Rasa penasaran benar-benar ingin diselesaikan. Selepas menghubungi alumni angakatan 80-an. Elzora tidak menemukan banyak informasi. Namun, satu hal yang ia tahu bahwa pelukisnya adalah Bang Danu. Alumni yang telah menjadi seorang wartawan. Mengetahui hal itu, bergerak cepat mencari tahu melalui berbagai media berita.
Sayangnya...
Mendapatkan kontak seorang wartawan bukan perkara mudah. Apalagi jika tidak ada bukti anggota keluarga atau orang terdekat. Seorang wartawan memuat berbagai kasus dan tidak jarang oknum kriminalitas mengincar nyawanya. Berita terakhir ada pada sebuah koran Jakarta, ditulis oleh Danu Pramdana.
Memuat kasus turis asing yang berhubungan dengan belasan perempuan. Tanpa ikatan pernikahan, pergi meninggalkan mereka beserta buah hatinya. Nasib para perempuan itu terlantar dengan anak tanpa ayah dan berstatus istri tanpa suami.
Kasus yang diangkat oleh Bang Danu memang luar biasa. Tentunya Bang Danu adalah wartawan beken. Gadis yang selalu tertantang, mengincar beliau untuk sekedar bercengkrama khususnya seputar Art style.
Menyelesaikan jam perkuliahan tambahan, Elzora berkemas. Menyusun beberapa buku, pulpen dan botol minumnya. Melangkah bersamaan dengan perempuan yang selalu menganggapnya saingan. Saingan belajar maupun popularitas. Untuk mengurangi perdebatan ia selalu menganggapnya angin lalu. Hanya membuang waktu meladeni perempuan semacam Gisel. Perempuan yang selalu mencari perhatian Andrean. Padahal ialah laki-laki yang menjadikannya selingkuhan. Tepat setahun lalu semasa hubungan Elzora dan Andrean masih baik-baik saja.
"Hai cewek aneh... Kayaknya hari ini gue belum ngehujat elo deh." Menghadang di depan pintu kelas.
"Astagfirullah, dasar makhluk iri dengki," sambung Arafah tak sengaja berjalan beriringan.
"Lo tau nggak, apa yang lebih buruk dari sampah?" tanya Gisel.
"Lo!" Balas Elzora singkat.
"Enak aja, yang bener itu lo! Elo yang sampah," Bentak Gisel dengan suara lantang.
"Iya bener elo kan?" Elzora menekan kata "elo" dalam ucapannya. Mendekatkan tatapan tajam, tepat pada ujung hidung Gisel yang kecil.
"Udah woy udah... Kalian gimana si, tom jery aja busa damai eh kalian berantem mulu!" Arafah melerai dengan suaranya yang nyaring cenderung cempreng.
"Nggak tau ni Gisel, nggak jelas bocah banget!"
"Eh Sel, lo itu lucu nggak cocok jadi pemeran antagonis tau!" Ucap Arafah.
"Maksud lo apa?"
"Ya mana ada orang mau ngehujat minta izin dulu, kan lucu hahaha." Tertawa terbahak-bahak seorang diri tanpa sadar semua orang telah pergi.
Keseharian yang menyebalkan, harus menghadapi makhluk semacam Gisel. Ditambah lagi Andrean yang selalu mengusik hidupnya. Pada pertigaan antara Fakultas Hukum dan Ekonomi, hal menyebalkan kembali terjadi. Emosi Elzorapun semakin menjadi-jadi.
"Hai Zo, aku ada sesuatu nih buat kamu," Andrean mencegat laju motor Elzora dengan mobilnya yang mewah.
"Per...gi..." Sahutnya pelan.
"Eitt! Liat dulu aku bawa apa..." Menyodorkan sebungkus batagor Mang Komar, gado-gado yang lengkap bersama jus mangga.
"Makasih, tapi seharusnya kamu nggak perlu repot-repot, karena aku bisa beli sendiri."
"Yakin? Ini yang terakhir lohh," rayu Andrean.
"Bodo amat!" Men-starter motor berusaha meninggalkannya.
