_Kanker kolorektal stadium 4 any T any N M1a_ hasil dari tes CT scan, USG perut, rontgen dada, USG endorektal dan USG intraoperatif yang dijalani Vina.
"Ini artinya apa, Om?" tanya Ica yang tak paham akan hasil lab yang diberikan oleh dokter Rita untuknya.
Fariz tak menjawab, bibirnya terasa kelu untuk menjelaskan bahwa sahabat sekaligus mertuanya itu sangat tipis berkemungkinan untuk sembuh.
"Dok, ini artinya apa?" Lagi, Ica bertanya mencoba minta penjelasan kepada dokter Rita, orang yang selama ini menangani penyakit ibunya.
Dokter yang asli timur itu hanya bisa melirik ke arah Fariz. Pria itu sudah meminta ijin agar dirinya yang akan menjelaskan penyakit Vina kepada anaknya.
"Biar dokter Fariz yang akan menjelaskannya," jawab dokter Rita mengusap pundak Ica yang duduk mematung di kursinya lalu meninggalkan dua orang itu untuk berbicara.
Fariz mendekat, membungkuk dan meletakan lututnya di lantai. Kini tubuhnya sejajar dengan Ica yang sedang duduk di kursi. Dilihatnya lekat manik indah putri sahabatnya itu.
"Kita doain Ibu, ya, Ca. Semoga Ibu kuat melawan penyakitnya." Pelan Fariz berkata mencoba menahan air mata yang juga sudah menyembul di sudut matanya.
"Pasti Om, tapi hasil lab tadi apa artinya? Ica berhak tau kan Om?"
"Kanker Ibu sudah masuk stadium akhir, tidak tumbuh di dinding kolon atau rectum, tidak menyebar ke kelenjar getah bening tapi menyebar ke organ tubuh lainnya yaitu hati."
"Terus, percuma, dong, di operasi?"
"Dokter akan tetap melakukan tindakan karena Ibu tetap perlu menjalani pengobatan kanker kolorektal. Tujuannya, untuk meringankan gejala, memperlambat penyebaran sel kanker, dan tentunya membuat kualitas hidup Ibu jadi lebih baik."
Air mata Ica tumpah, bahunya berguncang karena menahan Isak. Ada darah yang menetes dari hidung Ica.
"Sabar, kita doakan yang tebaik buat Ibu," bisik Fariz lembut, sambil mengelap hidung dan memeluk istri belianya itu, berjaga-jaga bila Ica mendapat serangan cataplexy akibat emosi sedih yang berlebihan.
______
Sebulan setelah menjalani operasi Vina terlihat cukup sehat untuk dikunjungi, meski selang infus masih membelit lenganya. Ia pun bisa menerima kunjungan dari Ica untuk berbagi cerita selama berpisah dari dirinya. Dokter mengijinkannya sebagai bagian dari terapi diri. Siapa tau dengan mendengar celoteh putrinya yang selalu lupa kalau dirinya sudah menjadi seorang istri, bisa menaikan sistem imun bagi tubuh Vina.
"Ica tidur di mana?" tanya Vina dengan suara yang lemah.
"Di rumah Bu, sama Caca."
"Om Fariz?"
"Di rumahnya juga."
"Loh, kok nggak tinggal satu rumah? Kalian kan sudah menikah." Vina melirik ke Ica dan Fariz.
"Lupa, Bu," jawab Ica, polos. Membuat Vina menyunggingkan senyum dan melirik ke arah Fariz.
"Nggak apa Vin. Aku yang salah karena belum membuat kunci duplikat rumah sehingga Ica ketiduran dengan pintu rumah terkunci sebelum aku pulang," terang Fariz mencoba menjelaskan alasan Ica yang selalu membuat dirinya tidur terpisah dari rumah.
"Untungnya rumah Om Fariz dekat ya, Bu. Cuma di sebelah, jadinya tiap Caca mengingau cari Papanya, Ica tinggal anterin ke rumah sebelah meski tengah malam." Kali ini Vina mengerutkan keningnya mendengar penuturan Ica.
"Oo, jadi kamu yang tidur di rumah Om Fariz?"
