Lalu Maya beranjak dan turun dari ranjang. Menuju meja rias. Perlahan jemari tangannya bergerak mengusap lembut wajahnya dengan kapas. Hingga pandangan Maya tertuju pada kertas yang tersemat diantara laci meja.
Penasaran kertas itu ditarik kuat oleh Maya.
"Apa ini?"
Perlahan jemari tangan mulai begerak membuka lipatan surat itu.
"Ada apa Ma?"
"Coba Papa ke sini deh!"
Segera Hartono menghampiri Maya. Yang tengah memegang sebuah kertas. Lalu Maya memerlihatkan pada suami.
"Co-coba ... Papa baca! Mama masih belum baca juga."
"Bentar, Ma!"
Lelaki tampan di usia yang sudah tak lagi muda itu. Mulai memasang kaca matanya.
"Sepertinya surat Ma ini. Ini pakai tulisan tangan."
"Coba Papa yang baca," pinta Maya.
"Baik, Ma."
_Mas Romy tercinta_
Mungkin saat Mas Romy membaca surat ini. Aku sudah berada jauh, entah di mana?
Aku sendiri tak tahu, Mas. Akan melangkah
"Aaaaarghhh! Enggak Paaa ... aku enggak mau mereka bercerai seperti ini. Aku enggak mau Romy jadi rusak seperti ini, Pa. Apa yang telah dia lakukan sama Amel? Sampai membuat pernikahan mereka batal."Maya tak bisa lagi menahan tangisnya yang langsung meledak. Dia terus meraung-raung dalam dekapan Hartono. Maya mulai merasa degup jantungnya berdetak kencang. Seketika dia merasakan sulit untuk bernapas. Kepalanya serasa berputar dan gelap."Pa-pa ... Pa! Dada aku sesak. Sa-sakit sekali, Pa!"Segera Hartono mengangkat tubuh istrinya dari lantai. Dia dengan sigap melonggarkan seluruh pakaian Maya, yang berkeringat dingin."Rooom ... Romy!!!" teriak Hartono.Terdengar suara pintu yang dibuka."Ada apa sih, Pa?""Lihat Mama kamu!"Romy yang masih berdiri di ambang pintu. Berlari cepat menuju ranjang. Raut wajahnya terlihat panik."Mama kenapa, Pa?"Hartono yang marah, tak menjawab. Dia hanya melempar surat S
"Apa yang kamu lakukan setelah menjemputnya?"Romy tak langsung menjawab. Dia terkekeh lirih. Seolah sedang mentertawakan nasib baik yang tak berpihak padanya."Apa ... yang kamu lakukan pada Amelia, Rom?" Suara Hartono sampai bergetar. Ingin hati dia menampar anaknya saat ini. Namun dia masih berpikir secara akal. Menahan emosi yang memuncak mendengar ulah Romy."Romy tak perlu menceritakan pada Papa. Yang jelas saat ini, Amelia tengah mengandung anak Romy!"Plaaaakkk!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Romy."Kau memang anak kurang ajar, Rom. Tega merusak nama baik keluarga sampai hina seperti ini." Hartono langsung bangkit dari kursinya. "Ini penyebab pernikahan Adrian dan Amelia batal."Langkahnya tertatih meninggalkan Romy di kursi tunggu. Hartono menekan dadanya yang terasa nyeri. Tak bisa dia bayangkan, anak lelaki yang selalu menjadi kebanggaan berbuat hal seperti ini.Masih dengan berurai air mata. Hartono berdiri
"Memang apa yang Romy lakukan adalah kesalahn terberat dan terbesar selama hidup. Mama tolong jangan diam saja.""Mama ... sudah enggak tau harus bilang apa lagi, Rom. Mama dan Papa hanya ingin, kamu temukan mereka. Bukan untuk kamu hidup bersama. Tapi, setidaknya untuk meminta maaf terhadap perbuatan kamu ini.""Termasuk pada Adrian, Rom!" lanjut Hartono. "Jadilah seorang lelaki sejati dan bertanggung jawab. Itu yang Papa minta darimu."Lalu, keduanya pergi meninggalkan Romy yang masih duduk termangu. Maya dan Hartono Segera memasuki kamar. Tampaknya mereka segera berkemas.Pukulan sangat telak bagi mereka saat ini. Tak pernah berpikir bahwa Romy, akan melakukan perbuatan yang keji."Ayo, Pa. Udah beres ini semuanya. Tinggal tunggu travel aja, kalau kereta kelamaan. Mama sudah enggak kerasan.""Travelnya udah ditelpon?""Udah kirim pesan, kebetulan ada longgar dua. Pas nanti jam lima Shubuh, penjemputan.""Mama buat isti
