"Ayah, apa itu ayah?" tanya Rena putri keduaku.
"Iya, betul, itu ayah," jawab adiknya."Ayah!" kedua putriku serempak memanggil Mas Faisal, dia yang dipanggil langsung tersentak kaget dan gelagapan, wajah Mas Faisal mendadak pias karena mendapati putri dan putranya memergokinya. Juga diriku dengan perasaan yang sudah tidak karuan.Aku ingin menangis, tapi aku butuh alasan lebih untuk mengeluarkan air mata, terlalu syok membuat jantungku berdebar kencang, tidak karuan, hingga dada ini memanas."Oh kalian, Maaf kalian harus menyaksikan semua ini," ucap wanita dengan jilbab Milo itu sambil mengusap air matanya dia bangun, terlihat berusaha menarik nafasnya dan menghapus air matanya sekali lagi, kemudian maju mendekat menghadapi kami."Apa ini maksudnya, Yah?" tanya Heri dengan heran."Uhm, maaf, sebenarnya ini bukan waktunya tapi karena kalian sudah menyaksikannya maka mau tak mau aku harus mengatakannya.""Mengatakan apa?" tanyaku dengan tenggorokan tercekat."Lebih jelas lagi, apa hubungan ayah dengannya!?" tanya Rena mendesak Mas Faisal, mendesak pada ayahnya dengan tatapan tajam dan heran sambil melirik pada wanita berjilbab coklat muda itu."Bismillah ... maafkan saya sebelumnya, saya ingin minta maaf dan tidak bermaksud menyembunyikan semua ini lama-lama. Saya ini istrinya Mas Faisal, saya Rima," jawabnya sambil mengulurkan tangan.Tidak ada seorangpun yang mau menyambut uluran tangan wanita itu, mungkin karena kami terlalu syok dan tidak tahu harus berkata apa. Anak anak tercengang, Heri terkejut dengan mata membulat sedangkan putri bungsuku langsung menangis."Apa, Tante bilang apa?""Saya istrinya, kami sudah menikah delapan belas tahun," jawabnya lirih."Benarkah Mas?"Seketika jantungku ingin meledak, aku terkejut sampai sampai aku lupa cara menarik napas dengan benar. Terkesiap, kaget dan tidak kuasa menerima keterkejutan lebih besar lagi dari ini. Seharian ini seharusnya ia bersama kami, tapi panggilan istrinya sudah membuyarkan semuanya.Berapa lama mereka menikah, 18 tahun? Jadi selama itulah mereka sudah menipuku? Selama itukah suamiku sudah bersembunyi dari balik kebohongan dari sandiwaranya. Pandainya dia menyembunyikan rahasia dengan rapi sehingga tidak pernah terlihat mencurigakan atau tidak pernah ada celah serta kekurangan dalam dirinya. Dia nyaris menjadi suami sempurna yang selalu ada untuk keluarga. Anak-anak selalu punya waktu khusus dengan ayahnya, Kami adalah keluarga bahagia yang mustahil akan dimasuki orang ketiga apalagi orang ketiga itu sudah hadir selama belasan tahun dan mereka sudah punya anak yang dewasa.Rasanya aku tidak percaya dengan kenyataan menyakitkan ini, sungguh aku terpukul."Bentar bentar ... aku nggak paham semua ini, jujur saja, sumpah, aku kaget. jadi tolong beritahu kami pelan-pelan, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Heri dengan napas menggemuru, aku tahu anakku sangat emosi tapi ia berusaha menahan diri."Aku dan ayahmu sudah menikah dari umurmu enam tahun.""Oh ya? Kenapa kau atau ayah tidak ada yang memberi tahu kami, bisa bisanya kalian menyembunyikan hubungan kalian dengan rapi!"Heri langsung menuding sambil marah. Sementara rima hanya menggeleng pelan. Ia menunduk sambil meremas jemari dan terlihat mengusap air mata."Maafkan saya, ini memang agak terlambat tapi tolong maafkan saya," ujarnya sambil tersedak pilu."Kalau bukan karena kami melihat ayah di dalam Ambulans