"Kacau udah jam 9 lewat!" Terperanjat ketika melihat jam dinding.
Dengan hanya mencuci muka dan gosok gigi, diambilnya jaket dan celana jin hitam. Untungnya semua barang yang akan dibawa sudah tersusun rapi di dalam ransel 25 liter.
"Halo? Tutt... Tuttt..." Jaringan berusaha menyambungkan panggilan, ponsel dijepit kepala dan pundak. Sementara tangan berusaha mengikat tali sepatu.
"Ah, kebiasaan ni anak pasti masih molor," Elzora menggerutu.
Tak ingin banyak membuang waktu. Ia berjalan keluar gang mencari angkutan umum. Di ujung perempatan jalan terlihat kendaraan roda tiga mendekat. Melaju bersama sopir berkumis tebal. Tiba-tiba perjalanan terhenti seraya suara mesin bobrok berbunyi.
"Lah... Kenapa berenti mang?" tanya Elzora.
"Mogok neng! turun disini aja deh kalo buru-buru," ucapnya sambil memelintir ujung kumisnya.
"Astaga mang, kereta saya berangkat 15 menit lagi."
"Ye gimane neng mogok ni," sahut sopir bajaj dengan santainya.
Dari kejauhan tampak sebuah motor vespa kuning mendekat.
"Zo, maaf gue baru bangun liat ada miskol dari..." Terpotong Elzora yang naik tanpa permisi dengan perasaan kesal.
"Dari mana aja sih! Udah janji mau nganterin malah nggak nongol-nongol," suaranya beradu dengan suara mesin motor dan bising angin jalanan.
"Maaf Zo! Gue ketiduran," sontak dipukul pundaknya berkali-kali.
"Ampun Zo, entar kita jatoh..." Ardan panik, setir dibawa menyalip mobil-mobil besar dengan gesitnya.
"Dasar kebo! Nggak usah sok mau nganterin kalo kayak gini," ucapnya emosi.
"Lo nelpon gue aja jam 9 lewat gimana gue mau siap-siap?" Ardan berusaha mendebat.
"Ya gue juga baru bangun, mandi aja nggak sempet!"
"Parah lo, terus mau nyalahin gue? Lo yang telat bangun, gue juga yang kena semprot."
"Yang janji mau nganter siapa?"
"Ya gue sih, tapi kan lo paham gue gimana. Harusnya lo nggak kesiangan bangunnya minimal sejam sebelum mau berangkat lo telpon gue, jadi nggak kayak begini Zo," jelas Ardan.
"Bodo amat! Udah buruan."
Perdebatan berhenti bersama kerutan dikening mereka. Sesampainya di stasiun masih waktu beberapa menit.
"Zo, hati-hati disana jangan lupa nafas ya,"
"Omongan itu doa, lo nyumpahin gue cepet mati hah?"
"Hehe becanda, jangan gitulah entar nggak ada yang ngisiin minyak motor gue lagi,"
"Parah banget ni anak mulutnya," kereta tiba tepat pukul waktu, gadis itu bergegas.
"Keretanya udah sampe, titip metik sama kosan ya Dan! Baik-baik disini,"
"Lo yang baik-baik disana, kalo ada apa-apa telpon! Oke,"
"Siap! Berangkat ya Dan, Assallammuallaikum..."
"Wallaikumsallam..." Sahutnya dari kejauhan.
Perpisahan dimulai, Ardan berdiri tertegun menatap kereta yang ditumpangi sahabatnya. Membayangkan siapa yang akan berdebat dengannya untuk sepekan kedepan.
Pada kursi nomor 27 Elzora duduk tenang. Menikmati perjalanan sembari perlahan melepas beban. Suara earphone yang dikenakannya terdengar sampai ke beberapa penumpang lain. Melodi sayup dari lagu Adam Levine-Lost Stars.
Please don't see just a boy caught up in dreams and fantasies
Please see me reaching out for someone I can't see
Take my hand let's see where we wake up tomorrow
Best laid plans sometimes are just a one night stand
I'd be damned cupid's demanding back his arrow
o let's get drunk on our tears and God
Tell us the reason youth is wasted on the young
It's hunting season and the lambs are on the run
Searching for meaning, But are we all lost stars, trying to light up the dark...
Lagu diputar berulang membawa Elzora terlelap tanpa sengaja. Tiba di Stasiun Gubeng, Surabaya, pemuda disebelahnya berusaha membangunkan.
"Bangun mbak udah sampe," dengan hati-hati pemuda itu menepuk pundak Elzora.
"Hah ada apa?" terperanjat mengatur posisi tegap sambil mengusap matanya.