"Dulu kamu suka banget kalo aku beliin ini kenapa sekarang nggak?" tanya Andrean.
"Mungkin kamu lupa, kalo diantara kita udah nggak ada apa-apa dan nggak akan pernah jadi apa-apa, paham?" beranjak pergi.
"Tapi jangan lupa kalo kita pernah jadi apa-apa Zo..." Teriaknya mengejar laju motor Elzora yang semakin menjauh. Tapi percuma suaranya dikalahkan kecepatan laju motor Elzora.
Memang menyebalkan, setiap hari diganggu oleh makhluk yang semula menyakiti. Yang pada akhirnya memohon untuk kembali. Tetap fokus pada tujuannya. Elzora melupakan dua kejadian menyebalkan yang sebenarnya sudah menjadi makanan sehari-hari.
"Ardannn..." Meneriaki Ardan di warung bakso.
"Uhukkk! Ya ampun Zo, kenapa sih? Kesambet ya," batuk sambil meraba letak botol minumnya.
"Maaf Dan, ada kabar baik nih coba deh liat, ini pasti berita liputan Bang Danu. Seminggu yang lalu dia masih di Bali kayaknya aku harus kesana deh," semangatnya menggebu.
"Udahlah Zo, apa pentingnya mural itu sampe lo mau cari pelukisnya ke Bali, inget! Nggak lama lagi mau ujian."
"Iya emang."
"Tuh lo tau!"
"Bener Dan, seminggu sebelum Ujian pasti ada pekan sunyi kan? Dimana mahasiswa akan diliburkan untuk persiapan ujian dan aku bakal..." Terpotong Ardan.
"Bakal apa!? Jangan bilang lo mau manfaatin pekan sunyi kali ini buat travelling lagi!" Ardan memotong dengan emosi.
"TEPAT! Emang itu yang bakal aku lakuin."
"Zo, mikir dong! Pekan sunyi harusnya
dipake buat belajar bukannya kelayapan, kepala lo isinya batu semua ya? Keras banget kalo dibilangin," Ardan menggerutu."Iya emang isinya batu, terus mau apa? Tau nggak sih makna pekan sunyi itu apa? Pekan sunyi itu dibuat pihak kampus supaya mahasiswanya nggak stres dan bisa refreshing sebelum ujian."
"Iyaa... tau tapi Zo..."
"Ssstttt! Aku harus pergi buat ngasih asupan hati dan pikiran yang lemah ini, lo nggak tau gimana ruwetnya hidup. Intinya Elzora akan pergi, ada duit atau nggak ada duit sekalipun!" Tegas Elzora memukul meja lalu pergi.
**
Perdebatan kala itu membuat Ardan terdiam dan terpaksa mengalah seperti biasanya. Pepohonan rindang sekitar kantin kampus sampai takut untuk gugur. Ketika dilewati Elzora bersama laju metik kesayangannya. Tukang parkir tercengang dengan pluit dimulutnya. Mahasiswa lain melotot dan ternganga melihat perempuan yang kebut-kebutan di jalanan. Semua orang menyorot ke arahnya. Keputusannya tetap bulat. Ketika galau
akibat keluarga, akademik dan asmara yang berantakan. Ia selalu mencari pelarian dengan jalan-jalan. Melepaskan beban di jalanan. Mengukir kenangan yang mungkin indah untuk disimpan. Melegakan hati dari masalah keluarga tentang orang tuanya yang hampir berpisah. Berkelana mencari sosok pelukis mural yang menyimpan tanda tanya. Benda mati, yang selama ini menghantui pikirannya. Entah harus menelusuri hutan, lautan, lembah, samudra sekalipun ia akan mengejarnya. Ingin perempuan yang selalu hidup dengan tantangan dan tanda tanya. Ambisi yang meluap apalagi saat sedang emosi. Meski pada realitanya entah apa yang terjadi. Tentu, ia akan kembali berkamuflase.Sudah hampir setahun orang tuanya tak serumah. Setiap pulang, ayahnya selalu membawa masalah dan mengundang pertengkaran. Mulai dari tuduhan bosan sampai perselingkuhan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman menjadi tempat paling mengerikan. Perang dingin sering terjadi setelah adu mulut bahkan adu jotos. Putri tunggal yang terpaksa menelan takdir pahit menyaksikannya. Ibu Elzora sosok perempuan keras kepala, ambisius, cuek dan mandiri. Tidak pernah mau bergantung dengan suami. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sifat Ibunya bertolak belakang dengan Tante. Selalu bersikap lemah lembut, pintar memasak, dan sangat keibuan itulah Tante Ida.
