Dimulai dari sini. Saat hal yang sebelumnya baik-baik saja berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan rumit. Problematika hidup tak kunjung surut. Terlalu banyak takdir yang membuat sesak. Takdir yang tidak bisa diubah sesuka hati. Tidak bisa disamakan dengan buku resep makanan yang dapat diaplikasikan sesuai selera.
Elzora Giandra Oktaviani. Rentetan nama itu dimiliki oleh gadis biasa yang hidupnya tidak ingin lepas dari tantangan. Sejak kecil hidup bersama keluarga yang ulet, pekerja keras, dan ambisius. Bahkan, sering lupa dengan intensitas hidup sesungguhnya. Menurunlah darah itu kepada Elzora. Gadis berkepala batu tapi hati selembut salju.
Lahir dalam kondisi belum diinginkan memang menyebalkan. Wanita yang ia sebut Mama merupakan seorang wanita karir. Membuat keputusan sejak awal menikah untuk menunda hamil. Sementara semesta berkata lain. Lahirlah Elzora sebelum orang tua mengharapkan kehadirannya. Bahkan, nama yang ia milikipun pemberian sanak saudara. Nama Elzora pemberian dari tante yang telah menetap di Eropa. Giandra, adalah nama pemberian mendiang kakek yang mengira putrinya akan melahirkan anak laki-laki. Sementara Oktaviani, nama pemberian Ayahnya. Bukan karena lahir bulan Oktober, tapi karena itu nama yang sama dengan mantan pacar yang tak terlupakan. Tentu semua itu rahasia yang dipendam sendiri, tanpa diketahui sang istri.
Begitulah saking acuhnya. Meski sekedar perihal nama, seharusnya orang tua berperan penting. Menunda punya anak memang sebuah pilihan. Namun, bagaimanapun keadaannya itu bukan alasan. Orang tua tak berhak menelantarkan anaknya. Membesarkan anak agar tumbuh dengan baik tidak cukup dengan materi, tapi juga butuh hati. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bagi kebanyakan orang. Justru menjadi tempat paling mengerikan. Semua perlahan damai sejak ia duduk di bangku kelas 4 SD, itu karena lebih sering diasuh tante. Diperlakukannya dengan sangat baik, selayaknya anak sendiri. Hal itu karena tante sangat mengidamkan buah hati. Sepuluh tahun menikah, tapi tak kunjung dikaruniai anak. Sebab Tuhan masih menguji kesabarannya dan seakan bersabda belum saatnya.
Waktu kelulusan tiba. Tradisi corat-coret sana-sini ada dimana-mana. Merayakan pelepasan masa putih abu-abu. Perempuan yang acap kali dijuluki perempuan setengah jantan itu girang bukan kepalang. Ditambah lagi mendapat kabar diterima oleh kampus impiannya di Jakarta. Keinginan Dimulai dari sini, saat hal yang sebelumnya baik-baik saja berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan rumit. Problematika hidup tak kunjung surut. Terlalu banyak takdir yang membuat sesak. Takdir yang tidak bisa diubah sesuka hati. Tidak bisa disamakan dengan buku resep makanan yang dapat diaplikasikan sesuai selera. Elzora Giandra Oktaviani. Rentetan nama itu dimiliki oleh gadis biasa yang hidupnya tidak ingin lepas dari tantangan. Sejak kecil hidup bersama keluarga yang ulet, pekerja keras, dan ambisius. Bahkan, sering lupa dengan intensitas hidup sesungguhnya. Menurunlah darah itu kepada Elzora. Gadis berkepala batu tapi hati selembut salju.
