DULU ISTRI UDIK, SEKARANG BOS CANTIK
"Ini kelewat sakit. Sialan kalian!" aku menatap wajah mereka dengan pandangan mengabur, lalu kabut itu perlahan menjadi tetes-tetes air kemudian aliran air mata.
"Ayo Nisa, kamu harus pergi!"
Ku bantu Nisa untuk bangun dari kasur pasien. Putriku beringsut perlahan, wajahnya pucat, entah apa yang mereka lakukan pada putriku.
"Pergi sama Mbok Narti dulu, ya, dia lagi diluar,"
Mbok Narti adalah pembantu yang bekerja di rumah Mas Bram. Dia sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.
Anakku, Nisa bersiap berlari, namun tangannya tercekat oleh genggaman Mas Bram, suamiku.
"Nggak bisa begitu Meira. Dia anakku, jadi aku berhak atas ginjalnya,"
Aku terpelongo, mendengar ucapan Mas Bram barusan. Teganya dia mengorbankan anaknya demi anak yang lain. Ya, untuk siapa lagi ginjal itu, kalau bukan untuk Sheila, anak Mas Bram dari istri pertama.
Ku tahan sesak di dada ini, jangan sampai air mata terjun bebas kembali. Aku tak ingin terlihat terlalu lemah di depan mereka.
"Lepaskan anakku!" geramku menahan amarah, sambil menyingkirkan tangannya dari pergelangan Nisa.
"Jijik,"
Nisa berlari keluar, menemui Mbok yang sudah menungguinya sedari tadi.
"Iya, Mei. Bram benar. Apalagi ginjal Nisa juga untuk saudaranya, bukan untuk yang lain. Kamu jangan egoislah," sungut Ibu mertua asal. Membuat dadaku turun naik, menahan emosi yang siap meledak.
Mereka berdiri, sambil menatapku ganas. Acuh saja pada manusia berhati iblis itu.
"Maaf, bapak. Ibu. Jika mau bertengkar jangan disini. Silahkan selsaikan masalah kalian di tempat lain. Ini rumah sakit," ujar seorang lelaki muda, memakai jas putih dengan alat stetoskop bergelantung di lehernya.
****
"Meira tunggu," teriak suara yang sangat ku kenal. Siapa lagi kalau bukan Mas Bram.
"Tolong, jangan egois Mei. Kasihan Sheila, dia sangat butuh ginjal Nisa. Coba kamu pikirkan, kalau Nisa memberikan ginjalnya, aku yakin Sheila bakal sangat sayang pada anakmu. Apalagi kamu juga pasti akan mendapatkan banyak uang dari kami,"
"Anakmu? Apa kamu bilang? Anakmu? Jadi selama ini kamu sama sekali tidak menganggap Nisa sebagai anakmu? Sadar, Mas! Nisa anakmu!darah dagingmu, dan kamu tega korbankan Nisa demi anakmu yang lain, Brengsek kamu ya, Mas," sungutku dengan napas yang memburu. Serasa dadaku ditimpa beban. Sesak.
Air mata, tak terasa luruh berjatuhan. Tanpa bisa ku kendalikan.
"Dengarkan aku Mei! Sekali ini!"
Dia menggenggam kedua lenganku, dan anehnya aku membiarkan saja.
"Nisa anak haram. Anak zina. Dia lahir karena kecelakaan yang kita lakukan. Kata Mama anak zina bawa sial. Jadi, misal kita korbankan itu tak masalah. Semoga dengan perbuatan baik kamu dan Nisa, bisa sedikit membuang sialnya. Kasihan nanti kalau banyak orang yang kena imbas akibat Nisa,"
Mendengar ocehan dari bibirnya, tanganku terkepal disamping.
Astaghfirullah, aku memang awam akan ilmu agama. Tapi apakah ini benar? Setiap anak yang terlahir itu bersih, suci. Tidak ada anak haram. Nisa memang hasil dari kecelakaan, tapi apa itu salahnya? Jikapun dia bisa memilih, pasti Nisa tak akan mau terlahir sebagai anak hasil zina.
"Stop! Jangan pernah menyebut Nisa sebagaj anak zina. Justru kamulah yang menjadikan dia seperti itu, kamu lebih hina dari anak zina. Kamu tahu itu,"
"Andai kamu tak lari dari tanggungjawab …"
Belum tuntas ku ucap, Mas Bram sudah menyelak.
