Cataplexy, nama yang disematkan oleh Dokter Fariz setelah melihat hasil CT Scan, dan serangkaian tes, Ica. Merupakan penyakit langka yang menggangu fungsi bagian pada limbik otak, di mana kondisi emosi yang sangat kuat terjadi tiba-tiba seperti marah, takut, dan tertawa dapat memicu kelumpuhan pada otot tubuh.
"Jadi Ica bisa lumpuh?" tanya Vina, panik.
"Bukan begitu. Begini, secara gampangnya jika Ica memiliki perasaan bahagia yang berlebih akibat melihat pria tampan. Maka, dia akan mengalami kelumpuhan otot seperti tubuhnya lemas seketika. Dalam kasus Ica, cataplexy diawali dengan hidung mimisan dan tertidur," terang Fariz mencoba menenangkan sahabatnya.
"Apa bisa sembuh?"
"Untuk sembuh, tidak. Tapi nerkolepsinya bisa diobati.”
"Nerkolepsi? Apalagi itu?"
"Serangan tidur, Vin. Ica pasti sering mengantuk di siang hari dan tertidur ketika beraktivitas."
"Tidak, Ica nggak pernah mengalami itu, serangan tidur terjadi setelah dia melihatmu. Sebelumnya hanya mimisan saja. Sembuhkan anakku, Riz." Suara Vina tercekat menahan tangis. Lembut Fariz mengusap punggung sahabatnya bermaksud memberi kekuatan tetapi malah membuat Vina semakin menangis.
"Gimana masa depannya, Riz. Dia nggak bisa menikah, dong?" Isak Vina semakin tergugu.
"Istighfar, Vin. Jangan mendahului Allah."
"Bagaimana jika umurku tak cukup untuk menjaganya, siapa yang jagain dia?" Fariz tak menjawab, ia hanya mengusap punggung Vina, memberi ruang pada sahabatnya untuk tetap menangis. Percuma memberi semangat pada Vina saat ini, yang dia butuhkan cuma menangis.
Yah, kadang tangisan dapat meringankan perasaan seseorang. Ibu mana yang tak sedih, mendengar anaknya memiliki penyakit aneh dan langka? Fariz mungkin akan melakukan hal yang sama jika cataplexy hinggap di tubuh Caca, putrinya. Di ruang berbeda, Ica tengah mendengar hasil diagnosa penyakitnya bersama dokter lain, rekan sejawat Fariz. Gadis itu mengerucutkan bibirnya setelah mendengar penjelasan dari Dokter Lulu yang usianya sudah 50 tahun.
"Jadi, saya harus menundukkan pandangan biar tak sering mimisan?"
"Ya, biar kamu tak membeku dan mematung saat melihat cowok tampan."
"Kemarin lihat Om duda saya tidak mematung, hanya mimisan, doang."
"Tapi kamu tertidur." Dokter Lulu sudah mendengar apa yang dialami gadis muda ini kemarin, ketika berkonsultasi dengan Fariz.
"Memang berbahayakah jika saya sering tertidur ketika melihat pria tampan?"
"Bisa berbahaya dan merepotkan. Jika otakmu sering lumpuh sesaat, lambat laun itu bisa menyebabkan kerusakan jaringan saraf. Tak menutup kemungkinan kamu akan mengalami lumpuh total."
Hmm! Ica membuang napas dengan kasar, berusaha menerima diagnosa baru atas penyakitnya. Meski harus ia akui, bahwa dirinya lebih menyukai berobat ke dokter yang dulu karena vonisnya tidak sehoror yang sekarang. Bagaiman dirinya bisa punya pacar kalau baru mau pedekate saja sudah pingsan.
"Baiklah, mulai sekarang saya akan ghadlul bhasar." Kecuali sama Om duda, tekat Ica dalam hati.
"Baik, saya akan memberikan resep obat untukmu. Untuk meminilasir terjadinya nerkolesi atau serangan tidur."
