Setelah mengucapkan salam dari salat malamku aku angkat tangan setinggi mungkin lalu berdoa untuk memohon kekuatan kepada Sang Pencipta. Dengan segala kerendahan hati dan pengharapan aku memohon kepadaNya, agar Tuhan sekiranya sudah membantu meringankan penderitaan dan luka yang begitu besar ini.
Untuk kesekian kalinya aku mengusap air mata yang sudah tidak berhenti mengalir sejak siang tadi. Tak ingin diriku sebenarnya menunjukkan air mata di hadapan anak-anak tapi semakin besar kekuatan yang aku keluarkan untuk tegar semakin rapuh diri ini rasanya.Aku tergugah sampai mukena dan telapak tanganku basah, aku menangis dan tidak bisa menahan gejolak yang ada di dalam dada. Bukan tentang perselingkuhan dan hubungan yang pada akhirnya jadi pernikahan dan menghasilkan anak, tapi tentang betapa jahatnya dia membohongiku. Betapa liciknya dia berpura-pura bahagia di hadapanku, bersikap seolah dia adalah suami yang paling mencintaiku di dunia, pandai berbuat mesra seakan-akan aku adalah wanita paling beruntung yang telah mendapatkannya.Aku memang diperlakukan seperti Ratu, Ratu yang terkekang di dalam sangkar emas sementara dia bermain dan mendapatkan kebahagiaan dari selir. Ah, hatiku hancur berkeping keping. Ternyata, keyakinanku tentang betapa besarnya posisi diri ini menguasai ruang hatinya hanyalah omong kosong belaka. Semua itu hanya angan semu yang pada akhirnya hancur oleh kenyataan yang ada.Ya, aku telah kalah aku kalah telak oleh sandiwara dan kebohongan yang dibungkus dengan sikap mesra dan kasih sayang, juga uang.*Saat kulipat kerudung mukena dan sajadah suamiku datang lalu menyentuh bahu ini. Dulu sentuhan tangannya begitu lembut dan selalu mendamaikan hatiku tapi sekarang Aku benar-benar muak dan tidak sudah disentuh olehnya.Ku tepis tangannya perlahan lalu aku memundurkan diri dari hadapannya. Dengan wajah yang ku pasang sekecewa mungkin, kembali aku meneteskan air mata lalu berusaha menyembunyikan wajah sedihku dari hadapannya dengan cara membalikkan badan. Tak terperikan luka di hati ini hingga setiap kali dia menatap wajah Mas Faisal luka itu semakin bertambah-tambah saja."Tolong jangan menangis, Kau tetap Wanita utama dalam hidupku istri pertamaku dan ibu dari anak-anakku.""omong kosong," jawabku lirih."Jangan pernah merasa aku tidak mencintaimu hanya karena aku punya istri lain. Aku sangat beruntung memilikimu dan tidak pernah ingin kehilanganmu." Mas Faisal menggenggam tangan dan menatap dengan tatapan penuh keyakinan, tapi rasa kepercayaanku sudah hilang mengingat betapa dulu aku begitu mempercayainya tapi dia sendiri yang menghancurkan kepercayaan itu."Kau tahu bahwa hidup itu harus memilih, sangat sulit untuk membuat kami berada satu atap dan akur bersama. Jika kau sangat mencintainya maka biarkanlah aku mengalah," jawabku dengan air mata menetes lagi.Mas Faisal menghapus air mataku lalu mendekatkan wajahnya ke keningku. Dia mengecup keningku dengan penuh perasaan dan itu cukup lama namun aku sudah tidak sanggup menerima rasa dan sentuhannya. Aku dorong dadanya nggak dia menjauhiku. Dia yang ditolak seperti itu merasa kaget dan juga memasang ekspresi kecewa."Sayang, kenapa?""Sayang katamu? Jangan sekali-kali mulut itu mengatakan Sayang lagi. Jangan sekali-kali