Mobil langsung berhenti di seberang pagar. Mereka tak langsung turun. Memerhatikan suasana rumah itu dari dalam mobil.
"Kok sepi ya Rom?"
"Enggak tahu, Ma."
"Ayok, kita turun!"
"Romy enggak ikut!"
"Ehhh ... kamu ini kenapa?"
"Malas, Ma. Ngantuk."
Maya dan Hartono saling beradu pandang.
"Ayok, Ma. Kita aja yang turun."
Terlihat di halaman seorang wanita seumuran mereka.
"Assalamualaikum, permisi Bu!" ucap Maya, berdiri di luar pagar.
"Waalaikumsalam. Ada apa ya, Bu?"
"Apa benar ini rumah Amelia?"
Wanita yang tak lain istri Pak Sadi, terus menatap ke arahnya. Dari arah teras belakang, muncul Pak Sadi yang langsung berjalan mendekati sang istri.
"Siapa, Bu?"
"Ini Ibunya tanya Mbak Amelia."
Pak sadi menghampiri Maya dan Hartono yang masih di luar pagar.
"Mari masuk dulu, Pak. Monggo, Bu!" ajak Pak Sadi menuju kursi di teras depan. Istrinya pun ikut ber
"Apalagi, Pa?""Kita jangan langsung hakimi Romy dulu, Ma. Beri waktu buat kita berpikir santai.""Ini semua sudah bikin aku stress Pa!" sentak Maya dengan emosi memuncak."Ya, tapi Ma. Tahanlah dulu! Kita selesaikan kalau nanti sudah tiba di apartemen."Dengan mendengkus kesal. Maya melangkah lebar.Blep!Pintu mobil terbanting dengan keras. Membuat Romy yang tengah tertidur. Sampai terbangun. Dia menoleh ke arah sang mama, yang sudah duduk di belakangnya."Ada apa sih, Ma? Kok sampai banting pintu kayak gitu?"Maya hanya diam tak menjawab. Hatinya masih berdebar-debar karena amarah. Bahkan embusan napasnya sampai terdengar oleh Romy."Mama ini kenapa?"Sengaja Maya memalingkan muka. Menembus jendela dengan raut wajah yang memerah."Rom! Sekarang kamu antar kami ke rumahnya Adrian!" tegas Hartono.Permintaan papanya itu, membuat Romy mengerutkan kening. Kedua bola mata tak lepas terus memandang ke a
Dua puluh menit kemudian.Langkah mereka bergegas menuju apartemen Romy. Maya sudah tidak tahan ingin memberondong Romy dengan sejuta pertanyaan."Rom! Mama sama Papa kamu ingin bicara serius!"Baru saja mereka masuk apartemen. Maya sudah mengajak Romy duduk di ruang tengah."Duduklah, Rom!" pinta Hartono, pada anak lelaki mereka."Iya, Pa.""Sebenarnya apa yang telah terjadi? Antara kamu, Amelia dan Adrian. Kamu jangan mengelak lagi, Rom!""Maksud Papa ini apa? Romy enggak paham sama sekali,""Rom!" teriak Maya hilang kesabarannya. "Jangan kamu pikir Mama dan Papa kamu ini orang bodoh. Enggak bisa melihat dan merasakan hal yang aneh. Mama kamu ini dari pertama datang dan melihat kamu. Sudah bisa bca kalau kamu lagi ada masalah. Sekarang katakan terus terang ada apa?""Memang Romy enggak ngerti, Ma. Apa yang Mama tanyakan ini?""Apa yang kamu lakukan, saat menjelang pernikahan Amelia dan Adrian? Ke mana kamu memba
Lalu Maya beranjak dan turun dari ranjang. Menuju meja rias. Perlahan jemari tangannya bergerak mengusap lembut wajahnya dengan kapas. Hingga pandangan Maya tertuju pada kertas yang tersemat diantara laci meja.Penasaran kertas itu ditarik kuat oleh Maya."Apa ini?"Perlahan jemari tangan mulai begerak membuka lipatan surat itu."Ada apa Ma?""Coba Papa ke sini deh!"Segera Hartono menghampiri Maya. Yang tengah memegang sebuah kertas. Lalu Maya memerlihatkan pada suami."Co-coba ... Papa baca! Mama masih belum baca juga.""Bentar, Ma!"Lelaki tampan di usia yang sudah tak lagi muda itu. Mulai memasang kaca matanya."Sepertinya surat Ma ini. Ini pakai tulisan tangan.""Coba Papa yang baca," pinta Maya."Baik, Ma."_Mas Romy tercinta_Mungkin saat Mas Romy membaca surat ini. Aku sudah berada jauh, entah di mana?Aku sendiri tak tahu, Mas. Akan melangkah
"Aaaaarghhh! Enggak Paaa ... aku enggak mau mereka bercerai seperti ini. Aku enggak mau Romy jadi rusak seperti ini, Pa. Apa yang telah dia lakukan sama Amel? Sampai membuat pernikahan mereka batal."Maya tak bisa lagi menahan tangisnya yang langsung meledak. Dia terus meraung-raung dalam dekapan Hartono. Maya mulai merasa degup jantungnya berdetak kencang. Seketika dia merasakan sulit untuk bernapas. Kepalanya serasa berputar dan gelap."Pa-pa ... Pa! Dada aku sesak. Sa-sakit sekali, Pa!"Segera Hartono mengangkat tubuh istrinya dari lantai. Dia dengan sigap melonggarkan seluruh pakaian Maya, yang berkeringat dingin."Rooom ... Romy!!!" teriak Hartono.Terdengar suara pintu yang dibuka."Ada apa sih, Pa?""Lihat Mama kamu!"Romy yang masih berdiri di ambang pintu. Berlari cepat menuju ranjang. Raut wajahnya terlihat panik."Mama kenapa, Pa?"Hartono yang marah, tak menjawab. Dia hanya melempar surat S