mungkin Ayah tidak akan pernah jujur kepada kami ya?""Tidak begitu...." Mas Faisal segera menyangkal."Apakah selama ini ayah tidak pernah berencana untuk jujur atau mengungkapkan kejadian sebenarnya? jadi kalau kami tidak tahu apa Ayah akan diam seumur hidup!" tanya Heri sambil melepas jubahnya dan menyerahkannya padaku. Mas Faisal terdiam, dia terdiam tapi lebih kepada terlihat panik dan pusing."Tolong pulang dulu aku dan istriku sedang terkena musibah... jadi tolong tunggu aku di rumah sehingga aku bisa menjelaskan apa yang terjadi.""Kamu dan istrimu ayah?" tanya Rena, "lalu kami siapa?""Kalian juga keluargaku, jangan buat keributan karena ini rumah sakit, aku mohon, aku tidak ingin ada yang dipermalukan, anakku sedang kecelakaan dan bertaruh nyawa, aku mohon pulanglah," jawab ayah sambil menangkupkan tangan dengan permohonan dan suara yang rendah."Ayah, beginilah sikap ayah!""Aku mohon, putraku Reno sedang kritis, aku mohon pada kalian anak anak," jawab Mas Faisal sambil sekali lagi membujuk."Akulah yang paling bersalah dalam masalah ini jadi jangan salahkan dia, salahkan diriku.""Picik sekali, baru mengaku setelah bertahun tahun," ujar anak bungsuku, "kalau kalian memang orang yang jujur, kenapa tidak ungkapkan saja. Teganya kalian membohongi Ummi.""Kami tidak bermaksud demikian....""Maksud kalian sudah jelas kok, delapan belas tahun bersembunyi dengan cara begini."Belum selesai perdebatan antara anak-anak dan mas Faisal, juga istrinya, tiba-tiba dokter dari balik tirai UGD memanggil Mas Faisal."Pak, anaknya mengalami sesak napas dan muntah darah, jadi kami mohon agar bapak mendampingi dia dulu! Tetaplah dengannya!""Ya Allah Reno kita Mas, anak kita!" Rima jadi histeris.Mendengar ungkapan dokter yang panik tiba-tiba, Rima dan Mas Faisal tidak memperdulikan kami, mereka menghambur menuju ranjang anak mereka yang sedang ditangani. Pecah tangis Rima dari balik tirai sementara aku dan anak-anak yang masih emosi dan penasaran hanya bisa saling memandang dalam keadaan bingung."Apa apaan ini?""Ayo pulang dulu!" Ujarku mengajak anak anak."Tidak, kami tidak akan kemana mana sampai dapat jawaban!" Balas mereka serentak.Lama kami menunggu di depan ruang UGD, menunggu dengan perasaan gelisah serta kebingungan kami. Saking sibuknya dengan emosi masing-masing, aku dan anakku hanya bisa saling memandang tanpa kami membicarakan apapun. Raut wajah gelisah dari putra sulungku juga terlihat jelas, dia terus menggoyangkan kaki dan meremas jemarinya. Di balik ruangan itu ada Mas Faisal yang sedang mendampingi anaknya yang kini berjuang dengan maut.Kudengar anak itu mengebut bersama dengan teman geng motor lalu mengalami tabrakan. Kabarnya kepalanya pecah dan dia banyak mengeluarkan darah. Saat tirai sempat disibak aku bisa melihat tangan itu anak itu meneteskan darah juga kakinya. Di lantai banyak perban darah yang berserakan. Sehingga aku bisa membayangkan betapa repot dan tegangnya situasi yang sedang dihadapi Mas Faisal sekarang."Sebaiknya kita pulang saja karena ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya, sepertinya ayahmu juga masih sibuk.""Apakah Bunda pura-pura-pura mengesampingkan perasaan Bunda?""H
