Vio membeku saat netranya tak sengaja bersinggungan dengan netra Wijaya. Bahkan jantungnya terasa berhenti berdetak saat itu juga. Terlebih tatapan lelaki itu terlihat sangat tidak bersahabat.Brian dan Azzura saling pandang. Sepertinya mereka memiliki kekhawatiran yang sama. Untuk memecah perhatian sang ayah, Azzura berdehem sedikit keras. Dan berhasil, pandangan Wijaya langsung beralih padanya."Dia ini Vio, Pa. bodyguard Kyra," jelas Azzura sebelum sang ayah bertanya. Wijaya hanya mengangguk dan kembali berfokus pada Kyra. Wajah yang tadinya dingin dan kaku, kembali mencair jika berhadapan dengan cucu satu-satunya."Kak Vio itu keren lho, Opa. Dia pinter berkelahi. Kak Vio juga pernah terluka karena melindungi Kyra," celoteh Kyra yang membuat Wijaya langsung beralih pada anak dan menantunya.Perasaan Brian dan Azzura langsung tidak enak. Hingga akhirnya Azzura pun memberi perintah pada Vio untuk mengajak Kyra jalan-jalan ke luar. Meski awalnya Kyra menolak, tetapi karena pelototan
Hubungan Brian dan Azzura setelah hari itu terus memburuk. Bahkan Brian lebih sering tidak pulang ke rumah. Hal itu tentu saja membuat Azzura semakin tersiksa. Kyra tak lagi tinggal bersamanya dan kini sang suami pun seolah mengabaikannya. Wanita itu sedikit menyesali beberapa keputusannya. "Nyonya! Apa Anda menginginkan masakan lain? Saya melihat Anda tidak menyentuh apa pun." Seorang pelayan yang telah lama bekerja pada Azzura, menghampiri wanita itu karena sedari tadi dia hanya melihat makanan di depannya tanpa berniat menyentuhnya. Azzura yang pikirannya tidak berada di situ langsung tergagap dan menoleh ke arah wanita paruh baya di sebelahnya. "Tidak perlu, Bi. Bereskan saja ini semua!" titahnya. "Tapi, Anda belum makan." Terlihat raut khawatir terlihat jelas di wajah pelayan itu. Walau bagaimanapun dia telah mengenal Azzura lumayan lama. Dia yakin majikannya tersebut seperti itu karena banyak pikiran. Terlebih dia tidak melihat sang majikan pria dan juga nona mudanya untuk b
"Jangan pergi, Mas! Jangan tinggalkan aku!" Azzura terlihat sangat kacau kali ini. Brian, Vio, dan Kyra terlihat sedang tersenyum mengejek ke arahnya, seolah mereka bertiga tengah menertawakan dirinya yang tidak sempurna."Tidak mungkin aku bertahan dengan wanita gila sepertimu, Zura!" ejek Brian disertai senyuman sinisnya. Dia lantas meraih pinggang Vio dan mendekatkan tubuh gadis itu pada tubuhnya."Iya, Mbak! Mbak Zura harus terima jika saat ini Mas Brian sudah tidak mencintai Mbak Zura lagi. Mas Brian butuh sosok istri yang masih muda dan sempurna seperti aku, yang bisa memuaskan gairah Mas Brian yang masih besar. Dan yang pasti, tidak gila seperti Mbak Zura."Azzura semakin tersayat hatinya kala mendengar perkataan Vio barusan. "Kamu tidak berhak berkata seperti itu, Vio! Kamu tidak akan menjadi seperti ini jika bukan aku yang membawamu!" teriak Azzura dengan berlinangan air mata. Dia tidak pernah menyangka jika Vio akan mengatakan kalimat menyakitkan seperti itu.Bukannya merasa
Brian mengembuskan napas panjang saat Vio melewatinya begitu saja tanpa menyapanya seperti biasa. Gadis itu entah pulang dari mana sejak meninggalkan apartemen sejak tadi."Kamu dari mana saja?!" tanya Brian dengan suara tegasnya. Namun, bukannya menjawab, Vio justru masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu dengan keras. Seolah gadis itu sedang mengajukan protes pada sang suami.Merasa diabaikan, Brian mengerang kesal. Tangannya mengepal kesal. Masalah datang tak ada habisnya. Dimulai dari Azzura yang tiba-tiba pergi, penculikan Kyra, dan sekarang rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja."Dosa apa yang telah aku perbuat, Tuhan ...?" Brian menengadah dengan mata yang menatap langit-langit. Lelaki itu sedikit terkaget saat mendengar bunyi pintu kamar mandi dibuka. Vio muncul dengan wajah segar sehabis mandi dan hanya mengenakan bathrobe saja. Vio yang melihat Brian tengah melihatnya kembali memalingkan muka. Brian pun hanya mendesah kasar. Kenapa wanita selalu sulit untuk dimen
