"Boo, ayo tidur, ini sudah malam."
Seruan tegas penuh perintah tiba-tiba mengalihkan Bea dan Bianca yang sedang bermain ular tangga di ruangan khusus bermain. Bianca segera duduk tegak, dan lagi-lagi dia menjadi gugup saat harus berhadapan dengan Papa Bea. Tadi, saat pertemuan pertama mereka, keduanya hanya berbincang sebentar sebelum akhirnya Papa Bea menerima telepon dan meninggalkan mereka. Bea yang masih ingin bersama dirinya, memaksanya untuk ikut bermain. Bianca sudah menolak halus, bagaimana pun dia harus pulang untuk melihat tokonya lagi. Tetapi, lagi-lagi Bea menangis dan merengek padanya yang membuat Bianca kalah telak. Untung saja selama beberapa jam terakhir ini, Papa Bea tak ikut bermain. Mau bagaimana pun, Bianca merasa tak nyaman. Karena Papa Bea telah membuat jantungnya berdegup kencang dengan liar sore tadi. Tapi kini, lelaki itu kembali muncul di hadapannya. Dan lagi-lagi, Bianca tak bisa mengontrol detak jantungnya. Cepat-cepat dia mengalihkan pandang, dan berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Boo," panggil Papa Boo lagi, kini ikut berjongkok di hadapan sang anak. Bianca mati-matian tak menoleh, memilih untuk menunduk. "No, Papa, ini beyum malam. Tuh iat, macih jam tujuh," tolak Bea menggeleng, menyibukkan diri dengan permainannya. "Tapi pengawal bilang tadi siang Boo tidak tidur," tutur Papa Bea lembut, kembali membujuk. "Tidur, yuk, kita bisa main lagi besok." Boo cemberut, ingin sekali dia menolak. Tapi saat melihat Papanya menatap lekat penuh ketegasan, dia tak berani membantah. "Boo mau tidul kalau ditemani sama Mama dan Papa." Papa Bea menepuk dahinya frustasi. "Boo sayang, Tante ini bukan Mamamu, Nak. Boo tidur sama Papa saja, yuk." "Gak mau, Boo amu cama Mama cama Papa." Bea merajuk, cemberut dengan kedua tangan saling melipat di dada. "Tapi setelah itu Boo janji akan tidur, ya," bujuk Papa Bea lagi. Bianca yang mendengar itu melotot, bagaimana bisa Papa Bea menyetujui hal tersebut. Dia ingin membantah, tapi Bea sudah menarik tangannya. Raut wajah bahagia bocah tersebut, membuat hati Bianca meringis karena tak mampu menolak. Dia benar-benar tak ingin membuat bocah itu merasa sedih. Akhirnya, Bianca hanya bisa menurut saat Bea mengajaknya ke kamar. Bocah itu mapan, menarik Bianca untuk berbaring di sisi satunya. Dan tak lama, Bianca melihat Papa Bea ikut menyusul sambil membawa buku bacaan dongeng. "Mama peyuk Boo." Bianca memaksakan senyum, saat menuruti permintaan konyol Bea. Dan saat dia mendongak, tak sengaja matanya bertatapan dengan mata Papa Bea. Dia terdiam memandangi lelaki itu beberapa saat, sampai Papa Bea berdehem membuang wajah. "Pada suatu hari …" Papa Bea begitu pengertian, membacakan dongeng untuk anaknya dengan telaten. Bianca tetap diam menyimak, sambil mengusap-usap kepala Bea dengan lembut. Entah apa yang terjadi, Bianca juga ikut mengantuk. Tak henti-hentinya dia menguap beberapa kali. "Bianca." Sampai sebuah suara memanggilnya, membuatnya terkejut. Bianca membuka matanya tergesa, dan bisa melihat Papa Boo sedang tersenyum padanya. "Ya?" sahutnya menjawab. "Ayo keluar, Boo sudah tidur," ajak ayah Bea. Bianca menunduk, dan dia baru sadar ternyata bocah kecil itu sudah memejamkan mata pulas. Pelan-pelan, dia melepaskan pelukan, lalu bangun dari ranjang. Bianca benar-benar merasa malu, karena tak sengaja ikut tertidur saat dibacakan dongeng oleh Papa Bea. "Kumpulkan nyawamu terlebih dulu, sebelum bersiap untuk jalan," perintah Papa Bea terkekeh kecil. "I-iya, Tuan." Bianca hanya bisa mengangguk, sambil meremas kedua