Sepanjang perjalanan putra dan putriku hanya membisu tapi aku jelas menangkap kegelisahan dan pertanyaan yang ada di dalam benak mereka. Tatapan mata putra sulungku lurus ke depan saat dia menyetir dengan tegangnya, sementara 2 adiknya yang duduk di jok belakang hanya menerawang menatap keluar jendela.Aku sendiri hanya bisa menarik nafas dalam sambil menelaah kembali kejadian selama 20 tahun lebih. Bisa-bisanya aku tidak menyadari gelagat suamiku. Biasanya seorang perempuan akan punya insting yang tajam tapi entah kenapa perasaan dan kecurigaan tumpul sekali.Selanjutnya, aku pun tidak tahu apa yang harus aku lakukan.*Sesampainya di rumah kami masuk dan membuka pintu lalu pergi ke kamar masing-masing untuk mengganti baju. Aku minta anak-anak untuk mandi dan bergabung ke meja makan karena tidak lama lagi aku akan menyiapkan makan malam."Segera mandi dan gabung ke meja makan, karena bunda akan masak dan menggoreng sosis, bikin sambal pasti enak.""Bunda tidak usah repot-repot mau ma
"Apa maksudnya ayah, kami tidak mengerti apa yang ayah katakan.""Dia adalah mantan kekasihku sebelum aku mengenal Ibu kalian. Perasaanku yang terdalam tidak bisa kukendalikan saat tiba-tiba aku bertemu dengannya di perusahaan yang sama. Kami mulai akrab lagi dan sadar bahwa kami saling mencintai dan tidak bisa dipisahkan. Karena diri itulah aku minta rima untuk menjadikanku suaminya, aku dan dia saling mencintai jadi tolong mengerti keadaan ini.""Oh jadi ayah ingin kami memahami perasaan ayah dan betapa besar cinta ayah pada wanita itu sementara ayah sendiri tidak memikirkan bagaimana kalau semua itu ternyata kami ketahui. Dan liat apa yang terjadi, kami benar-benar tahu kan. Sepandai-pandainya Ayah menyembunyikan bangkai pasti baunya akan tercium juga.""Maaf tapi aku tidak mau mengkonotasikan Rima dengan bangkai. Aku tahu hubunganku akan terungkap tapi aku tidak pernah bersiap untuk kejadian secepat ini.""18 tahun Ayah bilang cepat, 18 tahun sudah berapa puluh bulan, sudah ribuan
Setelah mengucapkan salam dari salat malamku aku angkat tangan setinggi mungkin lalu berdoa untuk memohon kekuatan kepada Sang Pencipta. Dengan segala kerendahan hati dan pengharapan aku memohon kepadaNya, agar Tuhan sekiranya sudah membantu meringankan penderitaan dan luka yang begitu besar ini.Untuk kesekian kalinya aku mengusap air mata yang sudah tidak berhenti mengalir sejak siang tadi. Tak ingin diriku sebenarnya menunjukkan air mata di hadapan anak-anak tapi semakin besar kekuatan yang aku keluarkan untuk tegar semakin rapuh diri ini rasanya.Aku tergugah sampai mukena dan telapak tanganku basah, aku menangis dan tidak bisa menahan gejolak yang ada di dalam dada. Bukan tentang perselingkuhan dan hubungan yang pada akhirnya jadi pernikahan dan menghasilkan anak, tapi tentang betapa jahatnya dia membohongiku. Betapa liciknya dia berpura-pura bahagia di hadapanku, bersikap seolah dia adalah suami yang paling mencintaiku di dunia, pandai berbuat mesra seakan-akan aku adalah wanita
"tidak aku tidak mau perceraian adalah perkara yang sangat dibenci Tuhan dan tidak boleh dilakukan kecuali dengan alasan yang sangat mendesak. Aku tidak pernah berbuat selalu dimata menyakitimu aku selalu menafkahimu lahir dan batin dan juga bersikap baik kepadamu dan anak-anak Jadi kau tidak punya alasan untuk meminta cerai dariku, Mutiara.""Mas, dengan menyembunyikan hubunganmu seperti itu kau telah cukup memberiku alasan untuk meninggalkanmu.""Bahkan pengadilan agama pun akan mempersulit alasan permintaan caramu hanya karena aku menikah lagi. Kau akan kerepotan karena harus membayar biaya dan mendatangkan saksi juga keluarga kita akan merasa sangat malu dengan semua ini."Apa itu berusaha memegang kedua bahuku lalu menatap mataku berusaha untuk membujuk diri ini agar tidak terpaku dengan keputusanku. Tapi hati ini sudah terlampau sakit bagai ditusuk duri, berdarah-darah dan sulit disembuhkan lagi. Aku ingin segera lepas dari ini agar aku tidak lagi memandang wajahnya. Bukan karen
