Setelah menempuh perjalanan sepuluh menit, akhirnya aku sampai juga di depan rumah kontrakan. Setelah sedari tadi, mempercepat langkah karena sudah tak sabar untuk segera pulang, segera ku rogoh kunci kemudian membuka pintu.
Nisa tertidur, aku meninggalkannya untuk ke warung makan dekat dengan kontrakan yang ku tempati. Belum bisa Masak sendiri, karena memang belum tersedianya peralatan.
"Sayang, Nisa Ayo bangun!" teriakku dengan secara tergesa-gesa membereskan pakaian. Memasukkan ke dalam tas kembali.
Nisa hanya menggeliat, tanpa mau membuka kelopak matanya.
"Nisa, bangun!"
Kali ini aku mengguncang badan mungilnya, dia membuka kelopak mata dan terdiam menatapku dengan mata yang masih memerah, menahan kantuk.
"Ngantuk!" selorohnya, kemudian diikuti kelopak mata terpejam kembali
"Ayo bangun. Kita harus pergi dari sini, Nduk!" titahku sambil tangan masih bekerja memberesi pakaian Nisa juga.
Allah, mimpi apa aku semalam? tak ku sangka aku bertemu dengan Tante Widya, adik Mama mertua.
Astagfirullah, kenapa aku juga lupa. Bukankah ini dekat dengan perumahan milik Tante Widya, suaminya kan sedang bangun perumahan di dekat sini. Terlihat tadi dia juga sedang menenteng plastik kresek yang ku yakin adalah Nasi bungkus. Pasti itu untuk suami dan beberapa pekerja.
"Loh, Mei. Kenapa bisa di sini?"
saat dia berbalik, dan aku yang baru menyadari itu adalah Tante Widya. Seketika itu juga dia bertanya, dan aku berdiri kikuk, mematung.
"Hei! malah nggak di jawab. Kamu budek, ya. Aku tanya sekali lagi, Ngapain disini? Harusnya kamu bersih-bersih rumah kakakku pagi ini. Malah kelayapan! Gimana, sih!"
Nggak kakak, nggak adik sama saja. Darah memang lebih kental dari pada air.
"Bukan urusan kamu!"ketusku sangat tajam.
"Nggak becus banget sih, bersih-bersihnya! Awas gue aduin Lo sama kakak gue, biar di tendang sekalian kamu!" hinanya kepadaku lagi. Kali ini sambil berkacak pinggang sombong usai meletakkan bawaannya.
Seketika aku tersentakmendengar ancaman itu, ember sekali nenek sihir ini! Apa yang harus ku lakukan? Ayo, Meira berpikirlah bagaimana caranya agar tidak kembali ke keluarga itu.
Rasa-rasanya detik itu juga, aku ingin menjadi jin saja. Bisa muncul dan hilang sesuka hati, dan kapanpun bisa. Pingin kabur, tapi khawatir dia mengekor. Mau tetap menetap, tapi pasti dia koar-koar. Miris.
Banyak pasang mata menatap kepadaku, kali ini aku bisa mengartikan tatapan mereka. Seolah aku ini pembantu yang sedang kabur
"Kamu kabur, ya? awas, kuaduin sama majikan Lo! Baru tau rasa!" ancamnya sambil sukses membuat banyak pasang mata menatapku, menyorot lebih tajam.
Herannya, tak ada satupun mereka membelaku, atau paling tidak melerai. Seolah aku ini hanya tontonan gratis.
"Jangan pikir, kamu lebih tua dari saya. Jadi anda bisa semena-mena. Saya bukan pembantu kakakmu," lirihku menahan geram, dan gemuruh hebat dalam dada.
Enak sekali dia, memperlakukanku semena-mena. Andai tidak di tempat umum, pasti sudah ku senggol bacok ini, tante-tante tua. Lagaknya dia sok, paling cantik, paling kuasa, tetapi dibalik itu semua, dia hanya babu bagi suaminya.
Belum tahu saja dia, kalau suami bagongnya sering menggoda para wanita di luar sana. Aku tahu persis siapa suami Tante tua itu. Bahkan sebelum mengenal Tante tua, terlebih dahulu aku mengenal si suami Bagong nya.