"Udah sampe mbak, ayo turun!" Ajak pemuda tampan bersetelan kaos dan jaket kulit, rambut ikal yang hanpir menutupi telinganya. Elzora berkemas, dalam keadaan setengah sadar. Tubuhnya sempoyongan terpaksa turun dari kereta. Tak sengaja ia pun tersandung lalu terjatuh diantara barisan tangga.
"Awww!" Jeritnya.
"Kenapa mbak?" tanya pemuda asing yang tampak khawatir, berdiri di barisan depannya.
"Pake nanya, udah tau orang jatoh!" Balas Elzora kesal.
"Ya udah sini saya bantu," mengulurkan tangan sambil melempar senyuman tulus.
Bertatap sejenak. Waktu seakan berhenti berputar, seakan membuat setiap orang menjadi patung. Tanpa suara, tanpa angin, tanpa aktivitas. Membuang tatapannya, Elzora bersusah payah berdiri tapi gagal. Lututnya lecet sebab bertanding dengan tangga besi, sementara jempol kakinya tertekuk habis. Perlahan diterimanya tangan pemuda yang tampak tulus membantu.Tanpa ucapan terimakasih Elzora membiarkannya pamit.
"Saya duluan, lain kali hati-hati ya mbak." Tersenyum meski diabaikan, lalu pergi. Setelah sadar pemuda itu pergi cukup jauh, Elzora menoleh ke arahnya. Tanpa sengaja bertatap dari kejauhan, si pemuda asing melempar kedipan dan senyum manis, tetap berjalan ke depan. Sementara itu gadis yang baru saja malu akibat jatuh di stasiun itu bergegas pergi menyembunyikan wajahnya.
Mencari kendaraan umum, hendak menuju penginapan. Sebuah penginapan dengan harga ekonomis, ada rupa ada harga. Tentu saja ia harus pandai mengatur keuangan dalam perjalanan kali ini.
"Selamat pagi kak, mau check in?" sapa resepsionis.
"Iya mas,"
"Berapa kamar kak?"
"Saya sendiri mas..."
"Sama dong, saya juga masih sendiri kak hehe," guraunya dengan logat madura.
"Haha," tertawa setengah hati.
"Ya udah, mari naik kamarnya ada di lantai lima."
"Hah, nggak ada lift?"
"Mohon maaf, ini hostel bukan apartemen kak."
Berjalan mendaki anak tangga satu persatu. Merebahkan tubuhnya lalu mandi. Walaupun hanya sehari tentu harus tetap ada destinasi yang dikunjungi. Selesai membersihkan tubuhnya Elzora turun untuk mencari makan siang.
"Selamat siang kakak, ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis yang sama, Elzora berharap orang itu bisa sedikit membantu.
"Saya mau rental motor dimana ya mas?"
"Oh, tempat rental jauh dari sini kak, mending naik ojek aja kalo mau jalan-jalan."
"Emm, masa sih? Oke deh." Membalik badan kecewa.
Meraih ponsel dari saku jaket denim yang ia kenakan. Mencari informasi tempat makan terdemat. Selepas mengisi perutnya dengan sepiring nasi goreng dan teh tawar hangat ia bergegas melancong. Menghabiskan waktu singkatnya di Surabaya. Naik turun angkutan umum bukan hal asing baginya. Tidak ingin pergi jauh, gadis pembawa laptop dan kamera itu menuju Tugu Pahlawan. Mengabadikan beberapa momen menggunakan kamera dan tulisannya dalam sebuah travel blogger. Seseorang tiba-tiba mendekatinya.
"Kamu yang tadi pagi jatuh di stasiun bukan? Kok kita bisa ketemu lagi ya?" pemuda asing yang perlahan menegur ramah. "Eh, aku boleh duduk disini nggak?" berusaha supel dengan gadis cuek yang bahkan tidak memperhatikan kedatangannya. Mata fokus ke monitor sementara jemarinya mengetik beberapa paragraf. Telinganya masih mengenakan earphone yang sama. Pemuda itu berusaha memperlihatkan kehadirannya.
"Kamu?" melepas earphone. Mendongakkan kepala, berusaha membidik wajah si pemuda asing.
"Iya, ini aku yang tadi pagi ketemu kamu di stasiun, inget nggak?"
"Oh... Iya inget." Kembali fokus pada tulisannya.
"Pertanyaan aku belum dijawab ni..."
"Pertanyaan apa?"
"Aku boleh duduk disini nggak? Disebelah mbak,"
"Kayaknya ada tempat selain disini deh." Menolak tanpa tatap.
"Oke, sorry ganggu." Perlahan mundur.
Selepas pemuda itu pergi pada tempat lainnya, tiba-tiba seorang pria bertubuh tambun duduk disebelahnya tanpa izin. Asap rokok menganggu konsentrasinya yang tengah fokus.
"Maaf pak disini ada orang," mengingatkan dengan hati-hati.