tangannya, malu. Akhirnya setelah Bianca sepenuhnya sadar, Papa Bea mengajaknya keluar. Dia hanya bisa menurut, saat lelaki itu membawanya turun ke ruang makan. "Makanlah, aku tahu kau tadi tidak sempat makan karena terus-terusan menemani Boo," kata Papa Bea, menarik kursi dan meminta Bianca untuk duduk. Bianca menurut dengan baik. Tak sedikit pun dia membantah, karena bagaimana pun dia memang merasakan perutnya lapar saat ini. Melihat banyaknya makanan yang tersaji di meja, dia ingin cepat-cepat melihatnya."Terima kasih, Tuan," kata Bianca tersenyum tipis menatap Papa Bea. Bryan mengangguk, dan ikut duduk di hadapan Bianca dan menemani wanita itu makan. Tak ada yang bersuara setelah itu, hanya ada suara sendok dan garpu yang berdenting ketika menyentuh piring. Keduanya sama-sama menikmati makan dalam diam. Entah karena makanannya terasa nikmat, atau malah karena canggung tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. "Aku sudah kenyang." Hampir setengah jam, akhirnya Bianca menyelesaikan makannya. Dia yang gugup ditemani Bryan, hanya memakan makanannya sedikit. Wanita itu memilih untuk mengakhiri semuanya, sambil mengusap mulutnya dengan serbet putih yang tersedia di depannya. "Kau hanya makan sedikit, bagaimana bisa dianggap kenyang?" tanya Bryan, mengangkat sebelah alisnya menatap Bianca heran. "Begitulah kenyataannya," jawab Bianca seenaknya. Bryan mengangguk-anggukan kepala. Lalu menyelesaikan suapan terakhirnya, sebelum meraih gelas air di depannya. Tepat setelah dia meneguk hampir setengah isinya, dia menatap Bianca dan bertanya, "Jadi, apa rencanamu selanjutnya?" "Tentu saja aku ingin pulang. Lagi pula, Bea sudah tertidur sekarang, dia tak akan menahanku lagi. Kemungkinan besok juga dia akan melupakanku," kata Bianca terus terang. "Jadi, kau berniat tidak berurusan lagi dengan anakku?" tanya Bryan dengan suara rendah sepertinya mengintimidasi.Hal ini membuat Bianca menjadi gugup. Dia menarik napasnya dalam-dalam sebelum menjawab, "Bukan begitu maksudku, Tuan. Hanya saja … kau tahu sendiri, putrimu itu selalu memanggilku Mama. Jujur, aku merasa tertekan, dan aku juga merasa bersalah. Bagaimana jika nantinya Ibu kandung Bea, atau istrimu tersinggung dengan hal ini? Aku benar-benar tidak ingin membuat masalah baru.""Baiklah, kalau begitu aku akan mengantarmu pulang." Bianca mengira, Bryan akan marah. Tapi ternyata lelaki itu berbicara lembut padanya. Padahal, tadi Bianca bisa melihat jelas jika lelaki itu menatapnya tajam setelah berbicara seperti itu. Hati Bianca merasa heran, dan ingin sekali mempertanyakan. Namun, logika Bianca meminta berhenti karena tak ingin mencampuri urusan orang lain. Akhirnya, setelah menyetujuinya, kini Bianca diajak Bryan menuju halaman rumah di mana mobil terparkir. Lelaki itu cukup sopan untuk membukakan pintu untuknya sebelum masuk. Selama perjalanan itu, suasana mobil benar-benar begitu sunyi. Bianca merasa canggung, ingin sekali dia mengajak Bryan mengobrol, tapi dia takut jika lelaki itu tak akan menanggapi. Hal ini akhirnya membuatnya memilih menyandarkan tubuh sambil memandangi jalanan yang begitu kerlap-kerlip di malam hari. "Jadi, yang mana rumahmu?" Pertanyaan Bryan membuat Bianca tersadar, saking sibuknya dengan lamunanya sendiri, dia sampai tak tahu jika mobil yang ditumpangi telah masuk di kawasan perumahannya. Wanita itu mengatur duduknya kembali tegas, lalu memperhatikan sekitar. "Itu, gerbang warna hitam kanan jalan," tunjuknya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke depan pada Bryan. Bryan mengangguk, dan setelahnya