Amelia membanting semua benda yang ada di dekatnya. Hingga menimbulkan keributan kecil, yang membuat Rini terkesentak. Saat mengantar segelas madu jahe.
"A-ada apa sama Mbak Amel?" bisik Rini keheranan.
Dia memberanikan diri untuk mnegetuk pintu kamar mandi.
"Mbak Amel, enggak apa-apa?"
"Pergilah, Rin! Aku cuman mandi aja kok."
Walau ragu, akhirnya dia keluar. Namun, Rini tampak cemas dan gelisah. Ada sekitar lima belas menit, Amelia belum juga keluar dari kamar mandi. Tampak Rini berjalan mondar mandir di depan pintu kamar. Sampai Pak Sadi beserta ikut kebingungan.
"Ada apa ini, Mbak Rini?"
"Mbak Amelia, Pak. Aku juga enggak tahu. Tapi--"
Rini terus mondar mandir tak karuan.
"Coba kamu telpon Mas Adrian saja."
"Sama, HPnya enggak bisa di telpon juga."
"Kamu kirim WA aja, nanti kalau dibaca kamu tinggal telpon Mbak. Gimana?"
"I-iya, Pak."
***
Perjalanan terasa panjang. Karen
Tok tok tok! Belum sampai Adrian mengulanginya. Pintu sudah terbuka lebar. Tampak Rini, Pak Sadi beserta istri terlihat cemas. "Di mana Amelia?" "Masih di dalam kamar, Mas. Belum keluar dari kamar mandi," sahut Rini. Tanpa menunggu penjelasan dari mereka. Adrian bergegas ke dalam kamar Amelia. Terdengar suara gemericik air. Tok tok tok! "Amel! Amelia ...!" teriak Adrian cemas. Namun, tak ada sahutan dari dalam kamar mandi. Membuat mereka semua cemas. "Riiin! Kamu ambil handuk lebar itu! Kamu masuk ke dalam kamar mandi!" "Ba-baik, Mas!" Buru-buru Rini menyambar handuk yang berada dalam lemari. Dia mulai mendorong pintu yang ternyata tak terkunci. "Maaaaas Adrian!" teriak Rini. Mengejutkan semua yang berada dalam kamar. "Kenapa kamu teriak?" "Mbak Amelia pingsan, Mas." Tak menunggu lama. Adrian langsung menerobos masuk. Dia menyambar handuk yang ada di tangan Rini, dan menutup
Mobil meluncur dengan kecepatan tinggi. Salsa berharap kalau Romy belum sampai rumah. Namun, ternyata dia salah. Di pelataran parkir apartemen. Dia melihat mobil Romy sudah terparkir. "Semoga dia tak mencurigai aku," bisik Salsa. Langkah bergerak cepat menuju pos security. "Permisi, Pak." "Ehhh, Mbak Salsa. Ada apa?" "Apa Mas Romy sudah datang dari tadi Pak?" "Barusan, Mbak. Mungkin sekitar sepuluh menit." "Ohhh, makasih ya Pak." "Siap, Mbak!" Salsa bergegas menuju lift. Hatinya berdebar-debar. Begitu juga degup jantung yang semakin kencang berdetak. Langkah Salsa tergesa-gesa menuju apartemennya. Dengan ragu dia menekan bel. Tak terbayang bila Romy sampai marah melihat kehadirannya yang hampir jam satu malam. Terdengar suara pintu yang mulai terbuka. Muncul Romy dengan pandangan tajam mengarah pada Salsa. Dia bisa melihat tatapan penuh amarah. Entah pada dirinya atau Amelia?
Romy mengernyitkan kening, dengan dagu yang ikut berkerut-kerut. Gigi gerahamnya pun gemertak. Seakan menahan kemarahan yang mulai melesak."Kau dapatkan omongan sampah itu dari siapa?" bentak Romy."Bukannya tadi sudah aku bilang, Mas. Dari Santi, teman baik Mas Romy. Kenapa, Mas? Kaget ya?"'Beraninya Santi membocorkan rencana ini! Sialan kamu Santi!'"Mas belum jawab juga nih. Ada apa dengan Amelia? Kenapa sampai dia meninggalkan Mas Romy? Jangan ... jangan--""Stop! Hentikan semua praduga kamu yang semakin ngawur itu, Sa!" sentak Romy kesal."Buktikan kalau semua dugaan aku ini salah. Buktikan Mas Romy Pradipta!"Salsa mulai menekan Romy, yang tak berkutik. Dia lebih memilih meninggalkan Salsa dan masuk kamar. Belum sekian detik pintu tertutup. Terdengar suara pintu yang dibuka pelan. Romy melongok, mengarahkan kepala pada Salsa."Kamu tidur di kamarmu sendiri!""Oke, enggak soal!" sahut Salsa tenang, tanpa
Adrian membiar Amelia untuk tidur. Setelah minum madu jahe dan makan sup kaldu. Dia pun kembali terlelap, tanpa Adrian bisa mengorek keterangan darinya. Hal ini semakin membuat Adrian gelisah. Dalam hatinya, sangat yakin bahwa telah terjadi sesuatu yang menyakitkan pada Amelia."Tapi, apa?" bisiknya berulang-ulang. Sembari mondar mandir di depan pintu kamar Amelia.Lelaki tampan dan matang ini, tak bisa menahan gelisahnya."Apa yang sebenarnya terjadi?"Teringat akan Salsa. Adrian segera merogoh saku celana."Hallo! Belum tidur?'"Belum, Adrian. Ada apa?""Apa kamu belum dapat informasi sama sekali mengenai mereka? Apa Romy belum kau ajak bicara, Sa?"Hening! Tampaknya Salsa tak langsung menjawab pertanyaan Adrian."Kenapa kamu diam?"Salsa tak malah menjawab. Adrian malah hanya mendengar isak tangis yang mendayu. Membuat hati Adrian ikut trenyuh."Katakan, Sa! Apa yang terjadi dengan kalian? Apa, Romy tela