"Tapi sekarang, kamu sudah jadi istriku kan? Aku sudah tanggung jawab. Lalu maumu apa?"
Aku melepas tangannya secara kasar, mendelik tajam mata bulatnya. Mata yang dulu membuatku tenang, namun sekarang membuatku jijik tak karuan.
"Jadi berikan, ginjal Nisa buat anakku Sheila. Aku yakin sekali ginjal Nisa cocok buat Sheila,"
"Owwh,jadi ini alasan kamu menikahiku. Dengar ya Bram, jujur aku tak Sudi jadi istri keduamu. Kalau bukan karena bujukan Nisa, aku tak mungkin jadi madu sahabat penghianat seperti Laili.
Apalagi menantu nenek lampir seperti Ibumu, yang kerjaannya cuman suruh-suruh. Memang aku babu? Hehh!" aku meninggi sambil memberi tatapan tak suka pada lelaki bergelar suamiku.
Rahang dia mengeras, bertanda dia sangat marah. Apalagi Ibunya sedang ku hina.
Tangannya tergenggam erat, Mungkin bersiap menamparku.
"Mau tampar! silahkan! Aku nggak takut,"tantangku dengan sangat berani.
Plak …
Seseorang menamparku, namun bukan Mas Bram.
"Mama!" sontakku kaget sambil memegangi pipiku yang serasa amat panas.
Plak …
Kali ini tamparan lebih keras di bagian pipi sebelah. Saking kerasnya sampai badanku terhuyung ke lantai, dan bercak darah segar berada di ujung bibir.
Mas Bram menatap dengan penuh kemenangan, sambil berkacak pinggang.
"Dasar wanita udik. Pezina, tidak tau diuntung. Seharusnya kamu bersyukur sudah kami tampung. Bram mau menikahi gadis udik kayak kamu saja, itu sudah rejeki bagi dirimu. Seenggaknya, balas Budilah pada kami
Ginjal anakmu juga nggak bakalan cukup untuk membalas kebaikan. Kalau bukan karena kami, pasti Ibumu sekarang sudah jadi mayat,"
Aku bergeming, kini senyum getirku ditemani dengan air mata yang mengalir dari kedua sudut mata. Tidak dipungkiri, jasa keluarga Bram memanglah banyak, salah satunya membantu pengobatan Ibuku.
"Tapi bukan menukar dengan ginjal anakku. Itu salah, kalian dzolim pada kita,"
"Lantas, pakai apa? Uang? Sampai kiamatpun kamu tak akan sanggup bayar pengobatan Ibumu yang sangat besar. Bahkan jika kamu bekerja seumur hidup pun jadi babu kami, tak akan sanggup kamu membayarnya,"
"Dia cucumu juga. Kenapa kau sangat jahat pada Nisa," ujarku memberanikan diri.
Biarlah, kalau dia mau menamparku lagi. Aku siap, bahkan sangat siap.
"Dia anak haram. Hasil zina, jadi pantas untuk dikorbankan untuk Sheila, sebagai anak sah. Jangan egois kamu Babu!"
Allah, berapa kali harus ku katakan, jika anakku bukan anak haram. Nisa anak baik, Sholihah, rajin beribadah, dan selalu berbuat baik pada mereka. Apa itu tak cukup membuat cap anak haram terlepas dari tubuh Nisa?
Kalau ada yang bisa menghilangkannya, tolong Tuhan, katakan pada Hamaba-Mu yang lemah ini.
"Sudah ayo Bram, kita tinggalkan dia. Besok, bawa Nisa kemari. Sebelum semuanya terlambat. Kalau tidak, kamu akan tahu akibatnya," ancamnya sebelum benar-benar pergi.
*****
Aku bergegas berlari ke dalam rumah, mencari Nisa putriku. Dia bersama Mbok Narti di dalam kamarnya.
Setelah selesai maaf-maafan sama Mbok dengan deraian air mata. Ku ceritakan semuanya, karena tak perlu ditutup-tutupi.
"Pergi saja Non. Selamatkan Nisa,"
"Tapi Mbok, gimana?"
"Jangan pikirkan Mbok. Disini Mbok baik-baik saja, apalagi kan ada anak Mbok. Terpenting keselamatan Nisa,"
Aku memeluknya erat, dengan air mata berlinang tanpa bisa dihentikan.
