sekali tak bermakna selama ini.
Dengan keteguhan hati yang begitu tinggi, aku berusaha mengusir segala prasangka Carissa. Aku percaya bahwa hidupku tidak dikendalikan oleh siapa pun.
Aku ingin hidup yang bebas. Bebas dari jerat prasangka dan batasan-batasan dalam sebuah drama kehidupan yang sangat klise.
Malam yang begitu resah, meski bintang dan rembulan menggantung di dahan malam demi memperlihatkan manusia pada suatu keindahan.
Sambil menyeruput kopi yang beberapa waktu kupesan di kafetaria hotel, setiap penjelasan yang dikatakan Carissa tak dapat kuhalau. Suaranya terus mendengung di telinga seolah-olah tak mengizinkanku melarikan diri ke mana pun.
Untung saja, Carissa sudah tidur beberapa jam yang lalu sehingga aku bisa lepas dari jeratnya. Akan tetapi, aku tetap penasaran dengan hal yang terjadi pada diriku ini.
Karena itulah, aku masih b
“Sudah lama sekali saya mengamati hal ini, Adrian. Pertama kali Elaine menghubungi saya setahun yang lalu, kemudian meminta saya untuk melakukan beberapa diagnosa mengenai dirimu.”Buku yang sampulnya menampilkan foto seorang lelaki tengah duduk sambil menekuk lutut ini kugapai, kemudian memperhatikan nama penulis yang tertera.Padahal, dalam penglihatanku beberapa tahun lalu, buku ini tidaklah ditulis oleh seseorang dengan nama pena K(&)A. Hanya bertuliskan Kiana Amaliya saja.Sungguh semua kebingungan ini semakin memuncak. Membuat emosi di dalam diriku kembali mencuat.Rasa sakit di kepala pun tiba-tiba datang menyerang. Tajam menusuk hingga buku terlepas dari genggaman. Tergeletak di lantai.Carissa mengambil buku tersebut, kemudian menatapku sambil memegang pundakku.“Adrian. Apa yang terjadi pada dirimu adalah sebuah penyakit mental yang disebut dengan Skizofrenia. Penyakit mental yang membuat penderitanya mencipta
“Gue nggak percaya semua ini!”Seharusnya memang seperti ini. Semua yang telah aku lalui, tidak akan pernah menjadi hal yang berputar pada sia-sia.“Oh, jadi kamu memilih tidak percaya dengan saya, Adrian?”“Semua yang gue lalui bukanlah kepalsuan! Orang-orang di dalam ingatan gue bukan ilusi! Dan lo yang bukan siapa-siapa bagi gue, mengatakan mereka semua dan ingatan gue adalah ilusi!Gue nggak akan percaya semudah itu sama lo!”“Dengan bukti-bukti yang sudah jelas ada?”“Bukti-bukti ini bisa lo buat-buat! Siapa yang tahu lo punya niat buruk?!”Seraya bangkit, kulempar buku Lelaki dan Kehidupannya hingga membentur dinding kamar. Kemudian, aku lebih memilih untuk melarikan diri dari genggaman Carissa.Benar, bukan? Tak ada yang tahu bahwa wanita bernama Carissa ini berbohong. Dia sama liciknya dengan Elaine. Mereka semua berusaha menjebloskan diriku ke sebuah kehidupan
Demi membuktikan bahwa Kiana bukanlah ilusi semata, aku ingat pernah bertemu dengannya di kafetaria Coconut Hotel. Karena itu, di pagi harinya, aku kembali ke bangunan menjulang tinggi itu.“Ada yang bisa dibantu, Mas?”“Gue cari tamu bernama Kiana Amaliya. Apa boleh tahu di kamar mana dia menginap?”“Kalau boleh tahu, Mas siapanya, ya?”Mataku menerawang, berusaha memikirkan alasan yang tepat agar tidak terjadi kecurigaan.“Gue saudaranya. Gue ada keperluan dan nggak tahu dia ada di kamar mana. Nomor ponselnya juga nggak aktif.”“Baik. Kalau begitu, Mas silakan menunggu dulu, ya. Saya akan berusaha mencarinya informasinya.”Aku begitu yakin bahwa Kiana bukanlah ilusi. Ilusi tidak akan terasa sangat nyata seperti yang aku alami.Kenanganku bersamanya, dimulai dari ketidaksengajaan saat berada di Mal. Aku ingat betul parasnya yang begitu memesona, meskipun waktu itu dir
Berkali-kali kutekan bel di sebuah rumah, lalu menunggu seseorang membuka pintu gerbang bercat putih.Selang beberapa saat, sesosok gadis bertubuh mungil berjalan ke arah gerbang. Jujur saja, tatapanku begitu hampa. Aku seolah-olah telah tidak punya gairah melanjutkan kehidupan ini lagi.Seseorang yang kutemukan di hotel, bukanlah Kiana Amaliya yang kucari. Dia adalah perempuan yang telah bersuami. Sungguh, semua ini membuatku semakin tidak mengerti.“Adrian?!”Nada suara yang terkejut terdengar di telingaku. Gerbang itu terbuka perlahan, lalu tubuh gadis mungil bernama Gladis mendekapku dengan sangat erat.“Ya, ampun, Adrian. Aku kangen banget sama kamu, Adrian.”Kehangatan yang sudah lama tidak aku rasakan. Benar-benar membuat hati nostalgia ke masa-masa itu.Aku lupa, masa-masa mana yang aku maksud. Yang jelas, diriku merasa seperti baru kemarin bertemu di rumah sakit dengan Gladis.Padahal, aku baru
