"Siapa kalian? Kalian mau apa?" teriak Bianca, yang langsung memposisikan diri di depan Bea untuk melindungi bocah itu.
Dia begitu takut, jika para lelaki itu adalah komplotan penculik yang ingin menculik anak kecil. Mau bagaimana pun, Bianca tidak tahu siapa dan bagaimana bentuk orang tua Bea. Dia hanya ingin melindungi bocah itu, sampai seseorang yang benar-benar bisa membuktikan jika mereka memang orang tua Bea, datang menjemput."Maaf, Nona, kami hanya ingin mengajak Nona kecil kami untuk pulang," jawab seorang lelaki yang terlihat seperti pemimpin kelompok, berbicara begitu sopan dengan Bianca. Dahi Bianca berkerut dalam, masih merasa curiga dan tak mempercayai mereka. "Memangnya siapa Nona kecil kalian?" tanya Bianca ketus. Lelaki yang berdiri di hadapan Bianca itu tak menjawab, hanya mengangkat dagu untuk menunjuk bocah yang ada di belakang Bianca. Tak mendengar jawaban, membuat tatapan Bianca memicing. "Siapa nama Nona kecil kalian?" tanyanya lagi. "Bealize Caethleen Stefanna." Lelaki itu menjawab tegas, penuh percaya diri. Hal ini membuat Bianca menoleh, melihat Bea terlihat murung, membuat Bianca menjadi heran. Wanita itu menarik Bea ke sudut ruangan, dan hal ini membuat orang-orang berpakaian rapi itu mengikuti. "Berhenti, jangan mendekat. Aku perlu bicara dengan bocah ini!" bentak Bianca menatap para lelaki itu dengan tajam. Menganggap jika mereka semua mengerti, Bianca melanjutkan niatnya. Dia membawa Bea ke meja paling ujung, mendudukkan bocah itu lalu dirinya berjongkok menyamai tinggi. "Bea sayang," panggilnya lembut. "Apa yang diucapkan lelaki itu benar jika itu nama lengkapmu?" tanyanya lembut. Bea mengangguk kecil, tapi dengan bibir berkerut. "Meleka bukan olang jahat, Mama. Meleka olang suluhan Papa untuk menjaga Bea." Bianca memejamkan mata sesaat, saat Bea masih saja memanggilnya Mama. Hal ini membuat menghela napas panjang begitu frustasi. Mendengar penuturan Bea, membuat Bianca menoleh dan menatap para lelaki yang terlihat dingin itu. Matanya memicing, masih tak mempercayainya. Maka dari itu, dia berdiri dan mendekati mereka. "Apa buktinya jika bocah itu adalah Nona kecil kalian?" tanya Bianca tetap ketus. Lelaki yang berbicara dengan Bianca tadi, mengeluarkan telepon. Lalu menunjukkan foto-foto Bea. Bianca mengerucutkan bibir, sepertinya dia harus pasrah dan percaya menerima jika mereka memang mengenal Bea. "Kami ingin mengajak Nona kecil pulang, karena Tuan muda sudah menunggunya di rumah," kata lelaki itu tegas pada Bianca. Lalu melirik ke belakang, seolah memberikan kode pada teman-temannya. Setelah itu, Bianca bisa melihat jika orang-orang tadi mendekati Bea, lalu menggendong paksa Bea. Bea tentu saja berontak, bocah kecil itu berteriak kencang berusaha melepaskan diri. Bahkan bocah kecil itu tak segan menggigit penjaganya, yang membuat penjaga itu kesakitan dan melepaskan dirinya. Bea langsung melarikan diri ke arah Bianca, dan memeluk kaki Bianca erat. "Boo didak amu puyang!" teriak Bea kencang. "Anda harus pulang, Nona Kecil. Papa Anda baru saja kembali dari luar kota, dan beliau sudah menunggu Anda di rumah," kata lelaki pemimpin kelompok, membujuk