bibirmu yang munafik itu menyebutku sebagai istri tercinta. Aku hanyalah sampah yang kau bayar untuk melahirkan anak-anakmu, aku hanya wanita yang kau kontrak dalam ikatan pernikahan tanpa sebuah perasaan cinta dan rasa menghargai.""Siapa bilang aku tidak mencintaimu!""Jika kau hanya mencintaiku tidak akan pernah terjadi hubungan di luar sepengetahuanku!" Bergetar suara ini dan terus berderai air mata ini ketika aku menyangka setiap perkataannya. sakit yang kurasakan di hatiku tidak bisa ku gambarkan dengan kata-kata. Aku benar-benar terluka dan hancur."Aku minta maaf....""Kata maaf itu tidak akan pernah menjadi obat penawar untuk luka hatiku, aku terlalu sakit menerima kenyataan. Aku terlalu lelah menerima penghianatanmu. Ini seharusnya menjadi hari bahagia karena baru saja kemarin kita merayakan ulang tahun pernikahan dan hari ini anak kita wisuda, namun teganya kau melakukan ini padaku," jawabku dengan nada bergetar, suaraku tersedak oleh tangisan pilu yang ingin meledak dari dadaku."Ampunkan aku mutiara, aku minta maaf ...." ucapnya sambil menjatuhkan diri di lututku. "Aku tidak mau kehilanganmu dan tidak ingin kau jauh dari hidupku.""Keserakahan untuk mengumpulkan dua cinta di dalam hati tidak akan pernah terjadi, cukuplah, Mas, cukup rumah tangga kita sampai di sini.""Jangan Mutiara.""Sudah Mas Jangan memohon lagi bagaimanapun kau terlihat begitu sangat mencintainya dan bahagia bersama istrimu jadi ceraikan diriku dan pulanglah padanya. Itu yang terbaik."Sungguh setelah 24 tahun, untuk pertama kalinya aku terluka oleh perbuatan suamiku, luka yang ia timbulkan begitu menyakitkan hingga aku merasa tidak punya harapan lagi untuk hidup seakan-akan nyawaku direnggut dari badan dengan cara paling kasar."tidak aku tidak mau perceraian adalah perkara yang sangat dibenci Tuhan dan tidak boleh dilakukan kecuali dengan alasan yang sangat mendesak. Aku tidak pernah berbuat selalu dimata menyakitimu aku selalu menafkahimu lahir dan batin dan juga bersikap baik kepadamu dan anak-anak Jadi kau tidak punya alasan untuk meminta cerai dariku, Mutiara.""Mas, dengan menyembunyikan hubunganmu seperti itu kau telah cukup memberiku alasan untuk meninggalkanmu.""Bahkan pengadilan agama pun akan mempersulit alasan permintaan caramu hanya karena aku menikah lagi. Kau akan kerepotan karena harus membayar biaya dan mendatangkan saksi juga keluarga kita akan merasa sangat malu dengan semua ini."Apa itu berusaha memegang kedua bahuku lalu menatap mataku berusaha untuk membujuk diri ini agar tidak terpaku dengan keputusanku. Tapi hati ini sudah terlampau sakit bagai ditusuk duri, berdarah-darah dan sulit disembuhkan lagi. Aku ingin segera lepas dari ini agar aku tidak lagi memandang wajahnya. Bukan karen
"cukup sudah!"Kuhempas tangannya yang masih melingkar di pinggangku, "Bukannya kamu menyesal menyakitiku tapi kau malah menyesal karena tidak segera membawa dia ke dalam rumah ini. Apa yang ada dalam pikiran dan isi kepalamu Mas Kenapa kau begitu egois sekali dan tidak menimbang perasaanku dan anak-anak!" Mau tak mau aku terpaksa marah padahal hari sudah malam dan bisa saja tetangga mendengarkan kami."Astaghfirullah .... aku minta maaf mutiara niatku adalah niat yang baik. Bukannya kalian menyesali