Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 33POV Bian Suasana yang sempat gaduh tadi mendadak sunyi setelah kepergian Saga. Nala terlihat membuang pandangan, menatap keluar jendela kaca. Aku memunguti ponsel Nala yang berserak di lantai, kupastikan benda ini sudah tak akan berfungsi lagi. "Nanti aku belikan yang baru," ucapku sambil menyimpan serpihan benda sejuta umat itu di atas nakas.Nala mengalihkan pandangan, menatap sekilas padaku. "Tak perlu, aku tak membutuhkannya," tolak Nala. "Aku memiliki ponsel pun tak ada gunanya, hanya kamu dan Saga yang menghubungiku. Apa lagi aku akan sibuk mengurus bayi, jadi memang aku tak membutuhkan benda itu. Jika kamu ingin menghubungiku bisa lewat Saga," tutur Nala panjang lebar.Aku menghela nafas, kemudian duduk di kursi lagi, di samping Nala berada. Air mata wanita itu sesekali masih terlihat mengalir di pipinya."Terserah kamu mau memperlakukan aku seperti apa. Kau penjara aku di rumah itu pun, aku tak masalah. Tapi jangan kau nikahkan aku denga
Setelah satu minggu menemani Nala, aku kembali ke rumah. Nala sudah pulang dari rumah sakit, di rumahnya ada pembantu rumah tangga yang datang dan pergi setiap hari untuk memasak dan membereskan rumah. Saga, tetap aku perintahkan untuk di sana. Kubilang dia boleh berhenti setelah Nala pindah ke rumah baru. Aku memang berencana melakukan hal itu. menempatkan Nala di rumah yang lebih luas dan layak. Agar ada tempat untuk pembantu rumah tangga, ada tempat yang luas untuk Hafizah bermain. Tidak perlu waktu lama, bayi itu akan tumbuh besar dan perlu ruangan luas untuk berlarian. "Pulang juga akhirnya kamu." Ivanka berkata dengan tangan bersedekap di depan dadanya. Aku yang baru saja menjejakkan kaki di ruang tamu, enggan berdebat dan memilih untuk pergi ke kamar terlebih dahulu. Tau begini, lebih baik langsung ke rumah Mama saja. Aku harap dengan mandi, akan membuat kepala lebih dingin dan berbicara dengan Ivanka tanpa kemarahan.Mungkin aku salah di mata Ivanka, diam-diam perhatian pad
"Kenapa menatapku seperti itu. Aku gemuk, jelek, bengkak kayak gajah?" tanya Nala bertubi-tubi setelah meletakkan Hafizah di box bayi. Wanita itu baru selesai memberi ASI dan menidurkan putrinya. Aku tidak sengaja melihat momen dia begitu perhatian dan sayang pada Hafizah karena masuk ke kamarnya. Hendak mengambil tab milikku yang tertinggal di atas nakas. Ini hari ke-dua aku datang dan menginap di rumah ini setelah kelahiran bayi itu. "Aku memang gemuk dan bengkak, tapi aku bahagia karena bisa memberikan ASI pada putriku. Tidak seperti dulu, aku memang tetap langsing tapi anakku minum susu formula." Nala masih melanjutkan ucapannya. "Enggak, kamu tetap cantik dengan tubuh seperti apapun," balasku sambil berlalu menuju tempat di mana gadgetku berada. Tak perduli dengan reaksi Nala dengan kosakata yang barusan aku ucapkan. Lagi pula dia tak terlalu gemuk, hanya sedikit lebih berisi dari sebelumnya. Aku segera mengambil tab milikku dan berniat kembali keluar kamar yang kurasa makin
