"Morning, Honey." Azzura turun dari lantai atas kamarnya. Dia langsung menuju ke ruang makan untuk menemani Brian, suaminya sarapan. Azzura terlihat sangat cantik dengan dres berwarna hitam di bawah lutut. Brian sudah mencuri pandang semenjak dia mencium aroma sang istri. Meski dari jarak bermeter-meter, Brian sangat hafal aroma parfum Azzura.
"Hm ...!" Entah kenapa dia masih merasa kesal dengan permintaan Azzura waktu itu. Meski dia juga telah menghabiskan malam panjang penuh gairah bersama wanita yang dia cintai itu. Brian tidak akan pernah bosan melakukan hal itu dengan Azzura.
"Ck!" Azzura yang sangat hafal Brian luar dalam. Dia tahu jika saat ini, suaminya itu sedang ingin merajuk padanya. Hal yang sudah lama tak ada dalam hubungan rumah tangga mereka. Selama ini, hanya ada gairah tanpa ada gelombang yang berarti dalam rumah tangga mereka. Setidaknya itulah yang ada di pikiran Azzura.
Zura berjalan mendekati Brian dan mengalungkan tangannya pada bahu sua
Setelah Vio pamit dengan Handoko untuk menceri pekerjaan, dia terus berjalan menyusuri trotoar tak tentu arah. Dia sendiri bingung harus mencari ke mana. Vio hanya tak mau Handoko khawatir dengan keadaannya. Karena jika terus di rumah maka dia hanya akan merenung."Capek banget. Udah keliling gini nggak ada yang buka lowongan. Ijazah juga cuma SMA, nanya di mana lagi?" Vio kini telah duduk di sebuah kursi panjang di pinggir jalan. Dia mengelap keningnya yang telah berkeringat, meski kadang dia harus menahan perih karena luka yang belum kering."Aw ...!" keluh Vio kala tangannya tak sengaja menyenggol luka lebam yang masih terasa nyeri. Dia hanya bisa meringis menahan sakit. Mungkin rasanya dia saat ini sangat ingin menangis, tetapi itu semua hanya akan membuatnya menjadi lemah.Vio mencebik, dia merasa jika nasibnya terlalu buruk. Apa dia pernah melakukan kesalahan di masa lalu hingga dia menerima karma seperti ini. Kehidupan yang buruk dan jauh dari kata bahagi
Brian pulang ke rumah dengan suasana hati yang ama buruk. Setiap hari dia harus bertemu dengan Mark karena urusan bisnis. Entah dirinya yang seperti anak kecil atau memang keduanya yang terlanjur tak bisa akur. Namun, pertemuannya dengan Mark sama sekali tak baik untuknya.Azzura mengikuti Brian yang masuk ke dalam kamarnya. Wanita itu melihat suaminya membanting jas dan juga dasi di atas tempat tidur. Dia dengan sigap segera memunguti kedua benda itu."Kamu kenapa, Mas?" tanya Azzura. Akhir-akhir ini memang suaminya itu terlihat lebih sering uring-uringan. Dia belum pernah melihat Brian seperti ini sebelumnya.Brian melirik Azzura sekilas. Entah apa yang dia rasakan kini pada istrinya itu? Rindu, benci, marah, kecewa. Semua perasaan campur aduk jadi satu.Brian mendengkus, dia membuang muka. Brian tak mau bingung lagi dengan perasaannya. Jika dia menatap ke dalam manik mata Zura, pasti dia akan kembali luluh pada pesona istrinya itu."Mas ...." Zu
Brian membuka matanya. Dia merasa ada sesuatu yang panas yang menggelitik indera penglihatannya tadi. Brian berkedip, mencoba menyesuaikan matanya dari yang terpejam hingga kini melihat sesuatu yang terang."Aku ... di rumah?" Dia sangat hapal dengan suasana kamarnya. Ada foto keluarganya yang terpampang dengan indah dan megah saat dia membuka mata."Sudah bangun, Sayang." Azzura masuk ke dalam kamar dan tersenyum manis pada suaminya itu. Dia masuk dengan membawa kemeja dan satu stel jas.Azzura menyampirkannya pada sandaran sofa yang ada di dalam kamarnya. Setelahnya dia menghampiri Brian yang masih menatap kebingungan ke arahnya. Tak ada raut kemarahan apalagi kekesalan pada wajah Azzura. Dia bersikap biasa saja seolah semalam sama sekali tak ada pertengkaran."Cepat bangun, Mas. Kamu mandi dulu." Senyuman itu sungguh bisa membuat Brian luluh. Dia langsung beranjak dari kasurnya dan masuk ke kamar mandi.Terdengar suara guyuran shower pertanda Br