“Gue tahu lo bakalan datang ke sini.”Sudah pasti dapat kutebak derap langkah Kiana sejak beberapa waktu lalu yang menapak di rerumputan lembab taman ini.Taman di tengah kota yang menjadi tempat bersejarah akan kedekatan kami. Kiana terduduk di sebelahku, sedangkan aku hanya tertunduk menatap rerumputan yang basah.“Aku udah biasa ke taman ini, Adrian. Apalagi, di sini tempat kita pertama kali saling membuka diri.”Kini, kuangkat kepala dan menatap Kiana yang sedang mengembangkan senyuman hangat.“Iya, gue nggak bisa lupain itu. Tapi, kenapa semua orang menganggap lo cuma ilusi?”Dia tertawa geli sembari membenarkan kacamata yang sempat melorot.“Siapa yang mengira aku hanya ilusi? Dan kamu percaya gitu aja, Adrian?”Beberapa kali kugelengkan kepala. “Nggak, kok. Gue sama sekali nggak percaya sama mereka yang mengatakan kalau lo cuma ilusi.Gimanapun juga, lo bukan f
Sejak beberapa menit yang lalu, belum terjadi pembicaraan apa pun antara diriku dan Kiana. Gadis tersebut terlihat canggung dan hanya menatapku sesekali.Wajah meronanya bahkan masih jelas kulihat. Padahal, kami sudah berpindah dari taman menuju rumahku.Kiana mengatakan hal aneh yang semestinya tidak pernah kuduga. Dia memintaku untuk melakukan hal agar memberikannya sebuah kenikmatan.Hanya saja, aku merasa tidak bisa melakukannya. Dia memang cantik dan memesona, tetapi gairah di dalam diriku telah sama sekali tak ada.Bibirnya yang tipis itu tidak lagi membuatku tertarik untuk melumatnya atau sekadar menempelkan bibirku di sana.“Tumben cuma diem aja.”Pada akhirnya, aku yang memulai pembicaraan. Biasanya, Kiana terlihat begitu ramah dan bijak. Yah, bukan berarti sekarang dia tak ramah.“Habisnya, gimana nggak diem. Kamu aja belum jawab permintaanku. Malu, tahu!”Lagi-lagi, dia mengalihkan pandangan k
Aku telah tidak tahu apa yang benar-benar diriku inginkan untuk saat ini. Gairah gelap yang aku miliki bahkan sudah tidak pernah kurasakan hadir ketika dekat dengan perempuan.Oleh karena itu, aku mungkin akan berusaha untuk mendapatkan gairahku kembali. Aku tahu bagi beberapa orang, ini merupakan hal yang sangat menjijikkan dan kotor.Akan tetapi, jika tak memiliki gairah nafsu, bagaimana bisa aku merasakan cinta dan kasih sayang?Dalam sebuah hubungan, gairah sangat dibutuhkan dan aku kini bertekad untuk mendapatkannya kembali.Di sebuah bar, kulihat beberapa perempuan tengah menikmati beberapa botol bir. Kuhampiri mereka tanpa berbasa-basi, langsung duduk di meja yang satu kursinya masih tersedia.Ketiga perempuan tersebut segera menatapku heran.“Yo! Gue boleh, kan, gabung di sini? Kalian nggak keberatan, kan?”Satu dari mereka terlihat agak cuek, lalu dua lainnya menanggapiku dengan senyuman getir.“Ada a
Sebelumnya, aku tidak pernah terlibat sebuah perkelahian dengan siapa pun. Sekesal dan semarah apa pun diriku pada seseorang, lebih baik pergi daripada harus merepotkan diri sendiri.Setelah mendapatkan pukulan yang cukup telak menghantam wajah, aku segera bangkit dan mengelap darah yang telah mengalir dari gusi.“Gue kasih lo kesempatan. Kalau lo nggak mau dapet bogem gue lagi, jangan ikut campur dan pergi dari sini!” kelakar laki-laki berambut gondrong yang sekarang sedang mencengkeram tangan Tasya.Menanggapi kebaikan hati si lelaki gondrong, aku hanya tersenyum dan sesekali mengeluarkan tawa. Yah, kata-katanya memang cukup keren.Hanya saja, aku merasa tidak bisa lepas dari sebuah tanggung jawab untuk membantu orang lain yang terlibat masalah. Apalagi masalah yang jelas-jelas di depan mataku.“Nggak apa-apa. Thanks atas kesempatan lo. Tapi, kayaknya gue lebih milih buat nolongin itu cewek.”Para pelanggan lain di