Tatapan Radit belum berkedip memerhatikan Dila yang berjalan menuju ke depan. Di sana terletak meja dan bangku yang tersedia untuk para petinggi dan juga mitra yang bekerjasama dengan perusahaan. Radit bertanya-tanya di dalam hati dan kepalanya. Ia sebenarnya masih penasaran dengan dengan kedatangan Dila ke acara tersebut. Dila sengaja belum memberi jawaban atas tawaran Radit, karena sebelumnya dia sudah didatangi oleh David, sekretaris perusahaan. David langsung turun tangan karena tidak melihat progres yang baik dari Radit. Herjunot sendiri yang memintanya langsung menemui Dila. "Dit, kamu belum pulang?" Seorang teman menegurnya. Radit belum bergeming dari tempatnya duduk, sedangkan acara telah usai. Entah bagaimana menggambarkan raut wajah dan perasaannya. Ia menjadi bahan lelucon di antara teman-teman yang lain, karena sebelumnya dia mengira akan diundang ke depan untuk menerima bonus atas usahanya. Ia pun menyesali ucapannya tadi. Kalau saja dia tidak mengucapkannya di depa
Hatinya benar-benar sakit. Ia baru melihat sikap Radit padanya, membentak keras dan menatapnya tajam seperti tadi. Sepanjang hubungan mereka, dia selalu diperlakukan dengan baik, tetapi tidak dengan beberapa hari belakangan. Semua telah berubah.Lelaki yang menikahinya secara siri itu telah berubah sikapnya. Serli menutup pintu kamar dengan perasaan dongkol. Ia mendengus kesal. Serli tidak mengerti dengan perubahan Radit yang sangat besar. Lelaki itu tidak seromantis seperti dulu ketika menyapa dan memperlakukannya. Justru semakin dingin. Terlihat banyak berpikir dan cuek padanya. Sudah sekitar dua jam, Serli di dalam kamar dan sangat gelisah. Ia belum bisa tidur karena kepikiran. Radit belum juga masuk ke kamar. Serli mencoba, melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.47 waktu setempat. Lagi-lagi dia mendengus. Karena tidak bisa menahan diri, Serli memutuskan bangkit dari tempat tidurnya dan menuju pintu kamar. Ia mendongakkan kepala setelah membuka p
"Maaf, suaraku tadi meninggi. Aku hanya kesal dengan sikapmu yang acuh tak acuh dengan usahaku. Aku lakukan ini untuk membiayai putriku juga 'kan." Radit berusaha merendahkan suaranya. Ia tidak ingin Dila semakin membencinya. Cara tersebut ia lakukan agar Dila tidak menjauhinya. Ia berharap Dila masih memiliki rasa untuknya."Aku sudah tidak peduli dengan itu. Perihal bonusmu dari perusahaan, tempatmu bekerja bukan urusanku. Sebaiknya, kau pergi sekarang dari sini. Aku khawatir putriku melihat pertengkaran ini." Dila tahu ucapan Radit hanya alibi, pasalnya lelaki itu belum pernah mengirim biaya hidup atau kebutuhan sekolah untuk putrinya. Selama ini, Dila sendiri yang meng-cover biaya kebutuhan putrinya. Dila tidak mempermasalahkan itu. Baginya, ia sudah bersyukur bila berpisah dengan lelaki itu, daripada harus menahan sakit hati yang berkepanjangan."Dengar, aku ayah dari putrimu. Jadi, kamu tidak berhak mengusirku seperti ini," bentak Radit. Ia mulai naik pitam karena Dila terkesan
Serly tidak peduli, justru melenggang pergi dan meninggalkan wanita itu marah-marah sendiri. “Ka-mu ….” Matanya membulat. “Serly ….” Santi tidak percaya dengan sikap mantunya tersebut. Meninggalkannya begitu saja. “Sialan wanita itu! Tunggu saja balasanku nanti,” ucapnya geram.Serly memasuki kamar dan mendapati Radit sedang berbaring. Ia pun mendekat dan duduk di sebelah lelaki itu. “Bang … Bang Radit!” Serly menegur suaminya dengan suara pelan. “Hmm ….”“Besokkan gajian, aku minta ditambahin dikit, ya. Keperluanku lumayan banyak untuk minggu depan,” ucapnya dengan nada lembut.“Lihat aja besok. Ibu juga minta ditambahin.”“Ibu! Emangnya untuk kebutuhan apa?”Mendengar ibu mertuanya meminta hal yang sama, Serli menjadi naik darah. “Wanita peot itu kenapa selalu membuat masalah?” batinnya.Dia pun berdiri kemudian pergi, meninggalkan Radit sendiri tanpa melanjutkan pembicaraan mereka.Setelah beberapa menit mengganti pakaian, Serli keluar dari rumah. Ia pun melangkah menuju taksi y
