"Kyra mau pulang, Opa ...." Seorang gadis remaja sedang merengek pada sang kakek karena tidak diperbolehkan pergi ke mana pun. Bahkan untuk sekolah pun, Wijaya mendatangkan guru privat ke rumah. Dia sama sekali tidak mengizinkan sang cucu pergi selangkah pun dari rumahnya."Di sini juga rumah kamu, Sayang." Wijaya masih berusaha bersikap lembut pada Kyra. Meski dia terlihat sangat keras di luar, tetapi jika menyangkut anak dan cucunya, Wijaya akan berlaku selembut mungkin. Meski kadang dia harus tetap tegas biar terlihat berwibawa, tetap saja tidak bisa meninggikan suara saat berbicara dengan Kyra."Bukan! Ini bukan rumah Kyra! Ini adalah penjara yang telah Opa buat untuk Kyra!" jerit Kyra protes atas perlakukan Wijaya. Lelaki paruh baya itu meletakkan koran yang dia pegang sedari tadi dan langsung menatap lurus ke arah sang cucu. Meski wajahnya terlihat tenang, tetapi entah kenapa Kyra merasakan aura di sekitarnya mendadak gelap.Gadis remaja itu menelan ludahnya kasar, tubuhnya tiba
Kyra langsung terduduk saat Wijaya telah benar-benar keluar dari kamarnya. Dia melirik ke arah makanan yang sengaja Wijaya tinggalkan untuk sang cucu. Tanpa sadar Kyra menelan ludahnya kasar. Dia benar-benar lapar, apalagi semalam dia melewatkan makan malam. "Nggak!" Kyra menggeleng pelan. "Aku sedang marah. Aku tidak boleh tergoda oleh makanan itu." Buru-buru remaja itu sadar tentang protes yang tengah dia lakukan. Kyra pun akhirnya memilih untuk memalingkan wajah. Tak ingin kalah dengan rasa lapar yang dia rasakan. Namun, sepertinya cacing dalam perut Kyra tidak bisa diajak kompromi. Kyra memejamkan mata saat mendengar bunyi perutnya sendiri yang menandakan jika saat ini dia benar-benar kelaparan. "Argh ...! Kenapa kamu protes sih? Aku 'kan belum mau makan," keluhnya sembari mengelus perut kecilnya yang semakin mengempes. Meski mulutnya mengucapkan penolakan, nyatanya tangan gadis itu melakukan hal yang sebaliknya. Dia dengan cepat meraih piring yang diletakkan Wijaya tadi. "Maa
Vio yang melihat sorot kemarahan di mata Brian pun mencoba untuk meredam emosi lelaki itu. "Mas ... tenang dulu. Jangan gegabah!" Vio mengelus bahu sang suami, berharap amarah Brian surut. Namun, ternyata hal itu tidak terlalu berdampak buktinya Brian malah semakin terlihat murka."Tenang?! Kamu suruh aku untuk tenang saat tahu anakku di sana tersiksa?!" ucap Brian dengan intonasi yang sedikit tinggi. Matanya yang menyala merah menghujam tajam ke arah Vio membuat wanita itu merasa takut."Bu-bukan gitu maksudku, Mas." Suara Vio bergetar menandakan jika aura Brian benar-benar mengerikan."Aku kira kamu selama ini tulus, ternyata semua itu hanya topeng. Menyesal aku memberikan perasaanku padamu!" Setelah mengucapkan hal itu, Brian berlalu begitu saja dari hadapan Vio. Tidak memberi kesempatan bagi wanita itu untuk menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka.Vio meremas dadanya yang sesak karena ucapan Brian. Ternyata lelaki itu belum mempercayainya sepenuhnya. Padahal maksud dia menga
Vio sedari tadi berusaha menghubungi Brian, tetapi lelaki itu sama sekali tidak menggubris panggilannya. Hal itu tentu saja membuat Vio semakin kepikiran. Dia pun lantas mencoba untuk menghubungi Azzura, tetapi nomor wanita itu malah tidak bisa dihubungi."Mbak Zura ke mana sih?" Wanita itu bediri panik di depan pintu apartemen. Sesekali dia berjalan mondar-mandir seolah berharap Brian agar segera kembali.Setelah menimbang banyak hal, akhirnya Vio memutuskan untuk datang ke kediaman Brian dan Azzura. Dia harus memberi tahu Azzura tentang Brian yang pergi dalam kondisi marah.Dengan naik taksi, Vio tiba juga di rumah besar yang pernah dia tinggali. Meski hanya singkat, tetapi ada banyak kenangan di sana.Karena semua pekerja di sana sudah mengetahui tentang Vio, maka tidak susah bagi wanita itu untuk masuk ke dalam. Saat berpapasan dengan salah satu pelayan, Vio pun menanyakan tentang Azzura. Dan dari sana dia jadi mengetahui tentang pertengkaran Brian dan Azzura. Dia juga mendengar k