Seakan mengadu diri dan materi. Sekedar untuk mendapat perhatian orang tuanya. Elzora menyerah, hingga akhirnya memutuskan pergi dan acuh. Di Jakarta, ia sewa kamar indekos ternyaman untuk memulai hidup di tanah rantau. Menjelajah untuk mencari jati diri. Sesak batinnya sedikit berkurang sejak jauh dari rumah. Satu-satunya hal yang membuatnya rindu hanyalah oseng tempe masakan Tante Ida. Sosok yang lebih pantas dipanggil "Mama". Perempuan yang selalu menyayanginya sepenuh hati bahkan lebih dari Ibunya sendiri.
Setengah enam sore, Ardan berkunjung. Berniat menenangkan Elzora yang tengah kesal dengan keluarganya. Dijadikan pelampiasan amarahnya sudah cukup dihafal dan rela diterima Ardan.
Tok... Tok...
"Assallammuallaikum, Zoraaaa! Ini gue Ardan bawak martabak sama batagor Mang Komar," bujuk Ardan dari depan pintu.
"Mau nyogok ya lo!" Membuka pintu dan menyerobot kresek berisi batagor dari tangan Ardan.
"Dihh udah tau sogokan masih diambil aja!"
Duduk pada sebuah kursi rotan depan teras. Sebuah kamar Indekos yang tergolong mewah. Cukup luas jika hanya untuk ditempati seorang diri. Sejak awal tiba di ibu kota, sengaja mencari tempat tinggal senyaman mungkin. Punya halaman luas, agar ia merasa seperti di rumah sendiri tanpa repot mengingat untuk kembali. Beberapa pohon cemara, bunga kamboja, anggrek dan hiasan bonsai. Cantik tertata pada posisi masing-masing. Kursi rotan dan meja dari kayu gaharu menamba manis. Letaknya menghadap barat, sengaja ditata demikian agar dapat menikmati senja dengan sempurna. Sementara pada bagian kamarnya terdapat jendela yang digantung sebuah gorden putih. Memberi celah sinar mentari pagi menyelinap masuk untuk membangunkannya. Di tengah hiruk pikuk Jakarta, Elzora merasa beralih ke surga jika mulai masuk gang sempit. Berjarak sekitar 5 kilo dari kampusnya, 500 meter dari jalan raya. Sangat nyaman dan strategis. Itulah kamar indekosnya kesayangannya.
"Zo, barusan nyokap lo nelpon gue. Nanya lo kenapa nggak angkat telfonnya," Berkata dengan hati-hati.
"So?" balas Elzora cuek.
"Kayaknya mama lo kangen deh, setahun ini lo nggak pulang kan?"
"Udah biarin, pulang bikin dongkol aja." Ekspresinya malas, tangan tetap membuka bungkusan dihadapannya.
"Seenggaknya kabarin kalo lo baik-baik aja," jelas Ardan.
"Nggak penting, udah tinggal bilang aja kalo aku baik-baik aja." Bicara sambil melahap batagor dengan kunyahan geram.
"Ya udah terserah, mana biknya aja Zo," ikut membuka bungkusan lalu membalik wajah. "Emang susah ngomong sama batu.”
"Jadi apa tujuan kemari? pake acara nyogok pake batagor segala,”
"Gitu amat si! Biasanya gue kemari nggak pernah ditanya segitunya,cuma mau mastiin emang lo serius mau ke Bali?"
"Iya lah mumpung tabungan masih ada."