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 36Aku tetap memantau apa yang mereka lakukan. Nala dan Saga memang terlihat makan malam seperti biasanya, tak terjadi apapun di antara mereka. Sesekali mereka berbicara, harusnya aku memasang CCTV yang bisa merekam suara juga bukan hanya gambar seperti ini. Dua puluh menit berlalu, aku terus menatap layar gawai. Pokoknya aku akan melihat mereka sampai selesai. Tiba-tiba hal yang tak biasa membuatku bertanya-tanya, aku melihat Saga mengangkat sendok garpu seperti hendak menusuk sesuatu. "Hei, apa yang akan kamu lakukan!" Refleks aku berteriak saat melihat hal itu, tak mungkin Nala akan ditusuk olehnya dengan benda tersebut. Beberapa detik kemudian tangan Saga bersiap mengayun dan menusuk ke tangannya sendiri. Rupanya Saga ingin melukai dirinya sendiri. Tapi gerakan itu berhenti di udara karena tangan Nala menghalangi Saga melakukannya. Lalu Tak lama kemudian Saga terkulai dan kepalanya terjatuh di meja. Nala tidak meracuni pria itu kan. Dadaku berd
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 37POV Nala "Ada apa kamu ke sini?" tanya Saga saat melihatku ada di depan paviliun yang dia tempati. "Kamu bisa memanggilku seperti biasanya, tak perlu mendatangiku. Nanti Pak Bian berpikir macam-macam," sambungnya. Sejak aku melahirkan, Saga memang tak terlalu banyak berinteraksi denganku. Apalagi ada bibi yang ada di rumah, nyaris aku tak pernah minta bantuan pria itu lagi untuk hal remeh temeh. Ditambah lagi, aku malu dengannya karena pernah memintanya menikah denganku. "Bagaimana aku memanggilmu, berteriak?" Aku bertanya sambil tertawa kecil. Sejak ponselku rusak karena kulempar ke arah Bian waktu di rumah sakit itu, aku memang tak mau saat Bian memberikan smartphone baru. Saat dia sengaja membelikannya, aku pun mendiamkannya seakan tak ak butuh. Benda itu mati kehabisan baterai dan tersimpan di laci meja riasku. "Kenapa nggak dinyalakan ponselnya, Pak Bian sudah beli kan waktu itu?" "Buat apa, aku tak membutuhkannya.""Butuh saat begini."
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 38Seminggu sudah berlalu berada di tempat ini. Aku tinggal di rumah Emak yang masih berada di area yayasan. Rumah mungil, seperti rumahku juga. Jika pagi hari, aku akan keliling di area yayasan, melihat aktifitas anak-anak di dalam sambil membawa Hafizah, rasanya sangat damai dan tenang. Entahlah, aura positif seperti ini yang sangat aku inginkan selama ini. Di tempat ini, aku seperti tak memiliki beban apapun. Hari-hariku terasa menyenangkan dan ringan. Pagi ini, aku juga berkeliling seperti biasa. Lalu berhenti di taman, tempat dimana aku dan Saga memberi makan ikan. Mendadak aku ingat dengan pria itu, bagaimana keadaannya setelah aku kabur. Apa Bian menyalahkan dia dan menganiaya pria itu. Aku harap itu tidak terjadi. Apa mereka berdua kerepotan mencariku. "Pagi-pagi jangan ngelamun, Mbak." Suara yang begitu familiar terdengar menyapa indera pendengaranku. Aku menoleh ke arah sumber suara lalu tersenyum padanya. Wanita cantik berkulit putih den
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 39"Halo siapa ini, jangan main-main jika tidak ada kepentingan," seru Bian dari ujung telepon. Aku menelponnya tapi mulutku engga membuka suara. Pagi ini, setelah memantapkan diri akhirnya aku menelpon Bian. Setelah semalam emak berbicara banyak padaku, aku memutuskan untuk kembali terlebih dulu. Biar Saga kembali ke tempat ini terlebih dahulu baru aku pergi lagi, jika bisa. "Bian, ini aku ....""Na, Nala. Dimana kamu berada?" Bian memotong perkataanku sebelum aku sempat menyebutkan nama. "Aku akan kasih tahu, tapi kamu harus janji sesuatu dulu.""Iya aku janji. Apapun yang kamu minta akan aku penuhi," jawab Bian tanpa berpikir panjang. "Kalau aku pulang, kamu bakalan biarin Saga berhenti kerja, kan.""Iya, tentu saja. Kamu akan pindah ke rumah baru, seperti janjinku.""Tidak perlu, aku akan tetap di sana. Biar Bibi yang tinggal di paviliun. Aku akan mengurus toko bunga lagi."Toko bunga kutinggal begitu saja, tak perduli dengan apapun waktu aku k