"Nggak, Ica pulang, lah.
"Loh, kenapa? Kok, pulang?" Suara Vina terdengar mulai terengah-engah.
"Vin, ceritanya lanjut nanti, ya. Sudah waktunya kamu istirahat," potong Fariz, tak ingin sahabatnya mendapat serangan jantung akibat cerita anaknya yang akan mengadu kalau dirinya masih belum bisa menerima putri sahabatnya sebagai wanita dewasa.
Di mata Fariz, Ica masih tetap seperti keponakannya.
"Ibu istirahat ya, besok Ica datang lagi." Ica mencium kening ibunya.
"Ca, manggilnya jangan 'Om' terus ke suami, coba panggil 'Mas," saran Vina, sebelum anak dan menantunya mengakhiri jam kunjungannya.
Sepertinya Vina menyadari bahwa putrinya masih belum dianggap istri oleh sahabat yang kini menjadi menantunya.
"Titip Ica, ya, menantuku sahabatku," ucap Vina kepada Fariz, membuat Ica terpingkal mendengar celoteh ibunya.
"Kok, jadi berasa judul sinetron ikan terbang, ya, Bu," timpal Ica, sukses membuat Vina tertawa, tetapi membuat wajah Fariz memerah karena menahan malu dan kesal menjadi bahan olok-olokan Vina dan anaknya.
________
Sinar mentari masuk melalui jendela kaca yang tertutup, membuat pria yang baru tertidur selama empat jam itu, menarik selimutnya kembali guna menutupi pantulan sinar matahari yang menerpa wajahnya.
"Papa bangun!" teriak Caca, mencoba membangunkan Papanya.
"Ca, Papa masih ngantuk, semalam pulang jam dua.
"Bangun nggak Om, kalau nggak Ica perkosa, nih!" Sontak Fariz terbangun dan duduk setelah mendengar suara ancaman dari istri belianya.
"Ka-kamu ngapain masuk ke kamar saya?"
"Papa, kita mau joging. Mama Ica, ngajak kita joging buat beli bubur ayam di dekat lapangan basket," jelas Caca, sambil menyandarkan badannya di tubuh Papanya serta melingkarkan tangan di lehernya, bersiap minta digendong.
"Kamu keluar dulu, gih, ajak Kak Ica sekalian. Papa mau ganti baju dulu."
"Mama, Pa bukan Kakak," protes Caca.
"Ya udah, Mama. Ica, tolong tunggu di luar dulu, ya."
"Sama istri aja masih malu-malu, Om, eh, Mas," goda Ica membuat Fariz menjambak rambutnya sendiri karena kesal.
"Iya, iya, terserah kamu mau panggil saya Om atau Mas, tapi sekarang bisa keluar dulu nggak? Mau joging sama saya, kan?" Fariz sedikit menekan suaranya guna menahan kejengkelan yang sudah merasuk di ubun-ubun kepalanya.
Ica dan Caca, sontak lari keluar sambil cekikikan. "Papa, jadi orang tua jangan emosian nanti cepet mati," seru Caca sebelum menghilang dari balik pintu.
"Vina, pliss jangan mati dulu. Aku bisa gila ngurusuin dua anak perempuan kalau begini caranya," gerutu Fariz di atas kasurnya.
Dirinya masih enggan untuk pergi joging tetapi sebuah ide muncul di kepalanya begitu saja, sehingga membuat ia bersemangat menuju kamar mandi.
Fariz lekas menggosok gigi dan mencuci mukanya, dipakainya celana training dan kaos ketat yang menonjolkan otot bisep di lengannya itu, meski usianya hampir mendekati kepala lima, tubuh Fariz masih terlihat gagah seperti pria berusia tiga puluhan. Kegemarannya berolahraga, lah, yang membentuk tubuh indahnya itu sering membuat kaum hawa terkecoh oleh usianya, ditambah wajah yang baby face seperti tak pernah menua.
Fariz tersenyum melihat pantulan dirinya di cermin, rambut bagian depannya dibiarkan tergerai olehnya. Seingat Fariz, tampilan seperti inilah yang dulu sukses membuat Ica pingsan saat melihat dirinya. Yah, Fariz memang berniat membuat Ica pingsan agar tak perlu joging, karena ia masih butuh tidur yang banyak untuk saat ini.
