"Ehm, kau terlihat sangat cantik hari ini, Bianca."
Teguran seorang lelaki yang tiba-tiba terdengar, membuat Bianca–yang sedang mengelap meja–menoleh. Dia tersenyum saat mendapati salah satu pelanggan menyapa dirinya. "Oh, Maxim … apa selama ini aku tidak cantik?" tanyanya sambil tersenyum, mengangkat sebelah alisnya. "Kau selalu cantik, Bianca, bahkan dengan apron dan lap kotormu itu. Aku bahkan menyukai wajahmu yang berkeringat," goda Maxim lagi, cepat-cepat duduk di meja yang baru saja dibersihkan oleh Bianca. "Terima kasih, itu terdengar seperti sebuah pujian," kata Bianca meringis. "Aku memang sedang memujimu, Sayang." Maxime terkekeh. "Jadi, kapan kau mempunyai waktu luang untuk menerima tawaran kencan dariku?" "Aku akan menghubungimu, jika sudah senggang," kata Bianca serius. "Kau di sini untuk merayuku, atau mau pesan beberapa kue?" "Tentu saja pesan kue dan juga melihatmu," ucap Maxime terkekeh. "Bawakan aku red velvet dan juga moccacino,"pintanya."Kalau begitu tunggu sebentar," tutur Bianca, tersenyum begitu manis sebelum beranjak pergi dari sana. Wanita itu memasuki ruangan lain, dan wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat. Senyum yang sejak tadi dia tampakkan, sirna lenyap tak berbekas sedikit pun digantikan raut wajah kekesalan. "Sialan, dasar lelaki perayu ulung. Jika bukan langganan, sudah kudepak dia sejak tadi!" umpatnya bergumam lirih. Namun, ternyata ada yang mendengar. Mary—salah satu karyawan kepercayaannya, mendekat dengan alis saling bertautan. "Ada apa, Bu, kenapa terlihat kesal?" tanyanya. Bianca menoleh, lalu berdecak dengan kedua tangan bertolak pinggang. Hanya menggerakkan dagunya, dia memberikan kode pada Mary. "Urus pesanan si casanova itu, aku mau pergi sebentar," ucapnya ketus. Memastikan Mary sudah tahu pesanannya, Bianca melepaskan apron, dan mencuci tangannya sampai bersih. Setelahnya, dia mengambil tasnya dan pergi lewat pintu belakang. Dia tak ingin sosoknya terlihat oleh Maxim, atau lelaki manapun yang sering merayunya. Bianca merasa muak, dan dia ingin terbebas dari para lelaki macam itu. Selama ini, dia hanya berpura-pura bersikap baik, bersikap lemah lembut, hanya untuk menarik perhatian pelanggan toko kuenya. Namun, sepertinya beberapa pelanggan salah berspekulasi tentang dirinya. Hal ini malah membuatnya menjadi bulan-bulanan sasaran para lelaki penggoda ulung. Wanita itu mendesah kasar, berjalan tergesa ke taman yang tak jauh dari toko kuenya. Memilih tempat ternyaman untuknya duduk, lalu mengeluarkan kertas dan bolpoin. Dia terlihat terdiam sebentar menghadap depan dengan pandangan kosong, karena tengah berpikir untuk merencanakan launching produk baru untuk kue di tokonya. Sore ini, taman terlihat begitu ramai, dan Bianca sangat menyukai suasana tersebut. Suara tawa anak-anak kecil yang bermain, entah kenapa membuat hatinya menghangat, dan semakin melancarkan otaknya untuk berpikir. Di tengah-tengah fokusnya Bianca menulis, tiba-tiba seorang bocah perempuan kecil berlarian di depannya. Bianca mendongak, dan tersenyum melihatnya. Namun, ketika bocah itu tiba-tiba terjatuh, Bianca reflek berdiri dan mendekat. "Kau tidak apa-apa, Nak?" tanya Bianca panik. Bocah itu menatapnya dengan mata bulatnya yang sempurna. Awalnya, bocah itu terdiam. Tetapi, tiba-tiba menangis dan memeluknya dengan erat. "Mama." Terkejut, mulut Bianca terbuka setengah mendengar bocah itu memanggilnya mama. Cepat-cepat, dia mendorong bocah kecil itu agar bisa melihat wajahnya. "Hey, Nak, aku bukan Mamamu. Kau