"Apa yang kamu lakukan setelah menjemputnya?"Romy tak langsung menjawab. Dia terkekeh lirih. Seolah sedang mentertawakan nasib baik yang tak berpihak padanya."Apa ... yang kamu lakukan pada Amelia, Rom?" Suara Hartono sampai bergetar. Ingin hati dia menampar anaknya saat ini. Namun dia masih berpikir secara akal. Menahan emosi yang memuncak mendengar ulah Romy."Romy tak perlu menceritakan pada Papa. Yang jelas saat ini, Amelia tengah mengandung anak Romy!"Plaaaakkk!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Romy."Kau memang anak kurang ajar, Rom. Tega merusak nama baik keluarga sampai hina seperti ini." Hartono langsung bangkit dari kursinya. "Ini penyebab pernikahan Adrian dan Amelia batal."Langkahnya tertatih meninggalkan Romy di kursi tunggu. Hartono menekan dadanya yang terasa nyeri. Tak bisa dia bayangkan, anak lelaki yang selalu menjadi kebanggaan berbuat hal seperti ini.Masih dengan berurai air mata. Hartono berdiri
"Memang apa yang Romy lakukan adalah kesalahn terberat dan terbesar selama hidup. Mama tolong jangan diam saja.""Mama ... sudah enggak tau harus bilang apa lagi, Rom. Mama dan Papa hanya ingin, kamu temukan mereka. Bukan untuk kamu hidup bersama. Tapi, setidaknya untuk meminta maaf terhadap perbuatan kamu ini.""Termasuk pada Adrian, Rom!" lanjut Hartono. "Jadilah seorang lelaki sejati dan bertanggung jawab. Itu yang Papa minta darimu."Lalu, keduanya pergi meninggalkan Romy yang masih duduk termangu. Maya dan Hartono Segera memasuki kamar. Tampaknya mereka segera berkemas.Pukulan sangat telak bagi mereka saat ini. Tak pernah berpikir bahwa Romy, akan melakukan perbuatan yang keji."Ayo, Pa. Udah beres ini semuanya. Tinggal tunggu travel aja, kalau kereta kelamaan. Mama sudah enggak kerasan.""Travelnya udah ditelpon?""Udah kirim pesan, kebetulan ada longgar dua. Pas nanti jam lima Shubuh, penjemputan.""Mama buat isti
"Mana teman-teman kamu Raff?""Sebentar lagi datang.""Besok pagi kita ke rumah Amelia dulu. Setelahnya baru kita ke gerai yang di Mall.""Kenapa kita enggak coba ke makam suaminya yang dulu, Adrian?"Sejenak Adrian terdiam. Apa yang dipikirkan oleh Sella ada benarnya. Adrian manggut-manggut."Kamu benar juga. Dari situ kita bisa melihat, apakah Amelia masih ada di kota ini apa enggak. Pintar juga kamu, Sell! Aku malah enggak kepikiran sama sekali."Sella hanya mengembangkan senyumnya."Jangan remehkan dengan otakku, Adrian."Raffian yang mendengar hanya tersenyum lebar. Dari kejauhan terdengar suara motor yang menderu ke arah rumah ini."Sepertinya mereka datang, Mas.""Kamu akan suruh mereka lakukan apa Raff?""Mas dengarkan saja. Teman aku itu punya ide yang cemerlang."Adrian hanya mengangguk pelan. Tak lama, dua motor sudah memasuki halaman rumah."Ryan, ayo masuk!"Raffian m
Sontak Adrian dan Sella langsung menoleh, pada gerombolan anak kecil tak jauh dari mereka berdiri. "Iya, kalian kenal?" "Kenal dong Om. Memangnya Om cari Dita?" "Iya." "Tapi, Dita udah enggak tinggal di situ. Kemarin Dita datang dan bilang sama kita. Kalau rumah dia sekarang jauh. Iya 'kan?" Sembari mengajak teman-temannya untuk mengangguk. "Maksudnya Adek gimana ya? Om enggak ngerti." Sella langsung menengahi mereka. Dia pun berjongkok di hadapan anak-anak kecil yang sibuk bermain. "Maksud Adek tadi, si Dita kemarin datang?" "Iya, Te." "Sama siapa Dita datangnya?" "Sama Mamanya, Tante. Naik mobil yang biasanya Dita pakai." "Adek ini namanya siapa? Boleh dong Tante kenalan." "Boleh." Gadis kecil itu bersama teman-temannya berebut bersalaman dengan Sella. Lalu dengan sigap Sella berdiri, dan mengambil bungkusan permen yang ada di dalam mobil. "Ada yang mau?" "Mau, Te."