"Kapan?"
"Lusa!"
"Eh buset, serius!? Uhukkkk..." Terkejut melotot sampai tersedak.
"Iya! Lusa cuma satu mata kuliah abis itu pekan sunyi seminggu, jadi mau dimanfaatin buat cuci otak sekaligus nyari Bang Danu."
"Hemm nekat banget si Zo, mau pergi bareng siapa?"
"Solo travelling, kayak biasa!"
"Dasar betina setengah jantan lo! Gue kira kemaren becanda, mau jadi mahasiswa abadi ye..."
"Tenang aja gue tetep bakal lulus tepat waktu kok, masih banyak waktu,"
"Jangan tunggu waktunya tiba, tapi pakai waktu yang udah di depan mata."
"Tumben bijak!"
"Serba salah idup gue dimata lo Zo," melahap cepat batagor dengan sekali telan.
"Dan, besok hari minggu, gimana sebelum ke Bali kita muncak dulu?" menawarkan dengan senyum tipis mengangkat alis.
"Yahh... Berarti beneran batal ke toko buku dong, ya udah hayuklah, tapi kemana?"
"Gunung lawu aja gimana?"
"Gila! Jauh Zo, yang deket biar bisa tektok."
"Yah, hidup lo monoton banget, dikasih tantangan dikit ciut!"
"Bukan soal ciut! Sebagai sohib lo yang baik gue nggak mau lo capek, inget besok mau pergi. Tepar dijalan baru tau rasa lo!"
"Sohib terbaik banget ni, ya udah besok pagi jam 9 kita gas Jonggol ya!"
"Hah Jonggol mau kemana? Eh tapi jangan sampe telat ya!"
"Gunung Batu aja cakep tuh,"
"Oke deh, besok jangan telat yak!"
"Dihh... nggak salah? Yang sering telat itu elo!" Elzora geram.
"Hehe siap komandan!"
Taman Gunung Batu menanti, sebelum beranjak harus menanjak. Mengisi waktu libur sekaligus pemanasan sebelum melakukan perjalanan sesungguhnya. Sinar senja membangunkannya dari tidur lelap, Elzora sudah siap memikul tas gunung. Menjemput Ardan di rumahnya dan ternyata masih tertidur pulas. Ibunya lekas mengambil gayung berisi air sisa cucian baju.
"Mamah kejem banget banguninnya," Ardan terperanjat diguyur dari atas tempat tidur.
"Kebiasaan, udah bikin janji sama orang eh malah molor! Di depan ada si Jora dia nungguin!" Omelnya dengan suara melengking.
Kesal memang menghadapi Ardan yang selalu terlambat. Mengenalnya sejak tiga tahun lalu membuat Elzora paham betul dengan perangai sahabatnya. Ardan si tukang tidur, selalu terlambat dan lamban dalam banyak hal. Sikap laki-laki dan perempuan seakan tertukar antara Elzora dan Ardan. Selesai menelan amukan Ibunya, Ardan bergegas pergi. Menunggangi kuda bermesin kesayangan mereka masing-masing. Tancap gas menuju Jonggol.
Kemanakah Elzora akan pergi? Siapakah sosok pelukis Art Style sesungguhnya? Kepada siapa hati Elzora akan tertambat? Nantikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut pada BAB selanjutnya :) Happy Reading and STAY TUNE!
