"Mama, tolong."
Suara teriakan anak kecil itu seketika membuat Bianca menoleh. Bianca yang sedang menyibukkan diri membuat resep baru segera bangun dengan tergesa untuk mendatangi anak kecil yang sedang terjatuh itu. Namun, dia kalah cepat. Seorang wanita muda tiba-tiba datang menolong anak kecil tadi, menggendongnya lalu menenangkannya. Tubuh Bianca seketika kaku. Dalam hatinya bertanya-tanya, apa yang sedang dia lakukan saat ini? Tadi saat mendengar anak kecil menangis, dia mengira itu adalah suara Bea yang meminta tolong. ‘Ada apa dengannya? Kenapa dia selalu memikirkan tentang Bea selama ini?’ Seminggu telah berlalu sejak pertemuan pertama Bianca dan juga Bea. Seminggu sudah mereka berpisah dan tak pernah lagi bertemu. Tetapi, entah kenapa Bianca merasa rindu pada bocah perempuan kecil tersebut. Terlebih lagi, bayangan sosok Papa Bea selalu menghantui benaknya setiap malam. Wanita itu menghela napas panjang, menggelengkan kepala cepat berusaha sadar dalam angan-angan. Bianca kembali duduk, mengambil buku dan juga bolpoinnya. Bianca berusaha memikirkan kembali resep yang telah disusun tadi. Tapi dia seketika melupakannya dan sekarang menjadi tidak fokus. "Bagaimana bisa bocah dan Ayahnya itu mengganggu pikiranku setiap harinya?" desah Bianca kesal. Menutup bukunya kasar, Bianca kemudian berdiri. Dia sudah tidak mood memikirkan resep baru. Bianca merasa lebih baik jika dirinya kembali saja ke toko kuenya. "Mama." Namun baru beberapa langkah, dia mendengar Bea memanggil. Hal ini membuat tubuhnya kaku dan mendadak kepalanya menjadi pusing. ‘Halusinasi macam apa ini?’ Pikirnya lelah. Godaan bocil ternyata sungguh ajaib. Lagi-lagi, Bianca menggelengkan kepala cepat. Berusaha kembali sadar dengan keadaan sekitar. Bianca merasa mungkin saja salah mendengar karena terlalu merindukan bocah itu. Tanpa menoleh ke belakang, Bianca segera berjalan tergesa menuju toko kuenya yang ada di seberang jalan taman ini. "Hai, Bianca … bagaimana kabarmu?" Sebuah sambutan menyapa ketika dia baru saja membuka pintu. Bianca hanya bisa mendesah pelan saat melihat Maxim sudah berdiri di hadapannya. "Aku baik, Maxim, terima kasih," jawab Bianca seenaknya. Kali ini, tak ada senyuman sedikit pun yang menghiasi wajahnya. "Ada apa dengan wajahmu itu? Kenapa kau terlihat pucat hari ini?" tanya Maxim. Lelaki yang selama ini pelanggan toko kue Bianca karena menyukai wanita itu berusaha datang setiap hari hanya untuk bisa menjadi lebih dekat dengan Bianca. Lelaki itu mengekor di belakang sampai Bianca memilih tempat di paling ujung. Maxim tak segan untuk duduk di hadapan Bianca. "Mary." Mengabaikan pertanyaan Maxim, Bianca memanggil salah satu karyawannya. Dan ketika bawahannya itu menoleh, dia segera memesan, "buatkan aku coffe latte hangat." "Siap, Bu!" teriak Mary dari arah seberang. Bianca masih mengacuhkan Maxim. Wanita itu memilih membaringkan kepalanya di atas meja dengan lesu. Semangatnya hilang entah karena apa. Tentu saja hal ini menarik perhatian Maxim. "Apa kau sakit, Bianca?" "Tidak, aku hanya lelah saja. Beberapa hari ini aku kurang tidur karena banyak pikiran," jawab Bianca lirih justru curhat kepada Maxim. "Apa yang membuatmu berpikir sampai-sampai terlihat pucat seperti ini?" tanya Maxim lagi. ‘Bea, dan tentu saja Ayahnya,’ jawab Bianca dalam hati. Wanita itu tak ingin mengatakan yang sebenarnya, malahan dia berbohong. "Biasalah, urusan toko kue yang beberapa hari ini akan membuka cabang di kota sebelah. Itu benar-benar menguras tenaga dan pikiranku." "Oh, Sayang, kasihan sekali