Bea. Bea terlihat cemberut, dan matanya kembali berair. Bianca yang melihat ini merasa tidak tega, lalu menggendong bocah kecil itu penuh sayang. "Bea pulang dulu, ya. Papamu pasti sedang merindukan dan mengkhawatirkan mu, Nak." Bea menggeleng lemah. "Boo nggak amu." "Bea, kan akan pintar. Gak boleh begitu, ya," kata Bianca dengan lembut. Bea menunduk dengan sedih, lalu menatap para pengawalnya dengan mata berair. "Boo amu puyang, kalau Mama Boo ikut." Mata Bianca melotot mendengar hal tersebut. Dia baru saja ingin memberi nasihat lagi untuk Bea, ketika lelaki di dekatnya mengulurkan sebuah telepon padanya. Dengan ragu, Bianca menerimanya. Lalu menempelkan benda tersebut ke telinganya."Aku sudah mendengar semuanya. Bisakah kau ikut sebentar agar Boo mau pulang?" Itu bukan seperti sebuah pertanyaan, melainkan sebuah permintaan tegas yang tidak membutuhkan penolakan. Bianca merasa bingung, dari mana orang yang menelpon itu bisa tahu. Dan jawabannya, ternyata semua lelaki di sana memakai earphone yang bisa tersambung ke seseorang yang menelponnya barusan. Bianca menghela napas panjang, ingin menjawab untuk menolak. Namun, ketika matanya berpapasan dengan mata Bea, dia tidak tega melihat bocah itu menjadi sedih. "Baiklah." Maka dari itu, dia menyanggupi permintaan orang yang berbicaranya di telepon tersebut. Setelah hal kecil itu terselesaikan, Bianca siap-siap untuk ikut orang-orang yang berpakaian rapi tersebut. Bea benar-benar tak melepaskan dirinya sama sekali. Bocah itu bahkan terus minta gendong darinya. Tepat ketika Bianca ingin keluar, langkahnya dihadang oleh Mary. Karyawannya itu menatapnya cemas dengan panik. "Bu, Ibu mau dibawa ke mana? Ibu gak akan diapa-apain, kan sama orang-orang ini?" tanya Mary khawatir. Bianca memaksakan senyum. "Santai saja, Mary. Lagi pula jika mereka macam-macam, aku akan menelepon polisi dengan cepat," candanya meyakinkan. "Tapi, Bu–" "Kita harus cepat, Tuan sudah menunggu!" Ucapan Mary harus terpotong, ketika lelaki pemimpin itu menyela. Dia menatap Bianca tajam dengan wajah tegasnya yang begitu dingin. Mau tak mau Bianca mengangguk. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia kembali melanjutkan langkah mengikuti lelaki itu. Dia hanya mengacungkan jempol pada karyawannya, dan berharap karyawannya itu tak terlalu mencemaskan dirinya. Mobil mulai melaju, dan suasana terasa begitu hening. Bea tak lagi banyak bicara seperti tadi, hanya memeluk Bianca erat dalam diamnya. Bianca pun sama, tak mengenal lelaki yang semobil dengannya itu membuatnya merasa canggung. Dia juga tak tahu harus membahas hal apa selama perjalanan. Untungnya, mereka sampai tak lama kemudian. Hanya membutuhkan waktu hampir empat puluh menit, ketika mobil yang ditumpangi Bianca memasuki sebuah rumah yang begitu elit.Bianca turun dari mobil, dan lagi-lagi Bea minta gendong. Wanita itu terlihat mengagumi betapa mewahnya bangunan tinggi di depannya. Tanaman-tanaman hijau di depan rumah, benar-benar membuat suasana sekitar menjadi sejuk. Dan entah kenapa, Bianca merasa senang akan hal itu. Saking sibuknya melihat sekitar, Bianca sampai tak sadar saat langkahnya sudah