"Papa, Kakak Ica mau mati!" teriak Caca dari luar.
"Hah! Perasaan aku belum keluar? Apa Ica mengintip ya? Yes, usahaku berhasil," gumam Fariz dengan senyum mengembang dan lekas keluar untuk mengecek keadaan.
Sampai depan teras, Fariz tergopoh menghampiri Caca yang terlihat khawatir dengan keadaan Ica yang terus mimisan, di depannya seorang pria muda yang ditaksir Fariz berusia akhir dua pulauhan itu, tengah memegang tengkuk Ica untuk tetap menunduk. Namun Ica enggan untuk menuduk, tepatnya leher Ica kaku, senyum menghias di wajahnya dengan mata yang berbinar menatap pria yang bisa dibilang tampan itu.
"Cih!" decak Fariz yang enggan mengakui bahwa lelaki berkaos abu itu cukup ganteng sehingga membuat korteks limbik di otak Ica bereaksi.
"Biar saya saja," pinta Fariz agar pria muda itu menyingkir dari Ica.
"Oh iya, maaf," gugup, pria bernama Reno itu mempersilakan Fariz mengambil alih untuk melihat kondisi Ica.
"Kamu kuat bangun, Ca?" tanya Fariz yang mulai kesal melihat ekspresi Ica senyum-senyum keganjenan. Ica menyadari tatapan tajam suami tuanya itu, membuat pacuan detak jantungnya semakin berlomba.
"Itu Bang Reno, anaknya Pak RT," jelas Ica agar suaminya tidak salah paham.
"Aku tau," jawab Fariz ketus, lalu sigap menggendong Ica yang seketika sukses pingsan karena mendengar Fariz memakai kata 'aku' untuk menyebut dirinya ke Ica.
"Loh, Ica pingsan," panik Reno.
"Ntar juga hidup lagi, kok Om," jelas Caca.
TBC.
Fariz langsung membawa Ica masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya masih cemberut karena melihat pemuda asing yang tak dikenalnya itu mengikuti langkahnya. Tepat di depan pintu kamar Fariz menghentikan langkah dan memutar badan menghadap ke Reno."Sebaiknya Anda pulang saja, Ica baik-baik saja," ucap Fariz ketus.Reno terkejut, menyadari bahwa dirinya telah bertindak di luar kesadaran, karena panik melihat Ica yang berdarah dan pingsan ia malah ikut masuk ke rumah orang yang tak dikenalnya tanpa di undang. Ia pun bergegas pulang.Di dalam kamar, Fariz masih terlihat khawatir dengan kondisi Ica yang belum sadar juga. Sampai akhirnya pria paruh baya itu menyadari ada yang aneh pada reaksi dirinya ke Ica. Ini terlalu berlebihan, kenapa pula aku mengecek suhu tubuh dan detak nadinya? Bukankah dua atau tiga menit lagi gadis ini akan sadar? Pikir Fariz. 