dirimu. Andai saja kau mau menerima pinanganku, aku pasti akan membantu segala urusanmu. Bahkan, aku tidak akan memintamu bekerja lagi. Aku akan membuatmu di rumah, memanjakan diri, dan hanya melayaniku." Maxim kembali melancarkan aksi menggodanya. Bianca memejamkan mata geram dan membuang napasnya kasar. Dia mulai bangun dan duduk tegak kembali. Kali ini, dia menatap Maxim lekat dengan sorot mata yang sedikit tajam. "Kau kalah cepat, Maxim. Aku sudah mempunyai calon suami. Maka dari itu, sampai kapan pun aku tidak akan bisa menerima tawaranmu," jawabnya ketus. Mata Maxim membola, begitu terkejut. Dia baru saja ingin bertanya ketika tiba-tiba Mary datang dengan wajah antusias yang sama kagetnya. Karyawan Bianca itu meletakkan nampan kasar di meja lalu menarik kursi di antara mereka dan menatap Bianca dengan lekat. "Benarkah itu, Bu? Jadi, ini alasanmu selama ini tidak pernah menanggapi para lelaki di sini yang menggodamu?" tanya Mary penasaran. Mendadak, Bianca merasa salah tingkah. Dia membual, hanya untuk Maxim agar lelaki itu tak terus mengganggu hidupnya. Namun, kini dirinya malah yang terperosok dalam kebohongannya sendiri, apa lagi saat didesak salah satu karyawannya. "Y—ya." Akhirnya Bianca menjawab dengan gugup penuh keraguan. Menganggukkan kepalanya kecil dengan tak yakin. Bukankah ini sama saja dengan doa yang baik? "Astaga, kau tidak sedang berbohong, kan?" sahut Maxim bertanya sedikit memekik. Merasakan kecewa dan terluka bersamaan. "Tentu saja tidak karena aku sengaja merahasiakannya selama ini," jawab Bianca cepat, namun tak berani menatap ke arah Maxim. "Oh, Bianca … kau sungguh membuatku patah hati," tutur Maxim mendramatisir, memperlihatkan wajahnya yang begitu sedih dan tampak putus asa. Bahkan, kedua tangannya memegangi dadanya. "Nah, kan, kau dengar sendiri sekarang? Jadi, mulai saat ini dan seterusnya, jangan ganggu dan goda-goda lagi bosku!" ketus Mary, berlagak marah menatap Maxim cemberut. Sejujurnya Mary sedikit risih melihat tingkah Maxim. "Kau ini, aku sedang patah hati bukannya mengobati malah menambah-nambah saja," keluh Maxim geram pada Mary. Bianca yang tadinya gugup dengan kebohongannya, kini malah tertawa melihat tingkah dua orang di depannya itu. Dia tak menduga, jika Mary punya selera humor ditambah dengan Maxim yang suka mendramatisir keadaan, sepertinya mereka berdua terlihat cocok. "Jadi, Bu, bagaimana rupa calon suami Ibu? Kenapa tidak mengenalkan pada kami?" tanya Mary. "Ya, aku juga ingin tahu wajah lelaki yang telah merebut hatimu dariku," sahut Maxim menyela. Kesenangan Bianca tak bertahan lama ketika dua orang di depannya itu kembali menginterogasi. Hal ini membuatnya menjadi tidak tenang, dan serba bingung harus menjawab seperti apa. "A—aku … a—aku akan mengenalkannya, setelah dia mempunyai waktu luang. Pekerjaannya begitu banyak, sehingga—” Bianca tak bisa menyelesaikan ucapannya ketika lonceng pintu terbuka terdengar begitu nyaring. Lalu, tiba-tiba sesosok anak kecil berlari ke arahnya dengan wajah begitu sumringah. "Bea!" pekik Bianca dengan senang. Cepat-cepat, dia berdiri, lalu berjongkok menyambut Bea dalam pelukannya. "Boo lindu cama Mama," kata Bea belepotan begitu menggemaskan dan memeluk Bianca dengan erat. "Dengan siapa kau datang?" tanya Bianca setelah melepaskan pelukan tersebut. "Cama Papa." Tepat setelah Bea bicara seperti itu, orang yang selama ini menghantui pikiran Bianca muncul dari arah pintu dan mendekatinya. Lagi-lagi, momen seperti ini terulang kembali. Mata Bianca tak berkedip, seolah begitu terpesona