berada di dalam rumah. Dia terkejut, saat tiba-tiba Bea berontak dalam pelukannya minta turun. "Papa ..." Saat itu juga, Bianca bisa melihat seorang lelaki yang duduk di ruang tamu. Sosoknya yang tegap, terlihat sangat tampan. Potongan rambutnya yang rapi, menambah nilai plus untuk wajahnya. Dan saat tersenyum membalas pelukan Bea, Bianca bisa melihat lesung pipit di salah satu lelaki itu. Entah kenapa, Bianca merasa terpesona. Wanita itu sedikit gelagapan, saat lelaki itu menatapnya tajam. Namun, entah kenapa dia merasa kecewa apalagi saat lelaki itu tak lagi menunjukkan senyuman. Dan kini, Bianca merasa gugup karena lelaki itu menatapnya tajam. "Kau bisa duduk!" Perintahnya begitu tegas, membuat Bianca reflek menggerakkan badan dan menurut. Wanita itu merasa bibirnya lengket, yang entah kenapa tak bisa dibuat untuk bicara sama sekali. Namun, meskipun lelaki itu terlihat dingin, entah kenapa jantung Bianca berdegup kencang dengan liar. Hati Bianca berdenyut nyeri, seolah merasakan tautan rindu yang selama ini tersimpan, dan ingin sekali dia menangis. Tetapi dia sendiri tidak tahu, perasaan apa yang sedang dia rasakan saat ini. ***"Boo, ayo tidur, ini sudah malam." Seruan tegas penuh perintah tiba-tiba mengalihkan Bea dan Bianca yang sedang bermain ular tangga di ruangan khusus bermain. Bianca segera duduk tegak, dan lagi-lagi dia menjadi gugup saat harus berhadapan dengan Papa Bea. Tadi, saat pertemuan pertama mereka, keduanya hanya berbincang sebentar sebelum akhirnya Papa Bea menerima telepon dan meninggalkan mereka. Bea yang masih ingin bersama dirinya, memaksanya untuk ikut bermain. Bianca sudah menolak halus, bagaimana pun dia harus pulang untuk melihat tokonya lagi. Tetapi, lagi-lagi Bea menangis dan merengek padanya yang membuat Bianca kalah telak. Untung saja selama beberapa jam terakhir ini, Papa Bea tak ikut bermain. Mau bagaimana pun, Bianca merasa tak nyaman. Karena Papa Bea telah membuat jantungnya berdegup kencang dengan liar sore tadi. Tapi kini, lelaki itu kembali muncul di hadapannya. Dan lagi-lagi, Bianca tak bisa mengontrol detak jantungnya. Cepat-cepat dia mengalihkan pandang, dan berus
"Mama, tolong." Suara teriakan anak kecil itu, seketika membuat Bianca menoleh. Dia yang sedang menyibukkan diri membuat resep baru, segera bangun dengan tergesa untuk mendatangi anak kecil yang sedang terjatuh itu. Namun, dia kalah cepat. Seorang wanita muda tiba-tiba datang menolong anak kecil tadi, menggendongnya lalu menenangkannya. Hal ini membuat tubuh Bianca kaku, dalam hatinya bertanya-tanya, apa yang sedang dia lakukan saat ini? Tadi saat mendengar anak kecil menangis, dia mengira itu adalah suara Bea yang meminta tolong. ‘Ada apa dengannya? Kenapa dia selalu memikirkan tentang Bea selama ini?’Seminggu telah berlalu, sejak pertemuan pertama Bianca dan juga Bea. Seminggu sudah mereka berpisah, dan tak pernah lagi bertemu. Tetapi, entah kenapa Bianca merasa rindu pada bocah perempuan kecil tersebut. Terlebih lagi, bayangan sosok Papa Bea selalu menghantui benaknya setiap malam. Wanita itu menghela napas panjang, menggelengkan kepala cepat berusaha sadar dalam angan-angan.