"Hai Sayang, perlu bantuan?" Ramah Fariz menyapa istrinya hingga membuat sang istri meneteskan darah dari hidungnya."Yah, Mama Ica mati lagi, deh," celetuk Caca yang panik melihat hidung Ica mulai mimisan.Brug!Suara rolling door terdengar keras ketika Ica menyandarkan tubuhnya, berusaha mengatur ritme jantungnya yang melonjak cepat ketika mendengar kata 'Sayang' dari Fariz."Kamu kenapa, Ca?" Reno kaget melihat Ica yang menyandar pada pintu toko dengan wajah yang pucat."Biar saya saja," cegah Fariz, saat Reno ingin memapah tubuh Ica.Ica menunduk, ia tak ingin menatap wajah Fariz, karena tak ingin pingsan lagi. Sekuat tenaga ia mengatur napas dengan membuang dan menghirup udara dari mulut dan hidungnya."Tetap lakukan itu, dan jangan membuka mata," bisik Fariz yang menyadari kalau Ica sedang mengatu
Mata Fariz masih mendelik tajam, meminta kejelasan, bagaimana bisa Caca mengetahui istilah pancil dicicil?"Jelasin dulu kenapa Caca bisa tau istilah itu?" ancam Fariz yang enggan menjawab pertanyaan anaknya tentang kata 'istri'."Ada sales panci yang datang ke toko menawari sistem pembayaran cicil, mungkin dari situ Caca tahu."Caca mengangguk. "Betul. Kalau istri apa, Pa?""Istri itu ...." Suara bel pintu menghentikan mulut Ica untuk memberi penjelasan pada anak tirinya."Papa kamu aja yang jelasin, Mama Ica, mau bukain pintu dulu," ucap Ica sambil melirik kepada Fariz.Pria senja itu mengangguk pelan tanda setuju, tetapi kembali mendelik setelah membaca gerakan bibir Ica, yang mengucapkan kata S U A M I kepadanya dengan kerlingan mata dan sun jauh.Namun, ekspresi ketidak sukaan itu hanya ditunjukan sebent
Fariz kebingungan mendengar pertanyaan Caca yang begitu ingin tau siapa wanita yang barusan bertamu. Jika ia mengatakan wanita itu adalah Mama kandungnya, Caca pasti akan bingung dan menganggapnya pembohong. Karena selama ini Fariz selalu berkata bahwa Caca tak pernah memiliki mama sejak lahir. Bila tak menjelaskan sekarang, pasti Caca akan lebih kecewa bila mengetahuinya dari mulut Bella, langsung. Tanpa sadar Fariz menggaruk kepalanya yang tak gatal, sambil senyum ia menatap Caca dan Ica secara bergantian. Lalu sebuah ide jahil muncul begitu saja di kepalanya ketika untuk ketiga kalinya ia menatap wajah Ica yang sedang mengejeknya karena pertanyaan Caca."Tanya Mama Ica aja, ya. Dia tau siapa itu Bella Ayunda," jawab Fariz sambil mengerling dan tersenyum jahil pada Ica.Antara sebal dan bahagia, gadis penderita Cataplexy itu melotot mendengar penyataan Fariz dengan senyum dan kerlingannya yang menggoda. Otak Ica tak dapat merespon rasa bahagia yang mene
Ruangan berdinding putih itu hanya boleh dimasuki oleh Ica, Fariz dan Dokter Rita. Pengunjung yang lain hanya boleh menunggu di luar pintu yang bertuliskan Ruangan ICU. Dari balik pintu, Bella dapat mengintip ada tubuh ringkih yang tengah terbujur lemah tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Tubuh tersebut dililit oleh selang infus dan kabel elektroda yang terhubung ke monitor hemodinamik serta saturasi. Parameter di layar monitor menunjukan aktivitas denyut jantung di bawah 60. Angka yang tertera hanya 23.Dokter Rita hanya menggeleng kepada Fariz yang tengah memeluk Ica."Sejak kapan kondisinya melemah seperti ini?" tanya Fariz."Baru tadi pagi. Kankernya sudah menyebar ke jantung. Ica, ikhlasin Ibu, ya. Kami sudah nggak bisa berbuat apa-apa untuk kesembuhan Ibu."Mendengar kata-kata dari Dokter Rita, tangis Ica semakin menjadi