dengan ketampanan yang dimiliki Papa Bea. Dan juga, jantungnya kembali berdetak kencang tak karuan dengan liar seakan berusaha melompat keluar dari tempatnya. "Bianca, apa kabar?" Saat suara lelaki itu menyapanya, Bianca bisa merasakan hatinya bergetar. Suara itu terdengar begitu berat, dan entah kenapa, Bianca merasa begitu familiar. Rasa rindu yang dia tak tahu muncul dari mana, menguar begitu saja membuatnya menjadi gelisah. "Apa ini calon suamimu, Bianca?" Sampai sebuah suara, membuat lamunan Bianca buyar. Wanita itu terperanjat kaget, saat melihat Maxim mendekati Papa Bea dengan sorot mata tajam. ***"Tidak, tidak, kau salah paham. Bukan dia!" sahut Bianca cepat. Dia segera bangun dan berdiri di samping Papa Bea seraya menatap Maxim serius. "Kukira dia, jika dia, aku pasti sudah melampiaskan kekesalanku," gumam Maxim berdecak. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu mendekati Bryan dan menepuk pundak lelaki itu dua kali. "Hati-hati, Bro, jangan sampai terpesona pada pemilik toko kue ini. Dia sudah punya calon suami. Jika kau nekat, kau bisa patah hati sepertiku," imbuhnya berpura-pura sedih, lalu berpaling pergi dari sana. Bianca hanya meringis mendengar ucapan Maxim, dan dia memaksakan senyumnya saat Papa Bea itu menatapnya lekat. "Bu, ini siapa? Ganteng amat," bisik Mary yang tiba-tiba ada di dekatnya, merangkul tangannya erat dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Bianca diam, tampak bingung menjelaskan. "Apa beneran dia bukan calon suami Ibu? Jika bukan, bolehkan saya berkenalan dengannya?" bisik Mary lagi sambil terkekeh pelan. "Mary, jangan seperti itu. Ayo yang sopan
Bea menarik-narik baju bagian bawah milik Bryan. Gadis kecil itu menekuk wajahnya kala ada sesuatu yang dia inginkan namun takut untuk mengatakannya langsung pada Bryan. "Ada apa, Boo?" tanya Bryan langsung menggendong putrinya itu. "Atu boyeh minta tetuatu, Papa?" Bryan mengerutkan keningnya kala Bea memberikan tatapan penuh permohonan. "Tentu saja, apa yang kau inginkan?" Bea melihat ke arah Bianca yang sejak tadi hanya diam. "Apah boyeh Mama titut kita puyang dan tinggay tengan kita?" Bianca dan Bryan yang mendengar itu sontak terdiam. Ttapan mereka bertemu membuat suasana sedikit canggung. Bryan menghembuskan napasnya lalu mengangguk. Dia tidak bisa menolak keinginan Bea karena jelas Bryan sangat menyayangi putrinya. "Baiklah. Sekarang kita pulang ya?" Bea mengangguk dengan senang. Dia lalu meminta Bryan untuk menurunkannya karena Bea lebih memilih untuk berjalan kaki dengan Bianca yang menggandeng tangannya. Mereka pun akhirnya kembali ke rumah dengan Bianca yang sese
Bianca mencoba untuk terus menenangkan Bea yang sepertinya belum mengikhlaskan kepergian Bryan. Namun, sebisa mungkin dia akan berusaha untuk membuat Bea tenang dan menurut padanya. "Sayang, lebih baik kita main saja bagaimana? Biar Bea tidak sedih lagi," ucap Bianca pada Bea namun gadis kecil itu tetap menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Bianca melihat kepergian Bryan. Dia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan, tapi sekarang yang lebih penting adalah bagaimana caranya membuat Bea tetap tenang. "Boo mau Papa teltap di cini," ujar Bea sambil mengelap air matanya namun tidak kunjung mengering. "Iya, Mama tahu, Sayang. Tapi Bea harus belajar mengikhlaskan, ya? Bea tidak boleh cengeng seperti ini. Bagaimana kalau Bea berhenti menangis? Mama berjanji akan membawa Bea ke pasar malam?" tawar Bianca membuat Bea yang tadinya menunduk langsung mengangkat kepalanya semangat. "Benalkah?" "Benar, Sayang. Tapi Bea harus berhenti menangis dulu." Bea pun menganggukkan kepalanya. Gadis ke
