"Beneran Pak Dewangga nggak tau kan?" tanya Citra khawatir saat menjemput Kanaya. Setelah mereka mengatur sedemikian rupa untuk meluruskan segala konspirasi yang di lakukan oleh Wirawan. Karena mereka yakin di balik semua itu pasti ada motifnya dan tidak mungkin Wirawan bisa melakukan hal itu jika tidak ada orang di balik semua perbuatannya. "Gue nggak yakin, lo tau sendiri bagaimana Mas Dewa, Cit." Citra mengangguk, suami sahabatnya itu termasuk susah untuk di kelabuhi. Mungkin saja atasannya itu sudah tau rencana mereka. "Kai yakin nggak rewel lo tinggal?" tanya Citra lagi sebelum mereka benar-benar melakukan mobilnya. "Dia anteng kalau sama neneknya," Tadi pagi Kanaya memang izin dengan Dewangga untuk mengunjungi orang tuanya, dan syukurlah Dewangga mengizinkannya dan berkata akan menjemputnya sore hari. "Sore gue harus pulang," Beritahu Naya membuat Citra mengangguk. "Nay, gue kaya bingung harus bagaimana tahu. Di lain sisi gue kasihan sama Rian hidupnya dari dulu ngg
"Wirawan dulu salah satu karyawan kakek kamu, dia di mintai tolong oleh kakek kamu untuk mencari tau tentang anak laki-lakinya yang hilang. Karena di janjikan imbalan yang sangat fantastis akhirnya dia benar-benar mencari info soal anak kakek kamu yang hilang itu." ujar Amira menjeda sebentar, sedangkan Rian hanya diam menyimak."Namun seiring berjalannya waktu, Wirawan justru menyukai mama kamu, Ajeng. Dan karena ambisinya untuk menjadi orang Kaya akhirnya dia menghalalkan segala cara termasuk meninggalkan saya yang waktu itu sedang hamil Savira dan menikah dengan mama kamu." Amira sebenernya masih sakit hati dengan semua perlakuan Wirawan. Namun dia harus meluruskan kesalahpahaman yang ada termasuk alasan Wirawan membunuh Aditama, Ayah dari Dewangga."Setelah kami berpisah, Wirawan mengubah seluruh identitasnya agar bisa menikah dengan mama kamu. Karena kakek kamu tidak ingin mendapatkan menantu yang asal-usulnya tidak jelas. Karena papamu hanyalah anak yang besar di panti asuhan."
Sejak pulang dari rumah orang tuanya kemaren, suaminya masih saja mendiamkannya. Sekarang meraka berada di ruangan yang sama duduk bersebalahan namun tidak ada yang membuka obrolan sama sekali.Kanaya yang sibuk dengan pikirannya sendiri dan Dewa dengan kebiasannya membaca buku sebelum tidur. Kanaya tidak menyukai situasi seperti ini. Kanaya menatap suaminya kemudian memberanikan diri untuk membuka pembicaraan. "Mas," panggilnyaNaya menghela nafas karena lagi-lagi usahanya gagal, suaminya tidak menoleh sedikitpun kepadanya. Justru semakin fokus dengan buku bacaannya seolah mengabaikan dirinya."Mas," panggil Kanaya lagi, dia tidak akan menyerah sebelum mendapatkan maaf dari suaminya.Lagi-lagi Dewa tidak menanggapinya sama sekali, Akhirnya Kanaya mendekat dan mengulurkan tangannya untuk menangkup kedua pipi suaminya."Kamu denger aku nggak sih, Mas." Protes Kanaya dengan wajah kesalnya."Saya lagi baca buku, Kanaya." Jawab Dewa."Lebih penting buku kamu daripada aku, istri kamu." t