Dengan menahan amarah yang sangat ingin meledak, Brian kini telah duduk di depan penghulu. Dia sama sekali tak berkeinginan untuk menikah lagi, tetapi ancaman istrinya sungguh tak bisa dia abaikan. Saat itu Azzura benar-benar menatapnya dengan kesungguhan. Tak terlihat jika dia sedang bercanda."Jika Mas nggak mau memenuhi permintaanku kali ini, maka ceraikanlah aku!"Ucapan Azzura saat sebelum berangkat ke tempat ini sungguh bisa membuat langitnya runtuh. Bahkan Brian nyaris tak percaya jika yang mengucapkan hal itu adalah istri yang telah dua belas tahun ini mendampinginya, yang dia cumbui dengan sepenuh hati.Brian yang takut kehilangan Azzura, tentu saja langsung menyetujui pernikahan ini. Mana mungkin dia bisa hidup tanpa istrinya itu? Azzura adalah separuh jiwanya dan seluruh napasnya."Saudara Brian. Apakah Anda siap!" tanya penghulu.Di rumah sederhana itu hanya ada seorang penghulu, Azzura, dirinya, dan juga empat orang lainnya yang bertin
Azzura keluar dari kamar yang dia berikan untuk Vio. Wanita itu mencari suaminya yang ternyata malah masuk ke dalam kamar mereka."Mas. Kenapa kamu ada di sini?" tanya Azzura. Dia mendekati Brian yang terduduk di atas kasur milik mereka. Tak ada cahaya di wajahnya. Brian sama sekali tak mau melihat ke arah istrinya. Dia masih sangat marah pada ancaman Azzura tadi, sehingga membuatnya sama sekali tak berkutik."Apa maksud semua ini, Zura?" Zura melihat kilatan amarah di mata Brian. Sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Apa dia sudah keterlaluan?"Mas sudah menikah dan memiliki dua istri," jawab Zura dengan entengnya. Padahal saat ini rahang Brian sudah mengeras hingga Azzura bisa melihat dengan jelas otot-otot di sekitar rahangnya itu.Azzura benar-benar menahan segalanya saat ini. Dia kini telah memiliki seorang adik madu, sudah sepantasnya dia membuat Brian berlaku adil pada keduanya.Brian menggeleng, "Kamu itu kena guna-guna apa sama g
Dalam pikiran Azzura, dia sudah menyiapkan semuanya. Dia akan baik-baik saja ketika melihat Brian bermesraan dengan Vio, tetapi nyatanya tidak. Dia tidak baik-baik saja saat ini."Lepas!" Vio mendorong tubuh Brian agar menjauh darinya. Dia merasa bersalah ketika melihat wajah shock Azzura."Mbak Zura ... saya--"Azzura menaikkan tangannya memberi isyarat pada Vio untuk menghentikan ucapannya. Wanita itu mengangkat kepalanya, dia mencoba tetap melengkungkan bibirnya saat ini."Tenang saja, Vio. Aku nggak papa," ucap Azzura sembari berusaha menahan tangisnya yang sebentar lagi mungkin akan pecah. Azzura melirik ke arah Brian yang sama sekali tak melihat ke arahnya. Suaminya itu memilih untuk memunggungi istrinya."Mbak, aku--""Aku permisi dulu. Selamat menikmati malam pertama kalian." Azzura berbalik, dia meninggalkan kamar itu dengan berlinangan air mata. Ini bukan salah Vio maupun Brian, ini semua murni salahnya. Dia kira akan kuat, tetapi