Lahir dalam kondisi belum diinginkan memang menyebalkan. Wanita yang ia sebut Mama merupakan seorang wanita karir. Membuat keputusan sejak awal menikah untuk menunda hamil. Sementara semesta berkata lain. Lahirlah Elzora sebelum orang tua mengharapkan kehadirannya. Bahkan, nama yang ia milikipun pemberian sanak saudara. Nama Elzora pemberian dari tante yang telah menetap di Eropa. Giandra, adalah nama pemberian mendiang kakek yang mengira putrinya akan melahirkan anak laki-laki. Sementara Oktaviani, nama pemberian Ayahnya. Bukan karena lahir bulan Oktober, tapi karena itu nama yang sama dengan mantan pacar yang tak terlupakan. Tentu semua itu rahasia yang dipendam sendiri, tanpa diketahui sang istri.
Begitulah saking acuhnya. Meski sekedar perihal nama, seharusnya orang tua berperan penting. Menunda punya anak memang sebuah pilihan. Namun, bagaimanapun keadaannya itu bukan alasan. Orang tua tak berhak menelantarkan anaknya. Membesarkan anak agar tumbuh dengan baik tidak cukup dengan materi, tapi juga butuh hati. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bagi kebanyakan orang. Justru menjadi tempat paling mengerikan. Semua perlahan damai sejak ia duduk di bangku kelas 4 SD, itu karena lebih sering diasuh tante. Diperlakukannya dengan sangat baik, selayaknya anak sendiri. Hal itu karena tante sangat mengidamkan buah hati. Sepuluh tahun menikah, tapi tak kunjung dikaruniai anak. Sebab Tuhan masih menguji kesabarannya dan seakan bersabda belum saatnya.
Waktu kelulusan tiba. Tradisi corat-coret sana-sini ada dimana-mana. Merayakan pelepasan masa putih abu-abu. Perempuan yang acap kali dijuluki perempuan setengah jantan itu girang bukan kepalang. Ditambah lagi mendapat kabar diterima oleh kampus impiannya di Jakarta. Keinginan menjadi kura-kura yang keluar dari tempurung, tercapai. Terbang bebas selayaknya burung merpati yang tak nyaman berada dikandang sendiripun, terkabulkan. Dedaunan ikut berguguran seakan berubah musim, mengikuti suasana hatinya. Dengan penuh semangat, terbanglah ia menuju ibu kota. Mengadu nasib untuk menimba ilmu. Sekaligus menenangkan diri dari masalah keluarga. Meninggalkan tempat dimana setiap manusia didalamnya hanya sibuk mengejar duniawi. Tak peduli sisi kanan, kiri, atas, bawah, depan, dan belakang.
Ialah perempuan yang tidak pernah memiliki panjang rambut lebih dari sebahu. Senyum semanis madu, sebab lesung pipi bersama deretan gigi kelinci yang putih. Pemilik bola mata dan bibir yang indah. Berkulit putih, perlahan berubah kuning langsat khas perempuan Indonesia. Itu karena terlalu sering bermandi terik matahari. Dibalik pesona alami yang diberikan Tuhan itulah, meski berperangai cuek, keras kepala dan dingin. Elzora tetap menjadi primadona kampus. Dengan gaya seadanya, gadis tomboi yang sebetulnya sangat memesona jika dipoles make up. Tidak sedikit pula kaum hawa menjadikannya bahan pembicaraan yang tidak mengenakkan. Penyebabnya karena perasaan iri dengki. Takut tersaingi oleh kecantikan Elzora yang alami. Tanpa polesan dempul warna-warni, seperti yang mereka pakai untuk sekedar mempercantik diri. Hujatan demi hujatan tak terelakkan. Namun, Elzora mengatasinya dengan sikap bodo amat. Dalam berpenampilan yang terpenting adalah kenyamanan. Kesederhanaan itulah yang membuat beberapa laki-laki menyukainya. Ialah definisi cantik alami. Cantik sejak lahir memang keberuntungan, tapi bisa jadi masalah jika pemilik kecantikan itu menyalahgunakanya.
