Setelah satu minggu menemani Nala, aku kembali ke rumah. Nala sudah pulang dari rumah sakit, di rumahnya ada pembantu rumah tangga yang datang dan pergi setiap hari untuk memasak dan membereskan rumah. Saga, tetap aku perintahkan untuk di sana. Kubilang dia boleh berhenti setelah Nala pindah ke rumah baru. Aku memang berencana melakukan hal itu. menempatkan Nala di rumah yang lebih luas dan layak. Agar ada tempat untuk pembantu rumah tangga, ada tempat yang luas untuk Hafizah bermain. Tidak perlu waktu lama, bayi itu akan tumbuh besar dan perlu ruangan luas untuk berlarian. "Pulang juga akhirnya kamu." Ivanka berkata dengan tangan bersedekap di depan dadanya. Aku yang baru saja menjejakkan kaki di ruang tamu, enggan berdebat dan memilih untuk pergi ke kamar terlebih dahulu. Tau begini, lebih baik langsung ke rumah Mama saja. Aku harap dengan mandi, akan membuat kepala lebih dingin dan berbicara dengan Ivanka tanpa kemarahan.Mungkin aku salah di mata Ivanka, diam-diam perhatian pad
"Kenapa menatapku seperti itu. Aku gemuk, jelek, bengkak kayak gajah?" tanya Nala bertubi-tubi setelah meletakkan Hafizah di box bayi. Wanita itu baru selesai memberi ASI dan menidurkan putrinya. Aku tidak sengaja melihat momen dia begitu perhatian dan sayang pada Hafizah karena masuk ke kamarnya. Hendak mengambil tab milikku yang tertinggal di atas nakas. Ini hari ke-dua aku datang dan menginap di rumah ini setelah kelahiran bayi itu. "Aku memang gemuk dan bengkak, tapi aku bahagia karena bisa memberikan ASI pada putriku. Tidak seperti dulu, aku memang tetap langsing tapi anakku minum susu formula." Nala masih melanjutkan ucapannya. "Enggak, kamu tetap cantik dengan tubuh seperti apapun," balasku sambil berlalu menuju tempat di mana gadgetku berada. Tak perduli dengan reaksi Nala dengan kosakata yang barusan aku ucapkan. Lagi pula dia tak terlalu gemuk, hanya sedikit lebih berisi dari sebelumnya. Aku segera mengambil tab milikku dan berniat kembali keluar kamar yang kurasa makin
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 36Aku tetap memantau apa yang mereka lakukan. Nala dan Saga memang terlihat makan malam seperti biasanya, tak terjadi apapun di antara mereka. Sesekali mereka berbicara, harusnya aku memasang CCTV yang bisa merekam suara juga bukan hanya gambar seperti ini. Dua puluh menit berlalu, aku terus menatap layar gawai. Pokoknya aku akan melihat mereka sampai selesai. Tiba-tiba hal yang tak biasa membuatku bertanya-tanya, aku melihat Saga mengangkat sendok garpu seperti hendak menusuk sesuatu. "Hei, apa yang akan kamu lakukan!" Refleks aku berteriak saat melihat hal itu, tak mungkin Nala akan ditusuk olehnya dengan benda tersebut. Beberapa detik kemudian tangan Saga bersiap mengayun dan menusuk ke tangannya sendiri. Rupanya Saga ingin melukai dirinya sendiri. Tapi gerakan itu berhenti di udara karena tangan Nala menghalangi Saga melakukannya. Lalu Tak lama kemudian Saga terkulai dan kepalanya terjatuh di meja. Nala tidak meracuni pria itu kan. Dadaku berd
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 37POV Nala "Ada apa kamu ke sini?" tanya Saga saat melihatku ada di depan paviliun yang dia tempati. "Kamu bisa memanggilku seperti biasanya, tak perlu mendatangiku. Nanti Pak Bian berpikir macam-macam," sambungnya. Sejak aku melahirkan, Saga memang tak terlalu banyak berinteraksi denganku. Apalagi ada bibi yang ada di rumah, nyaris aku tak pernah minta bantuan pria itu lagi untuk hal remeh temeh. Ditambah lagi, aku malu dengannya karena pernah memintanya menikah denganku. "Bagaimana aku memanggilmu, berteriak?" Aku bertanya sambil tertawa kecil. Sejak ponselku rusak karena kulempar ke arah Bian waktu di rumah sakit itu, aku memang tak mau saat Bian memberikan smartphone baru. Saat dia sengaja membelikannya, aku pun mendiamkannya seakan tak ak butuh. Benda itu mati kehabisan baterai dan tersimpan di laci meja riasku. "Kenapa nggak dinyalakan ponselnya, Pak Bian sudah beli kan waktu itu?" "Buat apa, aku tak membutuhkannya.""Butuh saat begini."