pasti salah orang. Lihatlah ke sekeliling, perhatikan baik-baik semua orang yang ada di sini lalu kenalilah Mamamu," kata Bianca memberikan pengertian. Namun, bocah itu menggeleng cepat. Merangsek maju dan lagi-lagi memeluk Bianca. "Mama … ini takit." Bianca terkekeh miris, terlihat sedikit frustasi. "Nak, aku bukan–" "Kejam sekali, anak terjatuh dan menangis kau malah membentaknya!" Bianca belum menyelesaikan ucapannya, ketika seorang wanita tua tiba-tiba berdiri di dekatnya. Menegurnya, dan menatapnya dengan tajam. Hal ini membuat Bianca salah tingkah, dia ingin sekali menjelaskan. Namun, bocah yang ada dalam pelukannya itu malah merengek semakin kencang, dan terus memanggilnya Mama. "Nak, sadarlah … jangan membuatku kesusahan," bisik Bianca, menepuk-nepuk punggung bocah itu. "Tenangkan dia, cepat gendong. Kalau perlu, cepat obati jika dia terluka. Jangan hanya memarahinya saja. Namanya juga anak kecil, pasti banyak tingkah!" Seorang wanita paruh baya lain, datang mendekati Bianca untuk memperingatkan. Wajahnya sinis, dan kata-katanya terdengar ketus. "Tapi, Bu–" "Mama, ayo toyong Bea, Mama. Aki Bea takit," rengek bocah itu lagi, memotong ucapan Bianca. Hal ini membuat Bianca mendesah kasar, dia merasa tertekan, ketika semakin banyak orang menatapnya penuh tuntutan. Mau tak mau, akhirnya Bianca menggendong bocah itu. Mengambil tasnya, lalu kembali ke tokonya dengan langkah kaki menghentak kesal. Sepanjang jalan, Bianca terlihat bergumam. Mengumpatkan kekesalan-kekesalannya, pada orang-orang yang telah menuntutnya tadi. Dan juga, bocah yang sekarang mendekapnya erat dalam gendongan. Wajah Bianca tampak muram, memasuki toko dengan acuh. Mengabaikan para lelaki yang biasanya menggoda, Bianca terus berjalan sampai tiba di ruangannya. Cepat-cepat, Bianca menurunkan bocah itu dan bersiap untuk memarahinya. Namun, ketika bocah itu menatapnya polos dengan mata bulatnya yang sempurna, entah kenapa membuat pertahanan Bianca luruh. Wanita itu tak sanggup untuk marah. Dan hanya bisa membuang napasnya kasar berkali-kali. Setelah merasa tenang, Bianca duduk di lantai untuk mensejajarkan tingginya pada bocah itu, lalu tersenyum dengan manis. "Nak, siapa namamu?" tanya Bianca, menekan lagi kekesalan akibat perbuatan bocah itu tadi. "Bea, api papa cering manggil aku Boo," jawab bocah perempuan itu, dengan kata-katanya yang belepotan yang terdengar belum begitu jelas. Tentu saja hal ini malah membuat Bianca semakin gemas. Dia tersenyum, lalu mengusap pipi bocah itu. "Boleh aku tahu, kenapa kau panggil aku Mama tadi? Kau tahu jika aku bukan Ibumu, dan itu artinya kau melakukan hal buruk karena telah berbohong." "Boo tuma mau Mama." Bocah itu menjawab lirih, dan tiba-tiba menunduk kembali menangis. Melihat ini, membuat Bianca merasa salah tingkah. Dia tak bermaksud membuat bocah itu menangis. Cepat-cepat, dia duduk di dekat bocah itu, memeluk erat sambil mengusap kepalanya lembut. "Maaf, ya … maaf. Tante gak bermaksud memarahi Bea tadi." Tiba-tiba, Bianca mempunyai ide. "Cup, Sayang, jika Bea berhenti nangis, Tante bakal kasih Bea banyak kue." Tipu muslihat itu berhasil, dan bocah itu menghentikan tangis. Dengan tangannya yang mungil, Bea mengusap pipinya yang sudah setengah basah. "Apa Boo boyeh maem kue?" "Tentu saja boleh," jawab Bianca sumringah. "Memangnya siapa yang akan melarang bocah cantik sepertimu makan kue?" "Papa Boo biacanya gak cuka Boo maem kue," jawab Bea menggelengkan kepala lucu. "Papamu pasti orang yang kaku," sahut Bianca, mengerucutkan