kalau aku tidak jujur sejak awal? dari situ aku menemukan kesadaran bahwa seharusnya aku memang jujur dari awal, karena jika memang itu terjadi pastilah saat ini kita sudah saling menyayangi dan mencintai.""Itu hanya khayalan dan angan-anganmu saja! tidaklah mungkin aku dan rima bisa akur kalau kami berdua bersaing untuk mendapatkan hatimu, cukup satu yang membuatku sangat penasaran, Apakah kau merasa keren dan hebat saat punya dua orang wanita di dalam hidupmu. Yang satunya wanita yang
Apa boleh buat aku harus mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. Aku kirimkan sekitar 2 juta Karena aku tahu persis kebutuhan di rumah sakit sangat banyak. Meski dia punya istri yang juga mungkin punya gaji, tapi akan terhina sekali jika seorang lelaki terlihat tidak memiliki uang.Pagi-pagi anak-anak sudah riuh di meja makan. Mereka mendiskusikan tentang ayahnya dan apa kiranya keputusan terbaik yang akan mereka ambil untuk menyikapi pernikahan Mas Faisal dan rima."Aku rasa kita harus membuat Ayah memilih antara kita atau anaknya....""Mungkin dia berat ke istrinya....""Buat wanita itu menceraikan ayah," jawab Felicia."Kita akan berdosa dan dicap egois jika memisahkan pernikahan seorang suami dan istrinya, mau tidak mau kita harus bersabar.""Sabar sampai mati?" tanya Heri."Kita tidak punya alasan untuk menyudutkan ayah karena selama ini Ayah selalu bersikap baik dan menafkahi Bunda," keluh Rena.Aku yang pusing mendengarkan percakapan mereka hanya bisa menarik nafas, lalu mend
Aku peluk anakku dengan penuh kasih sayang lalu membelai rambutnya yang sudah berantakan dari balik hijab, aku tahu ada pergulatan hebat dari penampilan anakku, dia pasti saling jambak dan pukul dengan ibu tirinya, wajahnya lebam dan terlihat membiru."Kenapa sampai begini?" Kubingkai wajahnya dengan kedua tangan. Kupandangi wajahnya yang merasa bersalah dan terlihat lelah."Memangnya apa yang sudah dia katakan padamu?""Aku baru sampai dan wanita itu langsung mengusirku," jawabnya."Mungkin dia tak mau anaknya terusik dan di saat yang tepat ada keluarganya," desahku pelan."Justru karena itulah, aku ingin langsung bicara dan menyelesaikan semuanya.""Lalu apa yang terjadi?""Tante Rima memintaku untuk pergi dan kami pun bertengkar," jawabnya lirih."Apakah kau juga membuat dia berantakan?" "Ya."Ah, Aku hanya bisa menghela nafas sambil menahan perasaan yang ada di hatiku, sebagai Ibu pada anakku tapi aku tidak bisa membenarkan perbuatannya. Meski tahu dia sakit hati terhadap ayahnya
Jatuh air mataku mendengar ucapanmu spesial yang demikian gamblang. Aku tahu dia telah mengatakan kejujuran dengan sebenar-benarnya tentang perasaannya selama ini. Melalui air mataku dan jatuh di atas Quran yang sedang kubaca, melihat semua itu suamiku hanya bisa menunduk sambil membisikkan kata maaf."Jika kau sangat mencintainya Mengapa kau tidak terus terang saja, sehingga selama 20 tahun seorang wanita tidak selalu menangis dan yang satu lagi merasa nyaman. Kalau kau sangat menyayanginya maka aku bisa mengalah...""Menjandakan istri demi seorang istri yang lain juga bukan pilihan yang bijak, lagi pula selama ini aku terus berusaha membahagiakan kalian tidak peduli seberapa lelahnya aku dan seberapa rapuhnya jiwa ini untuk tidak bertahan di situasi yang sulit dan di dalam tekanan pekerjaan yang, aku selalu melakukan tugas-tugasku sebagai suami. Aku tidak pernah ingin menyakiti siapapun Aku sungguh ingin kamu dan dia bahagia sebagai istriku."Berderai air mata ini mendengarkan kali
