Romy yang kesal dan marah. Membanting pintu dengan kencang. Membuat Salsa semakin terluka. Bagai teriris belati, perih dan sakit. Atas semua perlakuan Romy terhadapnya. Yang ternyata tak pernah berubah sedikit pun.
Tiba-tiba Salsa merasakan kepalanya berdenyut. Perutnya mual seketika.
"Aku seperti masuk angin begini sih?"
Buru-buru dia mengambil minyak angin di kotak P3K. Setelah mengusap bagian leher, dada dan perut. Salsa berusaha untuk berisitirahat.
"Kenapa badan aku jadi dingin kayak gini?"
Segera Salsa menarik selimut dan segera tidur. Namun, sudah dua jam berlalu. Salsa semakin merasakan tubuhnya tak karuan.
"Kayaknya aku mau sakit ini. Aku minta tolong siapa?" bisiknya sedih.
Menuggu Romy pulang, tak mungkin dia akan antar dirinya ke dokter atau ke rumah sakit. Tapi, Salsa semakin merasa mual dan pening.
Buru-buru dia berlari ke kamar mandi. Memuntahkan semua isi perutnya, yang terasa di aduk-aduk. Saat hend
"Kenapa Adrian mempertahankannya? Sebagai lelaki pasti dia tahu apa yang telah terjadi hari itu."Tampak Romy geram. Apa yang dia harapkan tak juga sesuai harapan. Adrian yang dia harapkan bakal memutuskan hubungannya dengan Amelia. Ternyata tak seperti keinginan."Karena cinta dia ternyata jauh lebih besar dari yang kau bayangkan. Dan yang aku bayangkan juga. Aku tak menyangka dia bersikukuh melanjutkan pernikahannya dengan Amelia," sahut Santi, berkaca-kaca."Bagaimana perasaan kamu, San?""Tak usah kau tanyakan lagi, Rom! Dia lelaki yang sangat aku inginkan dalam hidup. Tapi, mungkin sudah takdirku seperti ini! Dia bukan untukku.""Dan kamu menyerah?""Tak bisa aku memaksa 'kan? Kita juga harus realistis Rom. Aku sudah mati-matian sekuat tenaga berusaha untuk memilikinya. Yang ada apa? Dia tak mencintaiku."Romy menghela napas panjang."Aku juga enggak mau hidup sepertimu, Rom. Tanpa cinta hidup dalam satu atap.
Pagi buta bergegas Amelia menuju kamar mandi. Dengan tangan yang bergetar dia mengambil test pack yang selalu ada dalam perlengkapan kamar mandi.Tak bisa dipungkiri Amelia. Ada sebuah rasa ketakutan yang kini melesak menembus ruang jiwanya. Perlahan dia mulai membuka bungkus test pack. Lalu, mulai mencelupkan ujungnya pada air seni.Detak jantungnya yang semakin berdegup kencang. Semakin membuat dadanya berdebar-debar. Amelia mengibas pelan test pack yang dipegang di ujung jari.Kedua mata Amelia membulat lebar. Pandangannya menjadi nanar sekatika."D-dua garis ... apa benar ini dua garis?" Amelia kembali memicingkan mata. Sambil membersihkan test pack dengan air. Kembali dia menatap tajam, dengan hati yang berdebar-debar. "A-aku hamil beneran? Apa iya aku ini hamil?"Spontan Amelia melempar test pack di lantai. Dia menangis tersedu-sedu. Sembari memukul perutnya."Kenapa? Kenapa aku sampai hamil seperti ini? Kenapaaa ...?"Amelia te
Tak lama, Adrian sudah berdiri di hadapannya. Dengan senyum yang mengembang lebar."Ada apa pengantinku? Kok kayak ada hal yang urgent sekali?"Kini mereka berdua duduk sejajar, di pinggiran kasur. Adrian merasa ada yang aneh dengan sikap Amelia. Dari raut wajahnya yang kusut dan suntuk. Adrian menebak pasti ada suatu permasalahan.Lalu, Amelia memberikan hasil test pack pada Adrian."Apa maksud kamu, Mel? Ini apa?"Amelia menahan perasaan yang menyesakkan jiwanya."Kamu bisa buka Adrian. Lalu lihatlah hasilnya."Cukup lama dia terdiam. Hanya memandangi test pack yang diberikan oleh Amelia."Bukalah Adrian!"Jemari tangan Adrian bergetar. Dia tahu pasti ada sesuatu di dalamnya. Setelah mengambil ujung test pack. Pandangan matanya tertuju pada garis dua berwarna merah."Garis dua?""Iya, Adrian," ucap Amelia. Dia masih berusaha menahan kesedihannya. Saat ini hati Amelia benar-benar kacau. "Maafkan aku, Adria
"Jadi, dia memperkosa kamu?""Iya!""Bedebah, bajingan! Sialan!""Maafkan aku Adrian. Sebenarnya saat itu juga aku ingin ceritakan semua sama kamu. Cuman kamu tak ingin mendengarnya. Tapi, kalau sampai seperti ini. Aku harus ceritakan keadaan yang sebenarnya sama kamu Adrian. Aku tak mau menutupi dan membiarkan anak ini seolah memang anak kandung kamu. Aku enggak mau seperti itu."Adrian kembali terduduk di samping Amelia. Emosi memuncak dengan hembusan napas yang kuat. Namun dibalik itu. Adrian berusaha untuk menahan. Dia tak ingin menyakiti Amelia, walau kenyataan yang ada dirinya saat ini tersakiti oleh mereka berdua, Amelia dan Romy.Tanpa banyak bicara. Adrian beranjak dari duduknya dan langsung pergi meninggalkan kamar Amelia."Adrian mau ke mana kamu?!" Setengah berteriak Amelia memanggilnya. "Adriaaaan!" Amelia pun mengejar langkah lelaki tampan itu yang sudah berada di halaman rumah. Amelia menarik tangannya kuat. Adrian hanya menol