"Tidak, tidak, kau salah paham. Bukan dia!" sahut Bianca cepat, dia segera bangun, dan berdiri di samping Papa Bea seraya menatap Maxim serius. "Kukira dia, jika dia, aku pasti sudah melampiaskan kekesalanku," gumam Maxim berdecak. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu mendekati Bryan dan menepuk pundak lelaki itu dua kali. "Hati-hati, Bro, jangan sampai terpesona pada pemilik toko kue ini. Dia sudah punya calon suami. Jika kau nekat, kau bisa patah hati sepertiku," imbuhnya berpura-pura sedih, lalu berpaling pergi dari sana. Bianca hanya meringis mendengar ucapan Maxim, dan dia memaksakan senyumnya saat Papa Bea itu menatapnya lekat. "Bu, ini siapa? Ganteng amat," bisik Mary yang tiba-tiba ada di dekatnya, merangkul tangannya erat. Bianca tampak bingung menjelaskan. "Apa beneran dia bukan calon suami Ibu? Jika beneran, bolehkan saya berkenalan dengannya?" bisik Mary lagi sambil terkekeh pelan. "Mary, jangan seperti itu. Ayo yang sopan, dia kenalanku. Lagi pula, bukankah kamu
Bea menarik-narik baju bawah milik Bryan. Gadis kecil itu menekuk wajahnya kala ada sesuatu yang dia inginkan namun takut-takut untuk mengatakannya langsung pada Bryan. "Ada apa, Boo?" tanya Bryan langsung menggendong putrinya itu."Atu boyeh minta tetuatu, Papa?" Bryan mengerutkan keningnya kala Bea memberikan tatapan penuh permohonan."Tentu saja, apa yang kau inginkan?" Bea melihat ke arah Bianca yang sejak tadi hanya diam. "Apah boyeh Mama titut kita puyang dan tinggay tengan kita?" Bianca dan Bryan yang mendengar itu sontak saling terdiam, tatapan mereka bertemu membuat suasana sedikit canggung. Bryan menghembuskan napasnya lalu mengangguk, dia tidak bisa menolak keinginan Bea karena jelas Bryan sangat menyayangi putrinya."Baiklah, sekarang kita pulang ya?" Bea mengangguk dengan senang. Dia lalu meminta Bryan untuk menurunkannya karena Bea lebih memilih untuk berjalan kaki dengan Bianca yang menggandeng tangannya.Mereka pun akhirnya kembali ke rumah dengan Bianca yang sesekal
Bianca mencoba untuk terus menenangkan Bea yang sepertinya belum mengikhlaskan kepergian Bryan. Namun, sebisa mungkin dia akan berusaha untuk membuat Bea tenang dan menurut padanya."Sayang, lebih baik kita main saja bagaimana? Biar Bea tidak sedih lagi," ucap Bianca pada Bea namun gadis kecil itu tetap menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Bianca melihat kepergian Bryan. Dia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan, tapi sekarang yang lebih penting adalah bagaimana caranya membuat Bea tetap tenang. "Boo mau Papa teltap di cini," ujar Bea sambil mengelap air matanya namun air matanya yang tidak kunjung mengering."Iya, Mama tahu, Sayang. Tapi Bea harus belajar mengikhlaskan, ya? Bea tidak boleh cengeng seperti ini, bagaimana kalau Bea berhenti menangis dan Mama berjanji akan membawa Bea ke pasar malam?" tawar Bianca membuat Bea yang tadinya menunduk langsung mengangkat kepalanya semangat."Benalkah?" "Benar, Sayang. Tapi Bea harus berhenti menangis dulu." Bea pun menganggukkan kep
Bianca bergegas untuk turun ke bawah. Namun sebelum turun dia mengecek kenyamanan Bea agar gadis kecil itu tidak terbangun ketika dia sedang melakukan sesi tanya jawab pada sang pelayan di rumah itu.Sesampainya di dapur, Bianca berpura-pura untuk mengambil minum. Tidak, atau lebih tepatnya dia tidak akan langsung mengatakan inti dari alasannya kembali ke dapur dan sedikit Bianca merasa bersyukur karena pelayan tadi masih berada di dapur."Apa Anda masih ingin tahu jawabannya?" Pelayan itu tiba-tiba menoleh ke arah Bianca dengan tatapan yang sulit diartikan. Untung saja Bianca pintar dalam mengekspresikan perasaan serta wajahnya."Apa saya boleh tahu?" "Tentu, saya akan menceritakannya pada Anda." Bianca tersenyum, dia bersyukur jika pelayan itu mau terbuka dengannya meskipun Bianca tidak mungkin bertanya secara langsung pada Bryan. Keberanian dari mana jika Bianca memang berani?"Terima kasih.""Sebenarnya saya kurang tahu cerita ke seluruhnya. Tapi dari yang saya tahu, Tuan membesa
