"Ehhh ... tunggu sebentar ya Dit. Mama lagi tungguin telepon teman Mama nih. NGajak janjian juga."
"Ta-tapi, kita kan jadi ke rumah?"
"Jadi, Sayang. Mama enggak akan bohong kok."
"Ehmmm ...! Lama sih, Mama. Padahal tadi 'kan udah dekat rumah."
"Sabarlah, Sayang. Pleaseee ...!"
Dita tertunduk dan melempar pandangannya ke luar jendela.
"Ma, beli es krim itu!" Tunjuk Dita pada seorang penjual es krim yang berhenti di seberang jalan. Membuat Amelia kelabakan. Dia tahu bagaimana Dita kalau sudah maunya.
"Bentar ya, Nak. Nanti Mama beliin semua yang diminta Dita. Tapi, Mama mohon untuk beberapa menit aja. Kita jangan keluar mobil dulu ya!"
Dita menatap tajam sang Mama dengan penuh tanya. Dari raut wajah sangat terlihat dia keheranan dengan sikap Amelia.
"Memangnya ada apa sih, Ma?"
Pandangan Amelia tak lepas dari spion dalam. Terus memerhatikan mobil yang keluar dari perumahan dibelakangnya. Tak mendapatkan ja
Berulang kali embusan napasnya terdengar. Hingga langkah kakinya menuju ruang tengah. Foto saat pernikahan dia dulu bersama Faiz masih terpampang di tempat."Mas Faiz!"Tangannya bergerak mengusap wajahnya pelan-pelan."Kenapa kamu begitu cepat meninggalkan aku Mas?"Amelia duduk di sandaran samping sofa. Sejenak dia memejamkan mata dengan mengusap pipinya yang basah. Teringat juga kenangan saat itu pertama kali pertemuan dengan Romy. Setelah kematian Faiz.Saat itu, semua masih terlihat indah. Membuat hatinya berdebar-debar sejak kematian sang suami. Dirinya merasa seperti gadis remaja yang tengah berbunga-bunga.Siluet itu bagai menari di pelupuk mata. Amelia hanya menahan senyum dan isak tangisnya. Sembari berusaha melupakan kenangan indah itu.Semakin Amelia mencoba untuk melupakan. Bayangan masa lalu itu semakin santer terngiang kembali di telinga dan mata."Om meninggal umur berapa Mbak?" Suara Romy terdengar
_Makam umum_Mobil yang dikendarai oleh Romy berhenti di bawah pohon ceres. Tepat berada di seberang jalan."Rom! Kamu tau makamnya?""Kita tanya aja sama penjaga, Ma. Romy lupa juga. Udah lama soalnya.""Ohhh, oke kalau gitu."Mereka bertiga berjalan menuju arah kuburan. Lalu Romy berhenti dan bertanya pada seorang lelaki."Pak, permisi. Mau tanya makam Faiz Abdulloh, yang mana ya Pak?""Sampean lurus saja. Terus belok kiri dikit, yang di atasnya ada taburan bunga kamboja.""Ohhh, makasih Pak. Apa Bapak yang menaburkan kembang itu?"Lelaki paruh baya itu menggeleng."Istri almarhum sama anaknya tadi barusan ke sini.""Si-siapa Pak?""Istrinya Almarhum, Mas."Seketika jantung Romy berdesir. Detaknya berpacu dengan waktu. Dia melirik ke arah orang tuanya. Yang untung tak mendengar apa yang baru saja dikatakan penjaga makam ini."Kapan mereka datang Pak?""Barusan saja
Seorang wanita tua, tiba-tiba menoleh ke arah mereka. Begitu Maya turun. Wanita itu langsung berteriak senang. "May! Kamu toh itu?" "Iya, Bulek." "Lah, kok enggak kasih kabar dulu toh?" "Dadakan ini Bulek. Habis dari makamnya mendiang Faiz sama rumahnya Amelia." "Loh, katanya Amelia sudah enggak tinggal di situ lagi. Udah pindah ke Pandaan dia." Seketika Romy semakin gelisah. Dia tak ingin jika orang tuanya mengajak ke rumah Amelia yang di Pandaan. Pasti semua akan terbongkar. Raut wajah Romy pun terlihat tegang. Suara gigi yang gemeletuk kian terdengar. Sampai membuat Maya menoleh ke arahnya. "Kamu kenapa Rom?" "E-enggak apa-apa, Ma. Cuman dingin aja." Maya pun terus menatap anaknya. Dengan penuh tanya. Dia semakin curiga dengan gelagat yang ditunjukkan oleh Romy. "Apa Bulek tau alamat yang di Pandaan?" "Dulu adek kamu, si Marwan pernah tanya sama RTnya. Dikasih alamat, tapi belum