Kini aku terduduk di atas sajadah sambil melafalkan doa dan terus-menerus mengadu kepada Allah, tentang kiranya apa yang harus aku lakukan. Jelas perceraian bukanlah solusi dari masalah ini.Masih ada cara lain.Jika diturutkan dan aku terbawa emosi tentulah diri ini pasti akan minta cerai dalam bulan ini juga, tapi ini bukan tentang diriku saja tapi juga tentang ketiga anakku. Tentang hubunganku dengan Mas Faisal dan rasa cinta yang sudah terlanjur berakar kuat selama 24 tahun.Apakah aku sebagai istri pertama yang juga punya hak harus mengalah demi Rima, Apakah aku harus kehilangan suamiku karena wanita itu. Jika kami sudah punya peran dan tugas masing-masing serta tidak saling mengganggu, lalu apa yang salah dengan semua itu. Apakah ini tentang ego kami yang ingin memiliki satu orang suami hanya untuk dirinya saja? Di mana-mana sifat wanita akan sama. Hanya mau suaminya untuk dirinya sendiri dan tidak mau berbagi. Inginnya aku berbicara dengan rima dari hati ke hati, serta ingin
Besok aku akan berjumpa dengan istri suamiku. Bisakah aku menjadi wanita berkarakter dengan kata-kata yang tegas dan kalimat yang bisa didengarkan dengan benar dan dimengerti. Bisakah aku memperlihatkan karakter yang kuat dan dominasiku sebagai istri pertama serta bahwa aku wanita berkelas yang tidak level dengan kehadirannya.Tapi jika ditilik lebih jauh wanita itu benar-benar berkompeten dan layak jadi maduku. Dia bahkan Lebih baik dan lebih cantik dariku. Posisinya sebagai supervisor manager membuatku benar-benar tidak bisa berkutik di hadapannya. Satu-satunya keunggulan ku hanya karena aku menikah lebih dahulu dan melahirkan lebih banyak anak darinya.Aku benar-benar rendah di hadapan wanita itu. Menyadari itu, aku tidak ingin membuat hatiku menjadi kecil dan merasa minder. Besok aku harus tetap terlihat tenang dan bisa berbicara dengan jelas. Aku ingin mempertegas perasaanku yang sesungguhnya bahwa aku tidak menyukai keberadaannya di dalam hidupku. Sampai kapanpun aku tidak akan
Setelah berbicara dengan anak mas Faisal dan berusaha untuk menenangkan pemuda itu aku segera memberi isyarat kepada Rima agar mengikuti keluar. Wanita yang tadinya masih bersimpuh di lantai dan memohon agar aku melanggangkan hubungannya dengan mas Faisal segera kusuruh bangun agar dia mengikutiku keluar.Anehnya wanita yang konon katanya adalah orang yang dihormati di kantornya itu dengan tidak berdayanya bangkit lalu mengikuti langkah kakiku.Sekarang lihat di sinilah kami duduk di ujung balkon rumah sakit sambil menatap lalu lalang kendaraan yang berjalan di bawah sana. Jajaran gedung dan rumah penduduk serta luasnya cakrawala menjadi pemandangan di siang itu. Aku dan dia duduk sambil memegang cangkir plastik berisi kopi, duduk dalam kediaman bibir kami masing-masing.."Jadi bagaimana Mbak apa keputusan yang akan Mbak ambil untuk kami?""Apa kini kau menggantungkan hidupmu di atas keputusanku? Apa kau yakin keputusanku adalah keputusan yang adil?""Aku tidak tahu tapi kau punya kei