tak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibirnya. Dia terus melajukan mobilnya pelan, sampai akhirnya tiba di rumah yang ditunjuk Bianca tadi. Setelahnya, dia membantu wanita itu untuk keluar mobil. "Terima kasih, Tuan," kata Bianca tersenyum manis, berusaha bersikap sopan karena telah diantarkan pulang. "Kalau begitu aku pulang dulu," ujar Bryan, berpamitan. Bianca mengangguk. "Hati-hati," ucapnya pelan, sambil terus memandangi Bryan masuk ke dalam mobil. Bahkan saat mobil itu mulai melaju meninggalkan rumahnya, Bianca terus saja mengamati. Entah kenapa, ada perasaan tak rela dalam hatinya saat melihat kepergian Bryan. Dan dia merasa jika dirinya telah gila, karena mengharapkan Bryan selalu ada di sisinya. ***"Mama, tolong." Suara teriakan anak kecil itu, seketika membuat Bianca menoleh. Dia yang sedang menyibukkan diri membuat resep baru, segera bangun dengan tergesa untuk mendatangi anak kecil yang sedang terjatuh itu. Namun, dia kalah cepat. Seorang wanita muda tiba-tiba datang menolong anak kecil tadi, menggendongnya lalu menenangkannya. Hal ini membuat tubuh Bianca kaku, dalam hatinya bertanya-tanya, apa yang sedang dia lakukan saat ini? Tadi saat mendengar anak kecil menangis, dia mengira itu adalah suara Bea yang meminta tolong. ‘Ada apa dengannya? Kenapa dia selalu memikirkan tentang Bea selama ini?’Seminggu telah berlalu, sejak pertemuan pertama Bianca dan juga Bea. Seminggu sudah mereka berpisah, dan tak pernah lagi bertemu. Tetapi, entah kenapa Bianca merasa rindu pada bocah perempuan kecil tersebut. Terlebih lagi, bayangan sosok Papa Bea selalu menghantui benaknya setiap malam. Wanita itu menghela napas panjang, menggelengkan kepala cepat berusaha sadar dalam angan-angan.
"Tidak, tidak, kau salah paham. Bukan dia!" sahut Bianca cepat, dia segera bangun, dan berdiri di samping Papa Bea seraya menatap Maxim serius. "Kukira dia, jika dia, aku pasti sudah melampiaskan kekesalanku," gumam Maxim berdecak. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu mendekati Bryan dan menepuk pundak lelaki itu dua kali. "Hati-hati, Bro, jangan sampai terpesona pada pemilik toko kue ini. Dia sudah punya calon suami. Jika kau nekat, kau bisa patah hati sepertiku," imbuhnya berpura-pura sedih, lalu berpaling pergi dari sana. Bianca hanya meringis mendengar ucapan Maxim, dan dia memaksakan senyumnya saat Papa Bea itu menatapnya lekat. "Bu, ini siapa? Ganteng amat," bisik Mary yang tiba-tiba ada di dekatnya, merangkul tangannya erat. Bianca tampak bingung menjelaskan. "Apa beneran dia bukan calon suami Ibu? Jika beneran, bolehkan saya berkenalan dengannya?" bisik Mary lagi sambil terkekeh pelan. "Mary, jangan seperti itu. Ayo yang sopan, dia kenalanku. Lagi pula, bukankah kamu
Bea menarik-narik baju bawah milik Bryan. Gadis kecil itu menekuk wajahnya kala ada sesuatu yang dia inginkan namun takut-takut untuk mengatakannya langsung pada Bryan. "Ada apa, Boo?" tanya Bryan langsung menggendong putrinya itu."Atu boyeh minta tetuatu, Papa?" Bryan mengerutkan keningnya kala Bea memberikan tatapan penuh permohonan."Tentu saja, apa yang kau inginkan?" Bea melihat ke arah Bianca yang sejak tadi hanya diam. "Apah boyeh Mama titut kita puyang dan tinggay tengan kita?" Bianca dan Bryan yang mendengar itu sontak saling terdiam, tatapan mereka bertemu membuat suasana sedikit canggung. Bryan menghembuskan napasnya lalu mengangguk, dia tidak bisa menolak keinginan Bea karena jelas Bryan sangat menyayangi putrinya."Baiklah, sekarang kita pulang ya?" Bea mengangguk dengan senang. Dia lalu meminta Bryan untuk menurunkannya karena Bea lebih memilih untuk berjalan kaki dengan Bianca yang menggandeng tangannya.Mereka pun akhirnya kembali ke rumah dengan Bianca yang sesekal
