POV BRAM
Hari ini kepalaku serasa mau pecah. Meira nggak mau berikan ginjal Nisa buat Sheila, anak sah ku dengan Laili. Apalagi ditambah urusan perusahaan yang carut marut. Ahh, sial. Serasa frutasi di usia muda. Mengenaskan.
Mama sudah pulang, meninggalkanku sendirian menjaga Sheila yang masih terbujur pucat di atas pembaringannya.
.
Aku menatapnya dengan rasa sayang dan kasihan. Kasihan, anak sekecil itu sudah menanggung derita. Ini semua gara-gara Meira. Tidak bisakah dia memberikan ginjal Nisa buat Sheila? apa ruginya buat dia. Justru, dia akan mendapat untung besar, jika mau berikan ginjal anak haram itu.
Huftt, kenapa si Meira egois sekali? Dia mementingkan dirinya sendiri. Apakah salah, jika Nisa berbagi ginjal untuk saudaranya sendiri.
Semoga aja besok dia bawa Nisa kemari. Tadi belum sempat cek kondisi ginjal anak haram itu, keburu ibu udik itu masuk. Ya, siapa lagi kalau bukan Meira. Sialnya lagi, dia mengetahui niat terselubung ku menikahinya. Kalau bukan karena demi Sheila dan Laili, aku ogah menikahi apalagi menyentuhnya.
Benar-benar sial. Pakai pelet apa sih si Meira, sampai-sampai dulu aku mau kumpul kebo dengannya. Apes banget hidup orang ganteng kayak aku.
Aku harus menelponnya, akan kuberikan makian terindah buat wanita jalan* itu. Seenak jidat menolak perintah suami. Udah pengen masuk neraka aja kali itu jalan*.
Beruntung, sebelum benar-benar ke luar ruangan, ada Mbak Narsih. Seseorang yang ku tugaskan untuk menjaga Sheila.
"Kemana saja dari tadi, Mbak?"
"Maaf, Pak. Anak saya sakit kemarin, dan saya juga sudah ijin sama nyonya Laili,"
Ku hembuskan Nafas kasar secara perlahan. Mengatur sisa kesabaran.
"Kalau ijin sama saya atau nyonya besar, Mbak,"
Nyonya besar adalah Mamaku.
Dia menundukkan kepala. Mungkin, merasa bersalah.
"Ya, udah sana. Jaga Sheila. Saya ada urusan!"
"Baik, pak,"
Ku langkahkan kaki, pergi ke luar dan menjauh dari kerumunan. Tak ingin banyak orang mendengar
"Mei ..."
"Ada apa sih, Bram?" suara menantang dari sana.
Bram? Apa dia bilang? Bram, just Bram tanpa ada embel-embel Mas. Sialan!
"Besok bawa Nisa kemari, Mei. Pliss! Kasihani Sheila!" rayuku berpura-pura mengemis.
"Kenapa nggak ginjalmu atau ginjal Laili saja sih Bram. Kalian, kan orang tuanya. Kenapa harus Nisa? Jahat banget sih!"
"Mei. Aku takut jarum suntik. You know?"
"Basi. Laili, kan bisa?"
"Dia takut darah," ucapku beralasan.
"Alasan saja kalian. Bilang aja mau numbalin Nisa tanpa mau merasakan sakit, ya, kan?" Suaranya terdengar sangat berani. Woooohhh. Gile bener.
"Mei, Apaan sih kamu. Kamu itu penurut banget loh, kenapa jadi begini, sih;" ungkapku kesal.
"Jangan-jangan kamu selingkuh!" imbuhku asal.
"Stop, jangan bandingkan aku dengan dirimu. Terkadang seekor kucing pun bisa berubah jadi singa kalau terus-terusan di usik,"
"Mei, besok pokonya bawa Nisa kemari. Paham?" Ucapku penuh penekanan.
"Kenapa sih kalian ini! Kalian semua punya ginjal, kan? Kenapa nggak pakai ginjal kamu, atau istri pengkhinatmu itu. Kalau kalian nggak mau, Mamamu, bisa, kan, Bram? Owww, atau jangan-jangan Mamamu juga takut jarum suntik? Aneh, orang sekejam kalian takut sama jarum," suaranya terdengar meremehkan di telingaku.
Tak terasa tanganku terkepal disamping. Marah? Jelas. Siapa yang tidak marah jika dihina, apalagi Mamaku juga diseret-seret.