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 40"Berikan padaku, mungkin dia lapar." Aku berkata lirih sambil mengulurkan tangan pada Bian yang tampak kesulitan menenangkan Hafizah. Aku harus bisa menahan diri, kuat, dan bisa mengendalikan diriku. Hafizah adalah tanggung jawab yang harus kuurus dan rawat dengan baik, jangan sampai karena aku kesal pada daddynya, membuat bayi itu terlantar. Kali ini aku tidak boleh depresi lagi seperti dulu. Aku bisa melewati semua untuk Hafizah.Bian menatapku. "Kamu baik-baik saja?" tanya Bian. Aku mengangguk kepala. Tadi, untuk beberapa saat lamanya aku menangis sambil menatap ke arah Bian. Membiarkan dia berusaha menenangkan Hafizah. Namun, jika aku terus menuruti keinginanku untuk menangis, maka Hafizah juga tidak akan tenang. Bian memberikan bayi itu padaku, memastikan aku baik-baik saja lalu berpamitan keluar kamar. "Aku akan keluar, susui dia dengan tenang. Kalau sudah selesai, ayo kita makan," ucap Bian sebelum keluar kamar.Hafizah langsung tenang se
Ekstra Part 2 "Terima kasih udah menjagaku selama ini, Ga," ucapku pada Saga yang sedang duduk di sampingku.Kali ini aku ingin berterima kasih padanya dengan benar. Dulu saat dia pergi ada banyak hal yang terjadi, hingga aku tak benar-benar bisa mengucapkan terima kasih padanya. Maka kali ini saat semua sudah berada pada tempatnya, dan semua sudah mendapat kebahagiaan masing-masing, aku ingin mengucapkan terima kasih tanpa terbebani perasaan apapun. Saat ini aku dan Saga tengah berada di kolam ikan, tempat dulu di mana kami juga menghabiskan waktu sambil berbincang saat pertama kali di yayasan ini. Saat itu kami sedang merajut mimpi, akan saling menjaga dan tinggal di tempat ini bersama. Tapi takdir berkata lain, Saga tetap berada di sini dan menikah dengan pemilik yayasan, sedangkan aku tetap bersama dengan Bian. Bian sedang menemani anak-anak berkeliling dan bermain di tempat ini. Sejak pertama kali datang tadi pagi, mereka sudah sangat senang dengan tempat ini. Baik Hafizah mau
"Kamu bilang Saga sudah menikahkan, jangan curiga padaku. Aku ke sana hanya ingin mengucapkan terima kasih dengan benar padanya. Juga mengenalkan anak-anak pada orang-orang yang tak seberuntung mereka. Aku ingin Cenna dan Hafizah memiliki rasa peduli pada orang yang lebih membutuhkan," tuturku panjang lebar."Kapan mau ke sana?" tanya Bian. Aku tak menyangka dia akan dengan mudah mengiyakan setelah kukatakan alasannya. "Weekend minggu ini gimana?" tanyaku mau minta pendapat. "Boleh. Oke persiapkan semuanya."***Kami sampai di hotel tepat saat adzan ashar berkumandang. Bian sengaja memesan hotel lalu akan menginap di hotel terlebih dahulu, sebelum esok paginya kami pergi ke tempat Saga. Bian mengatakan tak ingin merepotkan orang-orang di sana, sehingga dia mengatakan lebih baik menginap di hotel lalu pagi harinya ke yayasan dan sore harinya kembali ke hotel lagi. Kami memesan kamar dengan sistem connecting door di mana anak-anak tidur berdua sedangkan aku dan dia akan tidur bersam
