Romy terduduk lemas.Tangan kanannya masih memegang lembaran surat itu.
"Bisa-bisanya kamu memutuskan semuanya ini sendirian, Sa. Paling enggak sampai satu bulan kamu sudah balik lagi. Aku yakin itu!" Sembari menyeringai sinis. "Kamu pun tak mempunyai uang yang cukup untuk hidup di luar sana, Sa. Jangan sombong kamu!"
Lalu, Romy beranjak dari kamar Salsa. Dia berjalan menuju dapur yang biasanya ada Salsa menyiapkan minuman kesukaannya.
"Bagaimana aku harus sampaikan hal ini pada Mama sama Papa?"
Romy berjalan mondar mandir. Dia tak merasakan sakitnya wajah dan tubuhnya yang terkena hantaman Adrian.
"Aaaarghhh! Kau bawa masalah baru lagi, Sa! Benar-benar sialan!"
Romy larut dalam amarah dan kekecewaan akan kepergian Salsa. Yang meninggalkan dirinya tanpa bilang.
Sedangkan Adrian yang masih syok dengan pengakuan Amelia. Terus mengurung diri di kamar. Dia menyuruh sekretaris pribadinya membatalkan semua persiapan. Untuk pernikahannya deng
"Rin! Kemari sebentar.""A-ada apa, Mbak Mel?""Sekarang juga siapkan pakaian kita dan semuanya. Secukupnya aja, Rin!"Seketika Rini terbelalak."Memangnya Mbak Amel mau ke mana?"Wanita cantik itu tak menanggapi pertanyaan Rini."Pakaian Dita juga bawa secukupnya saja, Rin.""Ba-baik, Mbak." Tanpa Rini bertanya lagi.Sekilas Amelia melihat kembali ponselnya. Tak ada balasan dari Adrian walau sudah dia baca."Aku tau dia pasti sangat kecawa dengan kenyataan ini. Tapi, aku tak sepenuhnya bisa disalahkan, Adrian. Aku berusaha untuk menjaga semuanya. Tapi, Romy memang brengsek!"Teringat akan Romy. Amelia bergegas mengambil jaket, dompet dan ponsel. Dia berjalan cepat lalu menyambar kunci mobil di gantungan."Mbak ... Mbak! Mau ke mana? Ini udah malam banget."Namun apa yang dikatakan Rini, diabaikan oleh Amelia. Dia terus berjalan menuju mobil. Tanpa peduli lagi, pada Rini yang terus memanggilnya.
_12.00 WIB_Amelia masih dalam perjalanan menuju rumah Adrian. Tak lama, mobilnya pun sudah berhenti di depan pagar."Ehhh, Mbak Amelia. Kok malam sekali Mbak?""Iya, Pak. Adrian ada?""Ada, Mbak. Mas Adrian belum keluar kamar sama sekali.""Ohhh, belum keluar kamar?""Iya, Mbak. Kayak ada masalah besar yang lagi ida hadapi.""Boleh saya masuk?""silakan, Mbak. Masuk aja!"Dengan hati yang berdebar-debar. Amelia memberanikan diri masuk rumah. Langkah kakinya perlahan menuju lantai dua. Ketika sudah berada di depan pintu kamar. Amelia terlihat ragu. Dan kebingungan dengan apa yang harus dilakukannya.Tok tok tok!Dengan sisa keberanian yang ada. Amelia kembali mengetuk pintu kamar Adrian.Tak ada sahutan dari dalam. Perlahan Amelia mulai menarik handle pintu pelan-pelan.'Ternyata enggak dikunci. Aku masuk aja, enggak peduli mau Adrian marah apa enggak!"Amelia mendoron
"Mungkin memang kita bukan berjodoh, Adrian. Aku hanya ingin meminta maaf atas semua kesalahan aku ini.""Bukan seperti itu, Mel. Kamu tak bersalah dalam hal ini. Aku hanya butuh waktu untuk menentukan semuanya.""I-iya, aku sangat mengerti."Amelia menghela napas panjang. Lalu, dia beranjak dari duduknya. Sembari pandangan menghadap mengarah pada Adrian."Aku sudah dapat jawaban dari kamu. Setidaknya itu membuat aku lega, Adrian. Sekarang tidurlah, aku akan pulang!"Amelia pun meninggalkan Adrian yang masih terpaku dalam pandangannya. Saat tersadar, dia buru-buru mengejar langkah Amelia."Amel ... Amelia!"Ternyata dia kalah cepat. Mobil Amelia meluncur meninggalkan rumah Adrian."Aaaahhhh! Siaaaal kau Rom! Kamu telah hancurkan harapan dan kebahagian aku bersama Amelia."Bergegas Adrian berlari menuju rumah. Dia mengambil ponsel dan mencoba menelepon Amelia.Tut tut tut!"Kenapa kamu enggak bisa dite
"Pak Sadiiii! Bu Sadiiii!"Terdengar suara handle pintu yang di tarik. Dengan raut wajah yang masih mengantuk. Pak Sadi terkejut saat melihat Amelia."Pak Sadi saya mau pamitan.""Haaahhh? Apa Mbak?""Saya mau pamitan, Pak. Saya ada kerjaan yang harus saya urus. Makanya saya berangkat sekarang!""Loh, ta-tapi, Mbak? Apa Mas Adrian sudah tau?"Amelia tak menjawab dan hanya tersenyum. Langkahnya meninggalkan Pak Sadi yang masih terbengong di depan pintu. Saat dirinya tersadar. Bergegas menyusul Amelia yang sudah berada di halaman."Mbak ... Mbak!" Amelia berhenti dan menoleh pada Pak Sadi."Ada apa Pak? Saya takut keburu siang.""Ini kalau Mas Adrian tanya gimana? Bukannya besok hari akad nikah?""Besok tidak ada pernikahan kok Pak. Makanya saya urus pekerjaan dulu."Seketika raut wajah Pak Sadi tercengang. Gurat keras mewarnai dahi lelaki itu. Dia tak mengerti mengapa pernikahan itu sampai diba