"Dok, apa saya bisa menikah?" Dokter Lulu tampak terkejut mendengar pertanyaan dari Ica. Jika gadis ini memiliki kekasih, bisa jadi bukan cataplexy yang membuatnya mimisan.
"Kamu punya pacar? Apa dia tampan?"
"Belum punya, tapi akan." Dokter Lulu tersenyum mendengar jawaban Ica.
"Jika calon pacarmu mengerti dengan kondisimu, kalian bisa saja menikah." Giliran Ica yang tersenyum semringah mendengar jawaban positif dari dokter bernampilan nyentrik dengan rambut hijaunya itu.
***
"Udah, dong, Bu. Jangan nangis terus," bujuk Ica kepada ibunya di hari ke dua sejak pulang dari rumah sakit.
Wanita yang paling Ica cintai itu tak menjawab, sesekali tangannya mengambil tisu, menyusut air mata yang menetes di pipinya. Sejak kepulangan dari pemeriksaan putrinya, Vina selalu menangis setelah menunaikan sholat. Ica pun kadang melihat ibunya menangis saat di toko.
"Maafin ibu, ya, Ca. Harusnya ibu nggak secengeng ini."
"Iya, sih, Bu. Santai aja, Ica aja yang sakit, kalem." Direbahkan kepalanya di pangkuan ibu.
"Kata Om Fariz, kamu sudah nggak boleh bawa motor, takut cataplexy-mu kumat saat sedang mengendarai."
"Om Fariz nggak asik!"
"Nurut aja, Ca. Daripada kamu kenapa-kenapa."
"Bu, apa Ica nikah aja,ya." Ica merubah posisinya menjadi duduk di samping Vina setelah mendapat tatapan tajam dari Ibunya.
"Memang kamu sudah punya pacar? Kok, nggak dikenalin ke ibu?"
"Nggak usah dikenalin. Kan, ibu sudah kenal." Senyum jahil mengembang di wajah Ica.
"Siapa?"
"Om Duda, tetangga sebelah."
"Icaaa!" Gadis itu langsung ngibrit menghindari lemparan bantal dari Ibunya.
Ting Nong!
"Ica, bukain pintu ada tamu, tuh!" teriak Vina dengan wajah yang sudah bisa kembali tersenyum.
Ica yang tadinya ingin melipir ke kamar jadi membelokkan langkahnya ke ruang tamu. Dari lubang pintu Ica mengintip, ada gadis cilik berambut kriwil tengah digendong oleh seseorang berlengan kekar.
"Itu, Caca. Berarti yang datang Om ganteng!" Gumam Ica kegirangan.
Korteks limbik yang ada di dalam otak Ica mulai bereaksi, menjebol sensorik wajah dan hidungnya untuk tersenyum dan mimisan secara bersamaan. Ica yang sekarang paham oleh gejala lemas yang dialaminya ketika senang, kini mulai menarik nafas, mengatur ritme jantungnya.
"Bu! Calon mantunya datang!" teriak Ica dari ruang tamu setelah membukakan pintu pada sang tamu sambil memejamkan mata.
Fariz yang keheranan dengan ucapan Ica hanya bisa bengong dan bergegas menurunkan Caca dari gendongannya.
"Kakak Ica, hidungnya berdarah!" seru Caca.
Sigap, Fariz mengambil tisu yang ada di meja dan mengelapkannya pada hidung Ica. Masih dengan memejamkan mata Ica meraba tangan kekar yang tengah membersihkan hidungnya.
"Nggak apa, Om. Ini sudah biasa, nggak usah repot ngelapin entar Ica jadi nyaman," celoteh Ica sambil senyum-senyum.
"Icaa." Suara Vina menghentikan tangan Fariz yang tengah mengelap darah di hidung Ica. Masih dapat dilihat oleh Vina, pipi sahabatnya itu memerah karena terkejut dengan suaranya yang muncul tiba-tiba.
"Duduk Riz, aku bawa Ica ke dalam dulu, ya."
