Selalu dibuat kagum oleh pilar yang berdiri kokoh. Tegak pada sisi lemari, tempat tersusunnya piala penghargaan. Mural dengan lukisan seorang gadis yang tidak dapat didefinisikan pasti. Pemilik bola mata yang indah, seorang wanita Heterochromia. Coklat disisi kanan dan biru disisi kiri. Setiap 2-3 tahun sekali, sekret selalu direnovasi untuk diberi aksen baru. Diberlakukan jika berganti pimpinan pengurus.
Namun, hanya mural pada dinding pilar itu yang tidak pernah diganti. Lebih tepatnya menolak untuk diganti. Seperti perempuan pada umumnya, yang selalu menolakuntuk diduakan, digantikan, apalagi dilupakan. Berbagai hal kebetulan terkesan mistis. Setiap toko bangunan tiba-tiba kehabisan stok cat. Tragedi cedera melanda orang yang berusaha menggantinya. Mural itu selalu menghipnotis setiap orang yang pertama kali melihatnya. Mungkin terpana oleh rambut panjang yang tergerai. Atau aksen batik yang tertanggal pada setengah badannya. Tampak sangat estetik, anggun, dan tradisional. Bila malam, mata itu seakan bicara bersama penyaksinya. Pancaran binar matanya menyala.
Konon katanya, mural itu sudah ada sejak sekret pertama kali direnovasi. Tidak ada yang tahu tahun pastinya, yang diketahui hanya pelukisnya yaitu alumni angkatan 80-an. Bayangkan saja betapa lusuh warnanya. Meskipun begitu, ia tetap indah dibanding tiga pilar lainnya yang sudah berkali-kali diganti. Keanehan yang sering terjadipun menuai berbagai kontroversi. Ada yang mengaitkan dengan hal gaib. Ada juga yang menganggap sebagai sugesti belaka. Beda kepala beda argumen.
"Elzora..." Suara sayup dari pintu sekret.
"Siapa?" sahut Elzora terperanjat.
"Ini gue Ardan," muncul tergesa-gesa, melempar sepatu yang lusuh ke atas rak bambu.
"Astaga Dan, kebiasaan kayak jalangkung!"
"Takut ya? Haha, mana yang katanya gentle girl?" ledek Ardan.
Ialah Ardan. Sahabat satu organisasi yang berbeda fakultas. Mahasiswa yang khas dengan rambut gondrong sebahu, berkumis tipis, berkulit eksotis, bertubuh kurus, dan cukup ambisius. Kadang serius mengejar selempang dengan pujian ditambah lulus tercepat. Walaupun nilai dan otaknya tidak sinkron dengan ambisinya. Apalagi jika virus rebahan kumat. Ambisinya semata-mata karena tekanan dari keluarga. Ibunya ingin anak badung itu berubah. Mengikuti langkah abang dan kakak perempuannya. Menjadi lulusan terbaik hingga mendapat beasiswa S2 ke luar negeri. Sebetulnya ia sudah lelah, tapi omelan ibunya memaksanya tak mudah menyerah. Terlebih jika dibandingkan dengan abangnya.
Dibandingkan memang menyebalkan. Walau kadang perbandingan itu mampu jadi amunisi untuk lebih kuat berjuang. Manusia terlalu sering berekspektasi. Sampai lupa bahwa banyak potensi yang bisa digali. Ambisius dan optimis tidak salah. Asalkan diikuti niat dan usaha yang setara. Ardan memilih organisasi seni sebab kecintaannya terhadap musik dan keinginan untuk bebas berekspresi. Sempat terlintas dalam hati dan pikirannya untuk berkuliah di Institut Seni. Namun, akibat terlalu mudah dipengaruhi info ngawur. Anak yang tak berpendirian itu mengurungkan niatnya.
"Kuliah di kampus seni itu mudah masuknya susah keluarnya."