Bianca bergegas untuk turun ke bawah. Namun sebelum turun dia mengecek kenyamanan Bea agar gadis kecil itu tidak terbangun ketika dia sedang melakukan sesi tanya jawab pada sang pelayan di rumah itu. Sesampainya di dapur, Bianca berpura-pura untuk mengambil minum. Tidak, lebih tepatnya dia tidak akan langsung mengatakan inti dari alasannya kembali ke dapur dan sedikit Bianca merasa bersyukur karena pelayan tadi masih berada di dapur. "Apa Anda masih ingin tahu jawabannya?" Pelayan itu tiba-tiba menoleh ke arah Bianca dengan tatapan yang sulit diartikan. Untung saja Bianca pintar dalam mengekspresikan perasaan serta wajahnya. "Apa saya boleh tahu?" "Tentu, saya akan menceritakannya pada Anda." Bianca tersenyum. Dia bersyukur jika pelayan itu mau terbuka dengannya meskipun Bianca tidak mungkin bertanya secara langsung pada Bryan. Keberanian dari mana jika Bianca memang berani? "Terima kasih." "Sebenarnya saya kurang tahu cerita keseluruhannya. Tapi dari yang saya tahu, Tuan membes
Bryan menatap Bianca dengan tatapan penuh harap. Entah mengapa membiarkan Bianca pergi, membuat Bryan sendiri merasakan hal aneh. Apalagi Bea begitu menyukai Bianca. "Apakah kau bisa tinggal di sini sehari atau dua hari lagi, Bianca? Saya melihat Boo yang begitu bahagia bersamamu serta Boo yang menjadi gadis kecil penurut, membuat saya enggan untuk mengatakan iya ketika kau izin untuk kembali ke rumah," ujar Bryan panjang lebar. "T—tapi bukankah tugas saya sudah selesai, Tuan? Selagi Bea sedang tidur maka saya bisa pulang," sahut Bianca. Namun, Bryan malah menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin membiarkan Bianca untuk pergi. Jika Bea bangun nanti apa yang harus dia katakan? "Boo sudah menganggapmu sebagai Ibunya, Bianca. Tolong bantu saya kali ini saja, kau tahu pasti bagaimana Boo begitu merindukan sosok Ibu dalam hidupnya." Bianca terdiam. Niat awalnya ingin pulang, namun ketika Bryan mengatakan itu membuat Bianca mengurungkan niatnya. Seperti ada perasaan aneh yang dia ras
"Tuan, Bea sudah tidur dengan nyaman dan saya sudah memastikannya," ucap Bianca sambil menundukkan kepalanya. Aura mengintimidasi dari wanita yang sudah cukup berumur di depannya membuat Bianca sangat gugup. "Siapa dia, Bryan?" tanya Ibu Bryan, Eveline. Bryan bingung harus mengenalkan Bianca pada Eveline sebagai siapa di rumah ini. Namun, sepintas ide terlintas di otaknya membuat Bryan tersenyum dalam hati. "Dia adalah baby sitter Boo," jawab Bryan sambil memberikan kode pada Bianca agar menganggukkan kepalanya. "Benar, saya adalah baby sitter di sini," sahut Bianca patuh layaknya sebagai bawahan sungguhan. Eveline jelas tidak langsung percaya begitu saja karena sikap Bianca begitu mencurigakan. Namun, dia hanya bisa menganggukkan kepalanya karena ada Bryan di sana. Bianca sendiri hanya bisa pasrah dengan peran palsunya sebagai baby sitter. "Di mana Bea?" tanya Eveline. "Dia sedang tidur, Ma. Apa perlu aku bangunkan?" jawab Bryan. Eveline menganggukkan kepalanya. Bryan member