"Jadi Pak Dewangga udah tau semuanya?" Citra manatap Naya tidak percaya, "Gue masih penasaran bagaimana kalau Seodrajat tau jika Pak Dewangga adalah cucunya."Kanaya mengangguk, bahkan dirinya juga tidak menyangka kalau suaminya sudah tau duluan. Tapi tetap diam dan bersikap tenang."Kayanya Mas Dewa nggak soal itu deh, Cit. Soalnya pas gue kasih tau wajahnya lempeng-lempeng aja." Ujar Kanaya mengingat bagaimana gugup dan takutnya saat mengatakannya."Kalau orang lain tau cucunya konglomerat udah pasti akan mengambil keuntungan, Nay. Tapi suami lo emang beda sih, apa karena dia udah kaya, Ya." "Kayanya dia emang nggak mau memperpanjang urusannya dengan Soedrajat sih, Cit. Dia bilangnya urusan saya cuma mencari keadilan buat ayah." ujar Kanaya sambil menirukan suaminya."Kasihan Rian ya, Nay. Dia pasti terpukul banget setelah mengetahui semuanya." Ujar Citra mengingat bagaimana terpuruknya hancurnya Rian saat mengetahui jika hubungan keluarganya memang serumit itu."Dia tadi pagi ne
"Mas, aku izin keluar sebentar, Ya." Izinya sembari menyiapkan sarapan untuk Dewa.Sebenernya sejak semalam Kanaya sudah ingin meminta izin pada suaminya namun belum memiliki keberanian dan momen yang tepat. Akhirnya pagi ini Kanaya memberanikan diri untuk meminta izin, karena setelah kejadian dirinya pergi dengan Rian tanpa izin suaminya itu dia mendapatkan mode diam dari suaminya. Sebenernya Kanaya takut jika Dewa tau izinnya kali ini untuk kembali menemui Rian. Karena beberapa hari ini laki-laki itu menghubunginya dan mengajaknya bertemu. "Kai?" Tanya Dewa."Aku titipin Bik Rosma, sebentar aja kok." Jawab Naya, masih berusaha untuk membujuk suaminya. Sebenernya Kanaya sendiri merasa dilema, harus datang menemui Rian atau tidak. Jujur, Kanaya takut jika suaminya tau jika dirinya tidak bertemu dengan teman lamanya melainkan Rian.Dewa terlihat berpikir, padahal biasanya meminta izin pada Dewa itu sangat mudah. Cukup dengan mengirim pesan singkat dan mengatakan keinginannya untuk k
"Ngapain lo kerumah gue? Gue udah bilang jangan ganggu gue lagi." Kanaya berusaha mendorong Rian yang berdiri di depan pintu rumahnya.Sebenernya mau laki-laki di depannya ini, padahal kemaren dia sudah menekankan dan memperingati untuk tidak kembali menganggunya. Tapi siang ini justru Rian kembali datang kerumahnya.Rian berdecak saat tangan mantan pacarnya itu dengan kasar mendorongnya. "Gue kesini nyari kakak sepupu gue, Mas Dewangga." "Kenapa lo mau ketemu suami gue?!" tanya Naya menatap Rian dengan tatapan kesal."Ada yang mau gue bicarakan sama Mas Dewangga, gue ini sekarang Adik sepupunya Mas Dewangga." Ujar Rian sudah mulai berani. "Suami gue nggak mau ketemu sama lo." Usir Kanaya membuat Rian menghela nafas berat."Nay, gue cuma pengen ketemu Mas Dewa. Ada yang mau gue bicarakan sama dia." Ujar Rian kembali menyakinkan wanita di depannya ini."Soal, kalau soal rencana busuk lo itu gue nggak setuju. Mendingan lo pulang saja." usir Kanaya.Rian menatap tidak percaya, dulu Kan
Semalam Kanaya demam, membuat Dewa harus terjaga untuk merawat istrinya. Badannya masih lemas dan kepalanya pusing sehingga pagi ini masih berbaring di atas ranjang.Kanaya itu sangat jarang sakit, tapi entah kenapa hari ini dirinya terkena demam hingga membuatnya lemas tak berdaya seperti sekarang. Suaminya sudah membujuknya untuk kerumah sakit, namun Kanaya tidak mau karena setelah di buat istirahat pasti juga akan sembuh sendiri.Dewa sudah mengecek putranya di kemar sebelah, setelah memastikan Kai aman karana Naya tidak mungkin bisa mengaja Kai hari ini, Jadi Dewa memutuskan untuk menghubungi ibu mertuanya untuk membantu menjaga Kai hari ini."Kok, belum bersiap?" tanya Naya.Suaminya itu masih duduk di sebelahnya dengan punggung yang bersandar di headboard ranjang. Seolah enggan meninggalkannya."Kamu sakit," Jawabnya, tangannya terulur ke arah nakas untuk mengambil ponselnya."Aku nggak papa, Mas. Nanti bunda kesini, kamu kerja aja nggak papa."Namun Dewa justru tidak menanggap