"Kenapa Mbak Zura menyuruh saya menikah dengan Mas Brian?" Tentu saja Vio penasaran . Bukan hanya Vio mungkin, tetapi seluruh orang akan mempertanyakan keputusan Zura kali ini."Kamu nggak perlu tahu, Vio. Kamu hanya perlu melakukan kewajiban kamu sebagai istri Mas Brian." Azzura tersenyum saat ini. Namun, Vio tahu di dalam senyum itu tersimpan sebuah luka yang dia pendam sendiri.Vio ingin tahu lebih lanjut, tetapi dia memutuskan untuk kembali mengunci rapat bibirnya. Benar jika hubungan mereka kini adalah keluarga, meski dari ikatan yang aneh. Tetapi Vio harus sadar bagaimana posisinya di rumah ini."Kamu sarapan dulu." Azzura menyerahkan nampan yang berisi makanan untuk Vio. Azzura tahu ini berat untuk Vio, untuknya, dan untuk Brian. Tetapi, keputusan ini telah dia pikirkan matang-matang. Dan dia harus tetap menjalaninya apa pun yang terjadi."Mama ...." Seorang anak perempuan berusia 11 tahun berlari menuju ke arah Azzura. Dia merentangkan tangannya,
"Brian, bangun! Kenapa kamu tidur di sini?" Seorang wanita paruh baya mengguncang tubuh Brian yang tengah meringkuk di sofa. Dia seperti seorang anak yang pulang telat dan tidak dibukakan pintu oleh ibunya.Brian terbangun, dia mengucek matanya. Brian yang masih mengantuk itu pun menguap. Entah jam berapa dia akhirnya tertidur, setelah lama terjaga semalam. Dia bisa gila jika seperti ini terus."Brian, bangun! Kamu belum jawab pertanyaan Mama." Amalia-ibu Brian -bingung saat mendapati anak lelakinya itu tidur di rumahnya. Bukannya tak memperbolehkan, tetapi ini baru sekali terjadi semenjak anaknya itu menikah.'Apa mungkin Brian dan Azzura bertengkar hebat?' tanya Amalia dalam hati. Selama dua belas tahun Brian menikah, baru kali ini Brian seperti ini.Brian membuang napas kasar, "Pertanyaan yang mana, Ma?" Lelaki itu sepertinya masih mengantuk. Dia masih enggan untuk membuka mata."Kenapa kamu tidur di sini, Brian? Apa kamu bertengkar dengan Azzur
Udara terasas berat seolah sisa oksigen di udara hanya tersisa sedikit. Jam dinding berdetak pelan, bunyi setiap detiknya seperti abad. Lima orang di sana saling diam dan terkurung dalam pemikirannya sendiri.Pada sofa panjang, duduk Anthony Wijaya bersama sang istri, Wening. Mereka menatap tajam ke arah Brian yang terlihat kusut di depannya. Lelaki itu sedari tadi tak henti bergerak gelisah karena sang istri histeris karenanya. Di sebelah Brian ada Kyra yang masih terlihat shock, melihat kenyataan tentang sang ibu.Di sudut ruangan, ada Adrian yang berdiri sembari menyandarkan punggungnya pada tembok. Kedua tangan dia lipat di depan dada dengan mata yang terus melihat ke arah empat orang di depan sana. Suasana ruangan itu menjadi lebih mencengkam dari pada pemakaman. Bahkan bagi Adrian ini lebih horor dari pada bertemu dengan hantu.Meski dia sahabat dan juga dokter Azzura, dia merasa bingung dengan keadaan ini. Kedua belah pihak masing-masing belum bisa berdamai. Meski Tuan Wijaya s
Ayah dan anak itu saling menatap cukup lama. Ada rasa rindu yang disampaikan oleh tatapan mata Brian pada Kyra. Dia ingin langsung berlari dan memeluk gadis itu tetapi dia juga ketakutan jika Kyra menolaknya. "Papa ....!" Hingga akhirnya Brian merasa lega ketika Kyra mendatanginya terlebih dahulu. Gadis itu berlari dan kemudian memeluknya. Dengan senang hati Brian membalas pelukan Kyra. Dia memeluk Kyra erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Kyra, Papa kangen." Satu kata yang bisa menjelaskan semua yang dia rasakan selama ini. Mereka memang beberapa kali bertemu tetapi kedekatan sebagai ayah dan anak sudah lama hilang. "Maafkan Kyra, Pa. Maafkan karena selama ini selalu menyalahkan Papa. Maafkan karena Kyra tidak bisa mengerti Papa." Sebuah ungkapan permintaan maaf tulus keluar dari bibir mungil Kyra. Dia juga merindukan hal seperti ini, memeluk sang ayah dengan perasaan kasih dan sayang."Tidak, sayang. Papa yang minta maaf sama kamu karena sudah bersikap egois dan tidak pern