"Kamu harus jadi orang sukses, Non! hidupmu harus Mulya, agar tidak harus selalu diinjak-injak seperti ini," pesan Mbok Narti.
Ku balikkan badan secepatnya, tak sanggup lama-lama disini. Aku harus bergegas kabur, dan membawa barang seadanya. Tak lupa juga tabungan yang ku kira sangat cukup, ikut serta.
"Kita akan pergi, Ma?" tanya anakku sangat polos.
"Iya, Nak,"
"Papa sama Nenek jahat sekali, Ma. Mereka hanya sayang dek Sheila,"
Parau anakku membuat dadaku sakit tak terkira. Mereka tak layak mendapat sebutan Papa dan Nenek dari putriku.
"Kamu harus jadi anak pintar. Buat mereka menyesal telah menyia-nyiakan Nisa, ya,"
Dia mengangguk, menurut.
Aku berjanji, suatu saat mereka akan menyesal telah berbuat seperti ini pada kami. Ku pastikan, mereka akan bertekuk lutut di hadapanku serta Nisa.
"Kalian akan menyesal," janjiku dalam hati sambil menatap foto keluarga mereka. Ada Mas Bram, mama mertua, Laili istri pertama sekaligus pemakan kekasih teman, dan Sheila, buah hati Mas Bram dan Lalili.
Dari foto itu, tersadarlah diri ini, ternyata aku dan Nisa memang tak pernah dianggap keluarga.
pyarrr ...
Ku lempar asbak ke pigura itu, hingga menyisakan pecahan-pecahan kaca.
Hancur, berkeping-keping seperti keadaan hatiku.
"Ini sebagai tanda, kalau aku siap berperang,"
*****
"Kalian akan menyesal," janjiku dalam hati sambil menatap foto keluarga mereka. Ada Mas Bram, mama mertua, Laili istri pertama sekaligus pemakan kekasih teman, dan Sheila, buah hati Mas Bram dan Lalili.Dari foto itu, tersadarlah diri ini, ternyata aku dan Nisa memang tak pernah dianggap keluarga.pyarrr ...Ku lempar asbak ke pigura itu, hingga menyisakan pecahan-pecahan kaca.Hancur, seperti keadaan hatiku."Ini sebagai tanda, kalau aku siap berperang,"******"Nisa, kita sholat magrib dulu yuk. Setelah itu kita cari kontrakan. Semoga dapat,"Nisa mengangguk, menanggapi ucapan ku. Mau bagaimana lagi? sementara harus cari kontrakan dulu. Pulang ke rumah Ibu, bukanlah ide yang bagus.Khawatir, hadirnya kami dalam keadaan begini, membuat Ibu semakin menderita."Ayo, Ma," ajak putriku, sambil menggamit tangan kanan dirikuBeruntung, kami bisa segera menemukan masjid. Belum tertinggal jamaah."Assalamualaikum warahmatullah," lirih para jamaah berucap, mengakhiri sholat magrib kali ini. N
POV BRAMHari ini kepalaku serasa mau pecah. Meira nggak mau berikan ginjal Nisa buat Sheila, anak sah ku dengan Laili. Apalagi ditambah urusan perusahaan yang carut marut. Ahh, sial. Serasa frutasi di usia muda. Mengenaskan.Mama sudah pulang, meninggalkanku sendirian menjaga Sheila yang masih terbujur pucat di atas pembaringannya..Aku menatapnya dengan rasa sayang dan kasihan. Kasihan, anak sekecil itu sudah menanggung derita. Ini semua gara-gara Meira. Tidak bisakah dia memberikan ginjal Nisa buat Sheila? apa ruginya buat dia. Justru, dia akan mendapat untung besar, jika mau berikan ginjal anak haram itu.Huftt, kenapa si Meira egois sekali? Dia mementingkan dirinya sendiri. Apakah salah, jika Nisa berbagi ginjal untuk saudaranya sendiri.Semoga aja besok dia bawa Nisa kemari. Tadi belum sempat cek kondisi ginjal anak haram itu, keburu ibu udik itu masuk. Ya, siapa lagi kalau bukan Meira. Sialnya lagi, dia mengetahui niat terselubung ku menikahinya. Kalau bukan karena demi Sheila