Aku terbangun dengan tubuh yang sudah cukup segar dan mata tak lagi mengantuk. Tadi setelah salat subuh, aku tertidur kembali tanpa membangunkan Bian. Sekarang, kulihat disampingku tak ada lagi pria itu, mungkin dia sudah terbangun. Aku melihat keluar jendela yang masih tertutup oleh tirai, sepertinya matahari sudah tinggi kenapa Bian tidak membangunkanku. Semalam kami berbagi peluh, lalu berbincang, kemudian mengulanginya lagi hingga tak terasa waktu sudah beranjak dini hari, dan kami baru tertidur. "Ya Allah, gimana anak-anakku." Aku berseru, seraya bergegas beranjak dari tempat tidur.Sejak acara pernikahan dilanjutkan dengan pesta semalam, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan Mama. Bahkan semalam Mama yang menidurkan mereka, sekarang tentu saja aku mengkhawatirkan kedua anakku, terutama Hafizah "Sudah bangun?" tanya Bian yang baru saja masuk ke dalam kamar. Pria itu membawa nampan berisi makanan. "Ayo sarapan dulu." Bian berkata sambil mengangkat nampan sedikit tin
"Na, tau gak? Kamu itu ditipu sama Bian." Tanpa menyapa terlebih dahulu, Pak Ardi duduk di kursi yang ada di meja kami dan langsung mengatakan hal itu. "Dia udah tahu," timpal Bian."Udah tahu gimana?" tanya Pak Ardi sambil menatap Bian. "Udah tahu tentang telepon palsu itu. Pokoknya dia udah tahu semuanya. Kamu udah kalah, udah nyerah aja," tutur Bian panjang lebar. Pak Ardi menatap padaku, seakan meminta jawaban. "Bian mengatakan yang sebenarnya, Pak," ucapku. "Kalau Bian bikin susah kamu, bilang saja padaku. Aku siap memboyongmu." Pak Ardi berkata dengan penuh percaya diri. "Itu tidak akan pernah terjadi. Kalau kau harap seperti itu, melajang saja sampai tua," seru Bian tak suka. Kurasa mereka berdua memang sangat dekat, sehingga bisa berbicara sesuka hati seperti ini.***Pesta telah usai, anak-anak sudah terlebih dahulu tidur sebelum pesta selesai. Begitu semua orang pulang dan orang tertidur, suasana rumah juga sepi. Di antara semua penghuni rumah ini, aku dan Bian yang t
Aku mematut diri di cermin, menatap pada diriku yang sudah siap dengan gamis pesta dengan model elegan dan modern berwarna silver. Malam ini adalah malam pesta pernikahanku dengan Bian, harusnya. Setelah tadi siang kami mengadakan acara ijab kabul secara resmi dan hanya di saksikan keluarga dekat saja, maka malam ini adalah pesta untuk memperkenalkan aku dan anak-anak pada rekan kerja Papa dan Bian. Jujur aku gugup dengan semua yang akan terjadi malam ini, apa pandangan mereka semua padaku. Pada anak-anakku, memikirkannya saja membuatku hampir gila. Mungkin beberapa teman dekat Bian sudah ada yang tahu statusku, seperti halnya Pak Ardi. Tapi bagaiman dengan yang lain? Aku segera pergi ke kamar Bian, dia mengatakan agar aku ke sana setelah selesai berganti pakaian dan ber-makeup minimalis. Tadinya Mama akan meminta orang melakukannya, tapi aku menolak. Lebih baik aku melakukannya sendiri saja. Aku mengetuk pintu saat sudah ada di depan kamar Bian. Tak ada jawaban, sepertinya dia ada
"Na, kamu sadar gak apa yang kamu lakukan?" tanya Bian. Kini dia berusaha bertumpu pada kedua tangannya agak tak sepenuhnya menimpaku Ah, ternyata ini kenyataan bukan mimpi. Terlanjur basah, mengaku sajalah. "Sadar," balasku apa adanya. Aku ingin mengurai pelukanku, berniat kembali ke kamarku sendiri. Namun saat aku sudah melepaskan pelukan, Bian malah membalikkan tubuhnya hingga posisiku berada di atasnya. "Mau kemana, katanya kangen," ucap Bian sambil menatap padaku. Mataku yang sejatinya masih mengantuk langsung melebar, seketika hilang rasa kantukku. "Bi, lepas. Aku harus pergi dari sini," kataku, seraya menekan dadanya agar terlepas dari pelukannya. Tapi usahaku sia-sia, pelukannya malah semakin erat. Membuatku menyerah dan merebahkan diri di dadanya."Aku juga rindu, aku semakin sadar sangat membutuhkanmu saat kita berjauhan. Tidurlah saja di sini malam ini. Aku janji tidak akan melakukan apapun padamu. Hanya tidur, benar-benar tidur." "Tapi, Bi ...." Aku kembali berusah