"Ini tempat umum mbak, kalo nggak suka ya pindah!" Sahutnya dengan suara berat sambil menghembuskan asap rokok ke arah Elzora.
Tanpa membantah, bergegas pergi bersama ransel dan seisinya. Tidak ada tempat selain kursi yang diduduki pemuda yang semula ia acuhkan. Dengan perasaan bingung dan tak enak hati, ia tertegun. Berdiri di samping kursi pemuda yang sedang asyik menangkap objek sekitar dengan kameranya.
Kemanakah Elzora akan pergi? Siapakah sosok pelukis Art Style sesungguhnya? Kepada siapa hati Elzora akan tertambat? Nantikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut pada BAB selanjutnya :) Happy Reading and STAY TUNE!
Pemuda itu segera menyadari kehadiran gadis yang semula acuh padanya."Gimana kakinya, udah mendingan?" tanya si pemuda asing."Aku nggak apa-apa kok," balas Elzora cuek."Oh gitu... Aku pikir cewek tomboi itu beda ternyata sama ya? Gengsinya gede banget haha." Sindirnya."Maksdunya?""Kamu masih kuat bediri di situ! Atau aku harus pergi dulu, baru kamu mau duduk disini?""Maaf ya..." Gadis itu menunduk, perasaannya tak menentu antara gengsi dan malu."Maaf buat apa?""Buat kejadian di stasiun, sampe kejadian disitu barusan," menunjuk tempatnya semula duduk."Oh... Jadi akhirnya kamu milih duduk deket aku, daripada deket om itu ya?""Udahlah, intinya aku boleh duduk disini nggak!?" Elzora mulai kesal."Nggak!" Balasnya cepat."Oh... Oke," memutar badan melangkah pergi."Hey aku becanda!" Meraih lengan Elzora yang hampir beranjak. Gadis itu tampak menahan diri dari perasaan geram. Perlahan dudu
Pemuda itu segera menyadari kehadiran gadis yang semula acuh padanya. "Gimana kakinya, udah mendingan?" tanya si pemuda asing. "Aku nggak apa-apa kok," balas Elzora cuek. "Oh gitu... Aku pikir cewek tomboi itu beda ternyata sama ya? Gengsinya gede banget haha." Sindirnya. "Maksdunya?" "Kamu masih kuat bediri di situ! Atau aku harus pergi dulu, baru kamu mau duduk disini?" "Maaf ya..." Gadis itu menunduk, perasaannya tak menentu antara gengsi dan malu. "Maaf buat apa?" "Buat kejadian di stasiun, sampe kejadian disitu barusan," menunjuk tempatnya semula duduk. "Oh... Jadi akhirnya kamu milih duduk deket aku, daripada deket om itu ya?" "
"Suara lo bagus ya..." Fikri berusaha memuji. Melangkah pada satu arah jalan yang sama. Memperhatikan gadis yang semula sangat asing dan dingin. "Masa sih?" Elzora menolak sanjungan. Jejaknya mengayun perlahan. Diiringi melodi para pemusik jalanan yang suaranya perlahan sayup. "Serius, kalo nggak bagus mana mungkin penontonnya tepuk tangan," "Jadi orang jangan terlalu mudah percaya dengan apa yang terlihat, tepuk tangan bukan berarti bagus. Mungkin itu sekedar cara mereka menghargai tanpa benar-benar menyukai." Seketika obrolan berhenti. Semua kata-kata Elzora berputar mengelilingi otak Fikri. Setiap detik yang biasa ia gunakan mengambil gambar berubah. Seakan menemukan kesenangan baru selain dari lensa kamera. "Gue mau jadi saksi," serunya dengan kembali menggenggam kamera. Mengambil beberapa objek sekitarnya. "Saksi apa?" "Semisal malaikat tanya, apakah suara Elzora bagus? Gue bakal jadi saksi pertama yang bilangiya
Tawa yang baru akan di mulai, berhenti. Suara petir semakin kencang menyambar. Tampaknya langit cemburu dengan kemesraan Fikri dan Elzora. Atau justru, langit ikut bersuka cita? Beberapa tetes perlahan turun kembali menciptakan aroma kenangan. Tak disangka, takdir benar-benar mempertemukan dua sejoli yang sehobi. Bahkan mungkin juga satu frekuensi. Tuhan selalu punya rencana sendiri untuk memberi kejutan pada hamba-Nya. Beranjak bersama tanpa rencana, gadis yang semula dingin perlahan hangat. Sehangat sinar senja yang baru saja mereka saksikan bersama. "Sampai ketemu besok Zo," sahut pemuda dengan pelindung kepala bergambar batman. "Oke, besok berangkat sore." Balas gadis itu dari depan mulut pintu lobby. Seruannya menjadi tanda bahwa ia siap berangkat bersama. Menuju jalan yang sama untuk tujuan yang berbeda. "Selamat malam kakak," sapa Resepsionis yang sama, seorang laki-laki kurus dengan tahi lalat menempel di hidungnya. Rambutnya kriting, berkuli