Hujan mengguyur sekujur tubuh. Tubuh yang semula panas sebab ego yang membara. Mengikis batu yang enggan dikikis air, sebab terlalu keras oleh ambisi untuk mengubah takdir. Selepas turun dari gunung batu, waktu begitu membingungkan. Elzora bertanya pada sudut kamar tempat berkumpulnya carrier, sepatu, dan aksesoris lama kesayangan yang sebagian telah pudar warnanya. Tiba-tiba dilema mengingat orang tua yang entah bagaimana kabarnya. Nasib tugas perkuliahan yang lebih sering diabaikan ketimbang dikerjakan. Dikejar sosok mengerikan spesies mantan. Masih setia sendiri dalam singgasana ternyaman. Ingin pulang tapi takut bukan mendapat senang malah terkekang. Telah cukup beban hidup, telah sangat mengenyangkan. Rumit untuk diikuti tapi bimbang untuk ditinggalkan. Gemericik hujan pukul lima sore menenangkan kegalauan. Ditambah secangkir teh tawar hijau yang masih panas. Aroma petrikor yang kian waktu kian mengobat rindu menjadi candu. Nyeri sendi sesekali kumat di
"Kacau udah jam 9 lewat!" Terperanjat ketika melihat jam dinding. Dengan hanya mencuci muka dan gosok gigi, diambilnya jaket dan celana jin hitam. Untungnya semua barang yang akan dibawa sudah tersusun rapi di dalam ransel 25 liter. "Halo? Tutt... Tuttt..." Jaringan berusaha menyambungkan panggilan, ponsel dijepit kepala dan pundak. Sementara tangan berusaha mengikat tali sepatu. "Ah, kebiasaan ni anak pasti masih molor," Elzora menggerutu. Tak ingin banyak membuang waktu. Ia berjalan keluar gang mencari angkutan umum. Di ujung perempatan jalan terlihat kendaraan roda tiga mendekat. Melaju bersama sopir berkumis tebal. Tiba-tiba perjalanan terhenti seraya suara mesin bobrok berbunyi. "Lah... Kenapa berenti mang?" tanya Elzora.&n
Pemuda itu segera menyadari kehadiran gadis yang semula acuh padanya."Gimana kakinya, udah mendingan?" tanya si pemuda asing."Aku nggak apa-apa kok," balas Elzora cuek."Oh gitu... Aku pikir cewek tomboi itu beda ternyata sama ya? Gengsinya gede banget haha." Sindirnya."Maksdunya?""Kamu masih kuat bediri di situ! Atau aku harus pergi dulu, baru kamu mau duduk disini?""Maaf ya..." Gadis itu menunduk, perasaannya tak menentu antara gengsi dan malu."Maaf buat apa?""Buat kejadian di stasiun, sampe kejadian disitu barusan," menunjuk tempatnya semula duduk."Oh... Jadi akhirnya kamu milih duduk deket aku, daripada deket om itu ya?""Udahlah, intinya aku boleh duduk disini nggak!?" Elzora mulai kesal."Nggak!" Balasnya cepat."Oh... Oke," memutar badan melangkah pergi."Hey aku becanda!" Meraih lengan Elzora yang hampir beranjak. Gadis itu tampak menahan diri dari perasaan geram. Perlahan dudu
Pemuda itu segera menyadari kehadiran gadis yang semula acuh padanya. "Gimana kakinya, udah mendingan?" tanya si pemuda asing. "Aku nggak apa-apa kok," balas Elzora cuek. "Oh gitu... Aku pikir cewek tomboi itu beda ternyata sama ya? Gengsinya gede banget haha." Sindirnya. "Maksdunya?" "Kamu masih kuat bediri di situ! Atau aku harus pergi dulu, baru kamu mau duduk disini?" "Maaf ya..." Gadis itu menunduk, perasaannya tak menentu antara gengsi dan malu. "Maaf buat apa?" "Buat kejadian di stasiun, sampe kejadian disitu barusan," menunjuk tempatnya semula duduk. "Oh... Jadi akhirnya kamu milih duduk deket aku, daripada deket om itu ya?" "
