Udara di dalam lorong terasa lebih berat daripada ruangan sebelumnya. Dindingnya terbuat dari batu hitam yang tampak berusia ribuan tahun, dan di sepanjang jalannya, lilin biru berkelap-kelip seperti mata yang mengawasi mereka. Setiap langkah yang mereka ambil menggema, seakan ada sesuatu yang berjalan bersama mereka di dalam kegelapan.Elyse menghela napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan kegugupan yang mulai merayap. “Aku tidak suka tempat ini.”Rainer menatap ke depan dengan mata tajam. “Aku juga tidak, tapi kita tidak punya pilihan.”Di ujung lorong, pintu besar berukir lambang yang sama dengan yang mereka lihat sebelumnya berdiri kokoh. Ada sesuatu yang terasa berbeda—seperti ada sesuatu yang menunggu di baliknya.Rainer menempelkan telapak tangannya pada ukiran di tengah pintu. Seketika, cahaya biru menyala terang, membentuk pola rumit yang bergerak seperti aliran air.Tiba-tiba, suara lirih terdengar di sekeliling mereka."Siapa yang berani menginjakkan kaki di tanah terlaran
Langkah kaki menggema di lorong yang gelap. Rainer dan Elyse saling bertukar pandang, insting mereka segera menegang. Suara langkah itu tidak tergesa-gesa, tapi ada ketenangan berbahaya di dalamnya—seperti seorang pemburu yang sudah yakin bahwa mangsanya tidak bisa melarikan diri.Elyse mencengkeram belatinya lebih erat. "Kurasa kita baru saja masuk ke dalam daftar buronan paling dicari."Rainer menyelipkan buku kuno itu ke dalam mantelnya. "Lebih cepat dari yang kuduga. Kita harus keluar dari sini sebelum mereka menutup semua jalan keluar."Tiba-tiba, suara langkah itu berhenti. Hening.Elyse menahan napas, matanya menatap tajam ke ujung lorong. "Kenapa mereka berhenti?"Rainer juga merasakan keanehan yang sama. Kalau ini penyergapan, mereka seharusnya sudah menyerang.Detik berikutnya, udara di sekitar mereka berubah. Suhu turun drastis, seolah sesuatu menyerap semua panas di ruangan. Dinding batu yang sebelumnya gelap kini berkilauan tipis, seperti tertutup lapisan es.Rainer menyi
Denyut jantung Rainer berdetak kencang saat langkah kakinya beradu dengan lantai batu. Udara di sekelilingnya masih terasa dingin akibat sihir pembekuan dari pria berambut putih tadi, namun mereka tidak punya waktu untuk memikirkan itu. Mereka harus keluar dari tempat ini sebelum semuanya runtuh.Di sampingnya, Elyse berlari dengan lincah, matanya awas mengamati setiap persimpangan lorong. Nafasnya terdengar berat, tetapi semangat bertahan hidup terpancar jelas dari sorot matanya."Arah mana?" tanya Elyse cepat.Rainer melirik ke sekeliling. Lorong-lorong ini seperti labirin yang bisa menyesatkan siapa saja yang tidak tahu jalan. Namun, dengan ingatan tajamnya, ia segera menemukan pola yang sesuai dengan peta yang ia baca sebelumnya."Kiri, lalu turun ke bawah. Harusnya ada jalan keluar di sana," jawabnya tegas.Tanpa ragu, mereka berbelok dan menuruni tangga spiral sempit. Dinding batu di sekitar mereka mulai bergetar—pertarungan di atas semakin intensif, dan dampaknya mulai merusak