" ngapain aja tadi? Dari tadi di telpon nggak diangkat?siapa lelaki itu? Kamu selingkuh di belakangku, Lel?" Aku terus berbicara dengan menggegam tangannya, tanpa ku pedulikan ringisan sakit Laili."Apa sih, Mas! Lepasin," ketusnya sambil berusaha melepaskan genggamanku.Namun, genggamanku terlalu erat, membuat usahanya sia-sia. Ku tarik tubuhnya mendekat ke tubuhku. Dengan kasar, mencoba membuka baju kantor yang masih melekat di tubuhnya."Lepasin, Mas! Kau mau apa, heh?" berontak Laili sambil berusaha mempertahankan bajunya.Dia berteriak kencang, Namun, tak sedikitpun meredam gejolak emosi iblis dalam tubuhku.Sedari rumah sakit, aku sudah sangat emosi. Bergegas pulang ke rumah, berpikir Laili pasti sudah pulang usai aku mengirim pesan berisi ancaman, jika dia tak segera pulang, maka aku akan bertindak sangat kejam padanya.Tapi nyatanya, dua jam lebih aku menunggu, dan baru Laili pulang, itu pun langsung masuk kamar tanpa memedulikanku yang berdiri di ambang pintu."Sini! Biar guw
Setelah menempuh perjalanan sepuluh menit, akhirnya aku sampai juga di depan rumah kontrakan. Setelah sedari tadi, mempercepat langkah karena sudah tak sabar untuk segera pulang, segera ku rogoh kunci kemudian membuka pintu.Nisa tertidur, aku meninggalkannya untuk ke warung makan dekat dengan kontrakan yang ku tempati. Belum bisa Masak sendiri, karena memang belum tersedianya peralatan."Sayang, Nisa Ayo bangun!" teriakku dengan secara tergesa-gesa membereskan pakaian. Memasukkan ke dalam tas kembali.Nisa hanya menggeliat, tanpa mau membuka kelopak matanya."Nisa, bangun!"Kali ini aku mengguncang badan mungilnya, dia membuka kelopak mata dan terdiam menatapku dengan mata yang masih memerah, menahan kantuk."Ngantuk!" selorohnya, kemudian diikuti kelopak mata terpejam kembali"Ayo bangun. Kita harus pergi dari sini, Nduk!" titahku sambil tangan masih bekerja memberesi pakaian Nisa juga.Allah, mimpi apa aku semalam? tak ku sangka aku bertemu dengan Tante Widya, adik Mama mertua.As
Setelah menempuh perjalanan sepuluh menit, akhirnya aku sampai juga di depan rumah kontrakan. Setelah sedari tadi, mempercepat langkah karena sudah tak sabar untuk segera pulang, segera ku rogoh kunci kemudian membuka pintu.Nisa tertidur, aku meninggalkannya untuk ke warung makan dekat dengan kontrakan yang ku tempati. Belum bisa Masak sendiri, karena memang belum tersedianya peralatan."Sayang, Nisa Ayo bangun!" teriakku dengan secara tergesa-gesa membereskan pakaian. Memasukkan ke dalam tas kembali.Nisa hanya menggeliat, tanpa mau membuka kelopak matanya."Nisa, bangun!"Kali ini aku mengguncang badan mungilnya, dia membuka kelopak mata dan terdiam menatapku dengan mata yang masih memerah, menahan kantuk."Ngantuk!" selorohnya, kemudian diikuti kelopak mata terpejam kembali"Ayo bangun. Kita harus pergi dari sini, Nduk!" titahku sambil tangan masih bekerja memberesi pakaian Nisa juga.Allah, mimpi apa aku semalam? tak ku sangka aku bertemu dengan Tante Widya, adik Mama mertua.As
" ngapain aja tadi? Dari tadi di telpon nggak diangkat?siapa lelaki itu? Kamu selingkuh di belakangku, Lel?" Aku terus berbicara dengan menggegam tangannya, tanpa ku pedulikan ringisan sakit Laili."Apa sih, Mas! Lepasin," ketusnya sambil berusaha melepaskan genggamanku.Namun, genggamanku terlalu erat, membuat usahanya sia-sia. Ku tarik tubuhnya mendekat ke tubuhku. Dengan kasar, mencoba membuka baju kantor yang masih melekat di tubuhnya."Lepasin, Mas! Kau mau apa, heh?" berontak Laili sambil berusaha mempertahankan bajunya.Dia berteriak kencang, Namun, tak sedikitpun meredam gejolak emosi iblis dalam tubuhku.Sedari rumah sakit, aku sudah sangat emosi. Bergegas pulang ke rumah, berpikir Laili pasti sudah pulang usai aku mengirim pesan berisi ancaman, jika dia tak segera pulang, maka aku akan bertindak sangat kejam padanya.Tapi nyatanya, dua jam lebih aku menunggu, dan baru Laili pulang, itu pun langsung masuk kamar tanpa memedulikanku yang berdiri di ambang pintu."Sini! Biar guw