"Ketuk lagi pintunya!" ucap Amelia tanpa bersuara. Rini pun mengangguk.Tok tok tok!"Dita, ini Mbak Rini."Tak lama kemudian. Terdengar suara pintu yang dibuka pelan. Gadis itu tampak celingukan mencari sosok Amelia. Buru-buru menarik tangan Rini untuk mengajaknya masuk. Saat hendak mengunci pintu. Rini mencekal punggung tangannya."BIar Mbak yang kunci. Dita duduk di kasur yang entang sambil bawa piring ini."Gadis kecil itu menuruti apa perkataan Rini. Sedang di luar kamar. Amelia menunggu dengan gelisah. Setengah jam berlalu dengan sangat lama bagi Amelia. Saat dia mulai merasa tidak betah lagi. Rini keluar dari kamar Dita."Apa dia sudah tenang?" bisik Amelia.Rini mengangguk, sembari tangannya bergerak mempersilakan Amelia untuk masuk. Tanpa sepengetahuan Dita yang lagi asyik bermain ponselnya. Amelia menapaki lantai kamar. Dan duduk di sebelah Dita."Mbak Rin, ambilkan minum!" Tanpa menoleh sama sekali.Amelia men
"Kamu lagi?!" sentak Romy kasar."Mas, dengarkan Adrian dulu!"Adrian segera beranjak dan berdiri dari tempat dia duduk. Tatap matanya nyalang mengarah pada Romy. Serasa ingin membunuhnya saat ini juga. Namun Adrian masih bisa menahan emosi. Walaupun rasa sakit yang begitu nyeri semakin merobek jiwa dan hatinya."Kenapa lagi kamu ke sini? Ada urusan apa?""Ingin membunuhmu!!!"Dua kata yang membuat Salsa dan Romy terpaku. Mereka berdua bagai tercekat menatap tajam pada Adrian. Yang kulit wajahnya memerah. Embusan napasnya memburu bagai peluru yang melesat. Siap menghujam hati dan perasaan siapa pun."A-Adrian, a-ada apa ini?" Salsa mendekat dengan sangat berhati-hati. Dia menagjukan pertanyaannya. Manik matanya ikut bergetar saat melihat raut wajah Adrian yang terlihat kusut. Antara amarah, dendam, dan penderitaan. "Ka-kamu ada apa Adrian?" Suara Salsa bagai tercekat.Tanpa bersuara sedikit pun, Adrian hanya sanggup menuding ke
"Apa pun akan aku lakukan untuk mengambil milikku yang pernah hilang! Kamu jangan pernah berharap untuk bisa hidup bahagia dengan Amelia, Adrian! Karena di dalam hati Amelia akan selalu ada aku! Ingat itu!!!"Mendengar Romy yang semakin melunjak. Adrian kembali menghujani dengan pukulan keras. "Memang kamu ini setan. Bangsat!" teriak Adrian menjadi-jadi.Perkelahian mereka tak bisa terbendung lagi. Hantaman dan pukulan menghujani masing-masing tubuh keduanya. Sama halnya dengan Salsa, yang serasa dihujani hantaman yang sangat keras. Bagai meninju lubuk hati terdalam.Dengan kondisi lelah hati. Dia berjalan masuk kamar. Pikirannya seketika kosong dan hampa. Sehampa hati yang sudah teramat sangat lelah. Untuk terus bertahan. Tanpa pengharapan.Sungguh malang nasib Salsa. Apakah cinta harus selalu menyakiti seperti ini? Berulang kali Salsa menggeleng. "Ini bukan cinta! Ini penjajahan atas nama cinta. Andai kamu tau betapa hancurnya hati aku saat ini,
Buru-buru Salsa meninggalkan kamar. "Maafkan aku, Mas Romy! Mungkin kita memang tidak berjodoh, seperti yang pernah kamu bilang dulu, Mas. Dan aku baru menyadarinya sekarang. Bahwa kita terlalu memaksakan diri dan hidup dalam siksaan seperti ini."Setelah menutup rapat pintu kamar Romy. Bergegas Salsa menyalakan lagi ponsel dan mengemas beberapa pakaian, kotak perhiasan, alat make up. Hingga satu koper penuh. Dan meninggalkan semua baju tidur, yang dulu pernah Salsa pakai untuk menggoda Romy.Sembari terus mengusap air mata yang terus menetes. Raisa pun meninggalkan kamar. Sampai terdengar dering ponsel miliknya."Kamu sekarang di mana?""Aku masih di apartemen Lind.""Tunggu aku sekarang juga!""Untuk apa?""Tunggulah di parkiran. Dalam sepuluh menit aku sudah sampai.""Ka-kamu ...?""Iya, aku cemas dengan kamu yang di telpon seperti tadi, Sa. Ini aku diantar Om aku."Salasa tak bisa berkata-kata lagi. Saat i
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."