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 38Seminggu sudah berlalu berada di tempat ini. Aku tinggal di rumah Emak yang masih berada di area yayasan. Rumah mungil, seperti rumahku juga. Jika pagi hari, aku akan keliling di area yayasan, melihat aktifitas anak-anak di dalam sambil membawa Hafizah, rasanya sangat damai dan tenang. Entahlah, aura positif seperti ini yang sangat aku inginkan selama ini. Di tempat ini, aku seperti tak memiliki beban apapun. Hari-hariku terasa menyenangkan dan ringan. Pagi ini, aku juga berkeliling seperti biasa. Lalu berhenti di taman, tempat dimana aku dan Saga memberi makan ikan. Mendadak aku ingat dengan pria itu, bagaimana keadaannya setelah aku kabur. Apa Bian menyalahkan dia dan menganiaya pria itu. Aku harap itu tidak terjadi. Apa mereka berdua kerepotan mencariku. "Pagi-pagi jangan ngelamun, Mbak." Suara yang begitu familiar terdengar menyapa indera pendengaranku. Aku menoleh ke arah sumber suara lalu tersenyum padanya. Wanita cantik berkulit putih den
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 39"Halo siapa ini, jangan main-main jika tidak ada kepentingan," seru Bian dari ujung telepon. Aku menelponnya tapi mulutku engga membuka suara. Pagi ini, setelah memantapkan diri akhirnya aku menelpon Bian. Setelah semalam emak berbicara banyak padaku, aku memutuskan untuk kembali terlebih dulu. Biar Saga kembali ke tempat ini terlebih dahulu baru aku pergi lagi, jika bisa. "Bian, ini aku ....""Na, Nala. Dimana kamu berada?" Bian memotong perkataanku sebelum aku sempat menyebutkan nama. "Aku akan kasih tahu, tapi kamu harus janji sesuatu dulu.""Iya aku janji. Apapun yang kamu minta akan aku penuhi," jawab Bian tanpa berpikir panjang. "Kalau aku pulang, kamu bakalan biarin Saga berhenti kerja, kan.""Iya, tentu saja. Kamu akan pindah ke rumah baru, seperti janjinku.""Tidak perlu, aku akan tetap di sana. Biar Bibi yang tinggal di paviliun. Aku akan mengurus toko bunga lagi."Toko bunga kutinggal begitu saja, tak perduli dengan apapun waktu aku k
Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti 40"Berikan padaku, mungkin dia lapar." Aku berkata lirih sambil mengulurkan tangan pada Bian yang tampak kesulitan menenangkan Hafizah. Aku harus bisa menahan diri, kuat, dan bisa mengendalikan diriku. Hafizah adalah tanggung jawab yang harus kuurus dan rawat dengan baik, jangan sampai karena aku kesal pada daddynya, membuat bayi itu terlantar. Kali ini aku tidak boleh depresi lagi seperti dulu. Aku bisa melewati semua untuk Hafizah.Bian menatapku. "Kamu baik-baik saja?" tanya Bian. Aku mengangguk kepala. Tadi, untuk beberapa saat lamanya aku menangis sambil menatap ke arah Bian. Membiarkan dia berusaha menenangkan Hafizah. Namun, jika aku terus menuruti keinginanku untuk menangis, maka Hafizah juga tidak akan tenang. Bian memberikan bayi itu padaku, memastikan aku baik-baik saja lalu berpamitan keluar kamar. "Aku akan keluar, susui dia dengan tenang. Kalau sudah selesai, ayo kita makan," ucap Bian sebelum keluar kamar.Hafizah langsung tenang se