"Eh, nggak usah Vin. Aku cuma mau nitipin Caca, soalnya ada panggilan operasi mendadak."
Ica yang mendengar pujaan hatinya akan pergi langsung membuka matanya.
"Om Fariz, jangan pergi!" seru Ica spontan dengan senyum mengembang. Dirasakan olehnya seluruh tungkai kakinya lemas sebelum ia menjatuhkan diri.
"Ica!" teriak Vina, panik karena anaknya tiba-tiba merbahkan diri ke tubuhnya.
Fariz yang melihat reaksi Vina yang tak siap menerima tubuh Ica yang terkulai, bergegas menopang tubuh gadis muda itu agar tidak jatuh ke lantai.
"Kakak Ica, mati?" tanya Caca, polos.
"Nggak, Sayang, Kakak Ica cuma kecapean," jawab Fariz sambil memapah tubuh Ica ke sofa.
"Makasih ya, Riz."
"Tawaranmu waktu di rumah sakit masih berlaku?"
Vina terkejut akan pertanyaan sahabatnya. Namun ia cepat menganggukkan kepala untuk menjawab Fariz.
"Kamu serius, mau nikahin Ica?"
"Kamu serius mau nikahin, Ica?" Vina menatap lekat mata sahabatnya, mencari sebuah ketulusan di sana.Fariz menunduk, tak berani membalas tatapan Vina. Dalam hati ia menyesal telah mengucapkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang dua hari lalu sempat dia tolak kala Vina memintanya di rumah sakit. Ponsel Fariz bergetar, sebuah pesan masuk di aplikasi WhatsApp-nya. Lelaki itu merasa terselamatkan oleh bunyi pesan tersebut."Nanti kita bicarakan lagi, ya, Vin. Pasienku sudah menuggu. Ica akan bangun setelah dua menit, beritahu aku jika waktu tidurnya lebih lama dari biasanya. Aku titip Caca, ya." Vina mengangguk."Kamu tak perlu melakukan itu, Riz. Lupakan permintaanku dua hari yang lalu," ucap Vina, sebelum Fariz menutup pintu.Pria yang bagi Vina seperti saudara lelakinya itu hanya mengangguk pelan dan menutup pintu perlahan. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak henti-hentinya Fariz berdecak menyesali ucapannya saat di rumah Vina. Harusnya dia tak
Fariz benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan Vina dan anaknya. Kenapa Vina bisa begitu santainya menanggapi curhatan anaknya yang menyukai teman ibunya? Meski jujur, harus Fariz akui bahwa dirinya tersanjung karena ditaksir oleh gadis yang layak jadi ponakannya. Dokter bedah saraf itu pun tersenyum sendiri mengingat peristiwa di toko, tadi sore. Ia merasa dejavu, karena ditaksir oleh cewek yang usianya jauh lebih muda darinya. Hal ini pernah ia alami, dulu saat bersama Bella, mantan istrinya.Bella terpaut usia sepuluh tahun darinya. Fariz kira, pernikahannya dengan Bella akan berjalan lancar mengingat usia mereka sama-sama matang. Fariz yang kala itu berusia 35 tahun akhirnya memutuskan menikahi Bella yang berusia 25 tahun. Pandangan Bella yang tak ingin memiliki anak dalam pernikahannya, Fariz pikir akan hilang seiring berjalannya waktu, tetapi semua salah. Bella benar-benar tidak menikmati pernikahan mereka setelah mereka punya anak. Lima