Ungkapan itulah yang mengurungkan niatnya. Lalu memutuskan masuk kampus biasa dan bertemu sosok gadis aneh itu. Sama-sama mahasiswa penyandang gelar jomblo akut. Bedanya, Elzora selalu terkesan cuek dan serius. Sedangkan Ardan, hidup dipenuhi dengan lawakan. Sosok laki-laki yang paling takut galau sebab patah hati. Itulah sebab ia lebih memilih untuk sendiri. Fokus dengan kuliahnya yang berantakan. Sama seperti rambutnya yang mirip sapu ijuk itu. Bahkan pom-pom para cheerleader tampak lebih rapi. Sungguh kasihan, hidupnya seperti hanya untuk dibanding-bandingkan.
"Zo, gue kesel banget sama dosen hari ini, masa udah ngerjain laporan dari sore sampe subuh masih aja dikeluarin dari kelas cuma karena telat 10 menit," gerutunya tergesa-gesa.
"Nggak salah kok kan emang telat, terus dosen lo ngomong apa?"
"Anda selalu datang telat, tugas juga selalu kumpulnya telat, makanya bangun tidur itu jam 5, biar ndak telat!" Meniru cara bicara dosen berlogat Jawa.
"Hah, ya tinggal jawab aja... Buk! jam 5 saya bukan belum bangun tapi belum tidur, itu juga karena ngerjain tugas dari Ibu! bilang aja gitu."
"Sedep banget lo ngomonng Zo, andaikan ngomong begitu dan nilai kagak auto E mungkin gue udah ngomong beneran dah," ucap Ardan gusar.
Menjadi mahasiswa memang serba salah. Kebenaran selalu berpihak pada pengajar, sedangkan mahasiswa sekedar rakyat jelata pengais recehan nilai. Rumit, semasa SMA membayangkan berbagai hal menyenangkan dalam dunia perkuliahan. Ternyata keindahan itu halu. Mendapatkannya sama saja seperti menang lotre. Drama dunia perkuliahan tidak seindah Naughty Kiss, Pitch Perfect, dan film drama lainnya. Drama sesungguhnya adalah...
Kejar-kejaran bareng dosen...
Bolak balik kos-kosan ke kampus buat revisi atau sekedar tanda tangan KRS...
Cinlok bareng laptop, perpustakan, dan bermesraan bersama tumpukan tugas dan laporan....
Begitulah realitanya. Keruwetan itulah yang membuat Elzora memilih organisasi seni untuk diikuti. Lagipula seni adalah hidupnya sejak kecil. Melukis, bermusik, bernyanyi, drama, dan sastra. Sebelum kakek tiada, Elzora selalu rutin bermain musik dan menulis puisi bersamanya.
"Seni adalah bagian dari perjalanan hidup, ketika pikiran dan kenyataan terlalu pahit untuk ditelan biarkan warna-warni seni menawarkan manis kehidupan."
Begitulah kutipan dari Elzora, gadis unik yang sering dibilang aneh dan apa adanya. Selain seni, ia adalah gadis pecinta alam. Hampir setiap kota di Indonesia telah disinggahi. Beberapa negara di Asia dan Eropa juga sempat dijelajahi. Ketika hati dan pikirannya mulai kalut disanalah ia mulai berpetualang. Menjadi solusi melepaskan beban hidup, membuang kenangan selagi diperjalanan. Demi menuntaskan rasa penasaran perihal Art style. Ia berencana pergi seorang diri sekedar untuk menggali jawaban. Meski telah berkelana kemana-mana kadang ia rindu rumah. Hanya kadang-kadang, jika sedang rindu masakan tante. Orang tua yang entah, membuatnya enggan di rumah. Tempat ternyaman hanya kamar indekos dan sekret.
"Besok gue nggak ada kuliah jalan yuk! Temenin cari buku," pinta Ardan.
"Tumben ngajak jalan ke toko buku," menatap curiga.
"Kita udah semester tua emang lo nggak ada persiapan buat skripsian?"
"Oh, kirain mau cari cewek pinter yang suka nongkrong di toko buku." Ledek Elzora sambil perlahan meraba loker mencari music box.
"Dihh mana mau gue sama cewek kutu buku." Balasnya bergidik.