Bryan menatap Bianca dengan tatapan penuh harap. Entah mengapa membiarkan Bianca pergi, membuat Bryan sendiri merasakan perasaan aneh. Apalagi Bea begitu menyukai Bianca."Apakah kau bisa tinggal di sini sehari atau dua hari lagi, Bianca? Saya melihat Boo yang begitu bahagia bersamamu, dan juga Boo yang menjadi gadis kecil penurut, membuat saya enggan untuk mengatakan iya ketika kau izin untuk kembali ke rumah," ujar Bryan panjang lebar."T—tapi bukankah tugas saya sudah selesai, Tuan? Selagi Bea sedang tidur maka saya bisa pulang," sahut Bianca.Namun, Bryan malah menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin membiarkan Bianca untuk pergi. Jika Bea bangun nanti apa yang harus dia katakan?"Boo sudah menganggapmu sebagai Ibunya, Bianca. Tolong bantu saya kali ini saja, kau tahu pasti bagaimana Boo begitu merindukan sosok ibu dalam hidupnya." Bianca terdiam, niat awalnya ingin pulang namun ketika Bryan mengatakan itu membuat Bianca mengurungkan niatnya. Seperti ada perasaan aneh yang dia
"Tuan, Bea sudah tidur dengan nyaman dan saya sudah memastikannya," ucap Bianca sambil menundukkan kepalanya. Aura mengintimidasi dari wanita yang sudah cukup berumur di depannya membuat Bianca sangat gugup."Siapa dia, Bryan?" tanya ibu Bryan, Eveline. Bryan bingung harus mengenalkan Bianca pada Eveline sebagai siapa di rumah ini. Namun, sepintas ide terlintas di otaknya membuat Bryan tersenyum dalam hati."Dia adalah baby sitter Boo," jawab Bryan sambil memberikan kode pada Bianca agar menganggukkan kepalanya."Benar, saya adalah baby sitter di sini," sahut Bianca patuh layaknya sebagai bawahan sungguhan.Eveline jelas tidak langsung percaya begitu saja karena sikap Bianca begitu mencurigakan. Namun, dia hanya bisa menganggukkan kepalanya sedikit percaya. Bianca sendiri hanya bisa pasrah dengan peran palsunya sebagai baby sitter."Di mana Bea?" tanya Eveline."Dia sedang tidur, Ma. Apa perlu aku bangunkan?" jawab Bryan. Eveline menganggukkan kepalanya, Bryan memberikan Bianca seka
"Tuan, anda baik-baik saja?" Melihat Bryan yang seperti orang kebingungan membuat Bianca sendiri iba."Lupakan saja, masuklah ke dalan kamar, Bianca. Di sini sangat dingin dan kau akan kedinginan kalau terlalu lama di sini." "Saya baik-baik saja, Tuan." "Masuklah ke dalam, saya tidak menerima penolakan." Bianca pun akhirnya menurut, daripada dia harus terus berdebat dengan Bryan dan jelas itu tidak akan ada ujungnya.Dengan perlahan Bianca kembali masuk ke dalam diikuti oleh Bryan di belakangnya. Sesekali Bianca melirik ke belakang dan mendapati Bryan berjalan sambil menundukkan kepalanya."Saya akan membuatkan teh untukmu, jadi tunggulah sebentar," ucap Bryan."T—tidak usah, Tuan. Saya akan membuatnya sendiri saja," sahut Bianca cepat. Bryan yang baru saja ingin ke luar langsung menghentikan langkahnya. "Kau tahu kan jika saya tidak menerima penolakan, Bianca? Jadi apa yang saya mau akan saya lakukan.""Baiklah kalau begitu, Tuan." Bianca sudah tidak mau terus membantah apa yang
Mengingat kejadian di kolam renang tadi, Bianca kembali merasakan sensasi luar biasa. Pikirannya tiba-tiba kembali ke kejadian itu hingga tubuhnya seperti di bawa ikut juga.Sampai ketika ciuman mereka terlepas, beberapa detik setelahnya Bianca masih belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Hingga tiba-tiba Bianca mendengar jika Bryan berdehem menyadarkan dirinya."M—maafkan saya, Tuan." Ucapan minta maaf pertama kali Bianca katakan. Bryan menggeleng karena laki-laki itu berpikir jika bukan Bianca yang salah melainkan dirinya."Bukan kau yang salah, Bianca. Tapi saya, jadi saya minta maaf untuk kelancangan saya menciummu." Bukankah mereka saling menikmati dan saling menerima? Bianca berpikir bahwa mereka melakukannya karena suasana yang mendukung. "Kita sama-sama menikmati, Tuan. Saya pikir tidak ada yang salah di sini.""Menikmati?" "Y—ya, menikmati.""Kau menjadi nakal ya sekarang? Apa kita boleh melanjutkannya lagi? Saya rasa yang tadi kurang." Demi Tuhan apa yang dikatakan B