Ica menangis tersedu setelah mendengar penuturan ibunya. Mau tidak mau, Vina harus menceritakan tentang penyakitnya kepada anak semata wayangnya. Ia pun menceritakan tentang rencananya untuk menikahkan Ica dengan sahabatnya."Ica nggak mau nikah, Ica maunya Ibu sembuh," isak gadis pengidap Cataplexy itu menangis di pangkuan ibunya."Ica doain, ya. Besok, Ibu udah harus operasi. Malam ini Ibu sudah panggil Pak RT." Vina mengusap lembut kepala anaknya. Mendengar kata Pak RT disebut, Ica bangun dari pangkuan Vina, menatap heran kepada Ibunya."Ibu mau nitipin Ica ke Pak RT?" tanya Ica, panik.Dulu, waktu Ica masih sekolah dan ibunya harus dirawat di rumah sakit karena penyakit yang sama. Vina menitipkan gadis kecilnya di rumah Pak RT yang sudah menganggap Ica seperti anaknya sendiri."Nggak, Sayang.""Alh
_Kanker kolorektal stadium 4 any T any N M1a_ hasil dari tes CT scan, USG perut, rontgen dada, USG endorektal dan USG intraoperatif yang dijalani Vina."Ini artinya apa, Om?" tanya Ica yang tak paham akan hasil lab yang diberikan oleh dokter Rita untuknya.Fariz tak menjawab, bibirnya terasa kelu untuk menjelaskan bahwa sahabat sekaligus mertuanya itu sangat tipis berkemungkinan untuk sembuh."Dok, ini artinya apa?" Lagi, Ica bertanya mencoba minta penjelasan kepada dokter Rita, orang yang selama ini menangani penyakit ibunya.Dokter yang asli timur itu hanya bisa melirik ke arah Fariz. Pria itu sudah meminta ijin agar dirinya yang akan menjelaskan penyakit Vina kepada anaknya."Biar dokter Fariz yang akan menjelaskannya," jawab dokter Rita mengusap pundak Ica yang duduk mematung di kursinya lalu meninggalkan dua orang itu untuk berbicara.&
Fariz langsung membawa Ica masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya masih cemberut karena melihat pemuda asing yang tak dikenalnya itu mengikuti langkahnya. Tepat di depan pintu kamar Fariz menghentikan langkah dan memutar badan menghadap ke Reno."Sebaiknya Anda pulang saja, Ica baik-baik saja," ucap Fariz ketus.Reno terkejut, menyadari bahwa dirinya telah bertindak di luar kesadaran, karena panik melihat Ica yang berdarah dan pingsan ia malah ikut masuk ke rumah orang yang tak dikenalnya tanpa di undang. Ia pun bergegas pulang.Di dalam kamar, Fariz masih terlihat khawatir dengan kondisi Ica yang belum sadar juga. Sampai akhirnya pria paruh baya itu menyadari ada yang aneh pada reaksi dirinya ke Ica. Ini terlalu berlebihan, kenapa pula aku mengecek suhu tubuh dan detak nadinya? Bukankah dua atau tiga menit lagi gadis ini akan sadar? Pikir Fariz. 
"Hai Sayang, perlu bantuan?" Ramah Fariz menyapa istrinya hingga membuat sang istri meneteskan darah dari hidungnya."Yah, Mama Ica mati lagi, deh," celetuk Caca yang panik melihat hidung Ica mulai mimisan.Brug!Suara rolling door terdengar keras ketika Ica menyandarkan tubuhnya, berusaha mengatur ritme jantungnya yang melonjak cepat ketika mendengar kata 'Sayang' dari Fariz."Kamu kenapa, Ca?" Reno kaget melihat Ica yang menyandar pada pintu toko dengan wajah yang pucat."Biar saya saja," cegah Fariz, saat Reno ingin memapah tubuh Ica.Ica menunduk, ia tak ingin menatap wajah Fariz, karena tak ingin pingsan lagi. Sekuat tenaga ia mengatur napas dengan membuang dan menghirup udara dari mulut dan hidungnya."Tetap lakukan itu, dan jangan membuka mata," bisik Fariz yang menyadari kalau Ica sedang mengatu