"Suara lo bagus ya..." Fikri berusaha memuji. Melangkah pada satu arah jalan yang sama. Memperhatikan gadis yang semula sangat asing dan dingin. "Masa sih?" Elzora menolak sanjungan. Jejaknya mengayun perlahan. Diiringi melodi para pemusik jalanan yang suaranya perlahan sayup. "Serius, kalo nggak bagus mana mungkin penontonnya tepuk tangan," "Jadi orang jangan terlalu mudah percaya dengan apa yang terlihat, tepuk tangan bukan berarti bagus. Mungkin itu sekedar cara mereka menghargai tanpa benar-benar menyukai." Seketika obrolan berhenti. Semua kata-kata Elzora berputar mengelilingi otak Fikri. Setiap detik yang biasa ia gunakan mengambil gambar berubah. Seakan menemukan kesenangan baru selain dari lensa kamera. "Gue mau jadi saksi," serunya dengan kembali menggenggam kamera. Mengambil beberapa objek sekitarnya. "Saksi apa?" "Semisal malaikat tanya, apakah suara Elzora bagus? Gue bakal jadi saksi pertama yang bilangiya
Tawa yang baru akan di mulai, berhenti. Suara petir semakin kencang menyambar. Tampaknya langit cemburu dengan kemesraan Fikri dan Elzora. Atau justru, langit ikut bersuka cita? Beberapa tetes perlahan turun kembali menciptakan aroma kenangan. Tak disangka, takdir benar-benar mempertemukan dua sejoli yang sehobi. Bahkan mungkin juga satu frekuensi. Tuhan selalu punya rencana sendiri untuk memberi kejutan pada hamba-Nya. Beranjak bersama tanpa rencana, gadis yang semula dingin perlahan hangat. Sehangat sinar senja yang baru saja mereka saksikan bersama. "Sampai ketemu besok Zo," sahut pemuda dengan pelindung kepala bergambar batman. "Oke, besok berangkat sore." Balas gadis itu dari depan mulut pintu lobby. Seruannya menjadi tanda bahwa ia siap berangkat bersama. Menuju jalan yang sama untuk tujuan yang berbeda. "Selamat malam kakak," sapa Resepsionis yang sama, seorang laki-laki kurus dengan tahi lalat menempel di hidungnya. Rambutnya kriting, berkuli
Semilir angin malam di tengah lautan, sungguh nyaman. Perasaan tenang yang belum pernah sesempurna malam itu. Ombak tenang, bintang pun cemerlang. Secemerlang sorot mata Elzora hingga diam tak bergeming."Ombaknya tenang, tumben." Ucapan Fikri adalah pertanyaan yang entah ditujukan untuk siapa."Sering naik kapal ya?" Elzora baru menjawab setelah tertegun beberapa menit."Lumayan, hampir satu atau bulan sekali." Balas Fikri."Serius? itu mah bukan lumayan tapi sering banget, tugas lo emang harus pergi terus begini ya?""Enggak Zo, malahan dosen gue selalu bilang.., kamu akan jadi ahli fotografi yang hebat ketika bisa menyulap tempat biasa jadi luar biasa." Jelasnya."Terus kenapa sering banget kelayapan? Padahal cuma buat nyari objek bagus dan sekedar bikin time lapse aja kan?""Karena suka.""Suka?""Buat gue, fotografi itu hobi, seni sekaligus jati diri. Embel-embel kata hebat bukan gue banget!""Kalo c
"Lagunya bagus ya?""Iya."Sebuah lagu dari Alabama Shakes berjudul I Found You. Suasana malam itu semakin sendu. Elzora tidak merasa hatinya sedamai malam itu. Sementara Fikri tampak biasa, sebab sudah terbiasa. Seorang tiba-tiba bergabung. Wajahnya muram, tampak tak menikmati suasana romantis malam itu. Beban hidupnya seperti tertulis pada kerutan di keningnya. Beberapa obrolan dua pemuda disampingnya berhenti seketika. Tentu, pembicaraan mereka terlampau berbeda. Elzora tampak gelisah. Bukan sebab tidak nyaman dengan kehadiran bapak itu. Ia menyimpan banyak pertanyaan yang ingin segera diutarakan. Sesekali mengambil ancang-ancang untuk memulai pertanyaan. Tapi tangis bapak itu tiba-tiba membuatnya berhenti. Suaranya semakin kencang hinga tersedu-sedu. Beberapa orang yang tengah menikmati malam itu pun serentak melihat ke arahnya."Maaf kalau Bapak ganggu ya nak!" Bapak yang usianya terlihat 50 tahun lebih itu berhenti menangis. Tapi wajahnya