"Mana mau tu cewek sama lo, Itu yang bener! Dasar sok cakep jomblo akut belagu."
"Nggak usah bawa-bawa status dong, jadi mau nggak atau lo mau mudik?"
"Dih, siapa yang mau mudik!" Bentaknya.
"Wihh selow neng, ya udah kita ke toko buku aja cari buku metode penelitian oke?" Ardan membujuk dengan kedipan mata sambil memainkan rambut gondrongnya, tergerai melayang diterpa kipas angin, berusaha merayu.
"Liat sikon nanti aja deh." Balasnya cuek, lanjut melakukan senam wajah.
Sejak awal masa orientasi kampus Ardan anak aneh yang sering mencuri perhatian Elzora sebab ulah konyolnya. Persahabatan itu semakin erat setelah mengikuti organisasi yang sama. Minat terhadap seni yang mengakrabkan keduanya. Ardan sempat menjadi korban bully oleh kakak tingkat di Fakultas. Dipaksa jalan jongkok keliling lapangan sambil memegang papan nama bertuliskan I am loser.
Elzora tidak sengaja lewat sepulangnya dari orientasi di Fakultas. Dengan berani ia selidiki dan ternyata anak laki-laki aneh itu menjadi korban bullying. Hanya perihal dianggap caper dan lupa membawa slayer. Tanpa basa-basi
Elzora melaporkan hal itu ke pihak kampus. Mahasiswa yang berlagak senior itu mendapat bumerang. Mereka yang berbadan bongsor itu diminta membuka baju dan squat jump."Kami janji akan menjadi senior yang baik..."
Sejak kejadian konyol itu, aksi perpeloncoan oleh senior dihentikan. Kilas balik selesai dan kembali melebur dalam tanda tanya.
"Jadi pengen banget tanya tentang makna dari gambar ini sama pelukisnya," menatap bola mata gadis yang menempel pada dinding pilar.
"Kenapa si kepo banget? Bang Danu itu punya jiwa seni yang tinggi makanya karyanya nggak ada yang kaleng-kaleng," balas Ardan sambil mengunyah permen karet.
"Karena jiwa seni itulah aku mau tau apa maksud Bang Danu buat mural ini." Ardan acuh lalu berdiri dan mulai melakukan straching sebelum olah gerak.
"Lo tau kan? Udah puluhan tahun mural ini dibuat dan jadi satu-satunya yang nggak pernah diganti. Bedah sekret tahun lalu tiba-tiba cat habis, udah keliling tetep nggak ada. Kayaknya ada sesuatu dibalik mural ini Dan," jelas Elzora sambil mengelilingi Art style dengan tatapan tajam. Melihat Ardan asyik sendiri, lekas ia tekan tombol off pada music box yang sedang mengiringi gerak Ardan.
"Kenapa si Zo?" tertegun menatap kesal. "Jadi orang jangan parno gitu Zo, itu cuma Art style!" Elzora membalas dengan tatapan kesal
Menciptakan tantangan demi kepuasan pribadi. Ego gadis itu telah mengakar. Rasa penasaran semakin menggebu untuk mencari tahu sebab dari pesona Art style.
Kemanakah Elzora akan pergi? Siapakah sosok pelukis Art Style sesungguhnya? Kepada siapa hati Elzora akan tertambat? Nantikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut pada BAB selanjutnya :) Happy Reading and STAY TUNE!