"Jelas-jelas pembantu. Masih ngeles. Sampai kapanpun, babu ya babu aja. Nggak usah belagu!" suara Tante Widya meninggi dengan mata menyalang.
"Saya akan terus berdoa pada Allah, Agara Allah berkenan menaikkan derajatku."
Kini tatapanku mengarah ke manik matanya. Tatapan tajam ku hujamkan ke sana.
"berdoalah terus, sampai kau mampus..hahaha," Suara tawa itu melengking pas ditelingaku, rasanya seperti hatiku ditusuk ribuan besi berkarat, Sakit sekali rasanya.
Aku mencoba mengatur napasku,menyiapkan kata yang pas untuk mengancamnya..
"Saat seorang hamba meminta pada Tuhannya, musuhmu bukanlah hamba itu Tapi penciptaNya" kataku sambil menekan dada yang serasa sesak sekali.
"Hahah," Tante Widya kembali tertawa, Namun kali ini suaranya lebih melengking.
Tawanya terhenti, dia terlihat sibuk, Ada panggilan telpon untuknya, sehingga dia berbalik menjauh. Pasang mata mereka yang tadi menatap, juga sudah tidak melihatku kembali. Kesempatan langka ini tak akan kubiarkan, ku manfaatkan situasi ini untuk segera kabur.
Kami harus ke mana lagi? itulah hal pertama yang kupikirkan. Jelas, tempat ini sudah tak aman. Mengingat suami bagongnya Tante Widya, mendadak teringat dengan Nyonya Sabrina. Wanita paruh baya yang mau menampungku saat pertama kali di tanah perantauan.
Sejak hamil usia muda, aku memutuskan untuk mengundurkan diri saja. Khawatir semakin buncitnya perutku tanpa adanya suami, membuat Nyonya Sabrina ilfiil padaku.
Beliau sudah menganggapku sebagai putrinya sendiri, walau posisiku saat itu adalah pembantu. Namun, sayang. Beliau bertemu dengan lelaki brengse* seperti Suami Tante Widya.
Yah, Nyonya Sabrina adalah kekasih suami Tante widya. Sewaktu itu yang ku tahu mereka sudah sangat serius dan ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan. Tapi, ternyata rencana tinggal rencana. Nyonya dengan mata kepalanya sendiri, memergoki kekasihnya bercinta dengan sahabatnya sendiri.
Waktu itu, aku belum tahu kalau dia adalah suami dari tantenya Bram. Apalah aku ini yang hanya istri udik, orang biasa, yang pikirku waktu itu tak berani mencampuri urusan orang lain.
Astaghfirullah. Serumit inikah hidupku, apa benar yang dikatakan Bram, jika ... Argh, segera ku tepis pikiran hina itu. Anak adalah rejeki dan anugrah, tidak ada anak yang bawa sial
"Mah!" Nisa memanggil.
Panggilan Nisa menyadarkan dari lamunan singkat. Aku segera tersadar dan menguasai diri.
"Ayo, kita harus pergi dari sini! Nenek Widya tahu keberadaan kita, Nak!"
Kening Nisa berkenyit, mungkin belum paham atau masih mencerna kata-kataku.
Maafkan, Mamamu ini, Nak. Mama nggak bisa kasih perlindungan buat kamu layaknya anak-anak orang lain, Mama mengira menikah dengan papamu bisa berikan perlindungan buat kita, justru hal itulah, yang membuat kamu semakin tersiksa, Nak. Maafkan, Mama!
Semua baju sudah masuk, kini tujuanku hanya ingin ke rumah Nyonya Sabrina. Ya Allah, semoga beliau berkenan memberikan ku perlindungan. Akan ku jelaskan semuanya, mulai dari awal sampai aku berada di titik ini. Semoga beliau memahami semuanya
"Ayo, sayang!" ujarku tergesa-gesa sambil menggamit tangan mungil itu.
********
Butuh beberapa jam sampai kesini, karena aku sendiri sudah sedikit lupa arah ke rumah mewah Nyonya. Perlu mengingat keras arah jalan rumah itu
Ku tekan bel di samping gerbang. Rumah luas itu tak jauh berbeda dengan saat terakhir ku pergi. Tatanannya masih banyak yang asli, meski sudut-sudut taman terlihat beberapa kolam kecil.