Sudah ada lima menit, Caca duduk menyender di pintu kamar Ica. Anak itu menuggu sang Mama keluar dari kamarnya. Sesekali dari mulut kecilnya terdengar gumaman,"Mama Ica keluar, dong.""Caca mau main sama Mama Ica."Meski tak terdengar suara isakan dari gumaman Caca, tetap saja bagi Fariz, suaranya terdengar seperti rengekan. Pikiran Fariz pun mulai disesapi rasa panik, ketika Caca kemabali bertanya kepadanya."Pa, Mama Ica nggak mati kan?" Mata mungil itu mulai berkaca-kaca."Biar Papa yang bujuk, siapa tau Mama Ica mau keluar."Pelan, Fariz mengetuk pintu kamar Ica sambil memanggil namanya. Tak ada respon dari dalam. Ketukan pun sedikit dikeraskan."Ca, buka, dong. Sudah sore ini, kamu baik-baik aja, kan?" Masih tak ada respon."Pa, dorong kencang aja pintunya." Caca memberi saran."Ah, iya juga. Ca
Sudah dua jam Ica pergi bersama Reno. Padahal lokasi pemakaman tidak begitu jauh dari kompleks rumah Ica, tapi kenapa mereka begitu lama untuk jiarah.Caca sedari tadi sudah menanyakan di mana Mama Ica kepada Papanya. Membuat Fariz semakin pusing dibuatnya. Baru saja Fariz ingin menghubungi ponsel Ica untuk menyuruhnya segera pulang. Tiba-tiba terdengar suara motor dari luar. Gegas, Fariz berlari menuju teras."Ica!" serunya sambil berlari menuju teras.Sesampainya di teras, ternyata tukang galon yang datang."Maman, Pak. Bukan Ica," jawab si tukang galon yang keheranan melihat wajah panik Fariz. Sambil menggedikan bahu, Maman si tukang galon pun lekas angkat kaki karena mendapati mata Fariz yang mendelik, kesal.Ah, sial! Fariz merutuk dalam hati kemudian tersenyum menyadari tingkahnya yang terlihat konyol dan berlebihan. Ia jadi terlihat sepe
"Papa sama Mama Ica lagi ngapain?" Suara Caca dari belakang menghentikan gerakan tangan Fariz yang mulai tak terkontrol memegang tengkuk Ica.Fariz terkejut, menarik bibirnya dari pagutan Ica. Wajah mereka berdua memerah. Sementara Ica tersenyum, ada darah yang menetes dari hidungnya.Kilasan-kilasan memori terlintas di otak Ica saat mereka berciuman. Memberi informasi kilasan adegan saat Ica pertama kali bertemu dengan Fariz. Saat usianya lima tahun, lalu berlanjut ke potongan memori saat usia Ica delapan tahun. Ada pesta ulang tahun yang dibuat oleh ibunya, dan dihadiri oleh beberapa tamu undangan, salah satunya Fariz. Sahabat ibunya itu memberikan kalung kepada Ica sebagai kado ulang tahun.Vina memakaikan kalung bermata Rubi itu ke leher putrinya sambil berseloroh,"Sepertinya, kamu akan benar-benar terikat pada putriku nanti.""Ya, dia akan terikat menjadi
Ragu-ragu Ica berdiri di depan pintu rumah sebelah. Kepalan tangannya menempel di daun pintu, hendak mengetuk, tetapi urung. Apa yang harus ia katakan jika si Tuan Rumah membukakan pintu teresebut. Apakah Ica harus mengakui bahwa dirinya bersalah dan meminta maaf karena telah menuduh hal yang tidak-tidak kepada suaminya sendiri. Yah, setelah mendapatkan penjelasan dari Bu Herman prihal status Om Fariz, serta bukti-bukti berupa foto, surat nikah dan cicin yang melingkar di jari manisnya, akhirnya Ica dapat menerima kenyataan bahwa Om Duda tetangga sebelah rumahnya adalah suaminya. Meskipun Ica tak mengingat kapan pernikahan itu berlangsung, tetapai Ica pun menjadi maklum setelah penjelasan dari Bu Herman yang menyatakan dirinya terkena amnesia. "Loh, Ica ngapain berdiri di depan pintu? Ayo, masuk!" ajak Fariz yang terkejut saat membuka pintu hendak membuang sampah ada Ica menghalangin jalannya. Ica menurut, ia sebenarnya terkejut dan malu dengan kemunculan