Mengingat kejadian di kolam renang tadi, Bianca kembali merasakan sensasi luar biasa. Pikirannya tiba-tiba kembali ke kejadian itu hingga tubuhnya seperti di bawa ikut juga. Sampai ketika ciuman mereka terlepas, beberapa detik setelahnya Bianca masih belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Hingga tiba-tiba Bianca mendengar jika Bryan berdehem menyadarkan dirinya. "M—maafkan saya, Tuan." Ucapan minta maaf pertama kali Bianca katakan. Bryan menggeleng karena laki-laki itu berpikir jika bukan Bianca yang salah melainkan dirinya. "Bukan kau yang salah, Bianca. Tapi saya, jadi saya minta maaf untuk kelancangan saya menciummu." Bukankah mereka saling menikmati dan saling menerima? Bianca berpikir bahwa mereka melakukannya karena suasana yang mendukung. "Kita sama-sama menikmati, Tuan. Saya pikir tidak ada yang salah di sini." "Menikmati?" "Y—ya, menikmati." "Kau menjadi nakal ya sekarang? Apa kita boleh melanjutkannya lagi? Saya rasa yang tadi kurang." Demi Tuhan apa yang dikat
"Tuan, anda baik-baik saja?" Melihat Bryan yang seperti orang kebingungan tentu saja membuat Bianca sendiri iba. "Lupakan saja. Masuklah ke dalam kamar, Bianca. Di sini sangat dingin dan kau akan kedinginan kalau terlalu lama di sini." "Saya baik-baik saja, Tuan." "Masuklah ke dalam, saya tidak menerima penolakan." Bianca pun akhirnya menurut, dari pada dia harus terus berdebat dengan Bryan dan jelas itu tidak akan ada ujungnya. Dengan perlahan Bianca kembali masuk ke dalam diikuti oleh Bryan di belakangnya. Sesekali Bianca melirik ke belakang dan mendapati Bryan berjalan sambil menundukkan kepalanya. "Saya akan membuatkan teh untukmu, jadi tunggulah sebentar," ucap Bryan. "T—tidak usah, Tuan. Saya akan membuatnya sendiri saja," sahut Bianca cepat. Bryan yang baru saja ingin ke luar langsung menghentikan langkahnya. "Kau tahu kan jika saya tidak menerima penolakan, Bianca? Jadi apa yang saya mau, akan saya lakukan." "Baiklah kalau begitu, Tuan." Bianca sudah tidak mau te
"Tuan, anda baik-baik saja?" Melihat Bryan yang seperti orang kebingungan tentu saja membuat Bianca sendiri iba. "Lupakan saja. Masuklah ke dalam kamar, Bianca. Di sini sangat dingin dan kau akan kedinginan kalau terlalu lama di sini." "Saya baik-baik saja, Tuan." "Masuklah ke dalam, saya tidak menerima penolakan." Bianca pun akhirnya menurut, dari pada dia harus terus berdebat dengan Bryan dan jelas itu tidak akan ada ujungnya. Dengan perlahan Bianca kembali masuk ke dalam diikuti oleh Bryan di belakangnya. Sesekali Bianca melirik ke belakang dan mendapati Bryan berjalan sambil menundukkan kepalanya. "Saya akan membuatkan teh untukmu, jadi tunggulah sebentar," ucap Bryan. "T—tidak usah, Tuan. Saya akan membuatnya sendiri saja," sahut Bianca cepat. Bryan yang baru saja ingin ke luar langsung menghentikan langkahnya. "Kau tahu kan jika saya tidak menerima penolakan, Bianca? Jadi apa yang saya mau, akan saya lakukan." "Baiklah kalau begitu, Tuan." Bianca sudah tidak mau te
Mengingat kejadian di kolam renang tadi, Bianca kembali merasakan sensasi luar biasa. Pikirannya tiba-tiba kembali ke kejadian itu hingga tubuhnya seperti di bawa ikut juga. Sampai ketika ciuman mereka terlepas, beberapa detik setelahnya Bianca masih belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Hingga tiba-tiba Bianca mendengar jika Bryan berdehem menyadarkan dirinya. "M—maafkan saya, Tuan." Ucapan minta maaf pertama kali Bianca katakan. Bryan menggeleng karena laki-laki itu berpikir jika bukan Bianca yang salah melainkan dirinya. "Bukan kau yang salah, Bianca. Tapi saya, jadi saya minta maaf untuk kelancangan saya menciummu." Bukankah mereka saling menikmati dan saling menerima? Bianca berpikir bahwa mereka melakukannya karena suasana yang mendukung. "Kita sama-sama menikmati, Tuan. Saya pikir tidak ada yang salah di sini." "Menikmati?" "Y—ya, menikmati." "Kau menjadi nakal ya sekarang? Apa kita boleh melanjutkannya lagi? Saya rasa yang tadi kurang." Demi Tuhan apa yang dikat