Jika ditanya soal cinta? Elzora bukan perempuan beruntung. Beberapa kali telah menjatuhkan hatinya tapi, bukan bahagia justru kecewa yang diterima. Untungnya, masih ada si konyol anak Jakarta yang selalu sabar menemaninya. Mampu menghibur Elzora yang tengah dirundung kegalauan. Ardan, sahabat sejak awal masuk dunia perkuliahan hingga bergelut dalam organisasi yang sama.
Kisah cinta itu rumit, pasti berujung sakit. Sempat menerima laki-laki mantan anggota geng motor bahkan terkenal play boy. Sebab
terlalu fanatik dengan tantangan, Elzora menerima laki-laki itu. Jadi pacar dari sebuah rasa keingintahuan bukan rasa sayang. Namanya Andrean, sosok laki-laki yang yang diharap dapat berubah menjadi lebih baik dan berhenti mempermainkan hati perempuan. Saat batu dalam hati mulai terkikis. Kepura-puraan berubah menjadi kesungguhan. Pada akhir bulan pertama hubungan mereka berjalan, Andrean membuat ulah. Lagi-lagi menjadikan hati gadis itu bahan permainan. Tanpa ampun! Babak belurlah ia dengan tangan Elzora sendiri. Pada ujungnya tetap sama. Ialah penyebab adanya awal dan akhir. Si hidung belang tampaknya sudah permanen. Sebelum diujung peristiwa terciduknya Andrean bersama Gisel, sebenarnya Elzora pernah menuai benih cinta. Semua itu tinggal kata pernah, tidak mungkin terulang. Sekali tali kepercayaan diputuskan, maka tidak akan bisa disambung kembali. Sudah terlanjur putus dan patah sepatah-patahnya. Ia bersumpah tidak akan mencintai sosok laki-laki yang berperangai serupa Andrean."Yang harus diselesaikan dalam hidup adalah pertanyaan rumit tentang: Hidup ditambah tantangan dikali dengan seni maka akan sangat indah dan menyenangkan. Namun, setelah dibagi dengan cinta semua berubah menjadi dilema".
Menghabiskan waktu di perjalanan untuk melihat dunia baru. Menjadi solusi memediasi diri. Menjelajah daerah baru dan bertemu tokoh baru di muka bumi. Menjadikannya lawan berdialog di atas panggung kehidupan. Manusia sekedar aktor, sementara Tuhan adalah sutradara sekaligus penulis skenario hidup. Tugas aktor cukup mengikuti alur sembari mengusahakannya agar pantas disaksikan oleh semesta.
Sumber bahagia bisa dicari dimana saja. Gunung, sawah, ladang, pantai, bukit, lembah, gua, air terjun, atau bahkan padang pasir. Setiap langkah ada cerita yang harus diselesaikan agar pulang dengan tenang. Persis seperti hidup dalam dunia fana. Tubuhnya akan semakin jauh berkelana. Sementara jemari akan terus menulis takdir yang dialami. Semua itu akan terus dilakoni seraya problematika hidup masih mengikuti rotasi bumi. Dari waktu ke waktu bisa berkurang maupun bertambah. Tidak ada yang bisa menebak, kecuali takdir.