Awas, kau Meira. Setelah mendapatkan ginjal Nisa. Akan kuseret kau dan anakmu keluar dari rumah istanaku. Enak saja, numpang hidup. Sudah muak aku sama tingkah istri udik macam Meira.
"Jangan Mimpi, Brambang. Ups ...,"
"Kau mengejekku, Mei. Sudah berani, ya? Nggak takut kau, kehilangan ku? Bisa apa kamu tanpaku?" tantangku dibalik suara bariton.
"Iya. Memang, kenapa? tanpamu aku bisa. Lihat saja, kau akan tercengang melihat anak dan istri yang kau campakkan jadi orang sukses," jawab dia terdengar percaya diri sekali
"Wow!keren! Amazing! menakjubkan!Mega bintang! Woow!" ejekku.
"Aku sudah tak sabar menantikan hari itu, Meira. Istri Udik jadi Milyarder. Nggak mungkin. Ngayal," tambahku semakin mengejek
Tutttt ...
Suara dimatikan dari sana. Meninggalkan aku yang belum puas menyadarkan Meira dari mimpi indahnya.
******
Aku kembali masuk, ke dalam ruangan Sheila. Tak lupa membawa cemilan dan beberapa air mineral.
"Pa," suara lirih Sheila memanggil.
Ku letakkan bawaanku diatas Nakas. Sembari menatap putri mungilku itu.
"Kenapa? Laper? tadi udah disuapin sama Mbak Narsih, kan?"
"Udah, pa! tapi dikit sekali," polosnya
Sheila sakit ginjal, makanya porsi makan dan minum dibatasi. Untuk meringankan beban tugas ginjal.
"Nggak apa. Kalau sudah sembuh, Sheila boleh makan sepuasnya," hiburku. Entah akan terwujud atau tidak. Aku pun tak tahu kapan dia diperbolehkan makan dan minum sepuasnya.
"Mama ke mana, pa! kenapa tidak tungguin Sheila? Sheila kan kangen, Pa!"
"Mama lagi kerja sayang, nanti papa telpon suruh cepat-cepat balik, ya,"
Dia cemberut, bibirnya maju mencebik. Mungkin, dia sudah bosan dengan alasan yang kunyatakan. Nyatanya Laili memang jarang ke rumah sakit sekedar menengok Sheila. Dia sibuk dengan dunianya.
Sudah berulang kali, ku nasehati untuk memprioritaskan Sheila diatas segala-galanya, Namun, di saat itu juga, akhir dari nasehatku berujung dengan cekcok.
Untung cinta, untung sayang, untung istri. Kalau tidak, ahhh, mending udah kutinggal selingkuh Laili.
Miris.
"Mbak Narsih, kemana Sayang?" tanyaku mengalihkan perhatiannya.
"Katanya tadi mau ke musolla sebentar, Pa,"
Ku s***k rambut putriku yang berserakan di wajah mungilnya. Ku cium keningnya, hangat.
"Sehat-sehat sayang,"
"Iya, Pa. Pah, bisa hubungin Mama nggak? Sheila pingin ketemu Mama," Dari suaranya, aku menangkap nada kesedihan.
"Iya, Papa telponkan sekarang, Ya,"
Dia mengangguk, kemudian tersenyum sangat manis. Ah, putri kecilku yang cantik jelita. Dia mewarisi kecantikan dari keluargaku. Pasti, itu.
Mbak Narsih masuk dengan tergesa-gesa, dia terlihat ketakutan. Aku sedang tidak mood marah-marah, lebih baik ku biarkan saja. Ada hal yang lebih penting dari pada itu. Apalagi kalau bukan menelpon Laili. Sudah sering kali dia begini, sejak Sheila dinyatakan sakit.
Seolah aku merasa, dia sedikit demi sedikit menyuruh diri ini belajar merawat Sheila sendirian. Untung, aku masih kuat sewa jasa Mbak Narsih.
"Laili..." Aku meninggi dari balik telpon.
Ponsel sudah tersambung dan diangkat, tapi tidak ada sahutan dari sebrang sana.
Yang ada hanya suara seperti seseorang sedang pesta.
Apa Laili sedang dugem di klub, yah? Secara, dia mengakui padaku, kalau dia sangat suka dengan suasana klub. Membahagiakan diri, katanya.
