Jika kenangan yang aku miliki hanya sebuah ilusi, lalu apa lagi yang harus aku percaya dari diri ini?
Sungguh semua ini tidak pernah kubayangkan akan terjadi. Meskipun sempat menolak untuk tak percaya, tetapi jika dilihat dari raut wajah Carissa dan caranya menjelaskan, aku tak menemukan celah kebohongan sama sekali.
Hal yang begitu sulit diterima bahwa semua yang aku jalani ternyata hanya sebuah dongeng belaka.
Carissa menekan tubuhku di ranjang. Aku melihat seberapa indah dirinya yang hanya mengenakan pakaian kekurangan bahan dan sedikit transparan.
“Kamu tidak benar-benar menginginkan hubungan seperti ini, Adrian. Coba lihat saya. Perhatikan baik-baik. Rasakan baik-baik.
Nafsu gairahmu sebenarnya sudah lama tidak ada. Kamu kehilangan semua itu dan akhirnya Elaine memutuskan untuk memutus semua kontrak denganmu.”
Padahal, aku merasa sangat ingin menyentuh tubuh padat berisi milik Carissa. Aku juga ingin disentuh dengan seluruh
Jadi, apa yang benar-benar asli di hidupku? Jika kenangan hanyalah kepalsuan, berarti hidupku sama sekali tak bermakna selama ini.Dengan keteguhan hati yang begitu tinggi, aku berusaha mengusir segala prasangka Carissa. Aku percaya bahwa hidupku tidak dikendalikan oleh siapa pun.Aku ingin hidup yang bebas. Bebas dari jerat prasangka dan batasan-batasan dalam sebuah drama kehidupan yang sangat klise.Malam yang begitu resah, meski bintang dan rembulan menggantung di dahan malam demi memperlihatkan manusia pada suatu keindahan.Sambil menyeruput kopi yang beberapa waktu kupesan di kafetaria hotel, setiap penjelasan yang dikatakan Carissa tak dapat kuhalau. Suaranya terus mendengung di telinga seolah-olah tak mengizinkanku melarikan diri ke mana pun.Untung saja, Carissa sudah tidur beberapa jam yang lalu sehingga aku bisa lepas dari jeratnya. Akan tetapi, aku tetap penasaran dengan hal yang terjadi pada diriku ini.Karena itulah, aku masih b
“Sudah lama sekali saya mengamati hal ini, Adrian. Pertama kali Elaine menghubungi saya setahun yang lalu, kemudian meminta saya untuk melakukan beberapa diagnosa mengenai dirimu.”Buku yang sampulnya menampilkan foto seorang lelaki tengah duduk sambil menekuk lutut ini kugapai, kemudian memperhatikan nama penulis yang tertera.Padahal, dalam penglihatanku beberapa tahun lalu, buku ini tidaklah ditulis oleh seseorang dengan nama pena K(&)A. Hanya bertuliskan Kiana Amaliya saja.Sungguh semua kebingungan ini semakin memuncak. Membuat emosi di dalam diriku kembali mencuat.Rasa sakit di kepala pun tiba-tiba datang menyerang. Tajam menusuk hingga buku terlepas dari genggaman. Tergeletak di lantai.Carissa mengambil buku tersebut, kemudian menatapku sambil memegang pundakku.“Adrian. Apa yang terjadi pada dirimu adalah sebuah penyakit mental yang disebut dengan Skizofrenia. Penyakit mental yang membuat penderitanya mencipta
“Gue nggak percaya semua ini!”Seharusnya memang seperti ini. Semua yang telah aku lalui, tidak akan pernah menjadi hal yang berputar pada sia-sia.“Oh, jadi kamu memilih tidak percaya dengan saya, Adrian?”“Semua yang gue lalui bukanlah kepalsuan! Orang-orang di dalam ingatan gue bukan ilusi! Dan lo yang bukan siapa-siapa bagi gue, mengatakan mereka semua dan ingatan gue adalah ilusi!Gue nggak akan percaya semudah itu sama lo!”“Dengan bukti-bukti yang sudah jelas ada?”“Bukti-bukti ini bisa lo buat-buat! Siapa yang tahu lo punya niat buruk?!”Seraya bangkit, kulempar buku Lelaki dan Kehidupannya hingga membentur dinding kamar. Kemudian, aku lebih memilih untuk melarikan diri dari genggaman Carissa.Benar, bukan? Tak ada yang tahu bahwa wanita bernama Carissa ini berbohong. Dia sama liciknya dengan Elaine. Mereka semua berusaha menjebloskan diriku ke sebuah kehidupan