Di sepanjang perjalanan menuju rumah Amelia di Pandaan. Romy lebih banyak diam. Dia mengumpulkan sejuta kata untuk menghindari pertanyaan bila orang tuanya mendapat informasi dari penjaga rumah Adrian."Masih jauh, Rom?""Enggak, Ma.""Kok bisa-bisanya Amel ini pindah enggak kasih tahu kita yo, Pa?""Lah, iyo Ma. Berarti dia waktu datang sama Adrian ke rumah dulu itu, sudah pindah.""Iya, Pa. Tapi kok ya enggak bilang toh anak itu."Lalu Maya menepuk bahu sang anak."Beneran kamu enggak tahu soal ini?""Enggak, Ma.""Terus kata satpam tadi, dia mau menikah. Sama siapa itu? Opo kamu?""Mama kok ngomong gitu? Ya Amelia ... ehhh Tante menikahnya sama Adrian lah."Seketika Maya menggeleng berulang-ulang."Bukan itu, Roooom! Satpam tadi 'kan bilang. Kalau Amelia pindah gara-gara gagal menikah. Pastinya bukan karena pernikahan kamu dengan Salsa. Rentang waktunya aja udah beda. Berarti dia ada persiapan unt
Mobil langsung berhenti di seberang pagar. Mereka tak langsung turun. Memerhatikan suasana rumah itu dari dalam mobil."Kok sepi ya Rom?""Enggak tahu, Ma.""Ayok, kita turun!""Romy enggak ikut!""Ehhh ... kamu ini kenapa?""Malas, Ma. Ngantuk."Maya dan Hartono saling beradu pandang."Ayok, Ma. Kita aja yang turun."Terlihat di halaman seorang wanita seumuran mereka."Assalamualaikum, permisi Bu!" ucap Maya, berdiri di luar pagar."Waalaikumsalam. Ada apa ya, Bu?""Apa benar ini rumah Amelia?"Wanita yang tak lain istri Pak Sadi, terus menatap ke arahnya. Dari arah teras belakang, muncul Pak Sadi yang langsung berjalan mendekati sang istri."Siapa, Bu?""Ini Ibunya tanya Mbak Amelia."Pak sadi menghampiri Maya dan Hartono yang masih di luar pagar."Mari masuk dulu, Pak. Monggo, Bu!" ajak Pak Sadi menuju kursi di teras depan. Istrinya pun ikut ber
"Apalagi, Pa?""Kita jangan langsung hakimi Romy dulu, Ma. Beri waktu buat kita berpikir santai.""Ini semua sudah bikin aku stress Pa!" sentak Maya dengan emosi memuncak."Ya, tapi Ma. Tahanlah dulu! Kita selesaikan kalau nanti sudah tiba di apartemen."Dengan mendengkus kesal. Maya melangkah lebar.Blep!Pintu mobil terbanting dengan keras. Membuat Romy yang tengah tertidur. Sampai terbangun. Dia menoleh ke arah sang mama, yang sudah duduk di belakangnya."Ada apa sih, Ma? Kok sampai banting pintu kayak gitu?"Maya hanya diam tak menjawab. Hatinya masih berdebar-debar karena amarah. Bahkan embusan napasnya sampai terdengar oleh Romy."Mama ini kenapa?"Sengaja Maya memalingkan muka. Menembus jendela dengan raut wajah yang memerah."Rom! Sekarang kamu antar kami ke rumahnya Adrian!" tegas Hartono.Permintaan papanya itu, membuat Romy mengerutkan kening. Kedua bola mata tak lepas terus memandang ke a
Dua puluh menit kemudian.Langkah mereka bergegas menuju apartemen Romy. Maya sudah tidak tahan ingin memberondong Romy dengan sejuta pertanyaan."Rom! Mama sama Papa kamu ingin bicara serius!"Baru saja mereka masuk apartemen. Maya sudah mengajak Romy duduk di ruang tengah."Duduklah, Rom!" pinta Hartono, pada anak lelaki mereka."Iya, Pa.""Sebenarnya apa yang telah terjadi? Antara kamu, Amelia dan Adrian. Kamu jangan mengelak lagi, Rom!""Maksud Papa ini apa? Romy enggak paham sama sekali,""Rom!" teriak Maya hilang kesabarannya. "Jangan kamu pikir Mama dan Papa kamu ini orang bodoh. Enggak bisa melihat dan merasakan hal yang aneh. Mama kamu ini dari pertama datang dan melihat kamu. Sudah bisa bca kalau kamu lagi ada masalah. Sekarang katakan terus terang ada apa?""Memang Romy enggak ngerti, Ma. Apa yang Mama tanyakan ini?""Apa yang kamu lakukan, saat menjelang pernikahan Amelia dan Adrian? Ke mana kamu memba
Lalu Maya beranjak dan turun dari ranjang. Menuju meja rias. Perlahan jemari tangannya bergerak mengusap lembut wajahnya dengan kapas. Hingga pandangan Maya tertuju pada kertas yang tersemat diantara laci meja.Penasaran kertas itu ditarik kuat oleh Maya."Apa ini?"Perlahan jemari tangan mulai begerak membuka lipatan surat itu."Ada apa Ma?""Coba Papa ke sini deh!"Segera Hartono menghampiri Maya. Yang tengah memegang sebuah kertas. Lalu Maya memerlihatkan pada suami."Co-coba ... Papa baca! Mama masih belum baca juga.""Bentar, Ma!"Lelaki tampan di usia yang sudah tak lagi muda itu. Mulai memasang kaca matanya."Sepertinya surat Ma ini. Ini pakai tulisan tangan.""Coba Papa yang baca," pinta Maya."Baik, Ma."_Mas Romy tercinta_Mungkin saat Mas Romy membaca surat ini. Aku sudah berada jauh, entah di mana?Aku sendiri tak tahu, Mas. Akan melangkah