"Pak Sadiiii! Bu Sadiiii!"
Terdengar suara handle pintu yang di tarik. Dengan raut wajah yang masih mengantuk. Pak Sadi terkejut saat melihat Amelia.
"Pak Sadi saya mau pamitan."
"Haaahhh? Apa Mbak?"
"Saya mau pamitan, Pak. Saya ada kerjaan yang harus saya urus. Makanya saya berangkat sekarang!"
"Loh, ta-tapi, Mbak? Apa Mas Adrian sudah tau?"
Amelia tak menjawab dan hanya tersenyum. Langkahnya meninggalkan Pak Sadi yang masih terbengong di depan pintu. Saat dirinya tersadar. Bergegas menyusul Amelia yang sudah berada di halaman.
"Mbak ... Mbak!"
Amelia berhenti dan menoleh pada Pak Sadi.
"Ada apa Pak? Saya takut keburu siang."
"Ini kalau Mas Adrian tanya gimana? Bukannya besok hari akad nikah?"
"Besok tidak ada pernikahan kok Pak. Makanya saya urus pekerjaan dulu."
Seketika raut wajah Pak Sadi tercengang. Gurat keras mewarnai dahi lelaki itu. Dia tak mengerti mengapa pernikahan itu sampai diba
"Mas ... Romy?" "Iya!" "Jadi Mbak hamil sama Mas Romy? Bukannya Mbak pernah bilang sudah mengubur masa lalu. Termasuk cinta Mbak pada Mas Romy?" Pertanyaan Rini, sepertinya menggoyahkan ketegaran Amelia. Dan tanpa terasa buliran bening sudah membasahi kulit merona wanita cantik itu. "Hentikan pertanyaan kamu Rin! Aku masih ingin tenang dulu." Rini langsung membungkam mulutnya. Dia merasakan apa yang kini dirasa oleh Amelia. Hancur, sedih, berkeping-keping. "Lalu, sekarang kita ini mau ke mana Mbak?" "Aku sudah telpon teman aku, Rin. Ada rumah kecil tapi jauh dari keramaian. Bisa jadi tempat tinggal kita sementara dulu." "Sekolah Dita bagaimana, Mbak?" "Kalau sudah tenang. Akan aku urus semuanya. Sementara ini aku ingin menghindar dari semua orang yang kenal sama aku, Rin. Pahamkan kamu?" "Iya, Mbak." Tepat pukul tujuh pagi. Mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah yang berada di sebuah kawasan
Satu jam yang lalu ....Tin tin!Tin tin!Terdengar suara klakson mobil yang berulang-ulang. Membuat Sadi sampai berlari tergopoh-gopoh membuka pintu pagar."Mas Adrian!""Di mana Amel, Pak? Apa dia belum pulang?"Mendapatkan pertanyaan seperti itu. Sadi kelabakan. Dia sampai bingung harus menjawab apa."Loh, baru saja Mbak Amel pergi, Mas.""Pergi? Sama siapa saja?""Ya, semuanya, Mas."Bug!Kedua tangan Adrian mengepal erat. Dan meninju setir mobil yang tak bersalah."Sialan! Kenapa kamu ini enggak mau tunggu sampai aku tenang dan membahas semuanya Mel?! Aaaarghhhh ...!" sentak Adrian. "Ke mana aku harus mencarinya?"Lalu dia memandang ke arah Pak Sadi, yang terlihat sangat ketakutan."Dia bilang mau pergi ke mana Pak?""Maafkan Bapak, Mas. Tapi, Mbak Amelia memang enggak bilang apa-apa. Dia cuman bilang mau pergi urusan bisnis."Tan
"Bu-bukan sama kamu? Lantas sama siapa Adrian?" Suara Sella menggelegar hampir berteriak.Adrian semakin tertunduk. Dia bingung ingin bercerita atau tidak pada Sella. Namun wanta ini telah berubah jauh sikapnya. Tak seperti dulu yang selalu mengejar dirinya."Kenapa Adrian? Kamu tak mempercayai aku?""Bukan begitu--"Sella langsung memotong kalimat Adrian."Aku sudah bukan Sella yang kamu kenal dulu Adrian. Banyak hal dalam hidupku yang telah mengubah semuanya. Termasuk cinta!""Tumben omongan kamu bijak kayak gitu?""Ya, semua karena Raffian. Yang emmbuat aku tersadar. Bahwa uang bukan segalanya di dunia ini. Buktinya aku hidup selama ini berlimpah. Mana ada aku merasa bahagia semenjakl kepergian Mama. Aku mengejar cintamu pun yang aku lihat bukan dirimu Adrian. Tapi duit kamu, harta kamu. Sedang bersama Raffian, aku bisa menemukan arti hidup yang sebenarnya."Seketika Adrian tersenyum lebar. Dia bangga dengan perubahan