"LAILI...." panggilku lebih meninggi
"Apa sih, Mas? Ganggu tau," Suara dari sana terdengar sangat jengkel.
"Kamu di klub?"
"Eh, enggak kok. Aku di kantor aja dari tadi. Lagi lemburan,"
Suara yang sekarang tak seramai tadi. Semoga saja yang diucapakan Lailiku benar, jika dia masih di kantor.
Terus, tadi rame-rame apaan? Bodo amet. Nanti, bisa ku tanyakan kembali.
"Cepet ke rumah sakit. Sheila kangen sama kamu,"
"Yach, aku capek banget Mas hari ini. Aku mau istirahat di rumah aja. Kan, udah ada Mbak Narsih," Jawabnya mengeluarkan seribu satu alasan.
Sedih.
"Sheila pingin ketemu kamu Laili. Kamu, kan yang ibunya. Bukan, mbak Narsih," kesalku sampai ke puncak ubun-ubun. Jika tak ingat ini hp mahal, pasti sudah kubijek-bijek ini HP. Saking jengkelnya sama Laili.
Sekali lagi, untung cinta.
"Sayang, Main Yuk di kamar, aku udah pesenin, Nih!"
Suara bariton dari sana. Berat dan penuh kemesraan. Bukan suara Laili, itu suara lelaki. Darahku mendidih, ada firasat buruk yang menelusup ke dalam hati.
"Siapa itu, Lel ...?"
Hening tak ada sahutan. Malahan panggilan di matikan, dari sana.
"Laili," geramku, sampai geligiku gemelutuk tanpa sadar.
Siapa pemilik suara itu? Apa Laili ...
Argh, mustahil. Laili sangat mencintaiku, aku yakin itu.
Tapi buktinya?
" ngapain aja tadi? Dari tadi di telpon nggak diangkat?siapa lelaki itu? Kamu selingkuh di belakangku, Lel?" Aku terus berbicara dengan menggegam tangannya, tanpa ku pedulikan ringisan sakit Laili."Apa sih, Mas! Lepasin," ketusnya sambil berusaha melepaskan genggamanku.Namun, genggamanku terlalu erat, membuat usahanya sia-sia. Ku tarik tubuhnya mendekat ke tubuhku. Dengan kasar, mencoba membuka baju kantor yang masih melekat di tubuhnya."Lepasin, Mas! Kau mau apa, heh?" berontak Laili sambil berusaha mempertahankan bajunya.Dia berteriak kencang, Namun, tak sedikitpun meredam gejolak emosi iblis dalam tubuhku.Sedari rumah sakit, aku sudah sangat emosi. Bergegas pulang ke rumah, berpikir Laili pasti sudah pulang usai aku mengirim pesan berisi ancaman, jika dia tak segera pulang, maka aku akan bertindak sangat kejam padanya.Tapi nyatanya, dua jam lebih aku menunggu, dan baru Laili pulang, itu pun langsung masuk kamar tanpa memedulikanku yang berdiri di ambang pintu."Sini! Biar guw
Setelah menempuh perjalanan sepuluh menit, akhirnya aku sampai juga di depan rumah kontrakan. Setelah sedari tadi, mempercepat langkah karena sudah tak sabar untuk segera pulang, segera ku rogoh kunci kemudian membuka pintu.Nisa tertidur, aku meninggalkannya untuk ke warung makan dekat dengan kontrakan yang ku tempati. Belum bisa Masak sendiri, karena memang belum tersedianya peralatan."Sayang, Nisa Ayo bangun!" teriakku dengan secara tergesa-gesa membereskan pakaian. Memasukkan ke dalam tas kembali.Nisa hanya menggeliat, tanpa mau membuka kelopak matanya."Nisa, bangun!"Kali ini aku mengguncang badan mungilnya, dia membuka kelopak mata dan terdiam menatapku dengan mata yang masih memerah, menahan kantuk."Ngantuk!" selorohnya, kemudian diikuti kelopak mata terpejam kembali"Ayo bangun. Kita harus pergi dari sini, Nduk!" titahku sambil tangan masih bekerja memberesi pakaian Nisa juga.Allah, mimpi apa aku semalam? tak ku sangka aku bertemu dengan Tante Widya, adik Mama mertua.As
DULU ISTRI UDIK, SEKARANG BOS CANTIK"Ini kelewat sakit. Sialan kalian!" aku menatap wajah mereka dengan pandangan mengabur, lalu kabut itu perlahan menjadi tetes-tetes air kemudian aliran air mata."Ayo Nisa, kamu harus pergi!"Ku bantu Nisa untuk bangun dari kasur pasien. Putriku beringsut perlahan, wajahnya pucat, entah apa yang mereka lakukan pada putriku."Pergi sama Mbok Narti dulu, ya, dia lagi diluar,"Mbok Narti adalah pembantu yang bekerja di rumah Mas Bram. Dia sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.Anakku, Nisa bersiap berlari, namun tangannya tercekat oleh genggaman Mas Bram, suamiku."Nggak bisa begitu Meira. Dia anakku, jadi aku berhak atas ginjalnya,"Aku terpelongo, mendengar ucapan Mas Bram barusan. Teganya dia mengorbankan anaknya demi anak yang lain. Ya, untuk siapa lagi ginjal itu, kalau bukan untuk Sheila, anak Mas Bram dari istri pertama.Ku tahan sesak di dada ini, jangan sampai air mata terjun bebas kembali. Aku tak ingin terlihat terlalu lemah di depan mereka.