POV Nala Aku menunggu Bian berganti pakaian sambil duduk di sisi ranjang seperti biasanya. Bian berganti pakaian di ruangan khusus yang ada di kamarnya. Nanti dia akan keluar dari sana setelah rapi dan kami akan pergi bersama ke ruang makan untuk sarapan. Sejak tinggal di sini, aku selalu melakukan hal seperti ini. Pura-pura ke kamar Bian, menantinya berganti pakaian, seolah semalam aku tidur bersamanya. Ini kulakukan demi Cenna, aku kucing-kucingan dengan anak itu. Bertingkah seolah aku dan Daddy-nya tidur di kamar yang sama. Kami bertingkah layaknya suami istri pada umumnya. Sesungguhnya ini sangat merepotkan. Namun, demi Cenna akan kulakukan apa saja. Aku dengar bocah itu pernah masuk rumah sakit hanya gara-gara terlalu banyak pikiran. Apalagi kini Cenna semakin dewasa semakin tahu segalanya. Aku benar-benar tak bisa tidur semalaman, setelah mendapat ancaman dari Bian di ruang keluarga. Malam tadi, aku hanya bisa mengangguk dan tak berkata apa-apa. Mungkin dari mulutnya keluar k
POV BianPonselku benar-benar berdering saat tengah berkendara, aku harap itu benar-benar telepon dari Ardi yang namanya sudah kuganti dengan nama Ivanka. Nala mengambil ponsel tersebut, dengan ekor mata, aku bisa melihat jika dia terkejut saat melihat layar ponselku dan aku semakin yakin itu adalah Ardi yang menelepon. "Siapa?" Aku pura-pura bertanya. "Mbak Ivanka," jawab Nala, dia terlihat tak bersemangat menyebut nama itu. "Oh." Pura-pura tak peduli saja, aku sudah bilang pada Ardi untuk menelpon setidaknya dua sampai tiga kali, agar terlihat begitu penting dan butuh. "Ini, kamu gak mau angkat?" tanya Nala."Biarin saja."Panggilan telepon kubiarkan hingga berakhir dengan sendirinya. Dan seperti yang aku minta, ponsel itu kembali berdering."Dia masih menelpon lagi," ucap Nala sambil memperlihatkan layar ponsel padaku "Terima saja, mungkin penting. kamu bisa menepi," sambungnya. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku segera menepi. Jangan sampai Ardi tak mau menelpon lagi dan
POV Bian."Mau kemana?" tanyaku, saat melihat Nala terlihat rapi dan keluar dari kamarnya.Aku sendiri juga baru keluar dari kamar, hari ini aku tidak bekerja karena hari Minggu. Aku tak pernah tahu rutinitas Nala di rumah, ini. Dia tak pernah mengatakan apapun padaku. Tentu saja, siapa aku hingga dia harus membuat laporan hendak kemana dan mau apa. "Mau ke toko bunga," jawab Nala. "Toko bunga?" tanyaku memastikan. "Iya."Toko bunga Nala masih berada di tempat yang sama dengan kantor Ardi. Nala bilang lebih baik di sana daripada pindah lagi, karena kalau pindah seperti memulai dari awal, mencari pelanggan baru begitu katanya. Mendengar kata toko bunga aku langsung meraih tangan Nala dan membawanya masuk kembali ke dalam kamarnya. Tidak ada yang boleh tahu kalau aku berdebat dengan wanita ini, terutama Cenna. Dia selalu waspada kalau sedikit saja aku dan Nala berdebat, sepertinya dia masih ingat hari-hari dimana aku banyak menghabiskan waktu berdebat dengan Ivanka hingga akhirnya k