Pemuda itu segera menyadari kehadiran gadis yang semula acuh padanya.
"Gimana kakinya, udah mendingan?" tanya si pemuda asing.
"Aku nggak apa-apa kok," balas Elzora cuek.
"Oh gitu... Aku pikir cewek tomboi itu beda ternyata sama ya? Gengsinya gede banget haha." Sindirnya.
"Maksdunya?"
"Kamu masih kuat bediri di situ! Atau aku harus pergi dulu, baru kamu mau duduk disini?"
"Maaf ya..." Gadis itu menunduk, perasaannya tak menentu antara gengsi dan malu.
"Maaf buat apa?"
"Buat kejadian di stasiun, sampe kejadian disitu barusan," menunjuk tempatnya semula duduk.
"Oh... Jadi akhirnya kamu milih duduk deket aku, daripada deket om itu ya?"
"
Kemanakah Elzora akan pergi? Kepada siapa hati Elzora akan tertambat? Siapakah sosok pelukis Art Style sesungguhnya? Nantikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut pada BAB selanjutnya :) Happy Reading and STAY TUNE!
"Suara lo bagus ya..." Fikri berusaha memuji. Melangkah pada satu arah jalan yang sama. Memperhatikan gadis yang semula sangat asing dan dingin. "Masa sih?" Elzora menolak sanjungan. Jejaknya mengayun perlahan. Diiringi melodi para pemusik jalanan yang suaranya perlahan sayup. "Serius, kalo nggak bagus mana mungkin penontonnya tepuk tangan," "Jadi orang jangan terlalu mudah percaya dengan apa yang terlihat, tepuk tangan bukan berarti bagus. Mungkin itu sekedar cara mereka menghargai tanpa benar-benar menyukai." Seketika obrolan berhenti. Semua kata-kata Elzora berputar mengelilingi otak Fikri. Setiap detik yang biasa ia gunakan mengambil gambar berubah. Seakan menemukan kesenangan baru selain dari lensa kamera. "Gue mau jadi saksi," serunya dengan kembali menggenggam kamera. Mengambil beberapa objek sekitarnya. "Saksi apa?" "Semisal malaikat tanya, apakah suara Elzora bagus? Gue bakal jadi saksi pertama yang bilangiya
Tawa yang baru akan di mulai, berhenti. Suara petir semakin kencang menyambar. Tampaknya langit cemburu dengan kemesraan Fikri dan Elzora. Atau justru, langit ikut bersuka cita? Beberapa tetes perlahan turun kembali menciptakan aroma kenangan. Tak disangka, takdir benar-benar mempertemukan dua sejoli yang sehobi. Bahkan mungkin juga satu frekuensi. Tuhan selalu punya rencana sendiri untuk memberi kejutan pada hamba-Nya. Beranjak bersama tanpa rencana, gadis yang semula dingin perlahan hangat. Sehangat sinar senja yang baru saja mereka saksikan bersama. "Sampai ketemu besok Zo," sahut pemuda dengan pelindung kepala bergambar batman. "Oke, besok berangkat sore." Balas gadis itu dari depan mulut pintu lobby. Seruannya menjadi tanda bahwa ia siap berangkat bersama. Menuju jalan yang sama untuk tujuan yang berbeda. "Selamat malam kakak," sapa Resepsionis yang sama, seorang laki-laki kurus dengan tahi lalat menempel di hidungnya. Rambutnya kriting, berkuli
Semilir angin malam di tengah lautan, sungguh nyaman. Perasaan tenang yang belum pernah sesempurna malam itu. Ombak tenang, bintang pun cemerlang. Secemerlang sorot mata Elzora hingga diam tak bergeming."Ombaknya tenang, tumben." Ucapan Fikri adalah pertanyaan yang entah ditujukan untuk siapa."Sering naik kapal ya?" Elzora baru menjawab setelah tertegun beberapa menit."Lumayan, hampir satu atau bulan sekali." Balas Fikri."Serius? itu mah bukan lumayan tapi sering banget, tugas lo emang harus pergi terus begini ya?""Enggak Zo, malahan dosen gue selalu bilang.., kamu akan jadi ahli fotografi yang hebat ketika bisa menyulap tempat biasa jadi luar biasa." Jelasnya."Terus kenapa sering banget kelayapan? Padahal cuma buat nyari objek bagus dan sekedar bikin time lapse aja kan?""Karena suka.""Suka?""Buat gue, fotografi itu hobi, seni sekaligus jati diri. Embel-embel kata hebat bukan gue banget!""Kalo c
"Lagunya bagus ya?""Iya."Sebuah lagu dari Alabama Shakes berjudul I Found You. Suasana malam itu semakin sendu. Elzora tidak merasa hatinya sedamai malam itu. Sementara Fikri tampak biasa, sebab sudah terbiasa. Seorang tiba-tiba bergabung. Wajahnya muram, tampak tak menikmati suasana romantis malam itu. Beban hidupnya seperti tertulis pada kerutan di keningnya. Beberapa obrolan dua pemuda disampingnya berhenti seketika. Tentu, pembicaraan mereka terlampau berbeda. Elzora tampak gelisah. Bukan sebab tidak nyaman dengan kehadiran bapak itu. Ia menyimpan banyak pertanyaan yang ingin segera diutarakan. Sesekali mengambil ancang-ancang untuk memulai pertanyaan. Tapi tangis bapak itu tiba-tiba membuatnya berhenti. Suaranya semakin kencang hinga tersedu-sedu. Beberapa orang yang tengah menikmati malam itu pun serentak melihat ke arahnya."Maaf kalau Bapak ganggu ya nak!" Bapak yang usianya terlihat 50 tahun lebih itu berhenti menangis. Tapi wajahnya