Kyra hanya diam setelah bertemu dengan Vio. Dia masih memikirkan apa yang dikatakan oleh Vio. Selama ini dia memang menutup mata dan telinga tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Dia hanya ingin menyalahkan Vio atas apa yang terjadi.Kyra masih memegang surat perjanjian itu di tangannya. Beberapa kali dia hanya melihat dan takut untuk membukanya kembali. Dia masih tidak percaya jika ibunya yang telah merencanakan ini semua. Dia masih mengingkari jika sang ibu menderita Skizofrenia.Kyra menggeleng. "Ini pasti tidak benar, kan?" tanya Kyra yang lebih untuk dirinya sendiri. Gadis itu menarik napas panjang dan setelahnya mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk.Kyra kembali teringat tentang sang kakek yang beberapa hari ini ada di Swiss. Vio tadi bilang jika saat ini sang ayah sedang berada di Swiss untuk menjemput sang ibu. Apa mungkin kakeknya selama ini bersama dengan ibunya?"Pak! Bisa lebih cepat?" Kyra memberi perintah pada pak sopir yang dibalas anggukan. Laju mo
Setelah mendengar semuanya dari Handoko, Vio pun berniat mengunjungi makan sang ibu. Selama ini, Handoko memang tidak pernah memberitahukan tentang ibunya. Handoko selalu menyembunyikan kenyataan tentang sang ibu. Dan Vio menjadi terbiasa untuk tidak bertanya. Yang terpenting baginya adalah dia memiliki seorang ayah yang hebat.Sudah beberapa saat Vio duduk di depan batu nisan tanpa mengucapkan apa pun. Dia tidak tahu bagaimana harus menyapa sang ibu karena dia tidak pernah melakukannya seumur hidup.Masih dengan mulut yang tertutup, Vio mulai menggerakkan tangannya untuk mencabut rumput di atas gundukan tanah. Sesekali ekor matanya melirik ke arah nama yang ada di batu nisan."Maafkan aku baru bisa datang, Bu. Aku baru mengetahui tentangmu." Vio menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Meski dia tidak mengenal apa pun tentang ibunya tetapi Vio bisa merasakan kesedihan yang dialami sang ibu. Untung ada Handoko yang akhirnya membuat ibunya bertahan meski
Setelah kejadian itu, Wijaya tidak melarang kedatangan Brian. Dia senang karena Azzura menjadi semakin ceria. Meski sesekali dia kumat dan mengamuk tetapi Azzura lebih sering tersenyum. Brian setiap hari datang bersama dengan Adrian dan selalu menemani Azzura. Entah itu membaca novel atau merajut. Lelaki itu begitu sadar dan telaten menemani Azzura hingga dia melupakan keberadaan Vio. Dia bahkan belum menghubungi Vio lagi sejak hari itu.Vio terus-terusan melihat ke arah ponselnya. Sudah berhari-hari suaminya pergi dan belum memberi kabar padanya. Tentu saja dia khawatir terjadi hal buruk pada Brian. Brian hanya menghubungi sekali ketika lelaki itu keluar dari bandara dan dalam perjalanan menuju hotel."Ada apa, Nak? Kenapa kamu terlihat gelisah? Apa Brian belum menghubungimu?" Handoko muncul dari dalam kamarnya. Tangan kanannya menekan sebuah tombol sehingga kursi roda miliknya berjalan dengan otomatis.Vio hanya meringis. Dia bahkan tidak menceritakan hal ini pada ayahnya tetapi ken