Nay," Naya mendengus kesal, saat melihat laki-laki jangkung itu tengah berdiri menatapnya dengan senyum merekah di wajahnya."Ck, kenapa gue harus ketemu lo lagi, sih." Jawab Kanaya sengit."Kayanya kita emang jodoh deh, Nay. Padahal nggak janjian tapi tuhan masih mempertemukan kita berdua." Balas Rian dengan tersenyum jahil.Kanaya berdecak sinis, namun karena disini ada banyak pengunjung. Akhirnya Kanaya memilih diam dan menikmati Es kelapa mudanya daripada harus meladeni manusia menyebalkan itu, sedangkan Kai duduk di strollernya dengan cemilan khusus anak-anak yang sudah Kanaya siapkan."Kai, mau punya papa baru, Nggak?" Plak!Kanaya memukul bahunya dengan cukup keras. "Tu mulut di jaga." "Astaga! Bercanda doang, Nay. Gini-gini gue adik sepupu lo." Ujar Rian membuat Kanaya bergidik jijik."Astaga lo dulu juga pernah cinta banget sama gue. Kok sekarang bisa sebenci ini sih, Nay?" tanya Rian dengan wajah seriusnya.Rian benar-benar penasaran, karena setelah menikah wanita di depa
"Cucu Oma makin ganteng aja," ujar Ika sambil menciumi pipi cubby cucunya dengan gemas. Wajah Kai yang bulat dan menggemaskan membuat hati Ika semakin hangat setiap kali melihatnya.Hari itu, Ika sengaja mengunjungi putrinya setelah beberapa waktu tidak bertemu. Rasa rindu kepada cucunya semakin membuncah, dan akhirnya ia memutuskan untuk datang."Di minum, Bun" ujar Kanaya mempersilahkan, sambil menaruh nampan berisi minuman dan makanan ringan untuk bundanya.Ika tersenyum. "Dewangga lagi sibuk banget, Nay?" tanyanya dengan tatapan penuh perhatian.Kanaya mengangguk pelan, sedikit terlihat lelah. Sejak kecelakaan di Bali beberapa minggu yang lalu, suaminya memang terlihat sangat sibuk. Pekerjaan dan masalah yang datang setelah kecelakaan itu membuat Dewangga hampir tidak punya waktu untuk istirahat."Iya, Bun," jawab Kanaya, membuka bungkus snack untuk Kai, yang tampaknya sudah mulai lapar. Snack itu adalah oleh-oleh dari Oma Ika.Ika menarik napas panjang, seolah berpikir sejenak se
"Beneran mau kerja?" tanya Kanaya, suaranya penuh keraguan setelah kembali dari kamar putranya.Dia melihat Dewangga yang sudah berdiri di depan cermin dengan pakaian kerjanya, terlihat begitu siap untuk meninggalkan rumah. Kanaya mendekat dan meraih dasi di tangan suaminya, lalu mulai memakaikannya dengan lembut."Rambut kamu udah kepanjangan," ujar Kanaya sambil menatap rambut Dewangga yang mulai menutupi dahinya, seakan menyembunyikan sebagian dari wajahnya yang serius itu.Dewangga hanya terdiam, memilih untuk menatap Kanaya yang sedang dengan cekatan menyimpulkan dasinya. Kanaya merasa suaminya memperhatikannya dengan penuh perhatian, membuatnya sedikit salah tingkah. Tanpa sadar, dia mendongak dan membalas tatapan Dewangga, meskipun tinggi mereka sangat berbeda. Dia hanya sejajar dengan dada suaminya."Kenapa?" tanya Kanaya, sedikit canggung, sambil mengelus rahang Dewangga dengan lembut. Senyumnya terbit, meski hatinya sedikit tergerak oleh perhatian suaminya."Kenapa?" Dewangg
