"Jadi, dia memperkosa kamu?"
"Iya!"
"Bedebah, bajingan! Sialan!"
"Maafkan aku Adrian. Sebenarnya saat itu juga aku ingin ceritakan semua sama kamu. Cuman kamu tak ingin mendengarnya. Tapi, kalau sampai seperti ini. Aku harus ceritakan keadaan yang sebenarnya sama kamu Adrian. Aku tak mau menutupi dan membiarkan anak ini seolah memang anak kandung kamu. Aku enggak mau seperti itu."
Adrian kembali terduduk di samping Amelia. Emosi memuncak dengan hembusan napas yang kuat. Namun dibalik itu. Adrian berusaha untuk menahan. Dia tak ingin menyakiti Amelia, walau kenyataan yang ada dirinya saat ini tersakiti oleh mereka berdua, Amelia dan Romy.
Tanpa banyak bicara. Adrian beranjak dari duduknya dan langsung pergi meninggalkan kamar Amelia.
"Adrian mau ke mana kamu?!" Setengah berteriak Amelia memanggilnya. "Adriaaaan!" Amelia pun mengejar langkah lelaki tampan itu yang sudah berada di halaman rumah. Amelia menarik tangannya kuat. Adrian hanya menol
"Ketuk lagi pintunya!" ucap Amelia tanpa bersuara. Rini pun mengangguk.Tok tok tok!"Dita, ini Mbak Rini."Tak lama kemudian. Terdengar suara pintu yang dibuka pelan. Gadis itu tampak celingukan mencari sosok Amelia. Buru-buru menarik tangan Rini untuk mengajaknya masuk. Saat hendak mengunci pintu. Rini mencekal punggung tangannya."BIar Mbak yang kunci. Dita duduk di kasur yang entang sambil bawa piring ini."Gadis kecil itu menuruti apa perkataan Rini. Sedang di luar kamar. Amelia menunggu dengan gelisah. Setengah jam berlalu dengan sangat lama bagi Amelia. Saat dia mulai merasa tidak betah lagi. Rini keluar dari kamar Dita."Apa dia sudah tenang?" bisik Amelia.Rini mengangguk, sembari tangannya bergerak mempersilakan Amelia untuk masuk. Tanpa sepengetahuan Dita yang lagi asyik bermain ponselnya. Amelia menapaki lantai kamar. Dan duduk di sebelah Dita."Mbak Rin, ambilkan minum!" Tanpa menoleh sama sekali.Amelia men
"Kamu lagi?!" sentak Romy kasar."Mas, dengarkan Adrian dulu!"Adrian segera beranjak dan berdiri dari tempat dia duduk. Tatap matanya nyalang mengarah pada Romy. Serasa ingin membunuhnya saat ini juga. Namun Adrian masih bisa menahan emosi. Walaupun rasa sakit yang begitu nyeri semakin merobek jiwa dan hatinya."Kenapa lagi kamu ke sini? Ada urusan apa?""Ingin membunuhmu!!!"Dua kata yang membuat Salsa dan Romy terpaku. Mereka berdua bagai tercekat menatap tajam pada Adrian. Yang kulit wajahnya memerah. Embusan napasnya memburu bagai peluru yang melesat. Siap menghujam hati dan perasaan siapa pun."A-Adrian, a-ada apa ini?" Salsa mendekat dengan sangat berhati-hati. Dia menagjukan pertanyaannya. Manik matanya ikut bergetar saat melihat raut wajah Adrian yang terlihat kusut. Antara amarah, dendam, dan penderitaan. "Ka-kamu ada apa Adrian?" Suara Salsa bagai tercekat.Tanpa bersuara sedikit pun, Adrian hanya sanggup menuding ke
"Apa pun akan aku lakukan untuk mengambil milikku yang pernah hilang! Kamu jangan pernah berharap untuk bisa hidup bahagia dengan Amelia, Adrian! Karena di dalam hati Amelia akan selalu ada aku! Ingat itu!!!"Mendengar Romy yang semakin melunjak. Adrian kembali menghujani dengan pukulan keras. "Memang kamu ini setan. Bangsat!" teriak Adrian menjadi-jadi.Perkelahian mereka tak bisa terbendung lagi. Hantaman dan pukulan menghujani masing-masing tubuh keduanya. Sama halnya dengan Salsa, yang serasa dihujani hantaman yang sangat keras. Bagai meninju lubuk hati terdalam.Dengan kondisi lelah hati. Dia berjalan masuk kamar. Pikirannya seketika kosong dan hampa. Sehampa hati yang sudah teramat sangat lelah. Untuk terus bertahan. Tanpa pengharapan.Sungguh malang nasib Salsa. Apakah cinta harus selalu menyakiti seperti ini? Berulang kali Salsa menggeleng. "Ini bukan cinta! Ini penjajahan atas nama cinta. Andai kamu tau betapa hancurnya hati aku saat ini,