"Mana teman-teman kamu Raff?""Sebentar lagi datang.""Besok pagi kita ke rumah Amelia dulu. Setelahnya baru kita ke gerai yang di Mall.""Kenapa kita enggak coba ke makam suaminya yang dulu, Adrian?"Sejenak Adrian terdiam. Apa yang dipikirkan oleh Sella ada benarnya. Adrian manggut-manggut."Kamu benar juga. Dari situ kita bisa melihat, apakah Amelia masih ada di kota ini apa enggak. Pintar juga kamu, Sell! Aku malah enggak kepikiran sama sekali."Sella hanya mengembangkan senyumnya."Jangan remehkan dengan otakku, Adrian."Raffian yang mendengar hanya tersenyum lebar. Dari kejauhan terdengar suara motor yang menderu ke arah rumah ini."Sepertinya mereka datang, Mas.""Kamu akan suruh mereka lakukan apa Raff?""Mas dengarkan saja. Teman aku itu punya ide yang cemerlang."Adrian hanya mengangguk pelan. Tak lama, dua motor sudah memasuki halaman rumah."Ryan, ayo masuk!"Raffian m
Sontak Adrian dan Sella langsung menoleh, pada gerombolan anak kecil tak jauh dari mereka berdiri. "Iya, kalian kenal?" "Kenal dong Om. Memangnya Om cari Dita?" "Iya." "Tapi, Dita udah enggak tinggal di situ. Kemarin Dita datang dan bilang sama kita. Kalau rumah dia sekarang jauh. Iya 'kan?" Sembari mengajak teman-temannya untuk mengangguk. "Maksudnya Adek gimana ya? Om enggak ngerti." Sella langsung menengahi mereka. Dia pun berjongkok di hadapan anak-anak kecil yang sibuk bermain. "Maksud Adek tadi, si Dita kemarin datang?" "Iya, Te." "Sama siapa Dita datangnya?" "Sama Mamanya, Tante. Naik mobil yang biasanya Dita pakai." "Adek ini namanya siapa? Boleh dong Tante kenalan." "Boleh." Gadis kecil itu bersama teman-temannya berebut bersalaman dengan Sella. Lalu dengan sigap Sella berdiri, dan mengambil bungkusan permen yang ada di dalam mobil. "Ada yang mau?" "Mau, Te."
Raffian mencari jalan yang lebih luas untuk tempat berputar. Lalu berbelok ke arah jalan raya. Mobil pun kembali melaju dengan kecepatan sedang."Masih lama tempatnya?""Enggak, Sayang. Di bawah kita, ini nanti jalannya menurun," tandas Raffian.Sampai akhirnya mobil berhenti di depan pasar kecamatan yang cukup ramai."Nah! Kalaupun Mbak Amelia ingin mencari kontrakan. Pasti di sekitaran sini."Mereka masih terdiam di dalam mobil. Pandangan Adrian mengedar di sekeliling tempat itu."Kampungnya sebelah mana aja?""Kayaknya enggak jauh Ma. Ada yang di belakang pasar. Tapi dari situ agak naik ke atas," sahut Adrian."Ini daerah pegunungan yaaa, Sayang?""Iya." Sella mencolek bahu Adrian. "Sekarang enaknya gimana? Aku rasa Amelia pun kalau mau periksa kehamilan dia enggak mungkin ke bidan 'kan? Pasti dia ke kota.""Di dekat sini ada rumah sakit islam yang cukup besar. Bisa saja dia periksa di sana, Sayang."
Mobil kembali melaju pelan. Menyusuri persawahan yang luas membentang. Adrian bisa merasakan dada yang terus berdebar-debar. Keinginan untuk segera menemukan Amelia begitu kuat."I-itu Raff kampungnya. Benar-benar asri. Tapi, kok sepi ya? Enggak ada orang buat ditanyain," ucap Sella lirih."Itu ada Bapak-bapak! BIar aku yang tanya," sahut Adrian.Seketika tangan Sella mencekal pundaknya. Lalu menggeleng."Kamu kurang luwes. Mending aku aja yang bagian tanya. Oke?""Oke, deh."Sella penuh semangat turun dari mobil. Dia menghampiri si bapak yang melihat ke arahnya."Permisi, Pak."Lelaki paruh baya itu hanya menganggukkan kepala."Apa daerah sini ada rumah yang dikontrakkan?"Lelaki itu langsung menunjuk rumah yang ada di sampingnya."Itu!""Apa ada orangnya?""Enggak ada."Sella berpikir keras."Saya ini sebnarnya lagi cari orang yang baru pindah Pak. Tapi rumahnya ngontrak. Apa a
Tok tok tok!Raffian mengetuk pintu rumah Ryan. Cukup lama mereka menunggu sampai pintu terbuka. Muncul seorang wanita muda. Dia tampak terkejut melihat kedatangan mereka."Permisi, Mbak. Ryannya ada?""Mas Ryan masih tidur, Mas. Silakan masuk dulu. Biar saya bangunkan.""Makasih, Mbak."Mereka segera masuk dan duduk di ruang tamu."Istri Ryan, Sayang?""Ya," sahut Raffian. "Baru saja merid.""Kamu kapan?" tanya Adrian mengejutkan Raffian dan Sella. Lalu keduanya tergelak."Kalau saya masih ragu Mas, sama perasaan Sella.""Kok kamu gitu sih? Jangan bilang kalau dulu pernah aku tinggalin!"Raffian tersenyum lebar sembari mengusap tangan Sella."Maaf, aku becanda. Kamu siap menikah kapan. Saat itu juga akan aku lamar.""Serius?""Sangat serius! Ada Mas Adrian sebagai saksi omongan aku ini."Seketika rona wajah Sella memerah. Dia tersipu malu. Terdengar derap langkah dari dala
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."