Cahaya terang menyelimuti mereka.Rainer, Elyse, dan pria misterius itu merasakan tubuh mereka ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Sensasi melayang membuat napas mereka tercekat, seperti jatuh ke dalam kehampaan yang tak berujung.Lalu, seketika, semuanya kembali nyata.Brak!Rainer terjatuh ke tanah keras dengan suara dentuman, disusul Elyse yang langsung menggertakkan giginya saat tubuhnya menghantam rerumputan kasar. Pria berambut hitam mendarat dengan lebih luwes, matanya segera menyapu sekeliling mereka.Mereka berada di tempat yang benar-benar berbeda.Langit di atas mereka berwarna ungu gelap, dengan kilatan petir biru samar-samar di kejauhan. Udara terasa tebal, seolah mengandung energi yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Pepohonan besar menjulang tinggi, dengan daun-daun hitam yang berkilauan seperti kristal.Elyse mengusap lengannya dan bangkit. "Dimana kita...?"Rainer berdiri perlahan, matanya masih menyesuaikan diri dengan pemandangan baru ini. Satu hal yang past
Cahaya biru menyelimuti tubuh mereka.Rainer merasakan tekanan kuat di sekelilingnya. Rasanya seperti ditarik ke dalam pusaran energi yang tak terlihat. Elyse berusaha meraih lengannya, tetapi sebelum jari mereka bersentuhan, cahaya semakin menyilaukan—dan semuanya menghilang.Ketika Rainer membuka matanya, ia tidak lagi berada di dalam ruangan bawah tanah itu. Sebaliknya, ia berdiri di sebuah tanah luas yang berwarna hitam pekat. Langit di atasnya kosong, tanpa matahari ataupun bulan. Udara terasa dingin dan kering, seakan-akan tidak ada kehidupan di tempat ini.Ia menoleh. Elyse berdiri di dekatnya, matanya waspada."Di mana kita sekarang?" bisiknya.Rainer menggertakkan giginya. "Aku tidak tahu. Tapi ini pasti bagian dari 'ujian' yang disebutkan pria itu."Tiba-tiba, suara langkah berat menggema di kejauhan.Elyse langsung bersiap, tangannya meraih gagang pedangnya. Rainer menajamkan tatapannya ke depan. Dari kegelapan, sosok humanoid raksasa dengan mata merah menyala perlahan mend
Cahaya keemasan dari gerbang besar itu berpendar pelan. Rainer berdiri diam, matanya meneliti ukiran kuno yang terukir di permukaannya. "Hanya mereka yang memiliki kekuatan pikiran dan hati yang sejati yang dapat melangkah lebih jauh."Elyse meliriknya. "Apa menurutmu kita sudah memenuhi syarat?"Rainer menghela napas. "Tidak ada pilihan lain kecuali mencobanya."Perlahan, ia mengulurkan tangan dan menyentuh permukaan gerbang. Begitu jari-jarinya menyentuh ukiran itu, sebuah arus energi mengalir ke dalam tubuhnya. Rainer tersentak, otaknya dipenuhi gambaran yang tidak familiar—pemandangan kota-kota yang runtuh, pertempuran besar, dan sosok-sosok misterius yang berdiri di atas reruntuhan."Rainer!" suara Elyse terdengar jauh, seperti berasal dari balik kabut.Ia merasakan tubuhnya tertarik ke dalam pusaran waktu, didorong ke dalam ingatan yang bukan miliknya.Dalam penglihatannya, ia melihat seorang pria bertudung berdiri di atas puncak menara. Di bawahnya, ribuan prajurit bertempur me
Dinding-dinding kristal yang sebelumnya bersinar kini dipenuhi retakan gelap. Energi hitam merembes keluar seperti racun yang mengalir, memenuhi udara dengan tekanan yang menyesakkan. Sosok berbayang itu melangkah maju, matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah Rainer dan Elyse."Aku tidak menyangka ada yang cukup bodoh untuk mencapai tempat ini." Suaranya dingin, penuh kepastian.Elyse langsung mengangkat pedangnya, bersiap menghadapi ancaman yang jelas terlihat. Rainer, di sisi lain, tetap diam, otaknya bekerja cepat, mencoba memahami situasi.Aedric melangkah maju, berdiri di antara mereka dan bayangan itu. "Mereka telah melewati ujian dan berhak mengetahui kebenaran."Bayangan itu tertawa kecil. "Kebenaran? Tidak ada yang butuh kebenaran di dunia ini. Yang mereka butuhkan hanyalah menerima kenyataan yang ada."Rainer mengerutkan dahi. "Jadi kau memang bagian dari sistem ini."Sosok itu menatapnya. "Aku bukan bagian dari sistem ini. Aku adalah penjaganya."Suasana semakin te