Bian berjalan perlahan ke arahku, dia tidak menuju ke arah Saga dan ingin mengamuk padanya. Apa sekarang dia akan marah padaku."Tenang saja, kamu tak perlu lagi khawatir pada Nala. Ada aku yang akan menjaganya," ucap Bian sambil merangkul pinggangku dan memeluknya dengan erat. "Mulai sekarang, kamu bisa fokus pada kehidupanmu sendiri. Aku dengar setelah ini kamu akan berhenti dari profesi ini, bukan begitu, Sayang?" Ujar Bian lagi sambil mengeratkan pelukannya dan menatap padaku.Aku yang tidak menyangka Bian akan melakukan hal itu padaku hanya bisa melongo dibuatnya. "Hah?!" Aku berkata sambil menatap pada Bian. "Mulai sekarang Saga harus fokus pada kehidupannya sendiri." Bian mengulang perkataannya tanpa mengalihkan pandangan dariku. Aku menganggukkan kepala samar. Mungkin lebih baik memang seperti ini, Saga mengira aku dan Bian sudah baik-baik saja sehingga pria itu tak akan lagi mengkhawatirkanku. Saga terlihat tak nyaman dengan kemesraan yang diperlihatkan oleh Bian. "Bagu
POV Nala Aku menunggu Bian berganti pakaian sambil duduk di sisi ranjang seperti biasanya. Bian berganti pakaian di ruangan khusus yang ada di kamarnya. Nanti dia akan keluar dari sana setelah rapi dan kami akan pergi bersama ke ruang makan untuk sarapan. Sejak tinggal di sini, aku selalu melakukan hal seperti ini. Pura-pura ke kamar Bian, menantinya berganti pakaian, seolah semalam aku tidur bersamanya. Ini kulakukan demi Cenna, aku kucing-kucingan dengan anak itu. Bertingkah seolah aku dan Daddy-nya tidur di kamar yang sama. Kami bertingkah layaknya suami istri pada umumnya. Sesungguhnya ini sangat merepotkan. Namun, demi Cenna akan kulakukan apa saja. Aku dengar bocah itu pernah masuk rumah sakit hanya gara-gara terlalu banyak pikiran. Apalagi kini Cenna semakin dewasa semakin tahu segalanya. Aku benar-benar tak bisa tidur semalaman, setelah mendapat ancaman dari Bian di ruang keluarga. Malam tadi, aku hanya bisa mengangguk dan tak berkata apa-apa. Mungkin dari mulutnya keluar k
POV BianPonselku benar-benar berdering saat tengah berkendara, aku harap itu benar-benar telepon dari Ardi yang namanya sudah kuganti dengan nama Ivanka. Nala mengambil ponsel tersebut, dengan ekor mata, aku bisa melihat jika dia terkejut saat melihat layar ponselku dan aku semakin yakin itu adalah Ardi yang menelepon. "Siapa?" Aku pura-pura bertanya. "Mbak Ivanka," jawab Nala, dia terlihat tak bersemangat menyebut nama itu. "Oh." Pura-pura tak peduli saja, aku sudah bilang pada Ardi untuk menelpon setidaknya dua sampai tiga kali, agar terlihat begitu penting dan butuh. "Ini, kamu gak mau angkat?" tanya Nala."Biarin saja."Panggilan telepon kubiarkan hingga berakhir dengan sendirinya. Dan seperti yang aku minta, ponsel itu kembali berdering."Dia masih menelpon lagi," ucap Nala sambil memperlihatkan layar ponsel padaku "Terima saja, mungkin penting. kamu bisa menepi," sambungnya. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku segera menepi. Jangan sampai Ardi tak mau menelpon lagi dan