"Kalian akan menyesal," janjiku dalam hati sambil menatap foto keluarga mereka. Ada Mas Bram, mama mertua, Laili istri pertama sekaligus pemakan kekasih teman, dan Sheila, buah hati Mas Bram dan Lalili.Dari foto itu, tersadarlah diri ini, ternyata aku dan Nisa memang tak pernah dianggap keluarga.pyarrr ...Ku lempar asbak ke pigura itu, hingga menyisakan pecahan-pecahan kaca.Hancur, seperti keadaan hatiku."Ini sebagai tanda, kalau aku siap berperang,"******"Nisa, kita sholat magrib dulu yuk. Setelah itu kita cari kontrakan. Semoga dapat,"Nisa mengangguk, menanggapi ucapan ku. Mau bagaimana lagi? sementara harus cari kontrakan dulu. Pulang ke rumah Ibu, bukanlah ide yang bagus.Khawatir, hadirnya kami dalam keadaan begini, membuat Ibu semakin menderita."Ayo, Ma," ajak putriku, sambil menggamit tangan kanan dirikuBeruntung, kami bisa segera menemukan masjid. Belum tertinggal jamaah."Assalamualaikum warahmatullah," lirih para jamaah berucap, mengakhiri sholat magrib kali ini. N
Setelah menempuh perjalanan sepuluh menit, akhirnya aku sampai juga di depan rumah kontrakan. Setelah sedari tadi, mempercepat langkah karena sudah tak sabar untuk segera pulang, segera ku rogoh kunci kemudian membuka pintu.Nisa tertidur, aku meninggalkannya untuk ke warung makan dekat dengan kontrakan yang ku tempati. Belum bisa Masak sendiri, karena memang belum tersedianya peralatan."Sayang, Nisa Ayo bangun!" teriakku dengan secara tergesa-gesa membereskan pakaian. Memasukkan ke dalam tas kembali.Nisa hanya menggeliat, tanpa mau membuka kelopak matanya."Nisa, bangun!"Kali ini aku mengguncang badan mungilnya, dia membuka kelopak mata dan terdiam menatapku dengan mata yang masih memerah, menahan kantuk."Ngantuk!" selorohnya, kemudian diikuti kelopak mata terpejam kembali"Ayo bangun. Kita harus pergi dari sini, Nduk!" titahku sambil tangan masih bekerja memberesi pakaian Nisa juga.Allah, mimpi apa aku semalam? tak ku sangka aku bertemu dengan Tante Widya, adik Mama mertua.As
" ngapain aja tadi? Dari tadi di telpon nggak diangkat?siapa lelaki itu? Kamu selingkuh di belakangku, Lel?" Aku terus berbicara dengan menggegam tangannya, tanpa ku pedulikan ringisan sakit Laili."Apa sih, Mas! Lepasin," ketusnya sambil berusaha melepaskan genggamanku.Namun, genggamanku terlalu erat, membuat usahanya sia-sia. Ku tarik tubuhnya mendekat ke tubuhku. Dengan kasar, mencoba membuka baju kantor yang masih melekat di tubuhnya."Lepasin, Mas! Kau mau apa, heh?" berontak Laili sambil berusaha mempertahankan bajunya.Dia berteriak kencang, Namun, tak sedikitpun meredam gejolak emosi iblis dalam tubuhku.Sedari rumah sakit, aku sudah sangat emosi. Bergegas pulang ke rumah, berpikir Laili pasti sudah pulang usai aku mengirim pesan berisi ancaman, jika dia tak segera pulang, maka aku akan bertindak sangat kejam padanya.Tapi nyatanya, dua jam lebih aku menunggu, dan baru Laili pulang, itu pun langsung masuk kamar tanpa memedulikanku yang berdiri di ambang pintu."Sini! Biar guw