Usai melaksanakan salat subuh, Fariz memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Rumah sebelah yang tidak ditempati oleh Ica. Ya, Fariz memutuskan untuk menunda menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Ica. Ia lebih memilih untuk mendiskusikannya dahulu kepada senior nya, Dokter Lulu. Jika dugaaan Fariz benar, sepertinya Ica sedang mengalami Antarograde Amnesia, yaitu hilangnya memori jangka pendek secara berulang setelah penderita terbangun dari tidurnya."Kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu?" tanya Dokter Lulu melalui sambungan Vidio call. Wajah bulat Dokter Lulu memenuhi layar ponsel."Ica. Emhhh, maksud saya memori Ica lompat ke ingatan setahun lalu saat kami pertama kali kenal dan dinner bersama. Dia sudah mengenali saya tapi hanya sebagai tetangga sebelahnya, bukan sebagai suaminya.""Sebaiknya bawa ke rumah sakit, Riz. Saya tak bisa menebak jika belum melakukan serangkaian tes. Bisa saja yang kamu katakan benar, tetapi tetap saja kita tak b
Malam itu terasa indah bagi Fariz. Ica sama sekali tak menunjukan gejala cataplexy, istri belianya itu dapat mengimbangi permainannya. Bisa dikatakan saat itu Ica lah yang lebih bergairah, sementara Fariz masih takut Ica dipertengahan mengalami serangan cataplexy. Sampai mereka sama-sama mencapai klimaks, Ica baru menunjukan gejala cataplexy. Ada darah yang keluar dari hidungnya, ketika Fariz mengucapkan terimakasih dan mengecup keningnya."Hidung kamu berdarah, Sayang." Lembut, Fariz membersihkan hidung istrinya."Nggak papa,Ica sudah biasa seperti ini ketika hati Ica diliputi rasa bahagia." Fariz tersenyum mendengar penuturan istrinya."Kamu bahagia, Sayang?"Ica mengangguk lalu menutup mata sambil tersenyum. Otot leher dan wajahnya sudah tak mampu bekerja lantaran hipocretin dalam otaknya berkurang, Ica mengalami nerkolepsi--s
Tiba-tiba sosok Fariz menghilang setelah mendengar teriakan dari Ica. Di situ Ica baru menyadari kalau dirinya telah berhalusinasi melihat Om Duda sebelah."Aish, kenapa jadi muncul bayangan Om sebelah. Sadar Ca, sadar. Fokus ke masalah Amel saja." Ica kembali berbicar dengan bayangannya di cermin.'Tunggu dulu, jika aku membantu Amel itu berarti aku akan kehilangan Bang Reno untuk selamanya. Lalu, kenapa Bang Reno harus berbohong dan berpura-pura kalau kita masih pacara, apakah dia sebenarnya masih memiliki perasaan cinta kepadaku dan Amel hanya dijadikan pelarian baginya.' Pikiran itu terlintas begitu saja di kepala Ica membuat dirinya tersenyum pada bayangan diri di cermin."Aku harus memastikan perasaan Bang Reno sebelum merencanakan misi 'doble date' bersama Amel dan Om Fariz," gumam Ica dengan suara yang penuh tekadBaru saja Ica ingin menghubungi R
House of Yuen menjadi pilihan Bella untuk mengajak mantan suami, anak serta istri barunya dinner, malam ini. Karena restoran keluarga ini terbilang mewah, Bella pun menyarankan agar Ica mengenakan baju yang sedikit Formal. Dress selutut dengan potongan kerah Sabrina menjadi pilhan Ica.Ini adalah kali pertama bagi Ica dan Caca makan di restoran mewah. Restoran yang terletak di salah satu hotel bintang lima yang ada di Jakarta itu berada di lantai tiga. Selama memasuki ruangan restoran tersebut Fariz tak berhenti-hentinya mengkhawatirkan kondisi Ica yang dikit-dikit hidungnya berdarah. Mulai dari di sapa oleh pelayan restoran sampai ia melihat salah satu artis ibukota yang menyapa Bella."Nunduk Ca, jangan dilihat, tarik nafas dalam-dalam lalu hembuskan," bisik Fariz membimbing Ica agar tidak pingsan.Rupanya suara berbisik Fariz masih dapat didengar oleh sang artis."Eh, itu kenapa hidungnya berdarah?"
