“Gue tahu lo bakalan datang ke sini.”
Sudah pasti dapat kutebak derap langkah Kiana sejak beberapa waktu lalu yang menapak di rerumputan lembab taman ini.
Taman di tengah kota yang menjadi tempat bersejarah akan kedekatan kami. Kiana terduduk di sebelahku, sedangkan aku hanya tertunduk menatap rerumputan yang basah.
“Aku udah biasa ke taman ini, Adrian. Apalagi, di sini tempat kita pertama kali saling membuka diri.”
Kini, kuangkat kepala dan menatap Kiana yang sedang mengembangkan senyuman hangat.
“Iya, gue nggak bisa lupain itu. Tapi, kenapa semua orang menganggap lo cuma ilusi?”
Dia tertawa geli sembari membenarkan kacamata yang sempat melorot.
“Siapa yang mengira aku hanya ilusi? Dan kamu percaya gitu aja, Adrian?”
Beberapa kali kugelengkan kepala. “Nggak, kok. Gue sama sekali nggak percaya sama mereka yang mengatakan kalau lo cuma ilusi.
Gimanapun juga, lo bukan f
Sejak beberapa menit yang lalu, belum terjadi pembicaraan apa pun antara diriku dan Kiana. Gadis tersebut terlihat canggung dan hanya menatapku sesekali.Wajah meronanya bahkan masih jelas kulihat. Padahal, kami sudah berpindah dari taman menuju rumahku.Kiana mengatakan hal aneh yang semestinya tidak pernah kuduga. Dia memintaku untuk melakukan hal agar memberikannya sebuah kenikmatan.Hanya saja, aku merasa tidak bisa melakukannya. Dia memang cantik dan memesona, tetapi gairah di dalam diriku telah sama sekali tak ada.Bibirnya yang tipis itu tidak lagi membuatku tertarik untuk melumatnya atau sekadar menempelkan bibirku di sana.“Tumben cuma diem aja.”Pada akhirnya, aku yang memulai pembicaraan. Biasanya, Kiana terlihat begitu ramah dan bijak. Yah, bukan berarti sekarang dia tak ramah.“Habisnya, gimana nggak diem. Kamu aja belum jawab permintaanku. Malu, tahu!”Lagi-lagi, dia mengalihkan pandangan k
Aku telah tidak tahu apa yang benar-benar diriku inginkan untuk saat ini. Gairah gelap yang aku miliki bahkan sudah tidak pernah kurasakan hadir ketika dekat dengan perempuan.Oleh karena itu, aku mungkin akan berusaha untuk mendapatkan gairahku kembali. Aku tahu bagi beberapa orang, ini merupakan hal yang sangat menjijikkan dan kotor.Akan tetapi, jika tak memiliki gairah nafsu, bagaimana bisa aku merasakan cinta dan kasih sayang?Dalam sebuah hubungan, gairah sangat dibutuhkan dan aku kini bertekad untuk mendapatkannya kembali.Di sebuah bar, kulihat beberapa perempuan tengah menikmati beberapa botol bir. Kuhampiri mereka tanpa berbasa-basi, langsung duduk di meja yang satu kursinya masih tersedia.Ketiga perempuan tersebut segera menatapku heran.“Yo! Gue boleh, kan, gabung di sini? Kalian nggak keberatan, kan?”Satu dari mereka terlihat agak cuek, lalu dua lainnya menanggapiku dengan senyuman getir.“Ada a
Sebelumnya, aku tidak pernah terlibat sebuah perkelahian dengan siapa pun. Sekesal dan semarah apa pun diriku pada seseorang, lebih baik pergi daripada harus merepotkan diri sendiri.Setelah mendapatkan pukulan yang cukup telak menghantam wajah, aku segera bangkit dan mengelap darah yang telah mengalir dari gusi.“Gue kasih lo kesempatan. Kalau lo nggak mau dapet bogem gue lagi, jangan ikut campur dan pergi dari sini!” kelakar laki-laki berambut gondrong yang sekarang sedang mencengkeram tangan Tasya.Menanggapi kebaikan hati si lelaki gondrong, aku hanya tersenyum dan sesekali mengeluarkan tawa. Yah, kata-katanya memang cukup keren.Hanya saja, aku merasa tidak bisa lepas dari sebuah tanggung jawab untuk membantu orang lain yang terlibat masalah. Apalagi masalah yang jelas-jelas di depan mataku.“Nggak apa-apa. Thanks atas kesempatan lo. Tapi, kayaknya gue lebih milih buat nolongin itu cewek.”Para pelanggan lain di
Kini, kami tengah duduk di ranjang sebuah hotel mewah terdekat dari bar. Sejak beberapa menit yang lalu, Tasya tampak telah mempersiapkan diri untuk melakukan hubungan panas denganku.Walau demikian, gairah di dalam diriku tetap tak merespons. Ibarat memanggil seseorang, tapi karena tuli, akhirnya tak ada tanggapan berarti.Yah, setidaknya hanya seperti itulah perumpamaan yang bisa kutuliskan.“Kita tadi udah pemanasan, kan, nih. Terus ….”Tasya tak melanjutkan. Dia terlihat jauh lebih canggung dari sebelumnya. Ketika melakukan kissing beberapa waktu lalu, aku menduga bahwa perempuan ini sudah cukup ahli.Maksudku, bibir dan pengecapnya terkesan sudah biasa melakukan kissing sehingga tidak terasa kaku.Sebelum mengambil tindakan berarti, aku mengembuskan napas panjang, lalu menarik Tasya agar menatapku.“Apa … perlu gue buka dulu? Pakaian gue.”Mungkin karena diriku seorang bintang film ini