Ruangan yang sebelumnya dipenuhi oleh bayangan dan kegelapan kini berangsur-angsur mereda. Cahaya biru samar dari kitab hitam yang kini berubah bentuk berpendar di tengah altar, menciptakan bayangan panjang di wajah Rainer, Elyse, dan Aedric.Keheningan yang terjadi terasa begitu berat. Rainer menatap kitab itu dengan ekspresi penuh waspada. Ia tahu, kemenangan ini bukan akhir dari segalanya—sebaliknya, ini hanyalah awal dari misteri yang lebih dalam."Kitab ini... telah berubah," Elyse berbisik, masih memegang erat pedangnya.Aedric melangkah mendekat, meneliti kitab dengan hati-hati. "Tulisan di sampulnya... ini bahasa kuno. Tidak seharusnya bisa berubah seperti ini."Rainer mengulurkan tangannya, merasakan energi aneh yang mengalir dari kitab itu. Ada sesuatu yang berbeda—tidak sekadar perubahan bentuk, tetapi juga aura yang dipancarkannya."Kita tidak bisa mengabaikan ini," Rainer berkata dengan suara rendah. "Apa pun yang ada di dalamnya, mungkin ini adalah jawaban yang kita cari
Kilatan cahaya menyelimuti seluruh ruang dalam Menara Caelus. Cahaya dari Prisma Keempat memancar, menyatu dengan tiga fragmen sebelumnya yang telah Rainer kumpulkan. Suara bisikan kuno membahana, menyampaikan pesan yang tak dapat ditangkap oleh telinga biasa—melainkan oleh jiwa yang bersedia menerima kebenaran seutuhnya.Rainer berdiri di tengah pusaran cahaya itu, matanya terbuka lebar, menyerap seluruh memori dan kebenaran yang tersimpan selama ribuan tahun. Sosok Aeron, bayangan dari masa lalu, perlahan menghilang—senyumnya pudar, meninggalkan beban yang tak kasat mata.Elyse mendekat, wajahnya penuh kecemasan. “Apa yang kau lihat?”Rainer tidak langsung menjawab. Tangannya gemetar. Di matanya tergambar peperangan yang belum pernah diceritakan, pengkhianatan oleh mereka yang dicatat sebagai pahlawan, dan dunia yang dibentuk bukan dari harapan, melainkan dari ketakutan para pendiri.“Aku melihat... dunia yang kita kenal bukan hasil dari kebijaksanaan. Tapi hasil dari keputusan terb
Angin dingin dari utara membawa kabar buruk.Pagi itu, Rainer berdiri di atas puncak benteng pengamatan, memandangi pusaran cahaya yang membelah langit dari kejauhan. Fenomena itu muncul mendadak—tidak satu pun dari alat-alat sihir mereka bisa mendeteksi energi semacam itu sebelumnya. Tapi satu hal jelas: titik pusatnya adalah Menara Caelus, struktur kuno dari Zaman Awal yang selama ini hanya dianggap reruntuhan tak berfungsi.Kini, menara itu bersinar. Hidup kembali.“Menara keempat telah bangkit,” gumam Rainer.Di belakangnya, Elyse datang membawa gulungan tua yang diambil dari arsip Perpustakaan Tengah. “Ada yang menarik,” katanya sambil membuka gulungan di meja observasi. “Menurut peta zaman kuno, Menara Caelus bukan hanya tempat sihir—melainkan tempat penyimpanan memori dunia.”Rainer menoleh, alisnya terangkat. “Memori dunia?”Elyse mengangguk. “Sesuatu yang disebut ‘Rekam Astral’. Sebuah sistem penyimpanan sihir yang bisa merekam kejadian dan pengetahuan dari masa lalu. Jika be