bibir. Akhirnya, setelah Bea tenang, Bianca mengajak bocah itu keluar dari ruangannya. Dia mengantar Bea ke meja etalase yang terdapat banyak kue. Bianca tersenyum, saat melihat tingkah Bea yang menggemaskan, mengambil beberapa kue dengan bahagia. Namun, kesenangan itu tak bertahan lama ketika Bianca melihat beberapa orang berpakaian rapi memenuhi toko kuenya. Wajah para lelaki itu begitu dingin, dengan sorot mata yang tajam. Hal ini membuat Bianca panik, apalagi saat orang-orang itu mendekati Bea dengan penuh minat. ***"Siapa kalian? Kalian mau apa?" teriak Bianca, yang langsung memposisikan diri di depan Bea untuk melindungi bocah itu. Dia begitu takut, jika para lelaki itu adalah komplotan penculik yang ingin menculik anak kecil. Mau bagaimana pun, Bianca tidak tahu siapa dan bagaimana bentuk orang tua Bea. Dia hanya ingin melindungi bocah itu, sampai seseorang yang benar-benar bisa membuktikan jika mereka memang orang tua Bea, datang menjemput."Maaf, Nona, kami hanya ingin mengajak Nona kecil kami untuk pulang," jawab seorang lelaki yang terlihat seperti pemimpin kelompok, berbicara begitu sopan dengan Bianca. Dahi Bianca berkerut dalam, masih merasa curiga dan tak mempercayai mereka. "Memangnya siapa Nona kecil kalian?" tanya Bianca ketus. Lelaki yang berdiri di hadapan Bianca itu tak menjawab, hanya mengangkat dagu untuk menunjuk bocah yang ada di belakang Bianca. Tak mendengar jawaban, membuat tatapan Bianca memicing. "Siapa nama Nona kecil kalian?" tanyanya lagi. "Bealize Caethleen Stef
"Boo, ayo tidur, ini sudah malam." Seruan tegas penuh perintah tiba-tiba mengalihkan Bea dan Bianca yang sedang bermain ular tangga di ruangan khusus bermain. Bianca segera duduk tegak, dan lagi-lagi dia menjadi gugup saat harus berhadapan dengan Papa Bea. Tadi, saat pertemuan pertama mereka, keduanya hanya berbincang sebentar sebelum akhirnya Papa Bea menerima telepon dan meninggalkan mereka. Bea yang masih ingin bersama dirinya, memaksanya untuk ikut bermain. Bianca sudah menolak halus, bagaimana pun dia harus pulang untuk melihat tokonya lagi. Tetapi, lagi-lagi Bea menangis dan merengek padanya yang membuat Bianca kalah telak. Untung saja selama beberapa jam terakhir ini, Papa Bea tak ikut bermain. Mau bagaimana pun, Bianca merasa tak nyaman. Karena Papa Bea telah membuat jantungnya berdegup kencang dengan liar sore tadi. Tapi kini, lelaki itu kembali muncul di hadapannya. Dan lagi-lagi, Bianca tak bisa mengontrol detak jantungnya. Cepat-cepat dia mengalihkan pandang, dan berus
"Mama, tolong." Suara teriakan anak kecil itu, seketika membuat Bianca menoleh. Dia yang sedang menyibukkan diri membuat resep baru, segera bangun dengan tergesa untuk mendatangi anak kecil yang sedang terjatuh itu. Namun, dia kalah cepat. Seorang wanita muda tiba-tiba datang menolong anak kecil tadi, menggendongnya lalu menenangkannya. Hal ini membuat tubuh Bianca kaku, dalam hatinya bertanya-tanya, apa yang sedang dia lakukan saat ini? Tadi saat mendengar anak kecil menangis, dia mengira itu adalah suara Bea yang meminta tolong. ‘Ada apa dengannya? Kenapa dia selalu memikirkan tentang Bea selama ini?’Seminggu telah berlalu, sejak pertemuan pertama Bianca dan juga Bea. Seminggu sudah mereka berpisah, dan tak pernah lagi bertemu. Tetapi, entah kenapa Bianca merasa rindu pada bocah perempuan kecil tersebut. Terlebih lagi, bayangan sosok Papa Bea selalu menghantui benaknya setiap malam. Wanita itu menghela napas panjang, menggelengkan kepala cepat berusaha sadar dalam angan-angan.