Bianca mencoba untuk terus menenangkan Bea yang sepertinya belum mengikhlaskan kepergian Bryan. Namun, sebisa mungkin dia akan berusaha untuk membuat Bea tenang dan menurut padanya."Sayang, lebih baik kita main saja bagaimana? Biar Bea tidak sedih lagi," ucap Bianca pada Bea namun gadis kecil itu tetap menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Bianca melihat kepergian Bryan. Dia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan, tapi sekarang yang lebih penting adalah bagaimana caranya membuat Bea tetap tenang. "Boo mau Papa teltap di cini," ujar Bea sambil mengelap air matanya namun air matanya yang tidak kunjung mengering."Iya, Mama tahu, Sayang. Tapi Bea harus belajar mengikhlaskan, ya? Bea tidak boleh cengeng seperti ini, bagaimana kalau Bea berhenti menangis dan Mama berjanji akan membawa Bea ke pasar malam?" tawar Bianca membuat Bea yang tadinya menunduk langsung mengangkat kepalanya semangat."Benalkah?" "Benar, Sayang. Tapi Bea harus berhenti menangis dulu." Bea pun menganggukkan kep
Bianca bergegas untuk turun ke bawah. Namun sebelum turun dia mengecek kenyamanan Bea agar gadis kecil itu tidak terbangun ketika dia sedang melakukan sesi tanya jawab pada sang pelayan di rumah itu.Sesampainya di dapur, Bianca berpura-pura untuk mengambil minum. Tidak, atau lebih tepatnya dia tidak akan langsung mengatakan inti dari alasannya kembali ke dapur dan sedikit Bianca merasa bersyukur karena pelayan tadi masih berada di dapur."Apa Anda masih ingin tahu jawabannya?" Pelayan itu tiba-tiba menoleh ke arah Bianca dengan tatapan yang sulit diartikan. Untung saja Bianca pintar dalam mengekspresikan perasaan serta wajahnya."Apa saya boleh tahu?" "Tentu, saya akan menceritakannya pada Anda." Bianca tersenyum, dia bersyukur jika pelayan itu mau terbuka dengannya meskipun Bianca tidak mungkin bertanya secara langsung pada Bryan. Keberanian dari mana jika Bianca memang berani?"Terima kasih.""Sebenarnya saya kurang tahu cerita ke seluruhnya. Tapi dari yang saya tahu, Tuan membesa
Bryan menatap Bianca dengan tatapan penuh harap. Entah mengapa membiarkan Bianca pergi, membuat Bryan sendiri merasakan perasaan aneh. Apalagi Bea begitu menyukai Bianca."Apakah kau bisa tinggal di sini sehari atau dua hari lagi, Bianca? Saya melihat Boo yang begitu bahagia bersamamu, dan juga Boo yang menjadi gadis kecil penurut, membuat saya enggan untuk mengatakan iya ketika kau izin untuk kembali ke rumah," ujar Bryan panjang lebar."T—tapi bukankah tugas saya sudah selesai, Tuan? Selagi Bea sedang tidur maka saya bisa pulang," sahut Bianca.Namun, Bryan malah menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin membiarkan Bianca untuk pergi. Jika Bea bangun nanti apa yang harus dia katakan?"Boo sudah menganggapmu sebagai Ibunya, Bianca. Tolong bantu saya kali ini saja, kau tahu pasti bagaimana Boo begitu merindukan sosok ibu dalam hidupnya." Bianca terdiam, niat awalnya ingin pulang namun ketika Bryan mengatakan itu membuat Bianca mengurungkan niatnya. Seperti ada perasaan aneh yang dia