Dunia berubah, tapi perubahan sejati tidak pernah datang tanpa konsekuensi.Sepekan setelah kepulangan Rainer dari Perpustakaan Tengah, gelombang informasi mulai merembes ke setiap pelosok kerajaan. Terjemahan parsial Simfoni Tertinggal telah disalin dan disebarkan ke berbagai sekolah sihir rakyat dan tempat-tempat belajar kecil yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota besar.Di awalnya, banyak yang menertawakan dokumen itu. Mereka menyebutnya propaganda seorang anak dari kasta rendah yang menginginkan kekuasaan melalui pengetahuan. Namun semakin banyak yang membaca, semakin banyak pula yang mulai bertanya-tanya.“Kalau sihir bukan bakat keturunan, mengapa kami tidak bisa mempelajarinya?”“Kenapa hanya keluarga bangsawan yang punya akses ke sekolah sihir tingkat tinggi?”Pertanyaan-pertanyaan itu menyebar lebih cepat daripada yang diperkirakan siapa pun.Dan dari balik dinding istana, para bangsawan mulai merasakan tekanan.Di ruang utama Dewan Tertinggi Bangsawan, sebuah pertemua
Hujan turun pelan di atas atap markas, membasahi kaca jendela tempat Rainer bersandar. Di tangan kirinya, liontin yang memuat tiga fragmen kini berpendar aneh—perpaduan antara cahaya dan kegelapan, seolah dua kekuatan bertentangan sedang saling menekan, mencari bentuk akhir dari sebuah kebenaran.Elyse melangkah masuk tanpa suara, membawa dua cangkir teh. Ia menyerahkan satu pada Rainer sebelum ikut bersandar di sisi jendela. Diam.“Apa kau pernah merasa,” kata Elyse akhirnya, “bahwa dunia ini... lebih tua dari yang kita tahu?”Rainer tersenyum kecil. “Tidak hanya lebih tua. Tapi juga lebih terluka.”Ia mengangkat liontin. “Setiap fragmen membawa ingatan. Yang pertama memberi petunjuk tentang asal usul sistem kasta. Yang kedua memperlihatkan eksperimen sihir terhadap manusia biasa. Tapi yang ketiga...”“...membawa kehampaan,” sambung Elyse pelan. “Aku merasakannya saat kita berada di altar itu.”“Dan lebih dari itu.” Rainer berbalik, berjalan ke meja penuh dokumen. Ia mengambil satu g
Langit malam menyelimuti dunia dengan kelam yang lebih pekat dari biasanya. Di luar ibu kota, jauh dari mata para penguasa dan rakyat biasa, Menara Bayangan berdiri di atas bukit batu yang tandus, dikelilingi reruntuhan peradaban lama yang telah lama dilupakan. Di dalam menara itu, sihir lama—sihir yang bahkan tidak dikenali oleh Akademi Sihir Pusat—masih hidup.Di tengah lingkaran sihir yang berpendar redup, pria berjubah ungu tua itu membuka matanya. Mereka bersinar hijau pucat, bukan karena sihir, tapi karena kekosongan yang menghuni raganya. Ia bukan lagi manusia biasa. Namanya telah lama dihapus dari sejarah, digantikan dengan satu julukan: Nihros, sang Pemelihara Kekosongan.“Fragmen ketiga telah terbangun,” gumam Nihros. Suaranya nyaris seperti bisikan di antara celah kenyataan. “Dan si bocah itu... mulai mengganggu alur.”Di sekelilingnya, entitas-entitas tak bernama—makhluk yang dulunya manusia, tapi telah dirusak oleh sihir gelap dari
Ruangan Majelis Tertinggi tidak seperti aula biasa di kerajaan—ia tidak hanya dibangun dari marmer dan batu mulia, tapi dari keheningan yang dalam dan rasa takut yang menggantung. Di tempat inilah hukum kerajaan diciptakan, strategi perang dirancang, dan takdir rakyat ditentukan.Pagi itu, ratusan kursi di tribun atas dipenuhi para bangsawan, penyihir agung, akademisi, dan bahkan utusan luar negeri. Mereka semua datang karena undangan langka: seseorang dari kalangan bawah, tanpa darah bangsawan, tanpa gelar, akan berbicara di hadapan Majelis.Rainer berdiri di tengah podium, mengenakan jubah hitam dengan garis emas yang dirancang Elyse dan para pendukungnya—sebuah simbol antara perlawanan dan martabat. Di belakangnya, Elyse berdiri tegak, mata tajamnya menyapu ruangan.Suara bel logam berdentang tiga kali, menandakan awal sesi. Di kursi utama, High Consul Avarel—pemimpin tertinggi Majelis—mengangguk ke arah Rainer.“Rainer dari distrik bawah, pemegang fra