Demi membuktikan bahwa Kiana bukanlah ilusi semata, aku ingat pernah bertemu dengannya di kafetaria Coconut Hotel. Karena itu, di pagi harinya, aku kembali ke bangunan menjulang tinggi itu.“Ada yang bisa dibantu, Mas?”“Gue cari tamu bernama Kiana Amaliya. Apa boleh tahu di kamar mana dia menginap?”“Kalau boleh tahu, Mas siapanya, ya?”Mataku menerawang, berusaha memikirkan alasan yang tepat agar tidak terjadi kecurigaan.“Gue saudaranya. Gue ada keperluan dan nggak tahu dia ada di kamar mana. Nomor ponselnya juga nggak aktif.”“Baik. Kalau begitu, Mas silakan menunggu dulu, ya. Saya akan berusaha mencarinya informasinya.”Aku begitu yakin bahwa Kiana bukanlah ilusi. Ilusi tidak akan terasa sangat nyata seperti yang aku alami.Kenanganku bersamanya, dimulai dari ketidaksengajaan saat berada di Mal. Aku ingat betul parasnya yang begitu memesona, meskipun waktu itu dir
Berkali-kali kutekan bel di sebuah rumah, lalu menunggu seseorang membuka pintu gerbang bercat putih.Selang beberapa saat, sesosok gadis bertubuh mungil berjalan ke arah gerbang. Jujur saja, tatapanku begitu hampa. Aku seolah-olah telah tidak punya gairah melanjutkan kehidupan ini lagi.Seseorang yang kutemukan di hotel, bukanlah Kiana Amaliya yang kucari. Dia adalah perempuan yang telah bersuami. Sungguh, semua ini membuatku semakin tidak mengerti.“Adrian?!”Nada suara yang terkejut terdengar di telingaku. Gerbang itu terbuka perlahan, lalu tubuh gadis mungil bernama Gladis mendekapku dengan sangat erat.“Ya, ampun, Adrian. Aku kangen banget sama kamu, Adrian.”Kehangatan yang sudah lama tidak aku rasakan. Benar-benar membuat hati nostalgia ke masa-masa itu.Aku lupa, masa-masa mana yang aku maksud. Yang jelas, diriku merasa seperti baru kemarin bertemu di rumah sakit dengan Gladis.Padahal, aku baru
“Gue tahu lo bakalan datang ke sini.”Sudah pasti dapat kutebak derap langkah Kiana sejak beberapa waktu lalu yang menapak di rerumputan lembab taman ini.Taman di tengah kota yang menjadi tempat bersejarah akan kedekatan kami. Kiana terduduk di sebelahku, sedangkan aku hanya tertunduk menatap rerumputan yang basah.“Aku udah biasa ke taman ini, Adrian. Apalagi, di sini tempat kita pertama kali saling membuka diri.”Kini, kuangkat kepala dan menatap Kiana yang sedang mengembangkan senyuman hangat.“Iya, gue nggak bisa lupain itu. Tapi, kenapa semua orang menganggap lo cuma ilusi?”Dia tertawa geli sembari membenarkan kacamata yang sempat melorot.“Siapa yang mengira aku hanya ilusi? Dan kamu percaya gitu aja, Adrian?”Beberapa kali kugelengkan kepala. “Nggak, kok. Gue sama sekali nggak percaya sama mereka yang mengatakan kalau lo cuma ilusi.Gimanapun juga, lo bukan f
Sejak beberapa menit yang lalu, belum terjadi pembicaraan apa pun antara diriku dan Kiana. Gadis tersebut terlihat canggung dan hanya menatapku sesekali.Wajah meronanya bahkan masih jelas kulihat. Padahal, kami sudah berpindah dari taman menuju rumahku.Kiana mengatakan hal aneh yang semestinya tidak pernah kuduga. Dia memintaku untuk melakukan hal agar memberikannya sebuah kenikmatan.Hanya saja, aku merasa tidak bisa melakukannya. Dia memang cantik dan memesona, tetapi gairah di dalam diriku telah sama sekali tak ada.Bibirnya yang tipis itu tidak lagi membuatku tertarik untuk melumatnya atau sekadar menempelkan bibirku di sana.“Tumben cuma diem aja.”Pada akhirnya, aku yang memulai pembicaraan. Biasanya, Kiana terlihat begitu ramah dan bijak. Yah, bukan berarti sekarang dia tak ramah.“Habisnya, gimana nggak diem. Kamu aja belum jawab permintaanku. Malu, tahu!”Lagi-lagi, dia mengalihkan pandangan k