"Mau sama Mama," Kai memeluk erat leher Kanaya, bahkan tidak mau melepaskan, meskipun sejak tadi Kanaya sudah berusaha membujuk putranya dengan lembut."Anak mama bobok yaa," "Ndak mau," Kai menggeleng keras, suara tangisan mulai terdengar, membuat hati Kanaya semakin terenyuh.Kanaya hanya bisa menghela napas dan mencoba menenangkan Kai, mengelus punggungnya dengan lembut. "Bobo yaa, sudah malam," bisiknya, mencoba memberikan ketenangan. Ia mengecup kepala Kai beberapa kali, merasakan kehangatan tubuh kecil itu yang semakin membuatnya merasa sulit untuk melepaskannya.Kanaya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya tidur, namun mata Kai belum juga terpejam. Mungkin Kai merasa ada yang berbeda malam ini, apalagi Dewangga, suaminya, yang tengah sakit dan belum bisa melakukan banyak hal. Waktu Kanaya hampir sepenuhnya tersita untuk merawat Dewangga seminggu ini. Mungkin itu yang membuat Kai merasa cemas, merasa iri pada perhatian yang diberikan unt
Kanaya terus menatap suaminya, Dewangga, yang sejak tadi hanya diam saja, memerhatikannya tanpa sepatah kata pun. Matanya penuh dengan kekesalan, tapi Dewangga tetap tidak memberikan reaksi apapun. Hanya tatapannya yang diam, seolah menunggu sesuatu yang tidak bisa Kanaya pahami."Kenapa? Mau marah aku?" tanya Kanaya dengan nada menantang, meskipun ia tahu betul bahwa Dewangga tidak pernah melakukan hal seperti itu padanya. Dulu, jika Dewangga menegurnya, Kanaya hanya diam dan mengabaikan suaminya selama berhari-hari sebagai bentuk pembalasan. Tapi kali ini, perasaannya begitu sulit untuk diredakan.Dewangga hanya menatapnya dengan penuh pengertian, tanpa mengatakan apapun. Lalu, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Kanaya dengan lembut, mencoba menenangkan suasana yang semakin tegang. Namun, Kanaya merasa kesal dan segera menarik tangannya dengan cepat. Ia berbalik, hendak meninggalkan Dewangga begitu saja.Melihat itu, Dewangga hanya bisa menggelengkan kepala dengan ekspresi
Sejak dokter muda itu mulai memeriksa Dewangga, Kanaya tidak bisa melepaskan pandangannya dari wanita itu. Cara dokter itu bekerja terlihat cekatan dan penuh perhatian. Namun, ada yang aneh di balik perhatian itu. Beberapa kali, Kanaya menangkap tatapan yang lebih lama dari yang seharusnya, tatapan yang seolah memuji Dewangga dengan penuh kekaguman.Dan itu membuat hati Kanaya bergemuruh, perasaan cemburu yang tiba-tiba muncul begitu saja, menyesakkan dadanya."Sudah selesai, Mas. Saya akan meresepkan obatnya sekarang," ujar dokter itu, dengan senyum hangat, lalu kembali ke meja untuk menulis resep."Mas?" tanya Kanaya merasa aneh dengan panggilan dokter itu.Kanaya menatap suaminya dengan nada yang lebih tajam dari biasanya. Dewangga menoleh, tatapannya penuh kebingungan."Ada apa?" tanya Dewangga, mencoba membaca ekspresi wajah Kanaya yang tampak tidak biasa.Kanaya menatap dokter itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke Dewangga. "Kenapa pilih dokter perempuan? Kenapa nggak ya
Hari itu, rumah Dewangga dipenuhi oleh kolega dan teman-temannya. Sejak pagi, Kanaya tak sempat beristirahat sedikit pun karena tamu yang datang silih berganti. Keramaian ini adalah hal yang baru baginya, apalagi karena ia bukan tipe orang yang sering terlibat dalam acara-acara pekerjaan suaminya.Di tengah keramaian itu, salah satu rekan kerja Dewangga mendekat dan tanpa basa-basi berkata, "Pantas saja sekarang Dewa nggak pernah lama-lama di kantor, istrinya cantik, masih muda pula." Kanaya hanya bisa terdiam, bingung dan sedikit canggung karena ia tidak mengenali pria itu. Dewangga hanya tersenyum kecil, sementara rekan-rekan lain ikut melemparkan candaan yang membuat suasana semakin riuh. Bahkan Ayah mertuanya ikut tertawa, karena disini Dewangga terkena bahan keisengan para sahabatnya hal itu cukup membuat suasannya terasa hangat.Sementara itu, Kanaya memilih untuk duduk tenang di ruang tengah bersama para ibu-ibu yang sedang asyik berbincang. Mereka lebih banyak membahas anak-an