"Mas ... Romy?" "Iya!" "Jadi Mbak hamil sama Mas Romy? Bukannya Mbak pernah bilang sudah mengubur masa lalu. Termasuk cinta Mbak pada Mas Romy?" Pertanyaan Rini, sepertinya menggoyahkan ketegaran Amelia. Dan tanpa terasa buliran bening sudah membasahi kulit merona wanita cantik itu. "Hentikan pertanyaan kamu Rin! Aku masih ingin tenang dulu." Rini langsung membungkam mulutnya. Dia merasakan apa yang kini dirasa oleh Amelia. Hancur, sedih, berkeping-keping. "Lalu, sekarang kita ini mau ke mana Mbak?" "Aku sudah telpon teman aku, Rin. Ada rumah kecil tapi jauh dari keramaian. Bisa jadi tempat tinggal kita sementara dulu." "Sekolah Dita bagaimana, Mbak?" "Kalau sudah tenang. Akan aku urus semuanya. Sementara ini aku ingin menghindar dari semua orang yang kenal sama aku, Rin. Pahamkan kamu?" "Iya, Mbak." Tepat pukul tujuh pagi. Mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah yang berada di sebuah kawasan
Satu jam yang lalu ....Tin tin!Tin tin!Terdengar suara klakson mobil yang berulang-ulang. Membuat Sadi sampai berlari tergopoh-gopoh membuka pintu pagar."Mas Adrian!""Di mana Amel, Pak? Apa dia belum pulang?"Mendapatkan pertanyaan seperti itu. Sadi kelabakan. Dia sampai bingung harus menjawab apa."Loh, baru saja Mbak Amel pergi, Mas.""Pergi? Sama siapa saja?""Ya, semuanya, Mas."Bug!Kedua tangan Adrian mengepal erat. Dan meninju setir mobil yang tak bersalah."Sialan! Kenapa kamu ini enggak mau tunggu sampai aku tenang dan membahas semuanya Mel?! Aaaarghhhh ...!" sentak Adrian. "Ke mana aku harus mencarinya?"Lalu dia memandang ke arah Pak Sadi, yang terlihat sangat ketakutan."Dia bilang mau pergi ke mana Pak?""Maafkan Bapak, Mas. Tapi, Mbak Amelia memang enggak bilang apa-apa. Dia cuman bilang mau pergi urusan bisnis."Tan
"Bu-bukan sama kamu? Lantas sama siapa Adrian?" Suara Sella menggelegar hampir berteriak.Adrian semakin tertunduk. Dia bingung ingin bercerita atau tidak pada Sella. Namun wanta ini telah berubah jauh sikapnya. Tak seperti dulu yang selalu mengejar dirinya."Kenapa Adrian? Kamu tak mempercayai aku?""Bukan begitu--"Sella langsung memotong kalimat Adrian."Aku sudah bukan Sella yang kamu kenal dulu Adrian. Banyak hal dalam hidupku yang telah mengubah semuanya. Termasuk cinta!""Tumben omongan kamu bijak kayak gitu?""Ya, semua karena Raffian. Yang emmbuat aku tersadar. Bahwa uang bukan segalanya di dunia ini. Buktinya aku hidup selama ini berlimpah. Mana ada aku merasa bahagia semenjakl kepergian Mama. Aku mengejar cintamu pun yang aku lihat bukan dirimu Adrian. Tapi duit kamu, harta kamu. Sedang bersama Raffian, aku bisa menemukan arti hidup yang sebenarnya."Seketika Adrian tersenyum lebar. Dia bangga dengan perubahan
Adrian pun melangkah gontai menuju mobilnya. Dari ambang pintu Sella terus memperhatikannya dengan gurat kesedihan yang sama. Dia bisa ikut merasakan apa yang dialami oleh lelaki tampan itu."Aku akan bantu kamu Adrian mencari Amelia. Kamu layak bahagia setelah selama ini kamu hidup dalam kesendirian!"Dari dalam mobil Adrian melambaikan tangan. Dia tersenyum pahit yang terpaksa. Sejenak Adrian menarik napas panjang. Lalu menarik tuas persneling dan mobil mulai melaju lambat meninggalkan rumah Sella.Ada rasa ingin kembali. Adrian merasa tidak sanggup, jika tanpa ada Amelia di sisinya. Namun entah mengapa semuanya berubah begitu cepat. Sosok wanita cantik itu, seakan telah membawa pergi separuh hatinya.Masih teringat saat pertama kali pertemuan dengan Amelia. Senyum mengembang di ujung bibir Adrian. Saat mengenang masa itu. Sesaat siluet bersama Amelia terus melintas. Tak bisa dia ingkari."Aku butuh dia!"Huhhhh!B
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."