Mata Fariz masih mendelik tajam, meminta kejelasan, bagaimana bisa Caca mengetahui istilah pancil dicicil?"Jelasin dulu kenapa Caca bisa tau istilah itu?" ancam Fariz yang enggan menjawab pertanyaan anaknya tentang kata 'istri'."Ada sales panci yang datang ke toko menawari sistem pembayaran cicil, mungkin dari situ Caca tahu."Caca mengangguk. "Betul. Kalau istri apa, Pa?""Istri itu ...." Suara bel pintu menghentikan mulut Ica untuk memberi penjelasan pada anak tirinya."Papa kamu aja yang jelasin, Mama Ica, mau bukain pintu dulu," ucap Ica sambil melirik kepada Fariz.Pria senja itu mengangguk pelan tanda setuju, tetapi kembali mendelik setelah membaca gerakan bibir Ica, yang mengucapkan kata S U A M I kepadanya dengan kerlingan mata dan sun jauh.Namun, ekspresi ketidak sukaan itu hanya ditunjukan sebent
Fariz kebingungan mendengar pertanyaan Caca yang begitu ingin tau siapa wanita yang barusan bertamu. Jika ia mengatakan wanita itu adalah Mama kandungnya, Caca pasti akan bingung dan menganggapnya pembohong. Karena selama ini Fariz selalu berkata bahwa Caca tak pernah memiliki mama sejak lahir. Bila tak menjelaskan sekarang, pasti Caca akan lebih kecewa bila mengetahuinya dari mulut Bella, langsung. Tanpa sadar Fariz menggaruk kepalanya yang tak gatal, sambil senyum ia menatap Caca dan Ica secara bergantian. Lalu sebuah ide jahil muncul begitu saja di kepalanya ketika untuk ketiga kalinya ia menatap wajah Ica yang sedang mengejeknya karena pertanyaan Caca."Tanya Mama Ica aja, ya. Dia tau siapa itu Bella Ayunda," jawab Fariz sambil mengerling dan tersenyum jahil pada Ica.Antara sebal dan bahagia, gadis penderita Cataplexy itu melotot mendengar penyataan Fariz dengan senyum dan kerlingannya yang menggoda. Otak Ica tak dapat merespon rasa bahagia yang mene
Ragu-ragu Ica berdiri di depan pintu rumah sebelah. Kepalan tangannya menempel di daun pintu, hendak mengetuk, tetapi urung. Apa yang harus ia katakan jika si Tuan Rumah membukakan pintu teresebut. Apakah Ica harus mengakui bahwa dirinya bersalah dan meminta maaf karena telah menuduh hal yang tidak-tidak kepada suaminya sendiri. Yah, setelah mendapatkan penjelasan dari Bu Herman prihal status Om Fariz, serta bukti-bukti berupa foto, surat nikah dan cicin yang melingkar di jari manisnya, akhirnya Ica dapat menerima kenyataan bahwa Om Duda tetangga sebelah rumahnya adalah suaminya. Meskipun Ica tak mengingat kapan pernikahan itu berlangsung, tetapai Ica pun menjadi maklum setelah penjelasan dari Bu Herman yang menyatakan dirinya terkena amnesia. "Loh, Ica ngapain berdiri di depan pintu? Ayo, masuk!" ajak Fariz yang terkejut saat membuka pintu hendak membuang sampah ada Ica menghalangin jalannya. Ica menurut, ia sebenarnya terkejut dan malu dengan kemunculan
Usai melaksanakan salat subuh, Fariz memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Rumah sebelah yang tidak ditempati oleh Ica. Ya, Fariz memutuskan untuk menunda menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Ica. Ia lebih memilih untuk mendiskusikannya dahulu kepada senior nya, Dokter Lulu. Jika dugaaan Fariz benar, sepertinya Ica sedang mengalami Antarograde Amnesia, yaitu hilangnya memori jangka pendek secara berulang setelah penderita terbangun dari