POV BRAMHari ini kepalaku serasa mau pecah. Meira nggak mau berikan ginjal Nisa buat Sheila, anak sah ku dengan Laili. Apalagi ditambah urusan perusahaan yang carut marut. Ahh, sial. Serasa frutasi di usia muda. Mengenaskan.Mama sudah pulang, meninggalkanku sendirian menjaga Sheila yang masih terbujur pucat di atas pembaringannya..Aku menatapnya dengan rasa sayang dan kasihan. Kasihan, anak sekecil itu sudah menanggung derita. Ini semua gara-gara Meira. Tidak bisakah dia memberikan ginjal Nisa buat Sheila? apa ruginya buat dia. Justru, dia akan mendapat untung besar, jika mau berikan ginjal anak haram itu.Huftt, kenapa si Meira egois sekali? Dia mementingkan dirinya sendiri. Apakah salah, jika Nisa berbagi ginjal untuk saudaranya sendiri.Semoga aja besok dia bawa Nisa kemari. Tadi belum sempat cek kondisi ginjal anak haram itu, keburu ibu udik itu masuk. Ya, siapa lagi kalau bukan Meira. Sialnya lagi, dia mengetahui niat terselubung ku menikahinya. Kalau bukan karena demi Sheila
"Kalian akan menyesal," janjiku dalam hati sambil menatap foto keluarga mereka. Ada Mas Bram, mama mertua, Laili istri pertama sekaligus pemakan kekasih teman, dan Sheila, buah hati Mas Bram dan Lalili.Dari foto itu, tersadarlah diri ini, ternyata aku dan Nisa memang tak pernah dianggap keluarga.pyarrr ...Ku lempar asbak ke pigura itu, hingga menyisakan pecahan-pecahan kaca.Hancur, seperti keadaan hatiku."Ini sebagai tanda, kalau aku siap berperang,"******"Nisa, kita sholat magrib dulu yuk. Setelah itu kita cari kontrakan. Semoga dapat,"Nisa mengangguk, menanggapi ucapan ku. Mau bagaimana lagi? sementara harus cari kontrakan dulu. Pulang ke rumah Ibu, bukanlah ide yang bagus.Khawatir, hadirnya kami dalam keadaan begini, membuat Ibu semakin menderita."Ayo, Ma," ajak putriku, sambil menggamit tangan kanan dirikuBeruntung, kami bisa segera menemukan masjid. Belum tertinggal jamaah."Assalamualaikum warahmatullah," lirih para jamaah berucap, mengakhiri sholat magrib kali ini. N
DULU ISTRI UDIK, SEKARANG BOS CANTIK"Ini kelewat sakit. Sialan kalian!" aku menatap wajah mereka dengan pandangan mengabur, lalu kabut itu perlahan menjadi tetes-tetes air kemudian aliran air mata."Ayo Nisa, kamu harus pergi!"Ku bantu Nisa untuk bangun dari kasur pasien. Putriku beringsut perlahan, wajahnya pucat, entah apa yang mereka lakukan pada putriku."Pergi sama Mbok Narti dulu, ya, dia lagi diluar,"Mbok Narti adalah pembantu yang bekerja di rumah Mas Bram. Dia sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.Anakku, Nisa bersiap berlari, namun tangannya tercekat oleh genggaman Mas Bram, suamiku."Nggak bisa begitu Meira. Dia anakku, jadi aku berhak atas ginjalnya,"Aku terpelongo, mendengar ucapan Mas Bram barusan. Teganya dia mengorbankan anaknya demi anak yang lain. Ya, untuk siapa lagi ginjal itu, kalau bukan untuk Sheila, anak Mas Bram dari istri pertama.Ku tahan sesak di dada ini, jangan sampai air mata terjun bebas kembali. Aku tak ingin terlihat terlalu lemah di depan mereka.