“Aduh, lepaskan! Kau hampir saja membuatku terjatuh,” bentak Dila sambil menatap kesal.Lelaki itu semakin berani dan tidak memedulikan akibat dari perlakuannya terhadap wanita di sampingnya. “Kau tidak menghargai pelanggan yang datang ke kedaimu. Bisakah kau lupakan dulu masalah kita. Aku hanya ingin bersantai sambil meminum kopi di sini.”“Tapi, masalahnya kedai akan tutup. Kami tidak beroperasi di malam hari. Apa kau tidak mendengar apa yang baru saja aku katakan?”Dila sudah tak bisa lagi menahan amarahnya, karena lelaki itu seakan tidak peduli dengan apa yang baru saja diucapkannya. Radit bersikap santai saja seakan tidak ada yang terjadi. “Kalau gitu, aku ingin menemui putriku. Ke mana Syifa dan Nisya? Abang udah lama gak ketemu dengan mereka, apalagi Nisya. Bagaimana rupanya sekarang?” Radit tiba-tiba saja teringat dengan putrinya yang bungsu. Hampir sekitar empat atau lima bulanan, dia belum bertemu dengan putrinya tersebut. Dia sangat merindukan mereka berdua, apalagi yang
“Bu-kan … bukan seperti itu maksud Ibu, Dit.” Radit menoleh ke belakang. “Trus, apa maksudnya semua yang Ibu katakan tadi?” “Hu-huhu, sepertinya Ibu sudah tidak berguna lagi di rumah ini. Putra yang ibu banggakan membentakku. Huhuhu ….” Bu Santi terisak. Ia tidak menyangka bahwa putranya membentak dirinya. “Ibu memintamu untuk kebaikanmu juga.” Radit membalikkan badan, melirik ke arah ibunya. Ia menyesal telah berkata keras ke ibunya. Ia tidak menyangka saja, ibunya tidak bisa berkata yang baik, malah memintanya untuk bercerai. Ia masih kesal dengan ucapan tersebut. Namun, dia juga menyesal membuat ibunya menangis. Benar-benar dilema. “Arrghh! Bukan terpuruk, tetapi justru membuatku hancur.” Ia mengacak rambutnya dan pergi dari kamar ibunya. Pantas saja ibunya mengatakan penting dan tidak ingin berbincang-bincang di luar, ternyata yang ingin diucapkannya agar tidak didengar oleh Serli. Radit pun masuk ke kamar dan menutup pintu dengan kasar.“Gila! Wanita tua itu ternyata berbahay
Kedua Security itu segera menundukan badan, memberi hormat kepada wanita tersebut kemudian membukakan jalan agar segera berlalu. Mereka merasa bersalah dan hampir saja melakukan kesalahan kepada tamu. Serli kebingungan dengan sikap kedua security di depannya. “Apa yang kalian lakukan?” “Dia memang tamu di acara ini, Nona.”“Tamu? Apa kalian yakin? Mungkin saja undangannya palsu,” sergah Serli masih tidak puas karena Dila dibiarkan melenggang begitu saja. “Sebaiknya anda tidak ceroboh dan bersikap sewenang-wenang terhadap tamu di sini.”“Apa! Hei, berani sekali kalian menasehatiku seperti itu. Apa kalian tidak tau siapa aku, hah?”Kedua security itu berlalu, meninggalkan Serli untuk melanjutkan tugas mereka. Serli kembali menuju toilet. Perasaan kesalnya semakin memuncak, kedua security menasehatinya seakan mencemooh, selain itu dendamnya juga belum terbalaskan kepada Dila. Tadinya ia merasa seakan mendapatkan sebuah kesempatan untuk membalaskan dendamnya kepada wanita itu. ***“
“Mereka baik-baik saja dan sangat terawat dalam pengasuhanku,” jawab Dila dengan sarkastis.Herjunot semakin yakin ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja terjadi di antara mereka. Ibu Santi tidak tahu harus mengatakan apalagi mendengar jawaban Dila.“Oh ya, Mas. Aku harus pergi dulu. Terima kasih atas semua jamuannya di acara anda. Saya sangat tersanjung atas undangannya.” Dila pamit untuk segera pergi.“Tidak perlu mengatakan seperti itu. Okay, mari aku temani sampai ke loby. Kalau begitu, kita pulang bareng aja, bagaimana?” Lelaki berbadan tegap tersebut menawarkan bantuan ke Dila. Mereka berjalan bersama hingga ke lobby, sambil mengobrol.“Terima kasih, Mas, atas tawarannya. Lain waktu aja. Kebetulan supir saya sudah menunggu di mobil.”“Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa!” “Sampai jumpa kembali.”Ia masih berdiri menatap Dila yang telah memasuki mobil, hingga menghilang dari pandangannya. Herjunot berbelok menuju mobilnya. Namun kemudian, ia menghentikan langkah kakinya dan