Seseorang berlari ke arah gerbang, menghampiri kami. Pakaian daster dan kain serbet menghiasi tubuh cungkringnya. Aku yakin, dia ART Nyonya.
"Nona Meira! Kamu benarkan, Nona Meira?" Dari nadanya, dia terdengar terkejut, tak percaya.
"Silahkan Non, Nyonya pasti senang melihat Non Meira!" ucapnya, sambil buka gerbang.
Pernyataan wanita itu, membuatku terheran-heran. Kenapa bisa dia mengenalku? Bukankah, baru pertama kali ini kita bertemu.
"Dan den Riki, juga pasti bahagia, terkejut," imbuhnya kali ini lebih membuatku terheran.
Riki adalah putra semata wayang nyonya, umurnya diatasku lima tahun. Dia terkenal acuh dan masa bodoh dengan orang. Apalagi sama aku, waktu itu.
Dan ART itu bilang, kalau Mereka pasti senang? Bahagia? Apa selama ini, mereka menungguku?
DULU ISTRI UDIK, SEKARANG BOS CANTIK"Ini kelewat sakit. Sialan kalian!" aku menatap wajah mereka dengan pandangan mengabur, lalu kabut itu perlahan menjadi tetes-tetes air kemudian aliran air mata."Ayo Nisa, kamu harus pergi!"Ku bantu Nisa untuk bangun dari kasur pasien. Putriku beringsut perlahan, wajahnya pucat, entah apa yang mereka lakukan pada putriku."Pergi sama Mbok Narti dulu, ya, dia lagi diluar,"Mbok Narti adalah pembantu yang bekerja di rumah Mas Bram. Dia sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.Anakku, Nisa bersiap berlari, namun tangannya tercekat oleh genggaman Mas Bram, suamiku."Nggak bisa begitu Meira. Dia anakku, jadi aku berhak atas ginjalnya,"Aku terpelongo, mendengar ucapan Mas Bram barusan. Teganya dia mengorbankan anaknya demi anak yang lain. Ya, untuk siapa lagi ginjal itu, kalau bukan untuk Sheila, anak Mas Bram dari istri pertama.Ku tahan sesak di dada ini, jangan sampai air mata terjun bebas kembali. Aku tak ingin terlihat terlalu lemah di depan mereka.
"Kalian akan menyesal," janjiku dalam hati sambil menatap foto keluarga mereka. Ada Mas Bram, mama mertua, Laili istri pertama sekaligus pemakan kekasih teman, dan Sheila, buah hati Mas Bram dan Lalili.Dari foto itu, tersadarlah diri ini, ternyata aku dan Nisa memang tak pernah dianggap keluarga.pyarrr ...Ku lempar asbak ke pigura itu, hingga menyisakan pecahan-pecahan kaca.Hancur, seperti keadaan hatiku."Ini sebagai tanda, kalau aku siap berperang,"******"Nisa, kita sholat magrib dulu yuk. Setelah itu kita cari kontrakan. Semoga dapat,"Nisa mengangguk, menanggapi ucapan ku. Mau bagaimana lagi? sementara harus cari kontrakan dulu. Pulang ke rumah Ibu, bukanlah ide yang bagus.Khawatir, hadirnya kami dalam keadaan begini, membuat Ibu semakin menderita."Ayo, Ma," ajak putriku, sambil menggamit tangan kanan dirikuBeruntung, kami bisa segera menemukan masjid. Belum tertinggal jamaah."Assalamualaikum warahmatullah," lirih para jamaah berucap, mengakhiri sholat magrib kali ini. N