Suasana yang begitu tenang di sebuah restoran mewah tengah kota diiringi oleh gesekan alat musik biola. Sungguh syahdu dan terasa damai.Kutatap Kiana yang sedang menyantap makanan yang beberapa waktu lalu dipesannya. Steak ukuran jumbo.“Kenapa kamu menatap aku kayak gitu, Adrian? Kamu nggak makan? Hampir dingin makanannya.”Walau demikian, mataku tak berpaling sedikit pun. Entah mengapa, akhir-akhir ini ada keraguan yang bersemayam di kepala mengenai kehadiran gadis tersebut.Aku terlampau berpikir tentang pertemuan kami dan segala hal yang pernah kami lewati bersama-sama.Emosiku pun tak stabil. Suasana hati yang buruk telah tidak ingin pergi dari hati.“Nggak ada. Gue cuma seneng lihat lo makan dengan lahap.”Dia pun tertawa pelan, lalu menghabiskan potongan Steak terakhirnya.Sambil mengambil segelas air putih yang tersedia di hadapan, dia berkata, “Orang makan, kok, dilihatin? Seharusnya kamu
Usai kejadian di restoran, aku mengurung diri lagi di kamar yang diselimuti kegelapan. Tidak ada yang tahu secara pasti ke mana Kiana setelah itu.Bahkan aku sendiri yang duduk berhadapan dengannya, tiba-tiba saja gadis tersebut tidak lagi ada di tatapanku. Oleh hal tersebut, aku benar-benar syok sampai-sampai tidak bisa tidur dengan nyenyak.Aku menekuk kedua kaki dan bersandar di sudut ruangan sambil menelungkup diri dengan selimut. Teramat dalam luka yang aku dapatkan.Kejadian itu semakin menguatkan pendapat Carissa dan Elaine bahwa diriku tengah mengalami penyakit mental.Tidak, tidak. Jauh di lubuk hati, aku berharap ini hanya sebuah tekanan mental biasa yang sering terjadi dan menyerang siapa pun.Bisa saja aku stres dan tidak sadar bahwa kesehatanku menurun.Dan entah mengapa, aku tertawa seorang diri meratapi hal-hal aneh yang akhir-akhir ini terjadi. Emosi di dalam diri naik-turun. Amarah kadang tidak bisa kukendalikan sehingga mel
“Berhenti, Karina. Gue udah nggak bisa ngerasain gairah apa pun. Percuma aja lo berusaha bikin gue terangsang.”Seketika itu, tangan Karina yang tengah mengelus-elus beberapa bagian tubuhku berhenti. Dia menatapku dengan lamat.“Apa gue nggak boleh berusaha agar lo bisa lagi bergairah?”“Nggak bisa. Gue udah mencobanya berkali-kali. Gue nggak ada keinginan untuk melakukan aktivitas panas sama siapa pun.Bahkan gue udah mencobanya dengan gadis yang baru gue kenal. Percuma aja. Gue hanya mempermalukan diri sendiri dengan memperlihatkan kebodohan gue.”Tatapan yang dipenuhi rasa simpati. Kutahu bahwa Karina merupakan orang yang paling tidak bisa melihat sahabatnya bersedih atau kesusahan.Sejak dulu, dia selalu memaksa diri sendiri melakukan sesuatu agar sahabatnya bisa tersenyum kembali dan tidak terluka.Seperti itulah Karina yang kuketahui sejak dulu. Kurasa, dia sekarang menjadi sosok yang sangat p
Dengan pace yang cukup cepat, pengecap Karina bergerak di leher dan turun ke perutku. Sementara itu, tangannya mengelus-elus pahaku.“Gimana, Adrian?” tanyanya, lalu melanjutkan aktivitasnya yang sebenarnya tidak pernah kuinginkan.Dengan pasrah, aku telentang, membiarkan perempuan ini melakukan apa pun dengan tubuhku. Kini, kedua tangannya membuka kancing kemeja yang kukenakan.Aku merasa bahwa tindakannya sangat buru-buru. Bahkan terkesan bahwa dialah yang menginginkan hal ini.Mungkin dia telah merasakan gairah itu memuncak secara drastis setelah masing-masing emosi kami bergelora, meledak ke permukaan.“Gue nggak ngerasa pengin.”Terlepas sudah semua kancing kemeja, kini ia melepaskan kain bermotif kotak-kotak yang didominasi warna merah tua.Dengan posisi menindih tubuhku, Karina menggosok-gosokkan tangannya di amunisi kelelakianku. Matanya memancarkan harapan dan gairah yang telah berada di luar kendali.
“Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku
“Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men
Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti
Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k
Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer
Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit
Ketika aku berjalan untuk menuju ruang syuting, seseorang mendorong tubuhku hingga masuk ke sebuah gudang penyimpanan alat dan barang-barang bekas.“Woi! Apa-apaan ini?!”Aku tak melihat apa pun di ruangan tersebut karena sangat gelap. Tubuhku didorongnya hingga mentok pada dinding. Sedangkan, mataku ditutup oleh sehelai kain. Sempurna sudah, aku tidak bisa melihat apa pun.“Siapa lo?! Apa-apaan, sih, ini?!”Tanganku berusaha meraba-raba, tetapi tak mendapatkan apa pun. Kudengar embusan napas dari orang yang menyekapku ke gudang ini.Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dari kelembutan kulit yang aku rasakan, kurasa pelakunya adalah seorang perempuan.“Siapa lo? Kenapa lo ngelakuin ini?”Masih tak ada jawaban. Kini, terasa bahwa tangannya meraba-raba dadaku, menelusup ke balik kemeja yang aku kenakan. Segera aku tepis dan berhasil menggenggam tangannya.Meskipun tak bisa melihat apa pun,
Aku membuka pintu ruangan Elaine dengan kasar.“Apa-apaan, sih, lo?! Kenapa si Diana cewek gila itu harus jadi partner gue?!” protesku sambil mendengkus kasar, lalu mengempaskan pantat di sofa.Elaine terlihat sedang bersantai sambil menikmati rokok putih kesukaannya. Dia menatapku sejenak dan tersenyum kecut. Ini seolah-olah dia melihat seorang lelaki bodoh.“Kenapa, Adrian? Kamu tiba-tiba datang dan berteriak seperti itu. Memangnya dia merepotkanmu selama ini?”“Udah jelas! Dia ngerepotin banget! Hubungan gue sama Carissa hampir aja berakhir gara-gara dia! Udah gila itu cewek. Bisa-bisanya lo … ahhh!”Kuembuskan napas panjang untuk sedikit meredakan kekesalan yang menyelimuti.Walau demikian, aku memang tak habis pikir dengan perempuan bernama Diana itu. Mulai dari sikapnya yang riang, lalu berubah jadi sangat licik dan merepotkan. Benar-benar tipe perempuan yang tidak pernah aku inginkan ada di d
Dengan langkah cepat, aku masuk dan mengunci pintu rumah. Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk dengan keras oleh Diana dari luar.“ADRIAN! AKU NGGAK MAU PULANG! AKU MAU TETAP DI SINI!”Begitulah dia berteriak sambil membentur-benturkan tangannya di pintu, kurasa. Aku tak menanggapi semua yang dia ucapkan dengan teriakan pekak.Ini benar-benar tidak bagus. Semestinya aku sudah bermesra-mesraan sekarang dengan Carissa setelah selesai makan siang. Namun, kedatangan Diana menjadi sebuah malapetaka bagi kami.“Adrian! Please! Bukan pintunya! Aku nggak akan pulang sebelum kamu menerima aku jadi yang kedua!”Salahkah jika aku mengatakan perempuan ini murahan? Sebab, dia terlalu menuntut hati seseorang yang tidak memiliki perasaan padanya.Baru kali ini aku bertemu perempuan keras kepala seperti Diana. Ia bahkan tidak ragu mempermalukan dirinya di hadapanku. Jika benar dia mencintai dengan setulus hati, mengapa tidak memiki