Elzora selalu punya cerita. Tentang problematika hidup yang rumit, kusut, dan kalut. Seorang sulung sekaligus putri satu-satunya. Pecinta musik indie yang tidak pernah tampil feminim. Baju kaos polos terbalut jaket bahan jin, kulit kadang denim belel. Lengkap dengan celana jin pula, atau celana pendek kombor. Beralaskan sepatu kets putih. Beraksesoris andalan, kumpulan gelang etnik. Santai dan fleksibel, begitulah dia. Cuek seperti bunglon, tapi mudah beradaptasi sebab suka berkelana ke berbagai penjuru negeri. Seni dan sepiring batagor adalah salah dua dari bahagia yang paling sederhana. Tukang batagor yang setia. Dengan tabah menunggu rupiah di seberang gerbang kampus. Dekat dengan tempat tinggalnya selama di tanah rantau. Si penjual batagor itu akrab disapa Mang Komar. "Mang beli batagor kayak biasa ya," pinta Elzora. "Siap neng! Ngomong-ngomong kenapa neng gelis nggak pernah pesen pake cabe?" tanya Mang Komar. "Hidup udah pedes mang," balasnya cep
Selalu dibuat kagum oleh pilar yang berdiri kokoh. Tegak pada sisi lemari, tempat tersusunnya piala penghargaan. Mural dengan lukisan seorang gadis yang tidak dapat didefinisikan pasti. Pemilik bola mata yang indah, seorang wanita Heterochromia. Coklat disisi kanan dan biru disisi kiri. Setiap 2-3 tahun sekali, sekret selalu direnovasi untuk diberi aksen baru. Diberlakukan jika berganti pimpinan pengurus. Namun, hanya mural pada dinding pilar itu yang tidak pernah diganti. Lebih tepatnya menolak untuk diganti. Seperti perempuan pada umumnya, yang selalu menolakuntuk diduakan, digantikan, apalagi dilupakan. Berbagai hal kebetulan terkesan mistis. Setiap toko bangunan tiba-tiba kehabisan stok cat. Tragedi cedera melanda orang yang berusaha menggantinya. Mural itu selalu menghipnotis setiap orang yang pertama kali melihatnya. Mungkin terpana oleh rambut panjang yang tergerai. Atau aksen batik yang tertanggal pada setengah badannya. Tampak sangat estetik, anggun, dan tr
Rasa penasaran benar-benar ingin diselesaikan. Selepas menghubungi alumni angakatan 80-an. Elzora tidak menemukan banyak informasi. Namun, satu hal yang ia tahu bahwa pelukisnya adalah Bang Danu. Alumni yang telah menjadi seorang wartawan. Mengetahui hal itu, bergerak cepat mencari tahu melalui berbagai media berita. Sayangnya... Mendapatkan kontak seorang wartawan bukan perkara mudah. Apalagi jika tidak ada bukti anggota keluarga atau orang terdekat. Seorang wartawan memuat berbagai kasus dan tidak jarang oknum kriminalitas mengincar nyawanya. Berita terakhir ada pada sebuah koran Jakarta, ditulis oleh Danu Pramdana. Memuat kasus turis asing yang berhubungan dengan belasan perempuan. Tanpa ikatan pernikahan, pergi meninggalkan mereka beserta buah hatinya. Nasib para perempuan itu terlantar dengan anak tanpa ayah dan berstatus istri tanpa suami. Kasus yang diangkat oleh Bang Danu memang luar biasa. Tentunya Bang Danu adalah wartawan beken. Ga
Hujan mengguyur sekujur tubuh. Tubuh yang semula panas sebab ego yang membara. Mengikis batu yang enggan dikikis air, sebab terlalu keras oleh ambisi untuk mengubah takdir. Selepas turun dari gunung batu, waktu begitu membingungkan. Elzora bertanya pada sudut kamar tempat berkumpulnya carrier, sepatu, dan aksesoris lama kesayangan yang sebagian telah pudar warnanya. Tiba-tiba dilema mengingat orang tua yang entah bagaimana kabarnya. Nasib tugas perkuliahan yang lebih sering diabaikan ketimbang dikerjakan. Dikejar sosok mengerikan spesies mantan. Masih setia sendiri dalam singgasana ternyaman. Ingin pulang tapi takut bukan mendapat senang malah terkekang. Telah cukup beban hidup, telah sangat mengenyangkan. Rumit untuk diikuti tapi bimbang untuk ditinggalkan. Gemericik hujan pukul lima sore menenangkan kegalauan. Ditambah secangkir teh tawar hijau yang masih panas. Aroma petrikor yang kian waktu kian mengobat rindu menjadi candu. Nyeri sendi sesekali kumat di