Rasa penasaran benar-benar ingin diselesaikan. Selepas menghubungi alumni angakatan 80-an. Elzora tidak menemukan banyak informasi. Namun, satu hal yang ia tahu bahwa pelukisnya adalah Bang Danu. Alumni yang telah menjadi seorang wartawan. Mengetahui hal itu, bergerak cepat mencari tahu melalui berbagai media berita. Sayangnya... Mendapatkan kontak seorang wartawan bukan perkara mudah. Apalagi jika tidak ada bukti anggota keluarga atau orang terdekat. Seorang wartawan memuat berbagai kasus dan tidak jarang oknum kriminalitas mengincar nyawanya. Berita terakhir ada pada sebuah koran Jakarta, ditulis oleh Danu Pramdana. Memuat kasus turis asing yang berhubungan dengan belasan perempuan. Tanpa ikatan pernikahan, pergi meninggalkan mereka beserta buah hatinya. Nasib para perempuan itu terlantar dengan anak tanpa ayah dan berstatus istri tanpa suami. Kasus yang diangkat oleh Bang Danu memang luar biasa. Tentunya Bang Danu adalah wartawan beken. Ga
Hujan mengguyur sekujur tubuh. Tubuh yang semula panas sebab ego yang membara. Mengikis batu yang enggan dikikis air, sebab terlalu keras oleh ambisi untuk mengubah takdir. Selepas turun dari gunung batu, waktu begitu membingungkan. Elzora bertanya pada sudut kamar tempat berkumpulnya carrier, sepatu, dan aksesoris lama kesayangan yang sebagian telah pudar warnanya. Tiba-tiba dilema mengingat orang tua yang entah bagaimana kabarnya. Nasib tugas perkuliahan yang lebih sering diabaikan ketimbang dikerjakan. Dikejar sosok mengerikan spesies mantan. Masih setia sendiri dalam singgasana ternyaman. Ingin pulang tapi takut bukan mendapat senang malah terkekang. Telah cukup beban hidup, telah sangat mengenyangkan. Rumit untuk diikuti tapi bimbang untuk ditinggalkan. Gemericik hujan pukul lima sore menenangkan kegalauan. Ditambah secangkir teh tawar hijau yang masih panas. Aroma petrikor yang kian waktu kian mengobat rindu menjadi candu. Nyeri sendi sesekali kumat di
"Kacau udah jam 9 lewat!" Terperanjat ketika melihat jam dinding. Dengan hanya mencuci muka dan gosok gigi, diambilnya jaket dan celana jin hitam. Untungnya semua barang yang akan dibawa sudah tersusun rapi di dalam ransel 25 liter. "Halo? Tutt... Tuttt..." Jaringan berusaha menyambungkan panggilan, ponsel dijepit kepala dan pundak. Sementara tangan berusaha mengikat tali sepatu. "Ah, kebiasaan ni anak pasti masih molor," Elzora menggerutu. Tak ingin banyak membuang waktu. Ia berjalan keluar gang mencari angkutan umum. Di ujung perempatan jalan terlihat kendaraan roda tiga mendekat. Melaju bersama sopir berkumis tebal. Tiba-tiba perjalanan terhenti seraya suara mesin bobrok berbunyi. "Lah... Kenapa berenti mang?" tanya Elzora.&n
Pemuda itu segera menyadari kehadiran gadis yang semula acuh padanya."Gimana kakinya, udah mendingan?" tanya si pemuda asing."Aku nggak apa-apa kok," balas Elzora cuek."Oh gitu... Aku pikir cewek tomboi itu beda ternyata sama ya? Gengsinya gede banget haha." Sindirnya."Maksdunya?""Kamu masih kuat bediri di situ! Atau aku harus pergi dulu, baru kamu mau duduk disini?""Maaf ya..." Gadis itu menunduk, perasaannya tak menentu antara gengsi dan malu."Maaf buat apa?""Buat kejadian di stasiun, sampe kejadian disitu barusan," menunjuk tempatnya semula duduk."Oh... Jadi akhirnya kamu milih duduk deket aku, daripada deket om itu ya?""Udahlah, intinya aku boleh duduk disini nggak!?" Elzora mulai kesal."Nggak!" Balasnya cepat."Oh... Oke," memutar badan melangkah pergi."Hey aku becanda!" Meraih lengan Elzora yang hampir beranjak. Gadis itu tampak menahan diri dari perasaan geram. Perlahan dudu