"Tidak, tidak, kau salah paham. Bukan dia!" sahut Bianca cepat, dia segera bangun, dan berdiri di samping Papa Bea seraya menatap Maxim serius. "Kukira dia, jika dia, aku pasti sudah melampiaskan kekesalanku," gumam Maxim berdecak. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu mendekati Bryan dan menepuk pundak lelaki itu dua kali. "Hati-hati, Bro, jangan sampai terpesona pada pemilik toko kue ini. Dia sudah punya calon suami. Jika kau nekat, kau bisa patah hati sepertiku," imbuhnya berpura-pura sedih, lalu berpaling pergi dari sana. Bianca hanya meringis mendengar ucapan Maxim, dan dia memaksakan senyumnya saat Papa Bea itu menatapnya lekat. "Bu, ini siapa? Ganteng amat," bisik Mary yang tiba-tiba ada di dekatnya, merangkul tangannya erat. Bianca tampak bingung menjelaskan. "Apa beneran dia bukan calon suami Ibu? Jika beneran, bolehkan saya berkenalan dengannya?" bisik Mary lagi sambil terkekeh pelan. "Mary, jangan seperti itu. Ayo yang sopan, dia kenalanku. Lagi pula, bukankah kamu
Bea menarik-narik baju bawah milik Bryan. Gadis kecil itu menekuk wajahnya kala ada sesuatu yang dia inginkan namun takut-takut untuk mengatakannya langsung pada Bryan. "Ada apa, Boo?" tanya Bryan langsung menggendong putrinya itu."Atu boyeh minta tetuatu, Papa?" Bryan mengerutkan keningnya kala Bea memberikan tatapan penuh permohonan."Tentu saja, apa yang kau inginkan?" Bea melihat ke arah Bianca yang sejak tadi hanya diam. "Apah boyeh Mama titut kita puyang dan tinggay tengan kita?" Bianca dan Bryan yang mendengar itu sontak saling terdiam, tatapan mereka bertemu membuat suasana sedikit canggung. Bryan menghembuskan napasnya lalu mengangguk, dia tidak bisa menolak keinginan Bea karena jelas Bryan sangat menyayangi putrinya."Baiklah, sekarang kita pulang ya?" Bea mengangguk dengan senang. Dia lalu meminta Bryan untuk menurunkannya karena Bea lebih memilih untuk berjalan kaki dengan Bianca yang menggandeng tangannya.Mereka pun akhirnya kembali ke rumah dengan Bianca yang sesekal
Bianca mencoba untuk terus menenangkan Bea yang sepertinya belum mengikhlaskan kepergian Bryan. Namun, sebisa mungkin dia akan berusaha untuk membuat Bea tenang dan menurut padanya."Sayang, lebih baik kita main saja bagaimana? Biar Bea tidak sedih lagi," ucap Bianca pada Bea namun gadis kecil itu tetap menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Bianca melihat kepergian Bryan. Dia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan, tapi sekarang yang lebih penting adalah bagaimana caranya membuat Bea tetap tenang. "Boo mau Papa teltap di cini," ujar Bea sambil mengelap air matanya namun air matanya yang tidak kunjung mengering."Iya, Mama tahu, Sayang. Tapi Bea harus belajar mengikhlaskan, ya? Bea tidak boleh cengeng seperti ini, bagaimana kalau Bea berhenti menangis dan Mama berjanji akan membawa Bea ke pasar malam?" tawar Bianca membuat Bea yang tadinya menunduk langsung mengangkat kepalanya semangat."Benalkah?" "Benar, Sayang. Tapi Bea harus berhenti menangis dulu." Bea pun menganggukkan kep