POV BRAMHari ini kepalaku serasa mau pecah. Meira nggak mau berikan ginjal Nisa buat Sheila, anak sah ku dengan Laili. Apalagi ditambah urusan perusahaan yang carut marut. Ahh, sial. Serasa frutasi di usia muda. Mengenaskan.Mama sudah pulang, meninggalkanku sendirian menjaga Sheila yang masih terbujur pucat di atas pembaringannya..Aku menatapnya dengan rasa sayang dan kasihan. Kasihan, anak sekecil itu sudah menanggung derita. Ini semua gara-gara Meira. Tidak bisakah dia memberikan ginjal Nisa buat Sheila? apa ruginya buat dia. Justru, dia akan mendapat untung besar, jika mau berikan ginjal anak haram itu.Huftt, kenapa si Meira egois sekali? Dia mementingkan dirinya sendiri. Apakah salah, jika Nisa berbagi ginjal untuk saudaranya sendiri.Semoga aja besok dia bawa Nisa kemari. Tadi belum sempat cek kondisi ginjal anak haram itu, keburu ibu udik itu masuk. Ya, siapa lagi kalau bukan Meira. Sialnya lagi, dia mengetahui niat terselubung ku menikahinya. Kalau bukan karena demi Sheila
"Kalian akan menyesal," janjiku dalam hati sambil menatap foto keluarga mereka. Ada Mas Bram, mama mertua, Laili istri pertama sekaligus pemakan kekasih teman, dan Sheila, buah hati Mas Bram dan Lalili.Dari foto itu, tersadarlah diri ini, ternyata aku dan Nisa memang tak pernah dianggap keluarga.pyarrr ...Ku lempar asbak ke pigura itu, hingga menyisakan pecahan-pecahan kaca.Hancur, seperti keadaan hatiku."Ini sebagai tanda, kalau aku siap berperang,"******"Nisa, kita sholat magrib dulu yuk. Setelah itu kita cari kontrakan. Semoga dapat,"Nisa mengangguk, menanggapi ucapan ku. Mau bagaimana lagi? sementara harus cari kontrakan dulu. Pulang ke rumah Ibu, bukanlah ide yang bagus.Khawatir, hadirnya kami dalam keadaan begini, membuat Ibu semakin menderita."Ayo, Ma," ajak putriku, sambil menggamit tangan kanan dirikuBeruntung, kami bisa segera menemukan masjid. Belum tertinggal jamaah."Assalamualaikum warahmatullah," lirih para jamaah berucap, mengakhiri sholat magrib kali ini. N
DULU ISTRI UDIK, SEKARANG BOS CANTIK"Ini kelewat sakit. Sialan kalian!" aku menatap wajah mereka dengan pandangan mengabur, lalu kabut itu perlahan menjadi tetes-tetes air kemudian aliran air mata."Ayo Nisa, kamu harus pergi!"Ku bantu Nisa untuk bangun dari kasur pasien. Putriku beringsut perlahan, wajahnya pucat, entah apa yang mereka lakukan pada putriku."Pergi sama Mbok Narti dulu, ya, dia lagi diluar,"Mbok Narti adalah pembantu yang bekerja di rumah Mas Bram. Dia sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.Anakku, Nisa bersiap berlari, namun tangannya tercekat oleh genggaman Mas Bram, suamiku."Nggak bisa begitu Meira. Dia anakku, jadi aku berhak atas ginjalnya,"Aku terpelongo, mendengar ucapan Mas Bram barusan. Teganya dia mengorbankan anaknya demi anak yang lain. Ya, untuk siapa lagi ginjal itu, kalau bukan untuk Sheila, anak Mas Bram dari istri pertama.Ku tahan sesak di dada ini, jangan sampai air mata terjun bebas kembali. Aku tak ingin terlihat terlalu lemah di depan mereka.