POV BRAMHari ini kepalaku serasa mau pecah. Meira nggak mau berikan ginjal Nisa buat Sheila, anak sah ku dengan Laili. Apalagi ditambah urusan perusahaan yang carut marut. Ahh, sial. Serasa frutasi di usia muda. Mengenaskan.Mama sudah pulang, meninggalkanku sendirian menjaga Sheila yang masih terbujur pucat di atas pembaringannya..Aku menatapnya dengan rasa sayang dan kasihan. Kasihan, anak sekecil itu sudah menanggung derita. Ini semua gara-gara Meira. Tidak bisakah dia memberikan ginjal Nisa buat Sheila? apa ruginya buat dia. Justru, dia akan mendapat untung besar, jika mau berikan ginjal anak haram itu.Huftt, kenapa si Meira egois sekali? Dia mementingkan dirinya sendiri. Apakah salah, jika Nisa berbagi ginjal untuk saudaranya sendiri.Semoga aja besok dia bawa Nisa kemari. Tadi belum sempat cek kondisi ginjal anak haram itu, keburu ibu udik itu masuk. Ya, siapa lagi kalau bukan Meira. Sialnya lagi, dia mengetahui niat terselubung ku menikahinya. Kalau bukan karena demi Sheila
" ngapain aja tadi? Dari tadi di telpon nggak diangkat?siapa lelaki itu? Kamu selingkuh di belakangku, Lel?" Aku terus berbicara dengan menggegam tangannya, tanpa ku pedulikan ringisan sakit Laili."Apa sih, Mas! Lepasin," ketusnya sambil berusaha melepaskan genggamanku.Namun, genggamanku terlalu erat, membuat usahanya sia-sia. Ku tarik tubuhnya mendekat ke tubuhku. Dengan kasar, mencoba membuka baju kantor yang masih melekat di tubuhnya."Lepasin, Mas! Kau mau apa, heh?" berontak Laili sambil berusaha mempertahankan bajunya.Dia berteriak kencang, Namun, tak sedikitpun meredam gejolak emosi iblis dalam tubuhku.Sedari rumah sakit, aku sudah sangat emosi. Bergegas pulang ke rumah, berpikir Laili pasti sudah pulang usai aku mengirim pesan berisi ancaman, jika dia tak segera pulang, maka aku akan bertindak sangat kejam padanya.Tapi nyatanya, dua jam lebih aku menunggu, dan baru Laili pulang, itu pun langsung masuk kamar tanpa memedulikanku yang berdiri di ambang pintu."Sini! Biar guw
Setelah menempuh perjalanan sepuluh menit, akhirnya aku sampai juga di depan rumah kontrakan. Setelah sedari tadi, mempercepat langkah karena sudah tak sabar untuk segera pulang, segera ku rogoh kunci kemudian membuka pintu.Nisa tertidur, aku meninggalkannya untuk ke warung makan dekat dengan kontrakan yang ku tempati. Belum bisa Masak sendiri, karena memang belum tersedianya peralatan."Sayang, Nisa Ayo bangun!" teriakku dengan secara tergesa-gesa membereskan pakaian. Memasukkan ke dalam tas kembali.Nisa hanya menggeliat, tanpa mau membuka kelopak matanya."Nisa, bangun!"Kali ini aku mengguncang badan mungilnya, dia membuka kelopak mata dan terdiam menatapku dengan mata yang masih memerah, menahan kantuk."Ngantuk!" selorohnya, kemudian diikuti kelopak mata terpejam kembali"Ayo bangun. Kita harus pergi dari sini, Nduk!" titahku sambil tangan masih bekerja memberesi pakaian Nisa juga.Allah, mimpi apa aku semalam? tak ku sangka aku bertemu dengan Tante Widya, adik Mama mertua.As
" ngapain aja tadi? Dari tadi di telpon nggak diangkat?siapa lelaki itu? Kamu selingkuh di belakangku, Lel?" Aku terus berbicara dengan menggegam tangannya, tanpa ku pedulikan ringisan sakit Laili."Apa sih, Mas! Lepasin," ketusnya sambil berusaha melepaskan genggamanku.Namun, genggamanku terlalu erat, membuat usahanya sia-sia. Ku tarik tubuhnya mendekat ke tubuhku. Dengan kasar, mencoba membuka baju kantor yang masih melekat di tubuhnya."Lepasin, Mas! Kau mau apa, heh?" berontak Laili sambil berusaha mempertahankan bajunya.Dia berteriak kencang, Namun, tak sedikitpun meredam gejolak emosi iblis dalam tubuhku.Sedari rumah sakit, aku sudah sangat emosi. Bergegas pulang ke rumah, berpikir Laili pasti sudah pulang usai aku mengirim pesan berisi ancaman, jika dia tak segera pulang, maka aku akan bertindak sangat kejam padanya.Tapi nyatanya, dua jam lebih aku menunggu, dan baru Laili pulang, itu pun langsung masuk kamar tanpa memedulikanku yang berdiri di ambang pintu."Sini! Biar guw