POV Bian."Mau kemana?" tanyaku, saat melihat Nala terlihat rapi dan keluar dari kamarnya.Aku sendiri juga baru keluar dari kamar, hari ini aku tidak bekerja karena hari Minggu. Aku tak pernah tahu rutinitas Nala di rumah, ini. Dia tak pernah mengatakan apapun padaku. Tentu saja, siapa aku hingga dia harus membuat laporan hendak kemana dan mau apa. "Mau ke toko bunga," jawab Nala. "Toko bunga?" tanyaku memastikan. "Iya."Toko bunga Nala masih berada di tempat yang sama dengan kantor Ardi. Nala bilang lebih baik di sana daripada pindah lagi, karena kalau pindah seperti memulai dari awal, mencari pelanggan baru begitu katanya. Mendengar kata toko bunga aku langsung meraih tangan Nala dan membawanya masuk kembali ke dalam kamarnya. Tidak ada yang boleh tahu kalau aku berdebat dengan wanita ini, terutama Cenna. Dia selalu waspada kalau sedikit saja aku dan Nala berdebat, sepertinya dia masih ingat hari-hari dimana aku banyak menghabiskan waktu berdebat dengan Ivanka hingga akhirnya k
"Sampai kapan seperti ini?" tanyaku kesal. Tentu dengan bisikan juga."Sampai Cenna pergi," balas Bian."Memangnya dia masih di sana mengawasi kita," tanyaku. "Iya."Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dipeluk olehnya. Jika sudah berhubungan dengan Cenna, rasanya aku tak bisa membedakan salah dan benar. Tatapan matanya yang terluka itu selalu membuatku luluh. Dia sepertiku jika sedang bersedih."Kamu biasa begini dengan Mbak Ivanka?" "Kenapa, kamu cemburu?" Bian balik bertanya."Bukan begitu, bagaimana bisa kau umbar kemesraan di depan anakmu.""Biar dia tahu, bagaimana memperlakukan seorang wanita, seorang istri. Jangan kira aku tidak menjelaskan mana yang boleh dan mana yang tidak." Aku terdiam, kurasa Bian berusaha memberi contoh pada putranya bagaimana dia memperlakukan perempuan. Pasti Bian lembut dan manis pada Mbak Ivanka. Jauh beda denganku kala itu, hanya setelah aku hamil Hafizah saja dia bersikap baik padaku. Lalu kenapa dia bercerai dengan Mbak Ivanka jika keh
Papa menatap padaku, entah apa makna tatapan itu. Meminta jawaban dari pertanyaan Bian? "Kamu serius ingin menikah lagi dengan Nala, apa alasannya?" tanya Papa pada Bian setelah mengalihkan pandangannya dariku."Sepertinya Bian jatuh cinta pada Nala, Pa. Jadi Bian yakin dan serius," balas mantan suamiku itu.Eh, kenapa dia bilang begitu. Jatuh cinta di usia setua ini. Maksudnya, sudah punya dua anak, tentu saja sudah tua. Lalu kenapa dia bilang jatuh cinta, bikin malu saja."Papa tak bisa menjawabnya, meskipun Papa adalah papamu, tapi tidak akan memihak pada siapapun. Semua papa serahkan pada Nala karena ini menyangkut kehidupannya. Bukan begitu, Ma?" Papa bertanya kepada Mama di ujung kalimatnya."Mama setuju dengan Papa. Selama ini, Nala selalu melakukan apa yang kami minta dan katakan. Kali ini biar dia melakukan dan memilih apa yang dia inginkan," sahut Mama sambil menatap padaku."Tapi sebelum menjawab, kamu perlu tahu sesuatu, Na," ucap Papa sambil menatap padaku. Aku merasa j
"Bi, apa-apaan sih kamu ini," seruku tak suka. Bagaimana bisa dia melakukan ini, pria ini semakin sesuka hatinya saja padaku."Papa bilang apa?" tanyanya sambil menatap padaku. "Tanya begitu doang haruskah seperti ini, memasukkanku ke dalam kamar. Kamu bisa tanya nanti, dimana kek, bukan masuk ke ruangan tertutup begini," sungutku.Aku jadi ingat perkataan Papa, bagaimana jika kami lupa diri kalau keseringan masuk ke ruangan hanya berdua saja. "Aku penasaran, katakan sekarang," pinta Bian. "Papa gak bilang apa-apa, cuma bilang selamat datang," balasku singkat."Lama sekali." Bian terlihat tidak percaya."Memangnya harus secepat apa? Udah ah, aku mau keluar, mau makan. Lapar!" Aku berlalu menuju ke arah pintu."Aaaaa, satu lagi. Papa bilang, aku harus hati-hati padaku," ucapku saat aku sudah membuka pintu. "Apa maksudnya?" tanya Bian. Aku tak menjawab, memilih langsung pergi dengan setengah berlari, meninggalkan pria yang kurasa makin hari makin aneh saja. ***"Mbak, dipanggil I