"cukup sudah!"Kuhempas tangannya yang masih melingkar di pinggangku, "Bukannya kamu menyesal menyakitiku tapi kau malah menyesal karena tidak segera membawa dia ke dalam rumah ini. Apa yang ada dalam pikiran dan isi kepalamu Mas Kenapa kau begitu egois sekali dan tidak menimbang perasaanku dan anak-anak!" Mau tak mau aku terpaksa marah padahal hari sudah malam dan bisa saja tetangga mendengarkan kami."Astaghfirullah .... aku minta maaf mutiara niatku adalah niat yang baik. Bukannya kalian menyesali kalau aku tidak jujur sejak awal? dari situ aku menemukan kesadaran bahwa seharusnya aku memang jujur dari awal, karena jika memang itu terjadi pastilah saat ini kita sudah saling menyayangi dan mencintai.""Itu hanya khayalan dan angan-anganmu saja! tidaklah mungkin aku dan rima bisa akur kalau kami berdua bersaing untuk mendapatkan hatimu, cukup satu yang membuatku sangat penasaran, Apakah kau merasa keren dan hebat saat punya dua orang wanita di dalam hidupmu. Yang satunya wanita yang
Apa boleh buat aku harus mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. Aku kirimkan sekitar 2 juta Karena aku tahu persis kebutuhan di rumah sakit sangat banyak. Meski dia punya istri yang juga mungkin punya gaji, tapi akan terhina sekali jika seorang lelaki terlihat tidak memiliki uang.Pagi-pagi anak-anak sudah riuh di meja makan. Mereka mendiskusikan tentang ayahnya dan apa kiranya keputusan terbaik yang akan mereka ambil untuk menyikapi pernikahan Mas Faisal dan rima."Aku rasa kita harus membuat Ayah memilih antara kita atau anaknya....""Mungkin dia berat ke istrinya....""Buat wanita itu menceraikan ayah," jawab Felicia."Kita akan berdosa dan dicap egois jika memisahkan pernikahan seorang suami dan istrinya, mau tidak mau kita harus bersabar.""Sabar sampai mati?" tanya Heri."Kita tidak punya alasan untuk menyudutkan ayah karena selama ini Ayah selalu bersikap baik dan menafkahi Bunda," keluh Rena.Aku yang pusing mendengarkan percakapan mereka hanya bisa menarik nafas, lalu mend
Aku peluk anakku dengan penuh kasih sayang lalu membelai rambutnya yang sudah berantakan dari balik hijab, aku tahu ada pergulatan hebat dari penampilan anakku, dia pasti saling jambak dan pukul dengan ibu tirinya, wajahnya lebam dan terlihat membiru."Kenapa sampai begini?" Kubingkai wajahnya dengan kedua tangan. Kupandangi wajahnya yang merasa bersalah dan terlihat lelah."Memangnya apa yang sudah dia katakan padamu?""Aku baru sampai dan wanita itu langsung mengusirku," jawabnya."Mungkin dia tak mau anaknya terusik dan di saat yang tepat ada keluarganya," desahku pelan."Justru karena itulah, aku ingin langsung bicara dan menyelesaikan semuanya.""Lalu apa yang terjadi?""Tante Rima memintaku untuk pergi dan kami pun bertengkar," jawabnya lirih."Apakah kau juga membuat dia berantakan?" "Ya."Ah, Aku hanya bisa menghela nafas sambil menahan perasaan yang ada di hatiku, sebagai Ibu pada anakku tapi aku tidak bisa membenarkan perbuatannya. Meski tahu dia sakit hati terhadap ayahnya