Aku telah tidak tahu apa yang benar-benar diriku inginkan untuk saat ini. Gairah gelap yang aku miliki bahkan sudah tidak pernah kurasakan hadir ketika dekat dengan perempuan.Oleh karena itu, aku mungkin akan berusaha untuk mendapatkan gairahku kembali. Aku tahu bagi beberapa orang, ini merupakan hal yang sangat menjijikkan dan kotor.Akan tetapi, jika tak memiliki gairah nafsu, bagaimana bisa aku merasakan cinta dan kasih sayang?Dalam sebuah hubungan, gairah sangat dibutuhkan dan aku kini bertekad untuk mendapatkannya kembali.Di sebuah bar, kulihat beberapa perempuan tengah menikmati beberapa botol bir. Kuhampiri mereka tanpa berbasa-basi, langsung duduk di meja yang satu kursinya masih tersedia.Ketiga perempuan tersebut segera menatapku heran.“Yo! Gue boleh, kan, gabung di sini? Kalian nggak keberatan, kan?”Satu dari mereka terlihat agak cuek, lalu dua lainnya menanggapiku dengan senyuman getir.“Ada a
“Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku
“Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men
Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti
Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k
Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer
Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit
Ketika aku berjalan untuk menuju ruang syuting, seseorang mendorong tubuhku hingga masuk ke sebuah gudang penyimpanan alat dan barang-barang bekas.“Woi! Apa-apaan ini?!”Aku tak melihat apa pun di ruangan tersebut karena sangat gelap. Tubuhku didorongnya hingga mentok pada dinding. Sedangkan, mataku ditutup oleh sehelai kain. Sempurna sudah, aku tidak bisa melihat apa pun.“Siapa lo?! Apa-apaan, sih, ini?!”Tanganku berusaha meraba-raba, tetapi tak mendapatkan apa pun. Kudengar embusan napas dari orang yang menyekapku ke gudang ini.Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dari kelembutan kulit yang aku rasakan, kurasa pelakunya adalah seorang perempuan.“Siapa lo? Kenapa lo ngelakuin ini?”Masih tak ada jawaban. Kini, terasa bahwa tangannya meraba-raba dadaku, menelusup ke balik kemeja yang aku kenakan. Segera aku tepis dan berhasil menggenggam tangannya.Meskipun tak bisa melihat apa pun,
Aku membuka pintu ruangan Elaine dengan kasar.“Apa-apaan, sih, lo?! Kenapa si Diana cewek gila itu harus jadi partner gue?!” protesku sambil mendengkus kasar, lalu mengempaskan pantat di sofa.Elaine terlihat sedang bersantai sambil menikmati rokok putih kesukaannya. Dia menatapku sejenak dan tersenyum kecut. Ini seolah-olah dia melihat seorang lelaki bodoh.“Kenapa, Adrian? Kamu tiba-tiba datang dan berteriak seperti itu. Memangnya dia merepotkanmu selama ini?”“Udah jelas! Dia ngerepotin banget! Hubungan gue sama Carissa hampir aja berakhir gara-gara dia! Udah gila itu cewek. Bisa-bisanya lo … ahhh!”Kuembuskan napas panjang untuk sedikit meredakan kekesalan yang menyelimuti.Walau demikian, aku memang tak habis pikir dengan perempuan bernama Diana itu. Mulai dari sikapnya yang riang, lalu berubah jadi sangat licik dan merepotkan. Benar-benar tipe perempuan yang tidak pernah aku inginkan ada di d
Dengan langkah cepat, aku masuk dan mengunci pintu rumah. Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk dengan keras oleh Diana dari luar.“ADRIAN! AKU NGGAK MAU PULANG! AKU MAU TETAP DI SINI!”Begitulah dia berteriak sambil membentur-benturkan tangannya di pintu, kurasa. Aku tak menanggapi semua yang dia ucapkan dengan teriakan pekak.Ini benar-benar tidak bagus. Semestinya aku sudah bermesra-mesraan sekarang dengan Carissa setelah selesai makan siang. Namun, kedatangan Diana menjadi sebuah malapetaka bagi kami.“Adrian! Please! Bukan pintunya! Aku nggak akan pulang sebelum kamu menerima aku jadi yang kedua!”Salahkah jika aku mengatakan perempuan ini murahan? Sebab, dia terlalu menuntut hati seseorang yang tidak memiliki perasaan padanya.Baru kali ini aku bertemu perempuan keras kepala seperti Diana. Ia bahkan tidak ragu mempermalukan dirinya di hadapanku. Jika benar dia mencintai dengan setulus hati, mengapa tidak memiki