"Tuan, Bea sudah tidur dengan nyaman dan saya sudah memastikannya," ucap Bianca sambil menundukkan kepalanya. Aura mengintimidasi dari wanita yang sudah cukup berumur di depannya membuat Bianca sangat gugup."Siapa dia, Bryan?" tanya ibu Bryan, Eveline. Bryan bingung harus mengenalkan Bianca pada Eveline sebagai siapa di rumah ini. Namun, sepintas ide terlintas di otaknya membuat Bryan tersenyum dalam hati."Dia adalah baby sitter Boo," jawab Bryan sambil memberikan kode pada Bianca agar menganggukkan kepalanya."Benar, saya adalah baby sitter di sini," sahut Bianca patuh layaknya sebagai bawahan sungguhan.Eveline jelas tidak langsung percaya begitu saja karena sikap Bianca begitu mencurigakan. Namun, dia hanya bisa menganggukkan kepalanya sedikit percaya. Bianca sendiri hanya bisa pasrah dengan peran palsunya sebagai baby sitter."Di mana Bea?" tanya Eveline."Dia sedang tidur, Ma. Apa perlu aku bangunkan?" jawab Bryan. Eveline menganggukkan kepalanya, Bryan memberikan Bianca seka
Mengingat kejadian di kolam renang tadi, Bianca kembali merasakan sensasi luar biasa. Pikirannya tiba-tiba kembali ke kejadian itu hingga tubuhnya seperti di bawa ikut juga.Sampai ketika ciuman mereka terlepas, beberapa detik setelahnya Bianca masih belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Hingga tiba-tiba Bianca mendengar jika Bryan berdehem menyadarkan dirinya."M—maafkan saya, Tuan." Ucapan minta maaf pertama kali Bianca katakan. Bryan menggeleng karena laki-laki itu berpikir jika bukan Bianca yang salah melainkan dirinya."Bukan kau yang salah, Bianca. Tapi saya, jadi saya minta maaf untuk kelancangan saya menciummu." Bukankah mereka saling menikmati dan saling menerima? Bianca berpikir bahwa mereka melakukannya karena suasana yang mendukung. "Kita sama-sama menikmati, Tuan. Saya pikir tidak ada yang salah di sini.""Menikmati?" "Y—ya, menikmati.""Kau menjadi nakal ya sekarang? Apa kita boleh melanjutkannya lagi? Saya rasa yang tadi kurang." Demi Tuhan apa yang dikatakan B
"Tuan, anda baik-baik saja?" Melihat Bryan yang seperti orang kebingungan membuat Bianca sendiri iba."Lupakan saja, masuklah ke dalan kamar, Bianca. Di sini sangat dingin dan kau akan kedinginan kalau terlalu lama di sini." "Saya baik-baik saja, Tuan." "Masuklah ke dalam, saya tidak menerima penolakan." Bianca pun akhirnya menurut, daripada dia harus terus berdebat dengan Bryan dan jelas itu tidak akan ada ujungnya.Dengan perlahan Bianca kembali masuk ke dalam diikuti oleh Bryan di belakangnya. Sesekali Bianca melirik ke belakang dan mendapati Bryan berjalan sambil menundukkan kepalanya."Saya akan membuatkan teh untukmu, jadi tunggulah sebentar," ucap Bryan."T—tidak usah, Tuan. Saya akan membuatnya sendiri saja," sahut Bianca cepat. Bryan yang baru saja ingin ke luar langsung menghentikan langkahnya. "Kau tahu kan jika saya tidak menerima penolakan, Bianca? Jadi apa yang saya mau akan saya lakukan.""Baiklah kalau begitu, Tuan." Bianca sudah tidak mau terus membantah apa yang
Mengingat kejadian di kolam renang tadi, Bianca kembali merasakan sensasi luar biasa. Pikirannya tiba-tiba kembali ke kejadian itu hingga tubuhnya seperti di bawa ikut juga.Sampai ketika ciuman mereka terlepas, beberapa detik setelahnya Bianca masih belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Hingga tiba-tiba Bianca mendengar jika Bryan berdehem menyadarkan dirinya."M—maafkan saya, Tuan." Ucapan minta maaf pertama kali Bianca katakan. Bryan menggeleng karena laki-laki itu berpikir jika bukan Bianca yang salah melainkan dirinya."Bukan kau yang salah, Bianca. Tapi saya, jadi saya minta maaf untuk kelancangan saya menciummu." Bukankah mereka saling menikmati dan saling menerima? Bianca berpikir bahwa mereka melakukannya karena suasana yang mendukung. "Kita sama-sama menikmati, Tuan. Saya pikir tidak ada yang salah di sini.""Menikmati?" "Y—ya, menikmati.""Kau menjadi nakal ya sekarang? Apa kita boleh melanjutkannya lagi? Saya rasa yang tadi kurang." Demi Tuhan apa yang dikatakan B