Buru-buru Salsa meninggalkan kamar. "Maafkan aku, Mas Romy! Mungkin kita memang tidak berjodoh, seperti yang pernah kamu bilang dulu, Mas. Dan aku baru menyadarinya sekarang. Bahwa kita terlalu memaksakan diri dan hidup dalam siksaan seperti ini."Setelah menutup rapat pintu kamar Romy. Bergegas Salsa menyalakan lagi ponsel dan mengemas beberapa pakaian, kotak perhiasan, alat make up. Hingga satu koper penuh. Dan meninggalkan semua baju tidur, yang dulu pernah Salsa pakai untuk menggoda Romy.Sembari terus mengusap air mata yang terus menetes. Raisa pun meninggalkan kamar. Sampai terdengar dering ponsel miliknya."Kamu sekarang di mana?""Aku masih di apartemen Lind.""Tunggu aku sekarang juga!""Untuk apa?""Tunggulah di parkiran. Dalam sepuluh menit aku sudah sampai.""Ka-kamu ...?""Iya, aku cemas dengan kamu yang di telpon seperti tadi, Sa. Ini aku diantar Om aku."Salasa tak bisa berkata-kata lagi. Saat i
"Ada apa ini, Sa? Setelah sekian lama kamu berharap mendapatkan keturunan dari Romy. Dan sekarang kamu meninggalkannya?""Aku sudah tak mempunyai kesabaran lagi. Aku sudah tiadak kuat dengan perasaan aku, yang terlalu sakit ini, Lind.""Bisa kamu ceritakan semuanya, Sa. Dari tadi aku cuman menebak-nebak apa yang terjadi sama kamu ini."Sejenak Salsa terdiam. Dia mengambil napas dalam-dalam. Mengumpulkan semua kekauatan untuk menceritakannya pada Melinda."Kamu tau, lusa pernikahan Adrian sama Amelia?""Tau, suami aku diundangnya. Kenapa?""Kemungkinan pernikahan itu akan batal."Sontak penjelasan Salsa membuat bentuk O di bibir melinda. "Ta-tapi, karena apa ini, sa?""Karena rencana Romy dan Santi akhirnya berhasil.""Maksud kamu?""Amelia saat ini hamil, Linda. Dan kamu tau siapa ayahnya?"Pandangan mata mereka saling bertemu."Romy ...kah?"Salsa mengangguk pelan."Jadi--"
{Di mana kamu?}"Mas Romy? Maaf Mas, nomer ini tidak akan bisa lagi kamu hubungi."Sengaja Salsa mematikan ponselnya. Dia tak ingin lagi terpengaruh dengan perasaan yang masih tersimpan untuk Romy. Walau hatinya sakit. Tetapi rasa itu tak kunjung padam juga._Apartemen Romy_Dalam kamar, Romy mengerang kesakitan. Dia memanggil Salsa tapi tak ada jawaban."Di mana sih dia?"Romy menggapai ponsel yang tak berada jauh."Kenapa dia enggak ke sini juga? WA-ku juga enggak dibalasnya lagi."Dengan kesal, Romy mencoba menelepon Salsa. Namun nomer yang dia tuju tak bisa dihubungi."Hemmm, Saaaa! Salsa!"Tak ada sahutan sama sekali. Lalu, Romy melirik jam ponselnya. Menunjukkan pukul sebelas malam."Enggak biasanya Salsa kayak gini."Langkah Romy tertatih menuju pintu kamar. Lalu dia berjalan merambat dan memasuki kamar Salsa. Romy tercenung sesaat. Saat melihat kamar itu kosong."Ke mana dia malm
Romy terduduk lemas.Tangan kanannya masih memegang lembaran surat itu."Bisa-bisanya kamu memutuskan semuanya ini sendirian, Sa. Paling enggak sampai satu bulan kamu sudah balik lagi. Aku yakin itu!" Sembari menyeringai sinis. "Kamu pun tak mempunyai uang yang cukup untuk hidup di luar sana, Sa. Jangan sombong kamu!"Lalu, Romy beranjak dari kamar Salsa. Dia berjalan menuju dapur yang biasanya ada Salsa menyiapkan minuman kesukaannya."Bagaimana aku harus sampaikan hal ini pada Mama sama Papa?"Romy berjalan mondar mandir. Dia tak merasakan sakitnya wajah dan tubuhnya yang terkena hantaman Adrian."Aaaarghhh! Kau bawa masalah baru lagi, Sa! Benar-benar sialan!"Romy larut dalam amarah dan kekecewaan akan kepergian Salsa. Yang meninggalkan dirinya tanpa bilang.Sedangkan Adrian yang masih syok dengan pengakuan Amelia. Terus mengurung diri di kamar. Dia menyuruh sekretaris pribadinya membatalkan semua persiapan. Untuk pernikahannya deng
"Rin! Kemari sebentar.""A-ada apa, Mbak Mel?""Sekarang juga siapkan pakaian kita dan semuanya. Secukupnya aja, Rin!"Seketika Rini terbelalak."Memangnya Mbak Amel mau ke mana?"Wanita cantik itu tak menanggapi pertanyaan Rini."Pakaian Dita juga bawa secukupnya saja, Rin.""Ba-baik, Mbak." Tanpa Rini bertanya lagi.Sekilas Amelia melihat kembali ponselnya. Tak ada balasan dari Adrian walau sudah dia baca."Aku tau dia pasti sangat kecawa dengan kenyataan ini. Tapi, aku tak sepenuhnya bisa disalahkan, Adrian. Aku berusaha untuk menjaga semuanya. Tapi, Romy memang brengsek!"Teringat akan Romy. Amelia bergegas mengambil jaket, dompet dan ponsel. Dia berjalan cepat lalu menyambar kunci mobil di gantungan."Mbak ... Mbak! Mau ke mana? Ini udah malam banget."Namun apa yang dikatakan Rini, diabaikan oleh Amelia. Dia terus berjalan menuju mobil. Tanpa peduli lagi, pada Rini yang terus memanggilnya.