"Tuan, Bea sudah tidur dengan nyaman dan saya sudah memastikannya," ucap Bianca sambil menundukkan kepalanya. Aura mengintimidasi dari wanita yang sudah cukup berumur di depannya membuat Bianca sangat gugup. "Siapa dia, Bryan?" tanya Ibu Bryan, Eveline. Bryan bingung harus mengenalkan Bianca pada Eveline sebagai siapa di rumah ini. Namun, sepintas ide terlintas di otaknya membuat Bryan tersenyum dalam hati. "Dia adalah baby sitter Boo," jawab Bryan sambil memberikan kode pada Bianca agar menganggukkan kepalanya. "Benar, saya adalah baby sitter di sini," sahut Bianca patuh layaknya sebagai bawahan sungguhan. Eveline jelas tidak langsung percaya begitu saja karena sikap Bianca begitu mencurigakan. Namun, dia hanya bisa menganggukkan kepalanya karena ada Bryan di sana. Bianca sendiri hanya bisa pasrah dengan peran palsunya sebagai baby sitter. "Di mana Bea?" tanya Eveline. "Dia sedang tidur, Ma. Apa perlu aku bangunkan?" jawab Bryan. Eveline menganggukkan kepalanya. Bryan member
Bryan menatap Bianca dengan tatapan penuh harap. Entah mengapa membiarkan Bianca pergi, membuat Bryan sendiri merasakan hal aneh. Apalagi Bea begitu menyukai Bianca. "Apakah kau bisa tinggal di sini sehari atau dua hari lagi, Bianca? Saya melihat Boo yang begitu bahagia bersamamu serta Boo yang menjadi gadis kecil penurut, membuat saya enggan untuk mengatakan iya ketika kau izin untuk kembali ke rumah," ujar Bryan panjang lebar. "T—tapi bukankah tugas saya sudah selesai, Tuan? Selagi Bea sedang tidur maka saya bisa pulang," sahut Bianca. Namun, Bryan malah menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin membiarkan Bianca untuk pergi. Jika Bea bangun nanti apa yang harus dia katakan? "Boo sudah menganggapmu sebagai Ibunya, Bianca. Tolong bantu saya kali ini saja, kau tahu pasti bagaimana Boo begitu merindukan sosok Ibu dalam hidupnya." Bianca terdiam. Niat awalnya ingin pulang, namun ketika Bryan mengatakan itu membuat Bianca mengurungkan niatnya. Seperti ada perasaan aneh yang dia ras
Bianca bergegas untuk turun ke bawah. Namun sebelum turun dia mengecek kenyamanan Bea agar gadis kecil itu tidak terbangun ketika dia sedang melakukan sesi tanya jawab pada sang pelayan di rumah itu. Sesampainya di dapur, Bianca berpura-pura untuk mengambil minum. Tidak, lebih tepatnya dia tidak akan langsung mengatakan inti dari alasannya kembali ke dapur dan sedikit Bianca merasa bersyukur karena pelayan tadi masih berada di dapur. "Apa Anda masih ingin tahu jawabannya?" Pelayan itu tiba-tiba menoleh ke arah Bianca dengan tatapan yang sulit diartikan. Untung saja Bianca pintar dalam mengekspresikan perasaan serta wajahnya. "Apa saya boleh tahu?" "Tentu, saya akan menceritakannya pada Anda." Bianca tersenyum. Dia bersyukur jika pelayan itu mau terbuka dengannya meskipun Bianca tidak mungkin bertanya secara langsung pada Bryan. Keberanian dari mana jika Bianca memang berani? "Terima kasih." "Sebenarnya saya kurang tahu cerita keseluruhannya. Tapi dari yang saya tahu, Tuan membes
