Dua lelaki yang mencintai seorang wanita saling berhadapan. Salsa pun mundur beberapa langkah. Saat pandangan mata Romy tertuju pada dompet dan HP Amelia. Dia melirik sekilas pada Salsa.
"Kau yang ambil dompet sama HP itu?"
Tatap matanya nyalang. Bagai elang yang ingin menyambar anak ayam. Membuat Salsa gelagapan. Tak bisa bicara. Dia serasa mati kutu.
"Jadi, kau berkomplot dengan dia ... haaahhh?!" sentak Romy.
"Berkomplot apa, Mas?"
Adrian tak pedulikan pertengkaran mereka berdua. Dia menerobos masuk dan duduk di sebuah sofa yang tak jauh dari keduanya.
"Bisa kalian selesaikan pertengkaran nanti?"
"Lagian, siapa yang suruh kamu masuk?"
"Karena aku ingin bicara sama kamu!" tegas Adrian.
Tanpa ada rasa penyesalan dan bersalah. Romy tersungging sinis. Penuh tatapan kebencian pada Adrian, yang dia anggpa telah merebut hati Amelia.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?!" Suara Romy meninggi. Membuat Adrian gerah. Dia pun b
"Kalau kalian ingin saling memukul. Hantam aku! Lakukan sekarang!!!" teriak Salsa kesal. "Kalian bertengkar memperebutkan Amelia. Tanpa menyadari perasaan aku yang sakit dan terluka. Sekarang, pukul aku! Bila perlu, kalian bunuh!"Teriakan Salsa membuat Adrian dan Romy tersadar. Mereka berdua menghentikan aksi pergulatan dengan napas yang masih memburu keras."Kalian jika ingin melanjutkan perkelahian ini. Silakan pergi sekarang! Lakukan di jalan atau di mana pun juga. Asal jangan di hadapan aku!" sentak Salsa geram."Maafkan aku, Sa. Terbawa emosi melihat suami kamu ini yang masih bermain api. Mencoba merayu Amelia yang jelas-jelas akan jadi istri aku. Kamu benar-benar aneh, Rom! Istri sebaik Salsa kau campakkan begitu saja.""Tak usah kamu campuri urusan rumah tanggaku! Atau kamu memang mau menyerah? Melepaskan Amelia untukku?"Mendengar Romy berkata seperti itu. Salsa langsung pergi masuk kamar.Bruuuuakkk!Pintu kamar dibant
"Bukannya aku ini sudah berusaha menjadi istri yang baik buat kamu, Mas. Kamu perlakukan aku semena-mena pun aku diam. Sekarang, apa aku juga harus diam? Saat Adrian mencari calon istrinya, yang hilang bersama kamu, Mas. Jawab!"Salsa semakin berani menentang Romy."Masih diam juga, Mas? Apa kamu sudah merasa hebat? Bisa mengajak Amelia keluar dan menurutmu itu berhasil memisahkan mereka?""Diam!" bentak Romy naik pitam. "Itu bukan urusan kau, Sa! Aku hanya menanyakan, kenapa kamu membantu Adrian? Dan lagi, buat apa kamu mendatangi Santi ... haaa?""Itu juga bukan urusan kamu, Mas Romy. Aku hanya ingin memastikan, kalau seorang Santi yang pengusaha kaya raya. Terpandang, ternyata kelakuannya bejat. Menghasut suami orang untuk balikan sama mantannya. Apa aku salah?""Salah! Karena kau sudah tau bagaimana hubungan kita ini!" hardik Romy semakin berang."Jangan menghardik aku seenaknya, Mas. Aku pun bisa berangkat ke Semarang dan mengadu sama M
"Mas Adrian enggak minta diantar pulang. Dia minta diantar ke apartemen. Entah ke tempatnya siapa?"Deg!Jantungnya berdegup keras."A-apartemen?""Iya, Mbak Amel."Pikiran Amelia langsung melayang pada apartemen Romy."Apa Adrian mencari aku, Rin? Sewaktu aku pergi sama Romy?""Iya, Mbak. Pulangnya hampir bersamaan dengan Mbak Amnleia juga kok."Tatap mata Amelia seketika nanar. Dia merasa Adrian mengetahui di mana keberadaannya saat tadi malam.'Pasti dia sudah berpikir yang enggak-enggak. Kalau dia tahu apa yag telah terjadi. Pasti Adrian tak mau lagi menerima aku. Yang telah kotor dan hina ini.'Amelia tertunduk dalam. Dia larut dalam perasaan bersalahnya."Oh iya, Mbak. Mas Adrian juga turunin sepatu bdari dalam mobil.""Se-sepatu? Punya aku, Rin?""Iya, yang merah. Yang biasa Mbak pake."Dada Amelia semakin berdebar-debar tak karuan. Hatinya menjadi gelisah. Dia tak