Bianca bergegas untuk turun ke bawah. Namun sebelum turun dia mengecek kenyamanan Bea agar gadis kecil itu tidak terbangun ketika dia sedang melakukan sesi tanya jawab pada sang pelayan di rumah itu.Sesampainya di dapur, Bianca berpura-pura untuk mengambil minum. Tidak, atau lebih tepatnya dia tidak akan langsung mengatakan inti dari alasannya kembali ke dapur dan sedikit Bianca merasa bersyukur karena pelayan tadi masih berada di dapur."Apa Anda masih ingin tahu jawabannya?" Pelayan itu tiba-tiba menoleh ke arah Bianca dengan tatapan yang sulit diartikan. Untung saja Bianca pintar dalam mengekspresikan perasaan serta wajahnya."Apa saya boleh tahu?" "Tentu, saya akan menceritakannya pada Anda." Bianca tersenyum, dia bersyukur jika pelayan itu mau terbuka dengannya meskipun Bianca tidak mungkin bertanya secara langsung pada Bryan. Keberanian dari mana jika Bianca memang berani?"Terima kasih.""Sebenarnya saya kurang tahu cerita ke seluruhnya. Tapi dari yang saya tahu, Tuan membesa
Bryan menatap Bianca dengan tatapan penuh harap. Entah mengapa membiarkan Bianca pergi, membuat Bryan sendiri merasakan perasaan aneh. Apalagi Bea begitu menyukai Bianca."Apakah kau bisa tinggal di sini sehari atau dua hari lagi, Bianca? Saya melihat Boo yang begitu bahagia bersamamu, dan juga Boo yang menjadi gadis kecil penurut, membuat saya enggan untuk mengatakan iya ketika kau izin untuk kembali ke rumah," ujar Bryan panjang lebar."T—tapi bukankah tugas saya sudah selesai, Tuan? Selagi Bea sedang tidur maka saya bisa pulang," sahut Bianca.Namun, Bryan malah menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin membiarkan Bianca untuk pergi. Jika Bea bangun nanti apa yang harus dia katakan?"Boo sudah menganggapmu sebagai Ibunya, Bianca. Tolong bantu saya kali ini saja, kau tahu pasti bagaimana Boo begitu merindukan sosok ibu dalam hidupnya." Bianca terdiam, niat awalnya ingin pulang namun ketika Bryan mengatakan itu membuat Bianca mengurungkan niatnya. Seperti ada perasaan aneh yang dia
"Tuan, anda baik-baik saja?" Melihat Bryan yang seperti orang kebingungan membuat Bianca sendiri iba."Lupakan saja, masuklah ke dalan kamar, Bianca. Di sini sangat dingin dan kau akan kedinginan kalau terlalu lama di sini." "Saya baik-baik saja, Tuan." "Masuklah ke dalam, saya tidak menerima penolakan." Bianca pun akhirnya menurut, daripada dia harus terus berdebat dengan Bryan dan jelas itu tidak akan ada ujungnya.Dengan perlahan Bianca kembali masuk ke dalam diikuti oleh Bryan di belakangnya. Sesekali Bianca melirik ke belakang dan mendapati Bryan berjalan sambil menundukkan kepalanya."Saya akan membuatkan teh untukmu, jadi tunggulah sebentar," ucap Bryan."T—tidak usah, Tuan. Saya akan membuatnya sendiri saja," sahut Bianca cepat. Bryan yang baru saja ingin ke luar langsung menghentikan langkahnya. "Kau tahu kan jika saya tidak menerima penolakan, Bianca? Jadi apa yang saya mau akan saya lakukan.""Baiklah kalau begitu, Tuan." Bianca sudah tidak mau terus membantah apa yang
Mengingat kejadian di kolam renang tadi, Bianca kembali merasakan sensasi luar biasa. Pikirannya tiba-tiba kembali ke kejadian itu hingga tubuhnya seperti di bawa ikut juga.Sampai ketika ciuman mereka terlepas, beberapa detik setelahnya Bianca masih belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Hingga tiba-tiba Bianca mendengar jika Bryan berdehem menyadarkan dirinya."M—maafkan saya, Tuan." Ucapan minta maaf pertama kali Bianca katakan. Bryan menggeleng karena laki-laki itu berpikir jika bukan Bianca yang salah melainkan dirinya."Bukan kau yang salah, Bianca. Tapi saya, jadi saya minta maaf untuk kelancangan saya menciummu." Bukankah mereka saling menikmati dan saling menerima? Bianca berpikir bahwa mereka melakukannya karena suasana yang mendukung. "Kita sama-sama menikmati, Tuan. Saya pikir tidak ada yang salah di sini.""Menikmati?" "Y—ya, menikmati.""Kau menjadi nakal ya sekarang? Apa kita boleh melanjutkannya lagi? Saya rasa yang tadi kurang." Demi Tuhan apa yang dikatakan B