"Tuan, Bea sudah tidur dengan nyaman dan saya sudah memastikannya," ucap Bianca sambil menundukkan kepalanya. Aura mengintimidasi dari wanita yang sudah cukup berumur di depannya membuat Bianca sangat gugup."Siapa dia, Bryan?" tanya ibu Bryan, Eveline. Bryan bingung harus mengenalkan Bianca pada Eveline sebagai siapa di rumah ini. Namun, sepintas ide terlintas di otaknya membuat Bryan tersenyum dalam hati."Dia adalah baby sitter Boo," jawab Bryan sambil memberikan kode pada Bianca agar menganggukkan kepalanya."Benar, saya adalah baby sitter di sini," sahut Bianca patuh layaknya sebagai bawahan sungguhan.Eveline jelas tidak langsung percaya begitu saja karena sikap Bianca begitu mencurigakan. Namun, dia hanya bisa menganggukkan kepalanya sedikit percaya. Bianca sendiri hanya bisa pasrah dengan peran palsunya sebagai baby sitter."Di mana Bea?" tanya Eveline."Dia sedang tidur, Ma. Apa perlu aku bangunkan?" jawab Bryan. Eveline menganggukkan kepalanya, Bryan memberikan Bianca seka
Bryan menatap Bianca dengan tatapan penuh harap. Entah mengapa membiarkan Bianca pergi, membuat Bryan sendiri merasakan perasaan aneh. Apalagi Bea begitu menyukai Bianca."Apakah kau bisa tinggal di sini sehari atau dua hari lagi, Bianca? Saya melihat Boo yang begitu bahagia bersamamu, dan juga Boo yang menjadi gadis kecil penurut, membuat saya enggan untuk mengatakan iya ketika kau izin untuk kembali ke rumah," ujar Bryan panjang lebar."T—tapi bukankah tugas saya sudah selesai, Tuan? Selagi Bea sedang tidur maka saya bisa pulang," sahut Bianca.Namun, Bryan malah menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin membiarkan Bianca untuk pergi. Jika Bea bangun nanti apa yang harus dia katakan?"Boo sudah menganggapmu sebagai Ibunya, Bianca. Tolong bantu saya kali ini saja, kau tahu pasti bagaimana Boo begitu merindukan sosok ibu dalam hidupnya." Bianca terdiam, niat awalnya ingin pulang namun ketika Bryan mengatakan itu membuat Bianca mengurungkan niatnya. Seperti ada perasaan aneh yang dia
Bianca bergegas untuk turun ke bawah. Namun sebelum turun dia mengecek kenyamanan Bea agar gadis kecil itu tidak terbangun ketika dia sedang melakukan sesi tanya jawab pada sang pelayan di rumah itu.Sesampainya di dapur, Bianca berpura-pura untuk mengambil minum. Tidak, atau lebih tepatnya dia tidak akan langsung mengatakan inti dari alasannya kembali ke dapur dan sedikit Bianca merasa bersyukur karena pelayan tadi masih berada di dapur."Apa Anda masih ingin tahu jawabannya?" Pelayan itu tiba-tiba menoleh ke arah Bianca dengan tatapan yang sulit diartikan. Untung saja Bianca pintar dalam mengekspresikan perasaan serta wajahnya."Apa saya boleh tahu?" "Tentu, saya akan menceritakannya pada Anda." Bianca tersenyum, dia bersyukur jika pelayan itu mau terbuka dengannya meskipun Bianca tidak mungkin bertanya secara langsung pada Bryan. Keberanian dari mana jika Bianca memang berani?"Terima kasih.""Sebenarnya saya kurang tahu cerita ke seluruhnya. Tapi dari yang saya tahu, Tuan membesa