Kali ini, keduanya sama-sama terdiam. Hingga sekian detik. Membuat Amelia dan Salsa saling berpikir apa yang harus dikatakan. Terlebih Amelia, yang merasa seperti seorang penjahat. Yang telah melakukan sebuah kesalahan besar."Tante, Salsa mau bicara. Dari hati ke hati.""Ehhh ... bi-bicara apa?" Suara Amelia terdengar sangat lemah."Tante, sakit? Apa Mas Romy telah melakukan sesuatu yang membuat Tante jadi sakit?"Tanpa mengindahkan perasaan Amelia. Salsa terus nyerocos dengan banyak pertanyaan."Kenapa Tante masih juga diam? Aku butuh kepastian dari Tante. Apa yang sebenarnya terjadi kemarin itu, Te? Apa?!"Amelia tak mampu lagi menahan isak tangisnya. Dia pun menutup telepon dari Salsa. Tak sampai satu menit berselang. Kembali terdengar suara telepon yang berdering.Kriiing kriiing kriiing!Dada Amelia kembali bergetar. Dia tak sanggup mendengarkan segala macam pertanyaan yang menohok hatinya dari Salsa.Namu
Sudah lima hari. Adrian belum juga menampakkan batang hidungnya. Dengan alasan masih di berada Jakarta. Amelia merasa ada yang tak wajar. Dia merasakan kalau Adrian mulai berubah."Apa yang terjadi sama kamu Adrian? Apa, kamu mendengar sesuatu tentang kejadian itu?"Amelia semakin gelisah. Dia beranjak dari tempat tidur."Aku harus menemui Adrian! Harus!"Tok tok tok!Belum selesai dia mengganti pakaian. Rini memanggilnya pelan dari luar kamar."Ada apa Rin?""Ada tamu Mbak.""Tamu?"Dengan gerakan cepat, Amelia membuka pintu kamar."Tamu siapa, Rin?""Istrinya Mas Romy, Mbak.""Salsa?"Rini mengangguk pelan. Sejenak Amelia terdiam. Dia berpikir untuk apa Salsa menemuinya.'Apa dia masih akan membahas masalah itu lagi?'Amelia menyisir rambutnya. Sedikit memberi polesan bedak dan lipstik pada wajahnya yang masih pucat.Sambil menarik napas dalam-dalam. Ameli
"Mas Adrian ada di dalam, Mbak."Hati Amelia berdesir lembut. Entah mengapa hatinya yakin Adrian menyimpan suatu masalah. Yang disembunyikan dari dirinya."Boleh saya masuk?""Silakan Mbak Amel. Mari saya antar!""Makasih, Pak."Saat menapaki lantai dua. Hati Amelia berdesir. Entah karena apa? Ada ketakutan tersendiri terhadap apa yang berputar di pikiran Amelia saat ini. Yaitu Adrian meminta hubungan mereka berakhir.Tok tok tok!"Siapa?"Amelia memilih tetap diam. Lalu, dia membuka pintu perlahan. Amelia melongok dan melihat Adrian yang tengah rebahan juga melihat ke arahnya."Amel?!""Iya, Adrian.""Ka-kamu diantar siapa? Bukannya badan kamu masih lemes?""Udah mendingan kok. Aku kepikiran kamu."Saat Amelia mendekat dan duduk di sebelah Adrian. Dia terkejut saat melihat kondisi wajah lelaki tampan itu."Wa-wajah kamu kenapa Adrian?" Seraya cemas dia mengusap perlahan wajah san
Romy yang kesal dan marah. Membanting pintu dengan kencang. Membuat Salsa semakin terluka. Bagai teriris belati, perih dan sakit. Atas semua perlakuan Romy terhadapnya. Yang ternyata tak pernah berubah sedikit pun.Tiba-tiba Salsa merasakan kepalanya berdenyut. Perutnya mual seketika."Aku seperti masuk angin begini sih?"Buru-buru dia mengambil minyak angin di kotak P3K. Setelah mengusap bagian leher, dada dan perut. Salsa berusaha untuk berisitirahat."Kenapa badan aku jadi dingin kayak gini?"Segera Salsa menarik selimut dan segera tidur. Namun, sudah dua jam berlalu. Salsa semakin merasakan tubuhnya tak karuan."Kayaknya aku mau sakit ini. Aku minta tolong siapa?" bisiknya sedih.Menuggu Romy pulang, tak mungkin dia akan antar dirinya ke dokter atau ke rumah sakit. Tapi, Salsa semakin merasa mual dan pening.Buru-buru dia berlari ke kamar mandi. Memuntahkan semua isi perutnya, yang terasa di aduk-aduk. Saat hend
"Kenapa Adrian mempertahankannya? Sebagai lelaki pasti dia tahu apa yang telah terjadi hari itu."Tampak Romy geram. Apa yang dia harapkan tak juga sesuai harapan. Adrian yang dia harapkan bakal memutuskan hubungannya dengan Amelia. Ternyata tak seperti keinginan."Karena cinta dia ternyata jauh lebih besar dari yang kau bayangkan. Dan yang aku bayangkan juga. Aku tak menyangka dia bersikukuh melanjutkan pernikahannya dengan Amelia," sahut Santi, berkaca-kaca."Bagaimana perasaan kamu, San?""Tak usah kau tanyakan lagi, Rom! Dia lelaki yang sangat aku inginkan dalam hidup. Tapi, mungkin sudah takdirku seperti ini! Dia bukan untukku.""Dan kamu menyerah?""Tak bisa aku memaksa 'kan? Kita juga harus realistis Rom. Aku sudah mati-matian sekuat tenaga berusaha untuk memilikinya. Yang ada apa? Dia tak mencintaiku."Romy menghela napas panjang."Aku juga enggak mau hidup sepertimu, Rom. Tanpa cinta hidup dalam satu atap.
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."