"Apa yang kamu lakukan setelah menjemputnya?"
Romy tak langsung menjawab. Dia terkekeh lirih. Seolah sedang mentertawakan nasib baik yang tak berpihak padanya.
"Apa ... yang kamu lakukan pada Amelia, Rom?" Suara Hartono sampai bergetar. Ingin hati dia menampar anaknya saat ini. Namun dia masih berpikir secara akal. Menahan emosi yang memuncak mendengar ulah Romy.
"Romy tak perlu menceritakan pada Papa. Yang jelas saat ini, Amelia tengah mengandung anak Romy!"
Plaaaakkk!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Romy.
"Kau memang anak kurang ajar, Rom. Tega merusak nama baik keluarga sampai hina seperti ini." Hartono langsung bangkit dari kursinya. "Ini penyebab pernikahan Adrian dan Amelia batal."
Langkahnya tertatih meninggalkan Romy di kursi tunggu. Hartono menekan dadanya yang terasa nyeri. Tak bisa dia bayangkan, anak lelaki yang selalu menjadi kebanggaan berbuat hal seperti ini.
Masih dengan berurai air mata. Hartono berdiri
"Memang apa yang Romy lakukan adalah kesalahn terberat dan terbesar selama hidup. Mama tolong jangan diam saja.""Mama ... sudah enggak tau harus bilang apa lagi, Rom. Mama dan Papa hanya ingin, kamu temukan mereka. Bukan untuk kamu hidup bersama. Tapi, setidaknya untuk meminta maaf terhadap perbuatan kamu ini.""Termasuk pada Adrian, Rom!" lanjut Hartono. "Jadilah seorang lelaki sejati dan bertanggung jawab. Itu yang Papa minta darimu."Lalu, keduanya pergi meninggalkan Romy yang masih duduk termangu. Maya dan Hartono Segera memasuki kamar. Tampaknya mereka segera berkemas.Pukulan sangat telak bagi mereka saat ini. Tak pernah berpikir bahwa Romy, akan melakukan perbuatan yang keji."Ayo, Pa. Udah beres ini semuanya. Tinggal tunggu travel aja, kalau kereta kelamaan. Mama sudah enggak kerasan.""Travelnya udah ditelpon?""Udah kirim pesan, kebetulan ada longgar dua. Pas nanti jam lima Shubuh, penjemputan.""Mama buat isti
"Mana teman-teman kamu Raff?""Sebentar lagi datang.""Besok pagi kita ke rumah Amelia dulu. Setelahnya baru kita ke gerai yang di Mall.""Kenapa kita enggak coba ke makam suaminya yang dulu, Adrian?"Sejenak Adrian terdiam. Apa yang dipikirkan oleh Sella ada benarnya. Adrian manggut-manggut."Kamu benar juga. Dari situ kita bisa melihat, apakah Amelia masih ada di kota ini apa enggak. Pintar juga kamu, Sell! Aku malah enggak kepikiran sama sekali."Sella hanya mengembangkan senyumnya."Jangan remehkan dengan otakku, Adrian."Raffian yang mendengar hanya tersenyum lebar. Dari kejauhan terdengar suara motor yang menderu ke arah rumah ini."Sepertinya mereka datang, Mas.""Kamu akan suruh mereka lakukan apa Raff?""Mas dengarkan saja. Teman aku itu punya ide yang cemerlang."Adrian hanya mengangguk pelan. Tak lama, dua motor sudah memasuki halaman rumah."Ryan, ayo masuk!"Raffian m
Sontak Adrian dan Sella langsung menoleh, pada gerombolan anak kecil tak jauh dari mereka berdiri. "Iya, kalian kenal?" "Kenal dong Om. Memangnya Om cari Dita?" "Iya." "Tapi, Dita udah enggak tinggal di situ. Kemarin Dita datang dan bilang sama kita. Kalau rumah dia sekarang jauh. Iya 'kan?" Sembari mengajak teman-temannya untuk mengangguk. "Maksudnya Adek gimana ya? Om enggak ngerti." Sella langsung menengahi mereka. Dia pun berjongkok di hadapan anak-anak kecil yang sibuk bermain. "Maksud Adek tadi, si Dita kemarin datang?" "Iya, Te." "Sama siapa Dita datangnya?" "Sama Mamanya, Tante. Naik mobil yang biasanya Dita pakai." "Adek ini namanya siapa? Boleh dong Tante kenalan." "Boleh." Gadis kecil itu bersama teman-temannya berebut bersalaman dengan Sella. Lalu dengan sigap Sella berdiri, dan mengambil bungkusan permen yang ada di dalam mobil. "Ada yang mau?" "Mau, Te."
Raffian mencari jalan yang lebih luas untuk tempat berputar. Lalu berbelok ke arah jalan raya. Mobil pun kembali melaju dengan kecepatan sedang."Masih lama tempatnya?""Enggak, Sayang. Di bawah kita, ini nanti jalannya menurun," tandas Raffian.Sampai akhirnya mobil berhenti di depan pasar kecamatan yang cukup ramai."Nah! Kalaupun Mbak Amelia ingin mencari kontrakan. Pasti di sekitaran sini."Mereka masih terdiam di dalam mobil. Pandangan Adrian mengedar di sekeliling tempat itu."Kampungnya sebelah mana aja?""Kayaknya enggak jauh Ma. Ada yang di belakang pasar. Tapi dari situ agak naik ke atas," sahut Adrian."Ini daerah pegunungan yaaa, Sayang?""Iya." Sella mencolek bahu Adrian. "Sekarang enaknya gimana? Aku rasa Amelia pun kalau mau periksa kehamilan dia enggak mungkin ke bidan 'kan? Pasti dia ke kota.""Di dekat sini ada rumah sakit islam yang cukup besar. Bisa saja dia periksa di sana, Sayang."
