Tak lama mobil Adrian sudah berhenti di depan rumah Amelia. Dari teras rumah Dita melambaikan tangan pada mobil Adrian. Melihat Dita yang menyambut dirinya. Adrian tersenyum lebar.
Sebelum turun, "Pak masukkan aja mobilnya ke dalam!"
"Baik, Pak Adrian."
Buru-buru dia turun dari mobil dan menghampiri Dita. Seraya memberikan makanan pesanan dia.
"Makasih ya, Om!"
"Sama-sama, Dita. Mama di mana?"
"Di dalam. Ayo, masuk Om!"
Adrian pun mengikuti langkah kecil Dita. Gadis kecil itu berjalan menuju ruang tengah. Terlihat Rini dan Bu Sadi membantunya.
"Hai, Adrian. Mau kopi?"
"Kenapa kamu langsung tawarin aku kopi?"
"Kelihatan suntuk!"
"Masa?"
Amelia mengangguk. Dia beranjak dari duduknya. Berjalan menuju dapur.
"Aku temani, Mel!"
"Ayo."
Adrian duduk di kursi meja makan.
"Apa kamu lagi ada masalah?"
"Enggak."
"Lantas apa? Kok kamu bener-bener enggak ceria sama
"Masalah apa, Salsa?"Linda menatap dengan rasa penasaran."Sebaiknya kita ngobrol di tempat kamu aja, Lind.""Ada Romy?""Ada, di kamar. Katanya sih tidur, tapi enggak enak lah. Entar dia malah dengar lagi.""Yok, kalu gitu!"Mereka berdua berjalan beriringan menuju lantai dua. Menuju apartemen Linda. Dari penampilan Melinda malam ini, terlihat jelas dia baru saja datang."Kamu habis sama Om kamu?""Enggak!""Terus habis dari mana?""Aku baru saja kongkow sama temen-temen."Tak lama mereka berdua sudah di depan pintu apartemen Melinda. Bergegas wanita cantik itu, mencari kunci dan hanya sekian detik, pintu pun telah terbuka lebar."Mau minum apa kamu?""Aaaahhh, kayak tamu jauh. Enggak usah.""Terus kamu ingin ketemu aku, ada apa?"Salsa menundukkan wajahnya. Dia tak bisa menyembunyikan kesedihan yang kian meradang dalam hatinya saat ini. Berulang kali hembusan napas keres
Buru-buru Salsa mempercepat langkahnya."Kenapa aku baru kepikiran untuk melihat HP Mas Romy? Dari situ aku bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi."Sesampai di rumah. Salsa berdiri di depan pintu kamar Romy. Dia terlihat ragu, takut bila sang suami belum tidur."Apa aku langsung masuk aja ke dalam ya?"Salsa mengetuk kepalanya berulang-ulang. Akhirnya dia memberanikan diri, menyelinap masuk ke dalam kamar Romy.Tampak Salsa mengamati Romy. Yang terlihat sudah tertidur pulas. Langkahnya mengendap-endap. Sembari pandangan mata berpendar liar, mengitari seluruh isi kamar.'Di mana Mas Romy naruh HPnya?'Dengan langkah berjingkat, perlahan Salsa merogoh di bawah bantal dan guling. Namun, dia juga tak menemukan ponsel Romy.'Di mana kamu menaruhnya, Maaaas!'Salsa mulai resah. Dia celingukan mencari ponsel yang masih juga belum bisa dia ketemukan. Perlahan dia membuka laci meja yang ada di dekatnya. Ak
Dia berjingkat perlahan menuju gantungan pakaian. Dan kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celana Romy."Apa yang kau lakukan di situ?!"Deg!Seketika jantungnya berdentum hebat. Seakan terlepas dari tempatnya. Mati-matian Salsa berusaha menjaga sikap, agar tetap terlihat tenang.Suara Romy yang terdengar kencang di telinga. Membuat Salsa terperanjat. Bahkan hampir saja ponsel yang digenggam terjatuh. Gerakan cepat tangan Salsa, segera menyelinap ke dalam kantong celana.Segera dia berbalik dengan tersenyum tipis. Lalu berjalan mendekat. Dia pun duduk di [pinggiran ranjang."Aku tadi mau nawarin Mas Romy makan atau kopi susu. Cuman Mas Romy tidurnya anteng banget.""Hemmm!"Dia menatap penuh curiga."Lalu untuk apa kamu pegang-pegang celana aku?""Eehhh ... mau aku cuci, Mas. Biar besok pagi enggak ketinggalan.""Itu baru aku pakai sekali 'kan?""Takutnya kotor lah. Masa seorang arsitek celananya