Caca tengah bahagia melihat dirinya berada di Chanel YouTube milik Bella Ayunda. Sudah seharian ia terus menceritakan dan pamer kepada Ica tentang vidionya di YouTube."Aku cantik ya, Mama Ica. Caca kepengin deh, kalau besar nanti seperti Tante Bella."Ica mulai bosan mendengar ocehan Caca. Pasalnya semenjak melihat video tersebut, Ica jadi melihat semua sosmed milik Bella Ayunda. Mulai dari Instagram, YouTube sampai Tiktok dan Facebook. Bella yang awalnya seorang selebgram itu mulai merambah menjadi YouTuber sekitar enam bulan lalu saat dirinya membuat Vlog tentang Ica saat di Bali. Di sanalah Ica menemukan kebenaran tentang dirinya yang ternyata benar sudah menikah dengan Fariz. Juga fakta bahwa Reno sudah bertunangan dengan seorang perawat bernama Amel.Jemari Ica terus berselancar di YouTube hingga ia memutuskan berhenti di sebuah Chanel yang menayangkan tentang dirinya. Dari sana Ica mengetahui bahwa dirinya sempat viral juga karena
Demi membuat kondisi Ica tidak merasa canggung dan tak nyaman, akhirnya Fariz memutuskan untuk menerima usulan Ica yang meminta dirinya untuk pindah ke rumah sebelah. Mereka memulai dari awal lagi, membuat suasana rumah seperti Ica berusia 16 tahun, meski tanpa Ibu di sampingnya."Hanya untuk sementara sampai ingatan saya pulih," pinta Ica dengan bahasa yang sangat formal.Meski menyanggupinya setelah mengajukan syarat agar membiarkan Caca tetap memanggil Ica dengan kata 'mama' tetap saja Fariz merasa ini terlalu berlebihan. Kenapa dari semua kenangan yang dimiliki oleh Ica, harus dirinya yang dilupakan.Sesekali Ica ikut membantu memindahkan barang-barang Fariz dan Caca."Eh, gini Om. Gimana kalau Caca tetap tinggal di sini sama Ica. Jadi Om aja yang pindah ke ruamha sebelah," usul Ica tiba-tiba ketika hendak merapikan barang-barang Caca di kamarnya."Setuju!" Caca menjawab dengan kegirangan. Gadis kecil itu langsung memeluk dan mencium Ica.
Ica manggut-manggut ketika mendengar penjelasan dari Dokter Lulu mengenaiH penyakitnya. Meski sedikit tak percaya kalau ada penyakit seaneh itu di dunia ini._Cataplexy. Ah, aku pikir Adrophobia seperti yang Ibu katakan selama ini, tapi ternyata berbeda_ gerutu Ica dalam hati. Tunggu! Ibu? Di mana Ibu, kenapa dari tadi aku tak melihatnya? Tiba-tiba Ica teringat akan ibunya. Amnesia yang dideritanya membuat Ica masih merasa meliliki Ibu."Ada yang ingin ditanyakan?" tanya Dokter Lulu yang keheranan melihat Ica celingak-celinguk memiringkan badannya serta sorot mata ke arah pintu seolah menunggu kedatangan seseorang."Dok, Ibu saya mana saya? Kok, dari tadi malam tidak kelihatan ya. Ibu saya tau kan kalau saya ada di rumah sakit, kalau belum tau tolong kasih tau Dok."Dokter Lulu menghela napas pelan, bingung harus menjelaskan dari mana tentang situasi ini kepada Ica.
Setengah berlari, Fariz menyusuri garis berwarna merah yang ada di lantai. Langkahnya terhenti di depan brankar yang sedang di dorong oleh perawat untuk dipindahkan ke ruang perawatan."Ica!" Fariz berteriak mengikuti para petugas tersebut. Angga, dokter residen yang menyadari kehadiran Fariz pun mencegahnya untuk mengikuti para perawat."Dok, sebaiknya temui Prof Lulu. Beliau menunggu dokter di sana.""Tapi istri saya?""Istri dokter baik-baik saja, tadi Prof Lulu menyuruh Anda lekas menemuinya sebelum bertemu dengan istri Anda."Fariz mengangguk. Toh, tadi Ica sudah terlihat sadar ketika para perawat tersebut membawanya, Ica pun sempat tersenyum padanya. Berarti kondisinya memang sudah baik.Fariz mengetuk pintu ruangan Dokter Lulu dengan dua kali ketukan."Masuk." Suara dari dalam memerintahkan dirinya untuk masuk.&