"WELCOME TO BALI..." "Sabar Fik, 30 menit lagi." Sahut Elzora menghentikan teriakan pemuda yang sedang berdiri di geladak kapal paling atas. Waktu subuh selesai, matahari akan segera tiba dari ufuk timur. Para penumpang mulai mengemas barang. Mereka bukan hanya orang yang datang untuk berlibur. Mereka datang dengan tujuan yang berbeda. Seorang ibu dan anak, pasangan suami istri, perantau, dan pemudik. Mereka berduyun-duyun berdiri dalam deretan. Sementara Fikri dan Elzora masih galau. Bagaimana nasib Pak Baim selanjutnya? Harus ada yang mengalah untuk peduli? Elzora memutuskan untuk mengajaknya turun di Pelabuhan Benoa. Namun, Pak Baim memilih tetap di kapal. Harapannya hanyalah agar ia bisa tetap hidup pada setiap pelayaran. Cukup keras membujuk tapi, orang tua renta itu tetap memilih pilihannya. Hal terbaik yang bisa dilakukan hanya dengan memberinya sedikit sedekah. Elzora dan Fikri mengumpulkan sebagian
Menatap langit yang sama untuk ketiga kalinya Menyaksikan senja bersama untuk ketiga kalinya Terkadang waktu sangat lucu dan rumit untuk ditebak "Cantik." Fikri tertegun menikmati lembayung senja. "Iya, eh lo nggak bikin time lapse?" tanya Elzora. "Enggak ah." "Tumben, emang kenapa?" tanyanya kembali. "Lagi pengen fokus sama yang aslinya," seru Fikri masih memandang satu titik yang sama. Elzora menyimpan bloknot dan pulpennya. "Kenapa disimpen, nggak mau nulis sesuatu lagi?" tanya Fikri. "Lagi pengen fokus sama yang aslinya." Elzora menatap senja dengan khusyuk. Menikmati senja memang harus fokus. Momen langka sehari sekali yang sayang untuk dilewatkan. Warna jingga pada senja selalu sama. Tapi ia selalu punya cerita sendiri pada setiap tempatnya tenggelam. Ombak mendekati kaki mereka yang sedang sama-sama menciptakan cerita. Cerita berupa kata, gambar, aroma,
Pagi itu hari paling menyebalkan setelah kemarin malam. Elzora sudah benar-benar kecewa. Ia putuskan untuk pergi tanpa Fikri. Memang salah terlalu percaya dengan manusia. Aku bisa kok, ada dia atau tanpa dia sekalipun. Perjalanan ini akan kembali seperti rencana awal. Langkah kaki mengejar kekesalan hati. Melewati banyak manusia di sepanjang jalanan kuta walking street. Beban dipundaknya hampir tak terasa lagi. Buru-buru ia ingin segera meninggalkan Bali. Meninggalkan janji dan kenangan yang tak ingin dikenang. Fikri yang sudah sungguh diberi secercah harap malah lenyap. Pertemuan singkat yang sejak awal bekesan. Sampai akhirnya berujung meninggalkan dan ditinggalkan. Laju kakinya terhenti pada sebuah kedai kopi yang masih sepi. Lebih tepatnya, belum menerima pesanan sebelum pukul tiga sore. Tempat yang sempat membuatnya kecewa pada seseorang. Sebuah gapura bertuliskan "Kampung Lungo". Tempat itu sudah berada dihadapan Elzora. Perjalanan yang ia te
Pertanyaan terus berputar dalam kepala enggan berhenti. Belum ada jawaban yang terjawab tuntas. Semua masih terlalu ambigu untuk dimengerti. Elzora terus berkelana mencari satu-satunya pertanyaan yang selalu menuntut untuk dikeluarkan dari pikirannya. Pukul tujuh pagi, tubuh yang sudah letih siap sedia lepas landas. Keberangkatannya tertunda dua jam lebih. Tenggorokan itu belum dibasahi air sejak bangun tidur. Hanya air sisa mandi dan gosok gigi. Perutnya pun menolak sarapan yang sudah disiapkan Asih. Akhirnya ego mengalahkan rasa lapar. Gadis itu belum menelan apapun selain es teh dan gorengan. Sebuah rumah makan yang jaraknya sekitar sepuluh menit dari bandara. Tempat itu berhasil menggugah selera makan Elzora. Hanya nasi campur dan teh tawar hangat. Bersama lamunan ia perlahan mengunyah makananya. Ting tinining tininggg ning.... "Halo... Zo apa kabar lo? Pulang woy temen-temen lo pada nanya lo sama gue. Udah Zo mending lo pula