Mobil kembali melaju pelan. Menyusuri persawahan yang luas membentang. Adrian bisa merasakan dada yang terus berdebar-debar. Keinginan untuk segera menemukan Amelia begitu kuat."I-itu Raff kampungnya. Benar-benar asri. Tapi, kok sepi ya? Enggak ada orang buat ditanyain," ucap Sella lirih."Itu ada Bapak-bapak! BIar aku yang tanya," sahut Adrian.Seketika tangan Sella mencekal pundaknya. Lalu menggeleng."Kamu kurang luwes. Mending aku aja yang bagian tanya. Oke?""Oke, deh."Sella penuh semangat turun dari mobil. Dia menghampiri si bapak yang melihat ke arahnya."Permisi, Pak."Lelaki paruh baya itu hanya menganggukkan kepala."Apa daerah sini ada rumah yang dikontrakkan?"Lelaki itu langsung menunjuk rumah yang ada di sampingnya."Itu!""Apa ada orangnya?""Enggak ada."Sella berpikir keras."Saya ini sebnarnya lagi cari orang yang baru pindah Pak. Tapi rumahnya ngontrak. Apa a
Tok tok tok!Raffian mengetuk pintu rumah Ryan. Cukup lama mereka menunggu sampai pintu terbuka. Muncul seorang wanita muda. Dia tampak terkejut melihat kedatangan mereka."Permisi, Mbak. Ryannya ada?""Mas Ryan masih tidur, Mas. Silakan masuk dulu. Biar saya bangunkan.""Makasih, Mbak."Mereka segera masuk dan duduk di ruang tamu."Istri Ryan, Sayang?""Ya," sahut Raffian. "Baru saja merid.""Kamu kapan?" tanya Adrian mengejutkan Raffian dan Sella. Lalu keduanya tergelak."Kalau saya masih ragu Mas, sama perasaan Sella.""Kok kamu gitu sih? Jangan bilang kalau dulu pernah aku tinggalin!"Raffian tersenyum lebar sembari mengusap tangan Sella."Maaf, aku becanda. Kamu siap menikah kapan. Saat itu juga akan aku lamar.""Serius?""Sangat serius! Ada Mas Adrian sebagai saksi omongan aku ini."Seketika rona wajah Sella memerah. Dia tersipu malu. Terdengar derap langkah dari dala
"Masih belum tidur juga, Mbak Amel?""Ehhh ... kamu Rin.""Iya, Mbak. Aku enggak bisa tidur juga." Duduk di sebalah Amelia, sambil menonton televisi."Dita gimana?""Kayaknya dia capek, terus langsung tidur lelap.""Iya, Rin. Tadi aku ajak ke rumah sebentar. Dia main sama teman-temannya.""Mungkin ... Dita kangen sama rumah yang dulu, Mbak."Amelia hanya manggut-manggut."Maaf, Mbak. Apa kita akan di sini lama? Enggak balik ke rumah Mas Adrian atau rumah MBak Amelia yang dulu?""Entahlah, Rin."Rini tertunduk dengan banyak pertanyaan di kepalanya."Maaf bila aku lancang, Mbak. Apa kehamilan Mbak Amelia, penyebab pernikahan Mbak Amelia sama Mas Adrian batal, karena Mas Romy?""Banyak hal, Rin. Salah satunya memang dia."Embusan napas panjang terdengar dari Rini. Dia termasuk salah seorang yang sangat berbahagia dengan pernikahan Adrian dan Amelia. Saat pembatalan itu terjadi, ada kekecewaan dan
"Aku juga merindukan kamu, Adrian. Tapi ... aku ingin melahirkan anakku dulu Adrian. Baru aku bisa berpikir yang tenang. Kalau memang kita berjodoh, pasti kita akan bersama lagi.Ting!{Baru saja aku transfer uang dua puluh juta. Setiap bulan akan masuk uang sgeitu ke rekening kamu, Mel. Setidaknya untuk kebutuhan Dita dan anak yang ada dalam kandungan kamu}{Aku sangat mencintai kamu, Sayang. Jangan pernah pergi lagi dan menghindar dariku}Amelia semakin kencang dalam tangisnya. Dia tak menyangka jika Adrian bersikap seperti ini terhadapnya. Ada sebuah rindu yang kian melesak relung hati. Namun, Amelia tak ingin kecewa lagi. Dia membiarkan pesan itu tanpa berniat untuk membalas.Ting!{Walaupun kamu tak membalas pesanku. Tapi, berjanjilah Amelia. Bahwa jangan pernah kamu menghilang lagi. Aku akan selalu menunggu sampai kapan pun kamu siap}"Iya ... aku enggak akan menghilang dari kamu lagi Adrian. Tapi biarkan aku sendiri dulu saat i