Pemuda itu segera menyadari kehadiran gadis yang semula acuh padanya. "Gimana kakinya, udah mendingan?" tanya si pemuda asing. "Aku nggak apa-apa kok," balas Elzora cuek. "Oh gitu... Aku pikir cewek tomboi itu beda ternyata sama ya? Gengsinya gede banget haha." Sindirnya. "Maksdunya?" "Kamu masih kuat bediri di situ! Atau aku harus pergi dulu, baru kamu mau duduk disini?" "Maaf ya..." Gadis itu menunduk, perasaannya tak menentu antara gengsi dan malu. "Maaf buat apa?" "Buat kejadian di stasiun, sampe kejadian disitu barusan," menunjuk tempatnya semula duduk. "Oh... Jadi akhirnya kamu milih duduk deket aku, daripada deket om itu ya?" "
"Suara lo bagus ya..." Fikri berusaha memuji. Melangkah pada satu arah jalan yang sama. Memperhatikan gadis yang semula sangat asing dan dingin. "Masa sih?" Elzora menolak sanjungan. Jejaknya mengayun perlahan. Diiringi melodi para pemusik jalanan yang suaranya perlahan sayup. "Serius, kalo nggak bagus mana mungkin penontonnya tepuk tangan," "Jadi orang jangan terlalu mudah percaya dengan apa yang terlihat, tepuk tangan bukan berarti bagus. Mungkin itu sekedar cara mereka menghargai tanpa benar-benar menyukai." Seketika obrolan berhenti. Semua kata-kata Elzora berputar mengelilingi otak Fikri. Setiap detik yang biasa ia gunakan mengambil gambar berubah. Seakan menemukan kesenangan baru selain dari lensa kamera. "Gue mau jadi saksi," serunya dengan kembali menggenggam kamera. Mengambil beberapa objek sekitarnya. "Saksi apa?" "Semisal malaikat tanya, apakah suara Elzora bagus? Gue bakal jadi saksi pertama yang bilangiya
Tawa yang baru akan di mulai, berhenti. Suara petir semakin kencang menyambar. Tampaknya langit cemburu dengan kemesraan Fikri dan Elzora. Atau justru, langit ikut bersuka cita? Beberapa tetes perlahan turun kembali menciptakan aroma kenangan. Tak disangka, takdir benar-benar mempertemukan dua sejoli yang sehobi. Bahkan mungkin juga satu frekuensi. Tuhan selalu punya rencana sendiri untuk memberi kejutan pada hamba-Nya. Beranjak bersama tanpa rencana, gadis yang semula dingin perlahan hangat. Sehangat sinar senja yang baru saja mereka saksikan bersama. "Sampai ketemu besok Zo," sahut pemuda dengan pelindung kepala bergambar batman. "Oke, besok berangkat sore." Balas gadis itu dari depan mulut pintu lobby. Seruannya menjadi tanda bahwa ia siap berangkat bersama. Menuju jalan yang sama untuk tujuan yang berbeda. "Selamat malam kakak," sapa Resepsionis yang sama, seorang laki-laki kurus dengan tahi lalat menempel di hidungnya. Rambutnya kriting, berkuli
Semilir angin malam di tengah lautan, sungguh nyaman. Perasaan tenang yang belum pernah sesempurna malam itu. Ombak tenang, bintang pun cemerlang. Secemerlang sorot mata Elzora hingga diam tak bergeming."Ombaknya tenang, tumben." Ucapan Fikri adalah pertanyaan yang entah ditujukan untuk siapa."Sering naik kapal ya?" Elzora baru menjawab setelah tertegun beberapa menit."Lumayan, hampir satu atau bulan sekali." Balas Fikri."Serius? itu mah bukan lumayan tapi sering banget, tugas lo emang harus pergi terus begini ya?""Enggak Zo, malahan dosen gue selalu bilang.., kamu akan jadi ahli fotografi yang hebat ketika bisa menyulap tempat biasa jadi luar biasa." Jelasnya."Terus kenapa sering banget kelayapan? Padahal cuma buat nyari objek bagus dan sekedar bikin time lapse aja kan?""Karena suka.""Suka?""Buat gue, fotografi itu hobi, seni sekaligus jati diri. Embel-embel kata hebat bukan gue banget!""Kalo c