"Tuan, Bea sudah tidur dengan nyaman dan saya sudah memastikannya," ucap Bianca sambil menundukkan kepalanya. Aura mengintimidasi dari wanita yang sudah cukup berumur di depannya membuat Bianca sangat gugup."Siapa dia, Bryan?" tanya ibu Bryan, Eveline. Bryan bingung harus mengenalkan Bianca pada Eveline sebagai siapa di rumah ini. Namun, sepintas ide terlintas di otaknya membuat Bryan tersenyum dalam hati."Dia adalah baby sitter Boo," jawab Bryan sambil memberikan kode pada Bianca agar menganggukkan kepalanya."Benar, saya adalah baby sitter di sini," sahut Bianca patuh layaknya sebagai bawahan sungguhan.Eveline jelas tidak langsung percaya begitu saja karena sikap Bianca begitu mencurigakan. Namun, dia hanya bisa menganggukkan kepalanya sedikit percaya. Bianca sendiri hanya bisa pasrah dengan peran palsunya sebagai baby sitter."Di mana Bea?" tanya Eveline."Dia sedang tidur, Ma. Apa perlu aku bangunkan?" jawab Bryan. Eveline menganggukkan kepalanya, Bryan memberikan Bianca seka
Bryan menatap Bianca dengan tatapan penuh harap. Entah mengapa membiarkan Bianca pergi, membuat Bryan sendiri merasakan perasaan aneh. Apalagi Bea begitu menyukai Bianca."Apakah kau bisa tinggal di sini sehari atau dua hari lagi, Bianca? Saya melihat Boo yang begitu bahagia bersamamu, dan juga Boo yang menjadi gadis kecil penurut, membuat saya enggan untuk mengatakan iya ketika kau izin untuk kembali ke rumah," ujar Bryan panjang lebar."T—tapi bukankah tugas saya sudah selesai, Tuan? Selagi Bea sedang tidur maka saya bisa pulang," sahut Bianca.Namun, Bryan malah menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin membiarkan Bianca untuk pergi. Jika Bea bangun nanti apa yang harus dia katakan?"Boo sudah menganggapmu sebagai Ibunya, Bianca. Tolong bantu saya kali ini saja, kau tahu pasti bagaimana Boo begitu merindukan sosok ibu dalam hidupnya." Bianca terdiam, niat awalnya ingin pulang namun ketika Bryan mengatakan itu membuat Bianca mengurungkan niatnya. Seperti ada perasaan aneh yang dia
Bianca bergegas untuk turun ke bawah. Namun sebelum turun dia mengecek kenyamanan Bea agar gadis kecil itu tidak terbangun ketika dia sedang melakukan sesi tanya jawab pada sang pelayan di rumah itu.Sesampainya di dapur, Bianca berpura-pura untuk mengambil minum. Tidak, atau lebih tepatnya dia tidak akan langsung mengatakan inti dari alasannya kembali ke dapur dan sedikit Bianca merasa bersyukur karena pelayan tadi masih berada di dapur."Apa Anda masih ingin tahu jawabannya?" Pelayan itu tiba-tiba menoleh ke arah Bianca dengan tatapan yang sulit diartikan. Untung saja Bianca pintar dalam mengekspresikan perasaan serta wajahnya."Apa saya boleh tahu?" "Tentu, saya akan menceritakannya pada Anda." Bianca tersenyum, dia bersyukur jika pelayan itu mau terbuka dengannya meskipun Bianca tidak mungkin bertanya secara langsung pada Bryan. Keberanian dari mana jika Bianca memang berani?"Terima kasih.""Sebenarnya saya kurang tahu cerita ke seluruhnya. Tapi dari yang saya tahu, Tuan membesa