"Saya nggak tahu kenapa dia ada di sini," ujar Dewangga, nada suaranya datar tetapi menyimpan tanya.Naya tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang mengaduk dirinya. Ia tahu, Savira—mantan istri suaminya—tidak lagi memiliki hubungan apa pun dengan Dewangga. Tapi, rasa tidak nyaman tetap merayap di hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa tenang berada dalam satu ruangan yang sama dengannya?"Kanaya," suara Dewangga memecah lamunan Naya, lembut namun tegas. Ia menatap suaminya, mencoba mengendalikan gejolak di dadanya."Mbak Vira tinggal di sini, Mas," ujar Naya pelan, seolah mengungkapkan rahasia yang ia simpan. Pernyataannya membuat Dewangga mengernyit."Kamu masih berhubungan sama dia?" tanya Dewangga, nadanya berubah serius.Naya menggeleng pelan, lalu menjelaskan, "Bukan, Mas. Dia yang menghubungiku duluan, bilang mau pindah ke sini. Aku nggak kabar-kabaran sama dia."Dewangga menghela napas, wajahnya mencerminkan rasa b
"Maaf, Wa. Aku kesini karena khawatir begitu mendengar kamu kecelakaan," kata Savira dengan suara lirih, matanya penuh kekhawatiran. Dia berdiri di depan pintu ruang perawatan, memandang Dewangga yang terbaring di ranjang rumah sakit.Kebetulan hari ini Savira tengah menemani ibunya untuk terapi agar bisa kembali berjalan seperti semula, dan saat di depan administrasi dia tidak sengaja bertemu dengan Naufal."Saya tidak apa-apa, kamu bisa keluar," ujar Dewangga dengan suara tegas."Wa... aku..." Savira terbata-bata, tidak tahu harus berkata apa. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.Naya berdiri di ambang pintu, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang berdiri di samping ranjang suaminya. Hatinya sedikit terkejut, namun ia mencoba tetap tenang, menyembunyikan perasaannya di balik senyuman.Kanaya segera berjalan ke arah suaminya tanpa memerdulikan Savira atau menyapanya lebih dulu."Kamu nggak papa kan, mas?" tanya Naya dengan suara
"Sekarang lo ngerti kan apa yang gue rasain dulu?" Naya terkekeh sambil menatap wajah Citra yang cemberut. Beberapa hari ini, Citra merasa terabaikan karena suaminya, Naufal, sedang perjalanan dinas ke luar kota. Naya yang dulu sering merasa ditinggalkan suaminya, Dewangga, kini bisa merasakan betapa beratnya perasaan Citra.Kebetulan setiap pulang bekerja, Citra selalu menyempatkan untuk mampir kerumahnya. Karena merasakan kesepian di tinggal suaminya ke luar kota."Iya, gue dulu sering ngejek lo," jawab Citra, matanya yang sembab menatap kosong ke arah meja. "Gue nggak tahu kalau rindu seberat ini."Naya mendengus kesal meski masih ada rasa ingin menggoda sahabatnya. "Lo lebih alay daripada gue," katanya sambil melemparkan tatapan mengejek ke arah Citra yang semakin tidak terima."Lo kan dulu nikah tanpa cinta, Nay. Kalau gue sama Mas Naufal, kita menikah dengan penuh cinta," balas Citra, sedikit membela diri dengan ekspresi yang lebih tegas.Naya hanya tertawa kecil mendengar itu.