"Tuan, Bea sudah tidur dengan nyaman dan saya sudah memastikannya," ucap Bianca sambil menundukkan kepalanya. Aura mengintimidasi dari wanita yang sudah cukup berumur di depannya membuat Bianca sangat gugup."Siapa dia, Bryan?" tanya ibu Bryan, Eveline. Bryan bingung harus mengenalkan Bianca pada Eveline sebagai siapa di rumah ini. Namun, sepintas ide terlintas di otaknya membuat Bryan tersenyum dalam hati."Dia adalah baby sitter Boo," jawab Bryan sambil memberikan kode pada Bianca agar menganggukkan kepalanya."Benar, saya adalah baby sitter di sini," sahut Bianca patuh layaknya sebagai bawahan sungguhan.Eveline jelas tidak langsung percaya begitu saja karena sikap Bianca begitu mencurigakan. Namun, dia hanya bisa menganggukkan kepalanya sedikit percaya. Bianca sendiri hanya bisa pasrah dengan peran palsunya sebagai baby sitter."Di mana Bea?" tanya Eveline."Dia sedang tidur, Ma. Apa perlu aku bangunkan?" jawab Bryan. Eveline menganggukkan kepalanya, Bryan memberikan Bianca seka
Bryan menatap Bianca dengan tatapan penuh harap. Entah mengapa membiarkan Bianca pergi, membuat Bryan sendiri merasakan perasaan aneh. Apalagi Bea begitu menyukai Bianca."Apakah kau bisa tinggal di sini sehari atau dua hari lagi, Bianca? Saya melihat Boo yang begitu bahagia bersamamu, dan juga Boo yang menjadi gadis kecil penurut, membuat saya enggan untuk mengatakan iya ketika kau izin untuk kembali ke rumah," ujar Bryan panjang lebar."T—tapi bukankah tugas saya sudah selesai, Tuan? Selagi Bea sedang tidur maka saya bisa pulang," sahut Bianca.Namun, Bryan malah menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin membiarkan Bianca untuk pergi. Jika Bea bangun nanti apa yang harus dia katakan?"Boo sudah menganggapmu sebagai Ibunya, Bianca. Tolong bantu saya kali ini saja, kau tahu pasti bagaimana Boo begitu merindukan sosok ibu dalam hidupnya." Bianca terdiam, niat awalnya ingin pulang namun ketika Bryan mengatakan itu membuat Bianca mengurungkan niatnya. Seperti ada perasaan aneh yang dia
Bianca bergegas untuk turun ke bawah. Namun sebelum turun dia mengecek kenyamanan Bea agar gadis kecil itu tidak terbangun ketika dia sedang melakukan sesi tanya jawab pada sang pelayan di rumah itu.Sesampainya di dapur, Bianca berpura-pura untuk mengambil minum. Tidak, atau lebih tepatnya dia tidak akan langsung mengatakan inti dari alasannya kembali ke dapur dan sedikit Bianca merasa bersyukur karena pelayan tadi masih berada di dapur."Apa Anda masih ingin tahu jawabannya?" Pelayan itu tiba-tiba menoleh ke arah Bianca dengan tatapan yang sulit diartikan. Untung saja Bianca pintar dalam mengekspresikan perasaan serta wajahnya."Apa saya boleh tahu?" "Tentu, saya akan menceritakannya pada Anda." Bianca tersenyum, dia bersyukur jika pelayan itu mau terbuka dengannya meskipun Bianca tidak mungkin bertanya secara langsung pada Bryan. Keberanian dari mana jika Bianca memang berani?"Terima kasih.""Sebenarnya saya kurang tahu cerita ke seluruhnya. Tapi dari yang saya tahu, Tuan membesa