Adrian pun melangkah gontai menuju mobilnya. Dari ambang pintu Sella terus memperhatikannya dengan gurat kesedihan yang sama. Dia bisa ikut merasakan apa yang dialami oleh lelaki tampan itu."Aku akan bantu kamu Adrian mencari Amelia. Kamu layak bahagia setelah selama ini kamu hidup dalam kesendirian!"Dari dalam mobil Adrian melambaikan tangan. Dia tersenyum pahit yang terpaksa. Sejenak Adrian menarik napas panjang. Lalu menarik tuas persneling dan mobil mulai melaju lambat meninggalkan rumah Sella.Ada rasa ingin kembali. Adrian merasa tidak sanggup, jika tanpa ada Amelia di sisinya. Namun entah mengapa semuanya berubah begitu cepat. Sosok wanita cantik itu, seakan telah membawa pergi separuh hatinya.Masih teringat saat pertama kali pertemuan dengan Amelia. Senyum mengembang di ujung bibir Adrian. Saat mengenang masa itu. Sesaat siluet bersama Amelia terus melintas. Tak bisa dia ingkari."Aku butuh dia!"Huhhhh!B
"Hai, Tante!"Seketika dia mendongak dan terkejut. Melihat Sella yang tersenyum padanya."Kamu Sell? Tumben amat nih?" Raut wajah Santi seketika berubah. Dia yakin ada hal penting yang ingin disampaikan Sella padanya. "Kamu sendirian?""Iya, Te. Emang mau ke sini sama siapa?""Kali aja sama cowok dekil itu!""Raffian, Tante. Biar dekil dia mencintai aku dengan tulus Tante. Dan aku bahagia jalan sama dia."Santi hanya melengos mendengar perkataan Sella. Yang menurutnya tak sesuai dengan pemikiran dia, Santi pun tak ingin berdebat dengan gadis ini."Ada apa kamu ke sini?""Enggak boleh aku main, Tan?""Boleh, dong. Tapi, tumben banget gitu loh."Sella menanggapi dengan senyum tipis."Sebenarnya aku hanya ingin bertanya sama Tante. Apa Tante tau kalau Adrian enggak jadi menikah?""Serius?" tanya Santi terbeliak."Masa sih Tante enggak tau? Aku enggak percaya deh.""Serius aku baru dengar k
"Apa kamu pernah tahu apa kebahagian itu, San?"Seketika pertanyaan itu membuat Santi terhenyak."Ke-kenapa kamu menanyakan hal ini sama aku? Bukannya itu yang menjadi tujuan kamu dari dulu. Bahwa kamu menginginkan hubungan mereka buyar. Dan, sekarang kamu mendapatkannya.""Ternyata aku salah! Aku salah menilai semuanya. Aku salah!" desis Romy."Itu bukan jadi urusan aku Rom! Aku hanya menampung dan memberi semangat pada dirimu. Iya 'kan? Tapi, aku tak mau dijadikan orang yang bersalah dalam hal ini!""Kau sialan!""Ehmmm ... kamu ini aneh. Kenapa marahnya sama aku? Cari aja tuh Amelia yang sudah minggat dari rumah Adrian. Jangan bilang info aku ini, enggak berharga sama sekali.""Ja-jadi, dia tak menikah sama Adrian?""Ehmmmm, sepertinya sih enggak. Ending yang sangat kamu harapkan, Rom! Akhirnya terjadi juga 'kan? Berbahagialah, bukan malah nyalahin aku!"Tanpa berkata apa-apa lagi. Romy menutup telepon dari Sant
"Ehhh, Mas Romny. Ada apa ya? Kok kelihatan kayak serius gitu.""Iya, Pak. Ini penting sekali buat saya.;""Soal apa ini Mas Romy.""Apa Pak Rusdi tahu nomer HP Mbak Melinda?"Lelaki itu mengangguk cepat."Saya bisa minta Pak?""Sebentar ya Mas. Saya ambil Hp dulu!"Kemudian lelaki itu langsung emngirimkan nomer kontak Melinda pada Romy."Terima kasih ya, Pak.""Sama-sama Mas."Saat itu juga, Romy menelepon nomer yang baru saja diberi. Jantungnya berdetak cukup kencang. Dari raut wajahnya terlihat dia gamang. Namun tak ada pilihan lain.Cukup lama Romy menunggu. Tetap saja belum diangkat juga."Apa karena nomer tak dikenal ya?" Romy bergumam sembari mencoba menelepon Melinda lagi. Sampai akhirnya telepon Romy diangkat juga."Hallo!" Suara wanita terdengar dari seberang telepon."Ehhh ... ha-hallo!""Siapa ya ini?""Aku ... Romy, Melinda."Sek
"Sepertinya Santi pasti mengetahui cerita tentang Melinda ini. Aku yakin Santi bisa membantuku." Bergegas Romy naik ke lantai tiga. Dia mengambil ponsel yang berada di saku kemeja. Lalu langsung menelepon Santi. Dia pun tahu pasti Santi masih kesal atas sikapnya barusan. Tepat dugaan Romy. Dia tak mengangkat teleponnya. "Aku akan telpon kamu terus, San! Sampai kamu angkat!" Pertama, kedua, kelima, kesepuluh, hingga panggilan kelima belas. Barulah Santi mengangkat. "Kamu gila ya, Rom!" Suara Santi terdengar keras menghardik Romy. "Apa maksud kamu kayak gini?" "Kenapa juga kamu enggak angkat telepon aku?" "Bukannya tadi jutek sama aku. Malaslah sama kamu!" "Dengerin aku dulu! Aku pengen bicara." "Ogah!" "Please lah, San." "Mau bicarain apalagi ... ha?" "Santi! Tolonglah aku. Kali ini saja." Cukup lama Santi terdiam. Dia tak langsung membe