Semilir angin malam di tengah lautan, sungguh nyaman. Perasaan tenang yang belum pernah sesempurna malam itu. Ombak tenang, bintang pun cemerlang. Secemerlang sorot mata Elzora hingga diam tak bergeming."Ombaknya tenang, tumben." Ucapan Fikri adalah pertanyaan yang entah ditujukan untuk siapa."Sering naik kapal ya?" Elzora baru menjawab setelah tertegun beberapa menit."Lumayan, hampir satu atau bulan sekali." Balas Fikri."Serius? itu mah bukan lumayan tapi sering banget, tugas lo emang harus pergi terus begini ya?""Enggak Zo, malahan dosen gue selalu bilang.., kamu akan jadi ahli fotografi yang hebat ketika bisa menyulap tempat biasa jadi luar biasa." Jelasnya."Terus kenapa sering banget kelayapan? Padahal cuma buat nyari objek bagus dan sekedar bikin time lapse aja kan?""Karena suka.""Suka?""Buat gue, fotografi itu hobi, seni sekaligus jati diri. Embel-embel kata hebat bukan gue banget!""Kalo c
"Lagunya bagus ya?""Iya."Sebuah lagu dari Alabama Shakes berjudul I Found You. Suasana malam itu semakin sendu. Elzora tidak merasa hatinya sedamai malam itu. Sementara Fikri tampak biasa, sebab sudah terbiasa. Seorang tiba-tiba bergabung. Wajahnya muram, tampak tak menikmati suasana romantis malam itu. Beban hidupnya seperti tertulis pada kerutan di keningnya. Beberapa obrolan dua pemuda disampingnya berhenti seketika. Tentu, pembicaraan mereka terlampau berbeda. Elzora tampak gelisah. Bukan sebab tidak nyaman dengan kehadiran bapak itu. Ia menyimpan banyak pertanyaan yang ingin segera diutarakan. Sesekali mengambil ancang-ancang untuk memulai pertanyaan. Tapi tangis bapak itu tiba-tiba membuatnya berhenti. Suaranya semakin kencang hinga tersedu-sedu. Beberapa orang yang tengah menikmati malam itu pun serentak melihat ke arahnya."Maaf kalau Bapak ganggu ya nak!" Bapak yang usianya terlihat 50 tahun lebih itu berhenti menangis. Tapi wajahnya
"WELCOME TO BALI..." "Sabar Fik, 30 menit lagi." Sahut Elzora menghentikan teriakan pemuda yang sedang berdiri di geladak kapal paling atas. Waktu subuh selesai, matahari akan segera tiba dari ufuk timur. Para penumpang mulai mengemas barang. Mereka bukan hanya orang yang datang untuk berlibur. Mereka datang dengan tujuan yang berbeda. Seorang ibu dan anak, pasangan suami istri, perantau, dan pemudik. Mereka berduyun-duyun berdiri dalam deretan. Sementara Fikri dan Elzora masih galau. Bagaimana nasib Pak Baim selanjutnya? Harus ada yang mengalah untuk peduli? Elzora memutuskan untuk mengajaknya turun di Pelabuhan Benoa. Namun, Pak Baim memilih tetap di kapal. Harapannya hanyalah agar ia bisa tetap hidup pada setiap pelayaran. Cukup keras membujuk tapi, orang tua renta itu tetap memilih pilihannya. Hal terbaik yang bisa dilakukan hanya dengan memberinya sedikit sedekah. Elzora dan Fikri mengumpulkan sebagian
Menatap langit yang sama untuk ketiga kalinya Menyaksikan senja bersama untuk ketiga kalinya Terkadang waktu sangat lucu dan rumit untuk ditebak "Cantik." Fikri tertegun menikmati lembayung senja. "Iya, eh lo nggak bikin time lapse?" tanya Elzora. "Enggak ah." "Tumben, emang kenapa?" tanyanya kembali. "Lagi pengen fokus sama yang aslinya," seru Fikri masih memandang satu titik yang sama. Elzora menyimpan bloknot dan pulpennya. "Kenapa disimpen, nggak mau nulis sesuatu lagi?" tanya Fikri. "Lagi pengen fokus sama yang aslinya." Elzora menatap senja dengan khusyuk. Menikmati senja memang harus fokus. Momen langka sehari sekali yang sayang untuk dilewatkan. Warna jingga pada senja selalu sama. Tapi ia selalu punya cerita sendiri pada setiap tempatnya tenggelam. Ombak mendekati kaki mereka yang sedang sama-sama menciptakan cerita. Cerita berupa kata, gambar, aroma,