Langit di atas ibu kota kerajaan Arkwen tampak kelabu. Awan gelap menggantung rendah, seolah menandakan badai besar akan segera datang. Namun badai yang mendekat bukan sekadar cuaca—melainkan konflik yang akan mengguncang seluruh struktur kekuasaan kerajaan.Rainer dan timnya baru saja kembali dari ekspedisi ke Utara, membawa satu kebenaran baru dan satu fragmen simfoni tambahan. Tapi bukan hanya kekuatan yang mereka bawa pulang, melainkan juga informasi yang bisa mengguncang fondasi dunia: bahwa sistem yang saat ini berdiri adalah hasil dari siklus berulang yang dipaksakan oleh kekuatan kuno, dan bahwa pemilik simfoni sejati berpotensi menjadi kunci pembebas atau penghancur dari siklus itu.“Berita tentang pergerakan kita telah bocor,” kata Kysha sambil menyerahkan gulungan surat kepada Rainer. “Tiga dari lima keluarga bangsawan besar mengirim utusan ke menara dewan sihir. Mereka menyebutnya sebagai ‘Tanda Pertama dari Kerusakan.’”“Karena kita mengambil fragme
Hutan Frostveil, wilayah utara kerajaan yang dinginnya mampu membekukan tulang bahkan sebelum musim salju datang. Kabut tebal menggantung di antara pohon-pohon cemara tinggi, dan hanya suara ranting patah atau langkah lembut di salju yang memberi tanda bahwa kehidupan masih ada di tempat itu.Di sinilah Rainer, Elyse, Marcus, dan Kysha menelusuri jejak pengkhianat dari tim mereka—Seth, anggota pencatat sihir yang ternyata telah menyusup atas perintah pihak luar. Peta menuju fragmen ketiga kini berada di tangannya, dan jika dia berhasil menyerahkannya ke tangan sekte atau faksi bangsawan tertentu, pertarungan untuk perubahan bisa berakhir sebelum dimulai.“Kita hanya berjarak satu hari perjalanan dari kuil tua yang disebutkan di fragmen kedua,” bisik Kysha sambil menunjuk peta yang telah mereka salin ulang. “Tapi jalur yang diambil Seth... bukan jalur langsung. Dia menuju celah pegunungan—ada sesuatu di sana yang dia sembunyikan.”Rainer menatap langit yang mulai
Hujan deras mengguyur pelabuhan selatan Kerajaan Galvane. Kapal ekspedisi akademi telah bersandar di dermaga, dan suara ombak yang menghantam kayu menambah ketegangan suasana. Rainer berdiri di dek kapal, mengenakan jubah tebal berlapis pelindung sihir. Di belakangnya, Elyse, Marcus, dan beberapa anggota tim elite akademi bersiap turun.Wilayah yang mereka tuju adalah reruntuhan Virellis, kota kuno yang terkubur oleh tanah longsor dua abad lalu. Berdasarkan kode dalam simfoni pertama, fragmen kedua tersembunyi di bawah tanah, dilindungi oleh mekanisme sihir yang hanya bisa dipecahkan oleh harmoni energi tertentu—sesuatu yang hanya bisa dideteksi jika seseorang memiliki resonansi dengan fragmen pertama.“Aku merasakannya,” bisik Rainer sambil menekan telapak tangannya ke dada, tempat ia mengenakan liontin kristal kecil dari fragmen pertama. “Ada sesuatu yang memanggil… seperti gema di ujung lorong panjang.”Elyse menatapnya, mata peraknya penuh waspada. “Pastikan