Bianca mencoba untuk terus menenangkan Bea yang sepertinya belum mengikhlaskan kepergian Bryan. Namun, sebisa mungkin dia akan berusaha untuk membuat Bea tenang dan menurut padanya."Sayang, lebih baik kita main saja bagaimana? Biar Bea tidak sedih lagi," ucap Bianca pada Bea namun gadis kecil itu tetap menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Bianca melihat kepergian Bryan. Dia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan, tapi sekarang yang lebih penting adalah bagaimana caranya membuat Bea tetap tenang. "Boo mau Papa teltap di cini," ujar Bea sambil mengelap air matanya namun air matanya yang tidak kunjung mengering."Iya, Mama tahu, Sayang. Tapi Bea harus belajar mengikhlaskan, ya? Bea tidak boleh cengeng seperti ini, bagaimana kalau Bea berhenti menangis dan Mama berjanji akan membawa Bea ke pasar malam?" tawar Bianca membuat Bea yang tadinya menunduk langsung mengangkat kepalanya semangat."Benalkah?" "Benar, Sayang. Tapi Bea harus berhenti menangis dulu." Bea pun menganggukkan kep
Bea menarik-narik baju bawah milik Bryan. Gadis kecil itu menekuk wajahnya kala ada sesuatu yang dia inginkan namun takut-takut untuk mengatakannya langsung pada Bryan. "Ada apa, Boo?" tanya Bryan langsung menggendong putrinya itu."Atu boyeh minta tetuatu, Papa?" Bryan mengerutkan keningnya kala Bea memberikan tatapan penuh permohonan."Tentu saja, apa yang kau inginkan?" Bea melihat ke arah Bianca yang sejak tadi hanya diam. "Apah boyeh Mama titut kita puyang dan tinggay tengan kita?" Bianca dan Bryan yang mendengar itu sontak saling terdiam, tatapan mereka bertemu membuat suasana sedikit canggung. Bryan menghembuskan napasnya lalu mengangguk, dia tidak bisa menolak keinginan Bea karena jelas Bryan sangat menyayangi putrinya."Baiklah, sekarang kita pulang ya?" Bea mengangguk dengan senang. Dia lalu meminta Bryan untuk menurunkannya karena Bea lebih memilih untuk berjalan kaki dengan Bianca yang menggandeng tangannya.Mereka pun akhirnya kembali ke rumah dengan Bianca yang sesekal
"Tidak, tidak, kau salah paham. Bukan dia!" sahut Bianca cepat, dia segera bangun, dan berdiri di samping Papa Bea seraya menatap Maxim serius. "Kukira dia, jika dia, aku pasti sudah melampiaskan kekesalanku," gumam Maxim berdecak. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu mendekati Bryan dan menepuk pundak lelaki itu dua kali. "Hati-hati, Bro, jangan sampai terpesona pada pemilik toko kue ini. Dia sudah punya calon suami. Jika kau nekat, kau bisa patah hati sepertiku," imbuhnya berpura-pura sedih, lalu berpaling pergi dari sana. Bianca hanya meringis mendengar ucapan Maxim, dan dia memaksakan senyumnya saat Papa Bea itu menatapnya lekat. "Bu, ini siapa? Ganteng amat," bisik Mary yang tiba-tiba ada di dekatnya, merangkul tangannya erat. Bianca tampak bingung menjelaskan. "Apa beneran dia bukan calon suami Ibu? Jika beneran, bolehkan saya berkenalan dengannya?" bisik Mary lagi sambil terkekeh pelan. "Mary, jangan seperti itu. Ayo yang sopan, dia kenalanku. Lagi pula, bukankah kamu
"Mama, tolong." Suara teriakan anak kecil itu, seketika membuat Bianca menoleh. Dia yang sedang menyibukkan diri membuat resep baru, segera bangun dengan tergesa untuk mendatangi anak kecil yang sedang terjatuh itu. Namun, dia kalah cepat. Seorang wanita muda tiba-tiba datang menolong anak kecil tadi, menggendongnya lalu menenangkannya. Hal ini membuat tubuh Bianca kaku, dalam hatinya bertanya-tanya, apa yang sedang dia lakukan saat ini? Tadi saat mendengar anak kecil menangis, dia mengira itu adalah suara Bea yang meminta tolong. ‘Ada apa dengannya? Kenapa dia selalu memikirkan tentang Bea selama ini?’Seminggu telah berlalu, sejak pertemuan pertama Bianca dan juga Bea. Seminggu sudah mereka berpisah, dan tak pernah lagi bertemu. Tetapi, entah kenapa Bianca merasa rindu pada bocah perempuan kecil tersebut. Terlebih lagi, bayangan sosok Papa Bea selalu menghantui benaknya setiap malam. Wanita itu menghela napas panjang, menggelengkan kepala cepat berusaha sadar dalam angan-angan.