POV BRAMHari ini kepalaku serasa mau pecah. Meira nggak mau berikan ginjal Nisa buat Sheila, anak sah ku dengan Laili. Apalagi ditambah urusan perusahaan yang carut marut. Ahh, sial. Serasa frutasi di usia muda. Mengenaskan.Mama sudah pulang, meninggalkanku sendirian menjaga Sheila yang masih terbujur pucat di atas pembaringannya..Aku menatapnya dengan rasa sayang dan kasihan. Kasihan, anak sekecil itu sudah menanggung derita. Ini semua gara-gara Meira. Tidak bisakah dia memberikan ginjal Nisa buat Sheila? apa ruginya buat dia. Justru, dia akan mendapat untung besar, jika mau berikan ginjal anak haram itu.Huftt, kenapa si Meira egois sekali? Dia mementingkan dirinya sendiri. Apakah salah, jika Nisa berbagi ginjal untuk saudaranya sendiri.Semoga aja besok dia bawa Nisa kemari. Tadi belum sempat cek kondisi ginjal anak haram itu, keburu ibu udik itu masuk. Ya, siapa lagi kalau bukan Meira. Sialnya lagi, dia mengetahui niat terselubung ku menikahinya. Kalau bukan karena demi Sheila
"Kalian akan menyesal," janjiku dalam hati sambil menatap foto keluarga mereka. Ada Mas Bram, mama mertua, Laili istri pertama sekaligus pemakan kekasih teman, dan Sheila, buah hati Mas Bram dan Lalili.Dari foto itu, tersadarlah diri ini, ternyata aku dan Nisa memang tak pernah dianggap keluarga.pyarrr ...Ku lempar asbak ke pigura itu, hingga menyisakan pecahan-pecahan kaca.Hancur, seperti keadaan hatiku."Ini sebagai tanda, kalau aku siap berperang,"******"Nisa, kita sholat magrib dulu yuk. Setelah itu kita cari kontrakan. Semoga dapat,"Nisa mengangguk, menanggapi ucapan ku. Mau bagaimana lagi? sementara harus cari kontrakan dulu. Pulang ke rumah Ibu, bukanlah ide yang bagus.Khawatir, hadirnya kami dalam keadaan begini, membuat Ibu semakin menderita."Ayo, Ma," ajak putriku, sambil menggamit tangan kanan dirikuBeruntung, kami bisa segera menemukan masjid. Belum tertinggal jamaah."Assalamualaikum warahmatullah," lirih para jamaah berucap, mengakhiri sholat magrib kali ini. N
DULU ISTRI UDIK, SEKARANG BOS CANTIK"Ini kelewat sakit. Sialan kalian!" aku menatap wajah mereka dengan pandangan mengabur, lalu kabut itu perlahan menjadi tetes-tetes air kemudian aliran air mata."Ayo Nisa, kamu harus pergi!"Ku bantu Nisa untuk bangun dari kasur pasien. Putriku beringsut perlahan, wajahnya pucat, entah apa yang mereka lakukan pada putriku."Pergi sama Mbok Narti dulu, ya, dia lagi diluar,"Mbok Narti adalah pembantu yang bekerja di rumah Mas Bram. Dia sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.Anakku, Nisa bersiap berlari, namun tangannya tercekat oleh genggaman Mas Bram, suamiku."Nggak bisa begitu Meira. Dia anakku, jadi aku berhak atas ginjalnya,"Aku terpelongo, mendengar ucapan Mas Bram barusan. Teganya dia mengorbankan anaknya demi anak yang lain. Ya, untuk siapa lagi ginjal itu, kalau bukan untuk Sheila, anak Mas Bram dari istri pertama.Ku tahan sesak di dada ini, jangan sampai air mata terjun bebas kembali. Aku tak ingin terlihat terlalu lemah di depan mereka.