tidurnya."Kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu?" tanya Dokter Lulu melalui sambungan Vidio call. Wajah bulat Dokter Lulu memenuhi layar ponsel."Ica. Emhhh, maksud saya memori Ica lompat ke ingatan setahun lalu saat kami pertama kali kenal dan dinner bersama. Dia sudah mengenali saya tapi hanya sebagai tetangga sebelahnya, bukan sebagai suaminya.""Sebaiknya bawa ke rumah sakit, Riz. Saya tak bisa menebak jika belum melakukan serangkaian tes. Bisa saja yang kamu katakan benar, tetapi tetap saja kita tak b
Malam itu terasa indah bagi Fariz. Ica sama sekali tak menunjukan gejala cataplexy, istri belianya itu dapat mengimbangi permainannya. Bisa dikatakan saat itu Ica lah yang lebih bergairah, sementara Fariz masih takut Ica dipertengahan mengalami serangan cataplexy. Sampai mereka sama-sama mencapai klimaks, Ica baru menunjukan gejala cataplexy. Ada darah yang keluar dari hidungnya, ketika Fariz mengucapkan terimakasih dan mengecup keningnya."Hidung kamu berdarah, Sayang." Lembut, Fariz membersihkan hidung istrinya."Nggak papa,Ica sudah biasa seperti ini ketika hati Ica diliputi rasa bahagia." Fariz tersenyum mendengar penuturan istrinya."Kamu bahagia, Sayang?"Ica mengangguk lalu menutup mata sambil tersenyum. Otot leher dan wajahnya sudah tak mampu bekerja lantaran hipocretin dalam otaknya berkurang, Ica mengalami nerkolepsi--s
Tiba-tiba sosok Fariz menghilang setelah mendengar teriakan dari Ica. Di situ Ica baru menyadari kalau dirinya telah berhalusinasi melihat Om Duda sebelah."Aish, kenapa jadi muncul bayangan Om sebelah. Sadar Ca, sadar. Fokus ke masalah Amel saja." Ica kembali berbicar dengan bayangannya di cermin.'Tunggu dulu, jika aku membantu Amel itu berarti aku akan kehilangan Bang Reno untuk selamanya. Lalu, kenapa Bang Reno harus berbohong dan berpura-pura kalau kita masih pacara, apakah dia sebenarnya masih memiliki perasaan cinta kepadaku dan Amel hanya dijadikan pelarian baginya.' Pikiran itu terlintas begitu saja di kepala Ica membuat dirinya tersenyum pada bayangan diri di cermin."Aku harus memastikan perasaan Bang Reno sebelum merencanakan misi 'doble date' bersama Amel dan Om Fariz," gumam Ica dengan suara yang penuh tekadBaru saja Ica ingin menghubungi R
House of Yuen menjadi pilihan Bella untuk mengajak mantan suami, anak serta istri barunya dinner, malam ini. Karena restoran keluarga ini terbilang mewah, Bella pun menyarankan agar Ica mengenakan baju yang sedikit Formal. Dress selutut dengan potongan kerah Sabrina menjadi pilhan Ica.Ini adalah kali pertama bagi Ica dan Caca makan di restoran mewah. Restoran yang terletak di salah satu hotel bintang lima yang ada di Jakarta itu berada di lantai tiga. Selama memasuki ruangan restoran tersebut Fariz tak berhenti-hentinya mengkhawatirkan kondisi Ica yang dikit-dikit hidungnya berdarah. Mulai dari di sapa oleh pelayan restoran sampai ia melihat salah satu artis ibukota yang menyapa Bella."Nunduk Ca, jangan dilihat, tarik nafas dalam-dalam lalu hembuskan," bisik Fariz membimbing Ica agar tidak pingsan.Rupanya suara berbisik Fariz masih dapat didengar oleh sang artis."Eh, itu kenapa hidungnya berdarah?"