Bianca mencoba untuk terus menenangkan Bea yang sepertinya belum mengikhlaskan kepergian Bryan. Namun, sebisa mungkin dia akan berusaha untuk membuat Bea tenang dan menurut padanya."Sayang, lebih baik kita main saja bagaimana? Biar Bea tidak sedih lagi," ucap Bianca pada Bea namun gadis kecil itu tetap menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Bianca melihat kepergian Bryan. Dia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan, tapi sekarang yang lebih penting adalah bagaimana caranya membuat Bea tetap tenang. "Boo mau Papa teltap di cini," ujar Bea sambil mengelap air matanya namun air matanya yang tidak kunjung mengering."Iya, Mama tahu, Sayang. Tapi Bea harus belajar mengikhlaskan, ya? Bea tidak boleh cengeng seperti ini, bagaimana kalau Bea berhenti menangis dan Mama berjanji akan membawa Bea ke pasar malam?" tawar Bianca membuat Bea yang tadinya menunduk langsung mengangkat kepalanya semangat."Benalkah?" "Benar, Sayang. Tapi Bea harus berhenti menangis dulu." Bea pun menganggukkan kep
Bea menarik-narik baju bawah milik Bryan. Gadis kecil itu menekuk wajahnya kala ada sesuatu yang dia inginkan namun takut-takut untuk mengatakannya langsung pada Bryan. "Ada apa, Boo?" tanya Bryan langsung menggendong putrinya itu."Atu boyeh minta tetuatu, Papa?" Bryan mengerutkan keningnya kala Bea memberikan tatapan penuh permohonan."Tentu saja, apa yang kau inginkan?" Bea melihat ke arah Bianca yang sejak tadi hanya diam. "Apah boyeh Mama titut kita puyang dan tinggay tengan kita?" Bianca dan Bryan yang mendengar itu sontak saling terdiam, tatapan mereka bertemu membuat suasana sedikit canggung. Bryan menghembuskan napasnya lalu mengangguk, dia tidak bisa menolak keinginan Bea karena jelas Bryan sangat menyayangi putrinya."Baiklah, sekarang kita pulang ya?" Bea mengangguk dengan senang. Dia lalu meminta Bryan untuk menurunkannya karena Bea lebih memilih untuk berjalan kaki dengan Bianca yang menggandeng tangannya.Mereka pun akhirnya kembali ke rumah dengan Bianca yang sesekal
"Tidak, tidak, kau salah paham. Bukan dia!" sahut Bianca cepat, dia segera bangun, dan berdiri di samping Papa Bea seraya menatap Maxim serius. "Kukira dia, jika dia, aku pasti sudah melampiaskan kekesalanku," gumam Maxim berdecak. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu mendekati Bryan dan menepuk pundak lelaki itu dua kali. "Hati-hati, Bro, jangan sampai terpesona pada pemilik toko kue ini. Dia sudah punya calon suami. Jika kau nekat, kau bisa patah hati sepertiku," imbuhnya berpura-pura sedih, lalu berpaling pergi dari sana. Bianca hanya meringis mendengar ucapan Maxim, dan dia memaksakan senyumnya saat Papa Bea itu menatapnya lekat. "Bu, ini siapa? Ganteng amat," bisik Mary yang tiba-tiba ada di dekatnya, merangkul tangannya erat. Bianca tampak bingung menjelaskan. "Apa beneran dia bukan calon suami Ibu? Jika beneran, bolehkan saya berkenalan dengannya?" bisik Mary lagi sambil terkekeh pelan. "Mary, jangan seperti itu. Ayo yang sopan, dia kenalanku. Lagi pula, bukankah kamu
"Mama, tolong." Suara teriakan anak kecil itu, seketika membuat Bianca menoleh. Dia yang sedang menyibukkan diri membuat resep baru, segera bangun dengan tergesa untuk mendatangi anak kecil yang sedang terjatuh itu. Namun, dia kalah cepat. Seorang wanita muda tiba-tiba datang menolong anak kecil tadi, menggendongnya lalu menenangkannya. Hal ini membuat tubuh Bianca kaku, dalam hatinya bertanya-tanya, apa yang sedang dia lakukan saat ini? Tadi saat mendengar anak kecil menangis, dia mengira itu adalah suara Bea yang meminta tolong. ‘Ada apa dengannya? Kenapa dia selalu memikirkan tentang Bea selama ini?’Seminggu telah berlalu, sejak pertemuan pertama Bianca dan juga Bea. Seminggu sudah mereka berpisah, dan tak pernah lagi bertemu. Tetapi, entah kenapa Bianca merasa rindu pada bocah perempuan kecil tersebut. Terlebih lagi, bayangan sosok Papa Bea selalu menghantui benaknya setiap malam. Wanita itu menghela napas panjang, menggelengkan kepala cepat berusaha sadar dalam angan-angan.