Bianca mencoba untuk terus menenangkan Bea yang sepertinya belum mengikhlaskan kepergian Bryan. Namun, sebisa mungkin dia akan berusaha untuk membuat Bea tenang dan menurut padanya."Sayang, lebih baik kita main saja bagaimana? Biar Bea tidak sedih lagi," ucap Bianca pada Bea namun gadis kecil itu tetap menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Bianca melihat kepergian Bryan. Dia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan, tapi sekarang yang lebih penting adalah bagaimana caranya membuat Bea tetap tenang. "Boo mau Papa teltap di cini," ujar Bea sambil mengelap air matanya namun air matanya yang tidak kunjung mengering."Iya, Mama tahu, Sayang. Tapi Bea harus belajar mengikhlaskan, ya? Bea tidak boleh cengeng seperti ini, bagaimana kalau Bea berhenti menangis dan Mama berjanji akan membawa Bea ke pasar malam?" tawar Bianca membuat Bea yang tadinya menunduk langsung mengangkat kepalanya semangat."Benalkah?" "Benar, Sayang. Tapi Bea harus berhenti menangis dulu." Bea pun menganggukkan kep
Bea menarik-narik baju bawah milik Bryan. Gadis kecil itu menekuk wajahnya kala ada sesuatu yang dia inginkan namun takut-takut untuk mengatakannya langsung pada Bryan. "Ada apa, Boo?" tanya Bryan langsung menggendong putrinya itu."Atu boyeh minta tetuatu, Papa?" Bryan mengerutkan keningnya kala Bea memberikan tatapan penuh permohonan."Tentu saja, apa yang kau inginkan?" Bea melihat ke arah Bianca yang sejak tadi hanya diam. "Apah boyeh Mama titut kita puyang dan tinggay tengan kita?" Bianca dan Bryan yang mendengar itu sontak saling terdiam, tatapan mereka bertemu membuat suasana sedikit canggung. Bryan menghembuskan napasnya lalu mengangguk, dia tidak bisa menolak keinginan Bea karena jelas Bryan sangat menyayangi putrinya."Baiklah, sekarang kita pulang ya?" Bea mengangguk dengan senang. Dia lalu meminta Bryan untuk menurunkannya karena Bea lebih memilih untuk berjalan kaki dengan Bianca yang menggandeng tangannya.Mereka pun akhirnya kembali ke rumah dengan Bianca yang sesekal
"Tidak, tidak, kau salah paham. Bukan dia!" sahut Bianca cepat, dia segera bangun, dan berdiri di samping Papa Bea seraya menatap Maxim serius. "Kukira dia, jika dia, aku pasti sudah melampiaskan kekesalanku," gumam Maxim berdecak. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu mendekati Bryan dan menepuk pundak lelaki itu dua kali. "Hati-hati, Bro, jangan sampai terpesona pada pemilik toko kue ini. Dia sudah punya calon suami. Jika kau nekat, kau bisa patah hati sepertiku," imbuhnya berpura-pura sedih, lalu berpaling pergi dari sana. Bianca hanya meringis mendengar ucapan Maxim, dan dia memaksakan senyumnya saat Papa Bea itu menatapnya lekat. "Bu, ini siapa? Ganteng amat," bisik Mary yang tiba-tiba ada di dekatnya, merangkul tangannya erat. Bianca tampak bingung menjelaskan. "Apa beneran dia bukan calon suami Ibu? Jika beneran, bolehkan saya berkenalan dengannya?" bisik Mary lagi sambil terkekeh pelan. "Mary, jangan seperti itu. Ayo yang sopan, dia kenalanku. Lagi pula, bukankah kamu
"Mama, tolong." Suara teriakan anak kecil itu, seketika membuat Bianca menoleh. Dia yang sedang menyibukkan diri membuat resep baru, segera bangun dengan tergesa untuk mendatangi anak kecil yang sedang terjatuh itu. Namun, dia kalah cepat. Seorang wanita muda tiba-tiba datang menolong anak kecil tadi, menggendongnya lalu menenangkannya. Hal ini membuat tubuh Bianca kaku, dalam hatinya bertanya-tanya, apa yang sedang dia lakukan saat ini? Tadi saat mendengar anak kecil menangis, dia mengira itu adalah suara Bea yang meminta tolong. ‘Ada apa dengannya? Kenapa dia selalu memikirkan tentang Bea selama ini?’Seminggu telah berlalu, sejak pertemuan pertama Bianca dan juga Bea. Seminggu sudah mereka berpisah, dan tak pernah lagi bertemu. Tetapi, entah kenapa Bianca merasa rindu pada bocah perempuan kecil tersebut. Terlebih lagi, bayangan sosok Papa Bea selalu menghantui benaknya setiap malam. Wanita itu menghela napas panjang, menggelengkan kepala cepat berusaha sadar dalam angan-angan.