"Kyra mau pulang, Opa ...." Seorang gadis remaja sedang merengek pada sang kakek karena tidak diperbolehkan pergi ke mana pun. Bahkan untuk sekolah pun, Wijaya mendatangkan guru privat ke rumah. Dia sama sekali tidak mengizinkan sang cucu pergi selangkah pun dari rumahnya."Di sini juga rumah kamu, Sayang." Wijaya masih berusaha bersikap lembut pada Kyra. Meski dia terlihat sangat keras di luar, tetapi jika menyangkut anak dan cucunya, Wijaya akan berlaku selembut mungkin. Meski kadang dia harus tetap tegas biar terlihat berwibawa, tetap saja tidak bisa meninggikan suara saat berbicara dengan Kyra."Bukan! Ini bukan rumah Kyra! Ini adalah penjara yang telah Opa buat untuk Kyra!" jerit Kyra protes atas perlakukan Wijaya. Lelaki paruh baya itu meletakkan koran yang dia pegang sedari tadi dan langsung menatap lurus ke arah sang cucu. Meski wajahnya terlihat tenang, tetapi entah kenapa Kyra merasakan aura di sekitarnya mendadak gelap.Gadis remaja itu menelan ludahnya kasar, tubuhnya tiba
Kyra langsung terduduk saat Wijaya telah benar-benar keluar dari kamarnya. Dia melirik ke arah makanan yang sengaja Wijaya tinggalkan untuk sang cucu. Tanpa sadar Kyra menelan ludahnya kasar. Dia benar-benar lapar, apalagi semalam dia melewatkan makan malam. "Nggak!" Kyra menggeleng pelan. "Aku sedang marah. Aku tidak boleh tergoda oleh makanan itu." Buru-buru remaja itu sadar tentang protes yang tengah dia lakukan. Kyra pun akhirnya memilih untuk memalingkan wajah. Tak ingin kalah dengan rasa lapar yang dia rasakan. Namun, sepertinya cacing dalam perut Kyra tidak bisa diajak kompromi. Kyra memejamkan mata saat mendengar bunyi perutnya sendiri yang menandakan jika saat ini dia benar-benar kelaparan. "Argh ...! Kenapa kamu protes sih? Aku 'kan belum mau makan," keluhnya sembari mengelus perut kecilnya yang semakin mengempes. Meski mulutnya mengucapkan penolakan, nyatanya tangan gadis itu melakukan hal yang sebaliknya. Dia dengan cepat meraih piring yang diletakkan Wijaya tadi. "Maa
Vio yang melihat sorot kemarahan di mata Brian pun mencoba untuk meredam emosi lelaki itu. "Mas ... tenang dulu. Jangan gegabah!" Vio mengelus bahu sang suami, berharap amarah Brian surut. Namun, ternyata hal itu tidak terlalu berdampak buktinya Brian malah semakin terlihat murka."Tenang?! Kamu suruh aku untuk tenang saat tahu anakku di sana tersiksa?!" ucap Brian dengan intonasi yang sedikit tinggi. Matanya yang menyala merah menghujam tajam ke arah Vio membuat wanita itu merasa takut."Bu-bukan gitu maksudku, Mas." Suara Vio bergetar menandakan jika aura Brian benar-benar mengerikan."Aku kira kamu selama ini tulus, ternyata semua itu hanya topeng. Menyesal aku memberikan perasaanku padamu!" Setelah mengucapkan hal itu, Brian berlalu begitu saja dari hadapan Vio. Tidak memberi kesempatan bagi wanita itu untuk menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka.Vio meremas dadanya yang sesak karena ucapan Brian. Ternyata lelaki itu belum mempercayainya sepenuhnya. Padahal maksud dia menga
Vio sedari tadi berusaha menghubungi Brian, tetapi lelaki itu sama sekali tidak menggubris panggilannya. Hal itu tentu saja membuat Vio semakin kepikiran. Dia pun lantas mencoba untuk menghubungi Azzura, tetapi nomor wanita itu malah tidak bisa dihubungi."Mbak Zura ke mana sih?" Wanita itu bediri panik di depan pintu apartemen. Sesekali dia berjalan mondar-mandir seolah berharap Brian agar segera kembali.Setelah menimbang banyak hal, akhirnya Vio memutuskan untuk datang ke kediaman Brian dan Azzura. Dia harus memberi tahu Azzura tentang Brian yang pergi dalam kondisi marah.Dengan naik taksi, Vio tiba juga di rumah besar yang pernah dia tinggali. Meski hanya singkat, tetapi ada banyak kenangan di sana.Karena semua pekerja di sana sudah mengetahui tentang Vio, maka tidak susah bagi wanita itu untuk masuk ke dalam. Saat berpapasan dengan salah satu pelayan, Vio pun menanyakan tentang Azzura. Dan dari sana dia jadi mengetahui tentang pertengkaran Brian dan Azzura. Dia juga mendengar k