Wijaya berjalan cepat ke arah ranjang Azzura. Dia lantas menarik bagian belakang kemeja yang dikenakan Brian dan mendorong lelaki itu hingga membentur tembok. Masih belum puas, Wijaya kembali mendekati Brian dan menarik wig yang lelaki itu gunakan. Wajah Wijaya langsung merah padam ketika mengetahui jika Brian yang sedari tadi bersama dengan anaknya.Sejak melihat lelaki yang menggendong Azzura, Wijaya sudah mencurigai jika itu adalah Brian. Pasalnya tidak mungkin Adrian memperbolehkan lelaki lain menyentuh Azzura. Dan kali ini kecurigaannya terbukti. Wijaya benar-benar marah ketika mengetahui jika Adrian telah menipunya."Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah sudah aku katakan untuk tidak mencari Azzura lagi?" bentak Wijaya pada Brian. Darahnya naik karena dia enggan Brian menyentuh Azzura lagi. Meski Wijaya mengetahui jika pernikahan kedua Brian adalah keinginan Azzura tetapi dia belum merelakan hal itu. Dia sudah tidak peduli Brian bersama siapa saat ini tetapi dia tidak ingin Br
"Ada apa, Adrian?" Suara seseorang yang sangat mereka kenal, membuat mereka terhenti. Baik Brian maupun Adrian merasa takut hingga tidak ada satu pun yang menoleh. "Adrian! Kenapa kamu diam saja!" Terdengar langkah kaki mendekat dan Adrian pun terpaksa membalik badan. Dia tesenyum menyambut Tuan Wijaya yang semakin mendekat. Dia tidak menyangka jika lelaki tua itu akan datang lebih awal dari biasanya. "Ehm ... saya membius Azzura karena dia tadi mengamuk, Om," jelas Adrian sembari menggeser tubuhnya menutupi punggung Brian. Meski Brian masih menyamar tetapi tidak menutup kemungkinan Tuan Wijaya bisa mengenali menantunya tersebut. Walau bagaimana pun mereka telah menjadi ayah mertua dan menantu dalam waktu yang cukup lama.Tuan Wijaya menghela napas panjang. "Apa ada pengobatan yang bisa menyembuhkannya secara penuh? Aku akan membayarnya berapa pun itu." Itu adalah sebuah keputus asaan dari seorang ayah terhadap keadaan putrinya. Azzura adalah anak satu-satunya dan dia adalah duniany
Suara klakson dari mobil Adrian membuat penjaga yang ada di pos melongok. Ketika tahu jika itu mobil Adrian, mereka pun membukakan pintu."Apa Tuan Wijaya telah datang?" tanya Adrian pada penjaga yang membukakan pintu untuknya. Sebelum menjawab, penjaga itu melirik ke arah lelaki yang duduk di sebelah Adrian. Keningnya berkerut tanda jika dia memiliki keraguan tentang orang yang dibawa Adrian.Adrian yang menyadari lantas menoleh sekilas ke arah Brian. "Ah ... ini adalah asistenku. Aku mengajaknya karena aku membutuhkan bantuannya. Keadaan Azzura sudah sangat buruk, dan aku takut dia melukaiku."Brian termenung ketika mendengar ucapan Adrian. Apakah keadaan istrinya sudah seburuk itu? "Jangan buat keributan!" Brian menoleh saat Adrian mengucapkan sesuatu. Adrian baru saja menutup kaca jendela mobil dan hendak menjalankan mobilnya kembali.Brian masih diam seperti orang kebingungan. Hingga akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Apa keadaan Azzura memang seburuk itu?" Separuh jiw
Brian mengemudi dengan ugal-ugalan meski cuaca sangat buruk. Salju turun dengan lebat sehingga mengganggu pandangan. Namun meski begitu Brian bisa menyusul mobil Adrian dan memotong jalan hingga Adrian terpaksa menghentikan mobilnya mendadak.Brian menutup pintu mobil dengan keras hingga menimbulkan bunyi. Dia segera berjalan ke arah Adrian dan kembali menggedor kaca mobil lelaki itu."Adrian! Keluar kamu!" Emosi telah menguasai Brian sehingga dia tidak bisa bersikap sabar. Dia sebagai suami Azzura tidak diperbolehkan bertemu dengan wanita itu tetapi kenapa Adrian bisa bertemu dengannya?Adrian ciam cukup lama. Dia mengatur napasnya berusaha untuk tetap tenang dan setelah beberapa saat dia pun membuka pintu mobilnya."Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bersikap seperti preman?" Adrian mengangkat wajahnya, menyiratkan jika dia tidak takut dengan Brian. Keduanya saling menatap tajam, seolah masing-masing menyimpan kebencian.Amarah telah menguasi Brian hingga dia tidak bisa bersikap ten