Tampak Raffian turun dari mobil. Langkahnya cepat berjalan meninggalkan pelataran parkir rumah sakit. Menuju kamar sang ibu.Saat ingin memasuki ruang kamar. Seseorang memanggilnya, "Mas Raffian!"Sontak Raffian berbalik. Seorang lelaki paruh baya tersenyum padanya. Dia pun menghampirinya."Pakdhe sudah lama?""Dari Maghrib tadi, Mas. Aku nemani Budhe kamu, kasihan sendirian.""Pakdhe sama Budhe sudah bisa pulang sekarang. Saya kan sudah datang.""Kalau gitu kita masuk ke dalam dulu aja, Mas!" ajak Pak Hanafi.Keduanya berjalan menuju kamar. Terlihat sang ibu yang sudah terlelap. Raffian meletakkan tas ransel di sebuah kursi."Kalau Mas Raffian sudah datang. Kita berdua pulang dulu ya Mas.""Silakan, Budhe.""Besok, gimana Mas?""Budhe masih ke sini ya?"Wanita itu mengangguk. Dengan membulatkan jarinya. Raffian tersenyum lebar.Sepeninggal mereka, Raffian langsung mengambil ponselnya. Dia seg
"Gadis cantik?" ulang Raffian merasa aneh."Iya, ngaku jadi teman kamu.""Hemmm, apa Sella?""Nah, itu namanya. Sella!"Dia mengerutkan dahi. Raffian merasa aneh. Tak biasanya Sella sampai memberikan perhatian yang lebih seperti ini. Mungkin agar Raffian lebih bisa diajak kerjasama."Dia bilang apa saja, Bu?""Teman kamu itu cuman tanya sakitnya gimana? Apa udah enakan? Cuman gitu aja.""Ya, sudah Bu. Tidurlah ini sudah malam."Rusmini mengangguk dengan tersenyum. Dia pun mengulurkan tangan pada anaknya. Raffian berjalan mendekat. Lalu mengusap lembut rambutnya."Kamu apa enggak capek seharian bekerja?"Raffian menggeleng."Ini semua demi kita, Bu. Juga buat biaya berobat. Yang paling penting Ibu enggak perlu memikirkan tentang pekerjaan Raffian. Yang penting Ibu cepat sembuh.""Iya, Raff."Saat hendak berbalik. Rusmini kembali menarik lengan anaknya. Membuat Raffian sedikit terkesiap.
"Ini tentang apa sih Tante?""Adrian! Ini tentang Adrian!""Emang kenapa dengan Adrian, Tante?"Maafkan Tante, Sell!"Sella hanya memerhatikan Santi yang sedari tadi meminta maaf padanya. Membuat Sella akhirnya terdiam. Tak habis pikir atas sikap Santi, yang malam ini sangat aneh bagi Sella."Tante katakan yang gamblang. Ada apa ini? Aku enggak mau pusing dan ribet seperti ini Tante. Jangan suruh aku main tebak-tebakkan!"Masih dengan wajah muram dan masam. Santi menarik pergelangan tangan Sella untuik duduk di sebelahnya. Pandangan matanya lekat pada manik mata Sella yang masih diam."Aku sama Adrian hampir melakukan sesuatu.""Maksud Tante?""I-Iya, Sella. Kita berdua hampir saja melakukan perbuatan itu."Sella yang tak mempercayai hanya menggeleng terus menerus."Enggak mungkin kalian melakukannya. Ini pasti kebohongan. Iya 'kan?""ini benar Sella. Kami berdua hampir khilaf. Kami berdua sama-sama
Malam ini Sella benar-benar kusut. Akan tetapi perasaannya jauh lebih tenang. Tatap matanya terus tertuju pada ponsel. Entah mengapa malam ini dia merasa sendiri.Tuuut tuuuut!"Angkatlah Raff!"Cukup lama Sella menunggu. Namun Raffian tak juga mengangkat telepon darinya."Apa dia sudah tidur?"Sella terus mencobanya.Hingga deringan terakhir.""Hallooo, apaan sih sell?""Raff, temani aku sebentar.""Ke mana?""Ke mana pun. Yang penting malam ini temani aku.""Kamu kan tau aku lagi jagain Ibu di rumah sakit.""Iya, aku tahu. Aku akan ke sana!"Saat Raffian ingin mengatakan sesuatu. Telepon Sella sudah ditutupnya."Haaahhh! Dia pasti nekad ke sini! Aku yakin sekali itu," tebak Raffian.Sedang Sella bergegas berganti pakaian. Dia menyambar jaket dan tas selempang kecil miliknya. Dengan langkah yang tergopoh. Mbok Narmi menghampiri Sella.Dari raut wajah wanita paruh baya itu tampak
Seketika itu Sella terdiam. Lalu melempar pandangannya lurus ke depan. Cukup lama mereka terdiam tanpa kata."Apa cowok itu yang namanya Adrian?""Iya, Raff. Menurut kamu konyol ya?"Raffian hanya tersenyum."Bukannya kamu selalu konyol dari dulu?""Masa sih? Aku enggak ngerasa lho.""Kamu enggak akan pernah bisa merasa, Sell," sahut Raffian gamblang.Sekian detik lamanya mereka berdua kembali terdiam."Apa aku separah itu dalam bersikap?" Kini tatap matanya tajam mengarah pada Raffian. Yang pandangannya lurus ke arah taman. Seakan menghindari tatap mata Sella."Sebenarnya tujuan kamu menyuruh memantau Amelia ini apa?" tanya Raffian penuh selidik.Wajah Sella terlihat rikuh. Dia bingung harus menjawab apa pada Raffian. Dari sikap dia yang beberapa kali menggeser bokongnya. Sangat terbaca kalau Sella sebenarnya juga tak tahu, apa alasan yang melandasi semuanya itu. Kecuali rasa cemburu pada Amelia."Kau pun