"Santai aja, ngapain harus takut. Papa hanya ingin bicara denganmu karena kangen," ucap Bian saat melihat kegelisahanku."Ngawur kamu, Bi.""BTW, kayaknya lebih enak di panggil Mas deh," sela Bian. "Tau ah, sana aku mau pergi. Keburu papa kelamaan nungguin." Aku kembali berusaha keluar kolam Bian kembali meraih pergelangan tanganku. "Bi ....""Na, untuk sekarang ini jangan takut apapun. Ada aku, jika Papa mengatakan hal yang menyakiti hatimu, kita bisa pergi dari sini. Kita bawa anak-anak bersama kita. Ayo kita bangun keluarga baru yang sesungguhnya." Bian berkata sambil membingkai wajahku.Untuk beberapa saat, aku kembali tengelam dalam tatapan dan kata-katanya. "Aku tak mau kabur dari siapapun lagi, aku akan hadapi semuanya," ucapku sambil mengurai tangannya dari wajahku. "Jika kamu ingin membangun keluarga denganku, minta ijinlah pada Papa. Mungkin Papa bukan orang tua kandungku, mungkin Papa tak pernah menuntun dan memegang tanganku, tapi lewat kerja keras tangannya aku bisa
Aku segera pergi ke kolam renang saat sudah selesai dengan beres-beres kamar. Dari kejauhan kulihat ada Mama sedang duduk memperhatikan Bian dan dua anaknya. Aku bisa melihat Hafizah begitu senang dan menikmati bermain air bersama kakak dan juga daddynya. Aku memang tak pernah mengajaknya berenang, hanya pernah sekali waktu pergi ke baby spa saja. "Sudah sarapan?" tanya Mama."Belum, Ma, belum ingin," balasku. "Lihatlah mereka begitu bahagia. Mama akan lebih bahagia jika kamu mau menikah lagi dengan Bian. Jika kamu menikah dengannya, kamu bisa merawat anak-anak tanpa ada batasan. Apakah menikah dengan Bian bukan menjadi salah satu hal yang akan membuatmu bahagia?" Mama berkata panjang lebar diakhiri dengan pertanyaan. "Maaf, Ma. Nala masih belum bisa menjawab pertanyaan Mama. Saat ini, Nala belum yakin dengan perasaan Bian maupun perasaan Nala sendiri," balasku apa adanya. Apakah Bian ingin menikah denganku hanya karena anak-anak atau karena ingin dan ada perasaan padaku. Aku tak
"Berhentilah meracau dan tidurlah," kataku sembari menarik tanganku dari genggamannya."Aku tidak meracau, Na. Aku serius dengan semua perkataanku," tutur Bian sambil menatap padaku. Aku langsung membuang pandangan, tak mau jatuh dalam pesona matanya yang selalu menghujam jantungku."Tidurlah, Bi. Biar Hafizah juga tidur, aku tak mau terlalu lama di sini. Takut dikira kita ngapa-ngapain. Aku pasti yang salah kalau keluar dari kamarmu malam-malam begini.""Makanya, ayo menikah. Tidak akan ada yang peduli kita mau ngapain juga di dalam kamar kalau suami istri. Nikah, nikah, apa isi kepalanya cuma pernikahan. "Kamu pikir semudah itu kembali menikah?""Apa susahnya?""Kamu bilang apa susahnya. Apa yang kamu lakukan padaku, kau anggap tidak berdampak apa-apa padaku?" tanyaku dengan emosi tertahan. Bisa-bisa Hafizah tidak tidur-tidur jika kami terus berdebat."Tapi aku sudah berusaha membayarnya dengan berbuat baik padamu. Mengikuti semua maumu, termasuk bercerai. Aku sebenarnya tak ingi