Caca tengah bahagia melihat dirinya berada di Chanel YouTube milik Bella Ayunda. Sudah seharian ia terus menceritakan dan pamer kepada Ica tentang vidionya di YouTube."Aku cantik ya, Mama Ica. Caca kepengin deh, kalau besar nanti seperti Tante Bella."Ica mulai bosan mendengar ocehan Caca. Pasalnya semenjak melihat video tersebut, Ica jadi melihat semua sosmed milik Bella Ayunda. Mulai dari Instagram, YouTube sampai Tiktok dan Facebook. Bella yang awalnya seorang selebgram itu mulai merambah menjadi YouTuber sekitar enam bulan lalu saat dirinya membuat Vlog tentang Ica saat di Bali. Di sanalah Ica menemukan kebenaran tentang dirinya yang ternyata benar sudah menikah dengan Fariz. Juga fakta bahwa Reno sudah bertunangan dengan seorang perawat bernama Amel.Jemari Ica terus berselancar di YouTube hingga ia memutuskan berhenti di sebuah Chanel yang menayangkan tentang dirinya. Dari sana Ica mengetahui bahwa dirinya sempat viral juga karena
Demi membuat kondisi Ica tidak merasa canggung dan tak nyaman, akhirnya Fariz memutuskan untuk menerima usulan Ica yang meminta dirinya untuk pindah ke rumah sebelah. Mereka memulai dari awal lagi, membuat suasana rumah seperti Ica berusia 16 tahun, meski tanpa Ibu di sampingnya."Hanya untuk sementara sampai ingatan saya pulih," pinta Ica dengan bahasa yang sangat formal.Meski menyanggupinya setelah mengajukan syarat agar membiarkan Caca tetap memanggil Ica dengan kata 'mama' tetap saja Fariz merasa ini terlalu berlebihan. Kenapa dari semua kenangan yang dimiliki oleh Ica, harus dirinya yang dilupakan.Sesekali Ica ikut membantu memindahkan barang-barang Fariz dan Caca."Eh, gini Om. Gimana kalau Caca tetap tinggal di sini sama Ica. Jadi Om aja yang pindah ke ruamha sebelah," usul Ica tiba-tiba ketika hendak merapikan barang-barang Caca di kamarnya."Setuju!" Caca menjawab dengan kegirangan. Gadis kecil itu langsung memeluk dan mencium Ica.
Ica manggut-manggut ketika mendengar penjelasan dari Dokter Lulu mengenaiH penyakitnya. Meski sedikit tak percaya kalau ada penyakit seaneh itu di dunia ini._Cataplexy. Ah, aku pikir Adrophobia seperti yang Ibu katakan selama ini, tapi ternyata berbeda_ gerutu Ica dalam hati. Tunggu! Ibu? Di mana Ibu, kenapa dari tadi aku tak melihatnya? Tiba-tiba Ica teringat akan ibunya. Amnesia yang dideritanya membuat Ica masih merasa meliliki Ibu."Ada yang ingin ditanyakan?" tanya Dokter Lulu yang keheranan melihat Ica celingak-celinguk memiringkan badannya serta sorot mata ke arah pintu seolah menunggu kedatangan seseorang."Dok, Ibu saya mana saya? Kok, dari tadi malam tidak kelihatan ya. Ibu saya tau kan kalau saya ada di rumah sakit, kalau belum tau tolong kasih tau Dok."Dokter Lulu menghela napas pelan, bingung harus menjelaskan dari mana tentang situasi ini kepada Ica.
Setengah berlari, Fariz menyusuri garis berwarna merah yang ada di lantai. Langkahnya terhenti di depan brankar yang sedang di dorong oleh perawat untuk dipindahkan ke ruang perawatan."Ica!" Fariz berteriak mengikuti para petugas tersebut. Angga, dokter residen yang menyadari kehadiran Fariz pun mencegahnya untuk mengikuti para perawat."Dok, sebaiknya temui Prof Lulu. Beliau menunggu dokter di sana.""Tapi istri saya?""Istri dokter baik-baik saja, tadi Prof Lulu menyuruh Anda lekas menemuinya sebelum bertemu dengan istri Anda."Fariz mengangguk. Toh, tadi Ica sudah terlihat sadar ketika para perawat tersebut membawanya, Ica pun sempat tersenyum padanya. Berarti kondisinya memang sudah baik.Fariz mengetuk pintu ruangan Dokter Lulu dengan dua kali ketukan."Masuk." Suara dari dalam memerintahkan dirinya untuk masuk.&