"Pa! Papa!""Kyra!"Dua bodyguard langsung menangkap Kyra dan membawa masuk ke dalam kamarnya. Hal itu tentu saja membuat gadis itu berontak. Brian yang berusaha melepaskan diri dari beberapa orang, tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya terkunci dan sama sekali tidak bisa melepaskan diri. Brian terus berteriak memanggil sang anak yang telah menghilang di balik pintu. Brian heran, kenapa untuk ketemu anaknya sendiri, sesusah itu? Perasaan ini bukan kisah cinta Romeo dan Juliet, kenapa malah lebih rumit dari itu?Pengawal membawa Brian keluar dari rumah itu. Pelayan yang berpapasan dengannya hanya mampu menunduk dan seolah tak melihat apa-apa. Mereka juga kasihan dengan Brian, tetapi mereka tidak bisa melawan perintah Anthony Wijaya."Argh ...!" Brian menendang ban mobil miliknya yang telah berada di luar gedung dengan keras. Amarahnya sama sekali belum reda. Lelaki itu menjambak rambutnya ke belakang, merasa frustrasi dengan keadaannya saat ini. Sang istri pergi dengan lelaki lain, kin
Brian berangkat ke kantor dengan perasaan yang lebih baik. Meski dia belum bisa membawa Kyra pulang, tetapi dia yakin Kyra akan baik-baik saja bersama kakeknya. Tidak mungkin Wijaya akan mencelakai sang cucu kesayangan."Jam sebelas ada pertemuan dengan perwakilan dari PT Mekar Mulia. Jam satu nanti ada pertemuan dengan pemegang saham. Jam ...." Risa membacakan jadwal Brian untuk hari ini. Laki-laki itu hanya menyimak dengan pandangan kosong. Entahlah. Raganya memang di sini, tetapi pikirannya entah di mana.Setelah selesai, Risa melirik sejenak ke arah Brian, merasa aneh dengan sikap atasannya yang tidak seperti biasanya."Bapak sakit?" tanya Risa."Memang aku terlihat sakit?" Bukannya menjawab, Brian malah ganti bertanya pada sang sekretaris."Bapak kelihatan pucat. Mau saya buatkan jadwal bertemu dengan dokter?"Brian menggeleng. "Aku nggak papa." Dia mengibaskan tangan di depan wajah. "Sudah! kamu lanjut kerja! Jangan lupa persiapkan materi untuk pertemuan dengan pemegang saham."
"Jangan sampai hal ini bocor!" Dua orang laki-laki dengan setelan jas mahal berjalan di lorong rumah sakit dengan langkah lebar seolah ada hal penting yang ada di depan sana. "Baik, Tuan." Lelaki yang di belakang hanya bisa mengangguk saat lelaki yang di depannya berbicara. Dia tersentak dan langkahnya langsung terhenti saat lelaki yang di depannya tiba-tiba berhenti.Dia pun melihat ke arah depannya dan ikut menoleh ke arah di mana lelaki di depannya melihat. "Ada apa, Tuan?" tanyanya yang kebingungan karena tidak menemukan hal menarik di sana. Bukan juga melihat orang yang mereka kenal.Lelaki yang dipanggil 'Tuan' menggeleng lantas berkata, "Sepertinya aku melihat seseorang, tetapi ... sudahlah! Mungkin aku salah liat." Lelaki itu kembali melanjutkan langkahnya diikuti pria muda di belakangnya.Namun, baru beberapa langkah, ada seseorang yang memanggilnya. "Pak! Bapak Mark Sutopo!"Lelaki yang ternyata Mark Sutopo itu pun berhenti dan menoleh. Matanya memicing saat melihat lelaki
Bunyi suara ponsel berdering dengan sangat keras hingga membuat kedua manusia yang sedang bergelut dengan kehangatan segera membuka mata. Brian terjaga pertama dan langsung meraih ponsel yang ada di atas nakas. Matanya mengerjap beberapa kali saat melihat siapa yang meneleponnya pagi-pagi seperti ini?Sudah pasti bukan urusan pekerjaan karena Brian membedakan nomor untuk urusan bisnis dan pribadi. Dan yang berbunyi saat ini adalah ponsel yang untuk urusan pribadi.Matanya memicing saat melihat kontak sang mertua yang tertera di sana. Dia sampai mengerjap beberapa kali untuk memastikan jika saat ini bukan mimpi."Siapa, Mas?" tanya Vio sembari merenggangkan ototnya yang terasa kaku karena semalaman memeluk Brian. Brian menoleh ke arah Vio singkat meski setelahnya dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Vio. Lelaki itu mendudukkan diri. Berdehem beberapa kali baru setelahnya dia mengangkat panggilan itu."Halo, Pa."Vio yang tidak mendapat balasan ikut duduk dan membuka telinganya leb