"Kacau udah jam 9 lewat!" Terperanjat ketika melihat jam dinding. Dengan hanya mencuci muka dan gosok gigi, diambilnya jaket dan celana jin hitam. Untungnya semua barang yang akan dibawa sudah tersusun rapi di dalam ransel 25 liter. "Halo? Tutt... Tuttt..." Jaringan berusaha menyambungkan panggilan, ponsel dijepit kepala dan pundak. Sementara tangan berusaha mengikat tali sepatu. "Ah, kebiasaan ni anak pasti masih molor," Elzora menggerutu. Tak ingin banyak membuang waktu. Ia berjalan keluar gang mencari angkutan umum. Di ujung perempatan jalan terlihat kendaraan roda tiga mendekat. Melaju bersama sopir berkumis tebal. Tiba-tiba perjalanan terhenti seraya suara mesin bobrok berbunyi. "Lah... Kenapa berenti mang?" tanya Elzora.&n
Pemuda itu segera menyadari kehadiran gadis yang semula acuh padanya."Gimana kakinya, udah mendingan?" tanya si pemuda asing."Aku nggak apa-apa kok," balas Elzora cuek."Oh gitu... Aku pikir cewek tomboi itu beda ternyata sama ya? Gengsinya gede banget haha." Sindirnya."Maksdunya?""Kamu masih kuat bediri di situ! Atau aku harus pergi dulu, baru kamu mau duduk disini?""Maaf ya..." Gadis itu menunduk, perasaannya tak menentu antara gengsi dan malu."Maaf buat apa?""Buat kejadian di stasiun, sampe kejadian disitu barusan," menunjuk tempatnya semula duduk."Oh... Jadi akhirnya kamu milih duduk deket aku, daripada deket om itu ya?""Udahlah, intinya aku boleh duduk disini nggak!?" Elzora mulai kesal."Nggak!" Balasnya cepat."Oh... Oke," memutar badan melangkah pergi."Hey aku becanda!" Meraih lengan Elzora yang hampir beranjak. Gadis itu tampak menahan diri dari perasaan geram. Perlahan dudu
Pemuda itu segera menyadari kehadiran gadis yang semula acuh padanya. "Gimana kakinya, udah mendingan?" tanya si pemuda asing. "Aku nggak apa-apa kok," balas Elzora cuek. "Oh gitu... Aku pikir cewek tomboi itu beda ternyata sama ya? Gengsinya gede banget haha." Sindirnya. "Maksdunya?" "Kamu masih kuat bediri di situ! Atau aku harus pergi dulu, baru kamu mau duduk disini?" "Maaf ya..." Gadis itu menunduk, perasaannya tak menentu antara gengsi dan malu. "Maaf buat apa?" "Buat kejadian di stasiun, sampe kejadian disitu barusan," menunjuk tempatnya semula duduk. "Oh... Jadi akhirnya kamu milih duduk deket aku, daripada deket om itu ya?" "
"Suara lo bagus ya..." Fikri berusaha memuji. Melangkah pada satu arah jalan yang sama. Memperhatikan gadis yang semula sangat asing dan dingin. "Masa sih?" Elzora menolak sanjungan. Jejaknya mengayun perlahan. Diiringi melodi para pemusik jalanan yang suaranya perlahan sayup. "Serius, kalo nggak bagus mana mungkin penontonnya tepuk tangan," "Jadi orang jangan terlalu mudah percaya dengan apa yang terlihat, tepuk tangan bukan berarti bagus. Mungkin itu sekedar cara mereka menghargai tanpa benar-benar menyukai." Seketika obrolan berhenti. Semua kata-kata Elzora berputar mengelilingi otak Fikri. Setiap detik yang biasa ia gunakan mengambil gambar berubah. Seakan menemukan kesenangan baru selain dari lensa kamera. "Gue mau jadi saksi," serunya dengan kembali menggenggam kamera. Mengambil beberapa objek sekitarnya. "Saksi apa?" "Semisal malaikat tanya, apakah suara Elzora bagus? Gue bakal jadi saksi pertama yang bilangiya