Dering ponsel berbunyi nyaring. Merusak lamunan Adrian yang masih terpaku. Seperti tak siap atas semua yang baru saja terjadi."Salsa ...!" Suaranya berbisik lirih.Buru-buru dia mengangkat telepon."Adrian ....""Bagaimana, Sa?""Dompet sama HP Amelia, ada di dalam mobil Romy. Aku sudah mengambilnya. Mau kamu ambil kapan?""Sekarang!""Maksud kamu?""Aku berangkat sekarang ke apartemen kamu.""Ini sudah jam dua Adrian. Mending besok pagi aja.""Dari rumah Amelia ke apartemen kamu, hampir Shubuh lah. Sekalian aku mau ambil mobil!"Sejenak Salsa terdiam. Dia bingung, bagaimana kalau Romy tahu dan mereka bertemu? Salsa berjalan mondar mandir kian resah. Dia masih menggenggam ponsel dan mendekatkan pada telinga."Aku berangkat sekarang, Sa!"Salsa tak bisa menolak. Dia hanya bisa pasrah. Entah apa yang akan terjadi di antara keduanya nanti.Sedang
Dua lelaki yang mencintai seorang wanita saling berhadapan. Salsa pun mundur beberapa langkah. Saat pandangan mata Romy tertuju pada dompet dan HP Amelia. Dia melirik sekilas pada Salsa."Kau yang ambil dompet sama HP itu?"Tatap matanya nyalang. Bagai elang yang ingin menyambar anak ayam. Membuat Salsa gelagapan. Tak bisa bicara. Dia serasa mati kutu."Jadi, kau berkomplot dengan dia ... haaahhh?!" sentak Romy."Berkomplot apa, Mas?"Adrian tak pedulikan pertengkaran mereka berdua. Dia menerobos masuk dan duduk di sebuah sofa yang tak jauh dari keduanya."Bisa kalian selesaikan pertengkaran nanti?""Lagian, siapa yang suruh kamu masuk?""Karena aku ingin bicara sama kamu!" tegas Adrian.Tanpa ada rasa penyesalan dan bersalah. Romy tersungging sinis. Penuh tatapan kebencian pada Adrian, yang dia anggpa telah merebut hati Amelia."Apa yang ingin kamu bicarakan?!" Suara Romy meninggi. Membuat Adrian gerah. Dia pun b
"Kalau kalian ingin saling memukul. Hantam aku! Lakukan sekarang!!!" teriak Salsa kesal. "Kalian bertengkar memperebutkan Amelia. Tanpa menyadari perasaan aku yang sakit dan terluka. Sekarang, pukul aku! Bila perlu, kalian bunuh!"Teriakan Salsa membuat Adrian dan Romy tersadar. Mereka berdua menghentikan aksi pergulatan dengan napas yang masih memburu keras."Kalian jika ingin melanjutkan perkelahian ini. Silakan pergi sekarang! Lakukan di jalan atau di mana pun juga. Asal jangan di hadapan aku!" sentak Salsa geram."Maafkan aku, Sa. Terbawa emosi melihat suami kamu ini yang masih bermain api. Mencoba merayu Amelia yang jelas-jelas akan jadi istri aku. Kamu benar-benar aneh, Rom! Istri sebaik Salsa kau campakkan begitu saja.""Tak usah kamu campuri urusan rumah tanggaku! Atau kamu memang mau menyerah? Melepaskan Amelia untukku?"Mendengar Romy berkata seperti itu. Salsa langsung pergi masuk kamar.Bruuuuakkk!Pintu kamar dibant
"Bukannya aku ini sudah berusaha menjadi istri yang baik buat kamu, Mas. Kamu perlakukan aku semena-mena pun aku diam. Sekarang, apa aku juga harus diam? Saat Adrian mencari calon istrinya, yang hilang bersama kamu, Mas. Jawab!"Salsa semakin berani menentang Romy."Masih diam juga, Mas? Apa kamu sudah merasa hebat? Bisa mengajak Amelia keluar dan menurutmu itu berhasil memisahkan mereka?""Diam!" bentak Romy naik pitam. "Itu bukan urusan kau, Sa! Aku hanya menanyakan, kenapa kamu membantu Adrian? Dan lagi, buat apa kamu mendatangi Santi ... haaa?""Itu juga bukan urusan kamu, Mas Romy. Aku hanya ingin memastikan, kalau seorang Santi yang pengusaha kaya raya. Terpandang, ternyata kelakuannya bejat. Menghasut suami orang untuk balikan sama mantannya. Apa aku salah?""Salah! Karena kau sudah tau bagaimana hubungan kita ini!" hardik Romy semakin berang."Jangan menghardik aku seenaknya, Mas. Aku pun bisa berangkat ke Semarang dan mengadu sama M
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."