Bianca mencoba untuk terus menenangkan Bea yang sepertinya belum mengikhlaskan kepergian Bryan. Namun, sebisa mungkin dia akan berusaha untuk membuat Bea tenang dan menurut padanya. "Sayang, lebih baik kita main saja bagaimana? Biar Bea tidak sedih lagi," ucap Bianca pada Bea namun gadis kecil itu tetap menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Bianca melihat kepergian Bryan. Dia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan, tapi sekarang yang lebih penting adalah bagaimana caranya membuat Bea tetap tenang. "Boo mau Papa teltap di cini," ujar Bea sambil mengelap air matanya namun tidak kunjung mengering. "Iya, Mama tahu, Sayang. Tapi Bea harus belajar mengikhlaskan, ya? Bea tidak boleh cengeng seperti ini. Bagaimana kalau Bea berhenti menangis? Mama berjanji akan membawa Bea ke pasar malam?" tawar Bianca membuat Bea yang tadinya menunduk langsung mengangkat kepalanya semangat. "Benalkah?" "Benar, Sayang. Tapi Bea harus berhenti menangis dulu." Bea pun menganggukkan kepalanya. Gadis ke
Bea menarik-narik baju bagian bawah milik Bryan. Gadis kecil itu menekuk wajahnya kala ada sesuatu yang dia inginkan namun takut untuk mengatakannya langsung pada Bryan. "Ada apa, Boo?" tanya Bryan langsung menggendong putrinya itu. "Atu boyeh minta tetuatu, Papa?" Bryan mengerutkan keningnya kala Bea memberikan tatapan penuh permohonan. "Tentu saja, apa yang kau inginkan?" Bea melihat ke arah Bianca yang sejak tadi hanya diam. "Apah boyeh Mama titut kita puyang dan tinggay tengan kita?" Bianca dan Bryan yang mendengar itu sontak terdiam. Ttapan mereka bertemu membuat suasana sedikit canggung. Bryan menghembuskan napasnya lalu mengangguk. Dia tidak bisa menolak keinginan Bea karena jelas Bryan sangat menyayangi putrinya. "Baiklah. Sekarang kita pulang ya?" Bea mengangguk dengan senang. Dia lalu meminta Bryan untuk menurunkannya karena Bea lebih memilih untuk berjalan kaki dengan Bianca yang menggandeng tangannya. Mereka pun akhirnya kembali ke rumah dengan Bianca yang sese
"Tidak, tidak, kau salah paham. Bukan dia!" sahut Bianca cepat. Dia segera bangun dan berdiri di samping Papa Bea seraya menatap Maxim serius. "Kukira dia, jika dia, aku pasti sudah melampiaskan kekesalanku," gumam Maxim berdecak. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu mendekati Bryan dan menepuk pundak lelaki itu dua kali. "Hati-hati, Bro, jangan sampai terpesona pada pemilik toko kue ini. Dia sudah punya calon suami. Jika kau nekat, kau bisa patah hati sepertiku," imbuhnya berpura-pura sedih, lalu berpaling pergi dari sana. Bianca hanya meringis mendengar ucapan Maxim, dan dia memaksakan senyumnya saat Papa Bea itu menatapnya lekat. "Bu, ini siapa? Ganteng amat," bisik Mary yang tiba-tiba ada di dekatnya, merangkul tangannya erat dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Bianca diam, tampak bingung menjelaskan. "Apa beneran dia bukan calon suami Ibu? Jika bukan, bolehkan saya berkenalan dengannya?" bisik Mary lagi sambil terkekeh pelan. "Mary, jangan seperti itu. Ayo yang sopan
"Mama, tolong." Suara teriakan anak kecil itu seketika membuat Bianca menoleh. Bianca yang sedang menyibukkan diri membuat resep baru segera bangun dengan tergesa untuk mendatangi anak kecil yang sedang terjatuh itu. Namun, dia kalah cepat. Seorang wanita muda tiba-tiba datang menolong anak kecil tadi, menggendongnya lalu menenangkannya. Tubuh Bianca seketika kaku. Dalam hatinya bertanya-tanya, apa yang sedang dia lakukan saat ini? Tadi saat mendengar anak kecil menangis, dia mengira itu adalah suara Bea yang meminta tolong. ‘Ada apa dengannya? Kenapa dia selalu memikirkan tentang Bea selama ini?’ Seminggu telah berlalu sejak pertemuan pertama Bianca dan juga Bea. Seminggu sudah mereka berpisah dan tak pernah lagi bertemu. Tetapi, entah kenapa Bianca merasa rindu pada bocah perempuan kecil tersebut. Terlebih lagi, bayangan sosok Papa Bea selalu menghantui benaknya setiap malam. Wanita itu menghela napas panjang, menggelengkan kepala cepat berusaha sadar dalam angan-angan. Bian