enjoy reading
Bab 18 Remuk Jiwa dan RagaSinar mentari menelisik dari jendela kamar berhasil membangunkan Rania. Seakan terbangun dari mimpi buruk, Rania merasakan sebagian tubuhnya bagian bawah sakit, bahkan punggung terasa nyeri. Dia tidak yakin bisa berjalan dengan normal, padahal pagi ini ada kuliah. Semalam dia sudah mengirim pesan pada Cika kalau harus menginap.Beberapa kali mengerjapkan mata, Rania mencoba mengumpulkan nyawanya. Dia mencoba menggerakkan badan supaya tidak kaku."Nona sudah bangun? Ini saya bawakan sarapannya." Rania merasa malu diperlakukan berlebihan oleh asisten RT Pak Aldo yang bernama Bi Surti."Bi, panggil saja Rania atau Nia! Jangan panggil Nona, saya jadi nggak enak." Bi Surti hanya mengulas senyum sambil meletakkan nampan berisi sepiring nasi goreng dan segelas susu. Aromanya menguar sampai ke indra penciuman Rania hingga menggelitik perutnya. Terdengar bunyi perut keroncongan, nyaring sekali membuat keduanya menahan tawa. Rania pun tersipu malu."Sepertinya sarapann
Bab 19Rania bergegas melihat papan pengumuman. Tidak disangka langkah tertatihnya tersandung kaki yang sengaja dijulurkan oleh Manda."Aargh.""Kasian sekali. Kalau jalan pakai mata, jangan cuma dipakai untuk mengincar pria kaya, huh." "Ada apa kalian ribut-ribut?" Semua mata tertuju pada sumber suara. Bukannya lega jantung Rania justru berdegup kencang.Ada security datang menghampiri kerumunan. Tak hanya itu dari jarak sekitar tiga puluh meter dekan dan dosen yang dikenal Rania berjalan menuju ke arahnya."Mampus, sekalian ketahuan dekan aja tuh cewek!" Lontaran sinis keluar dari salah satu mahasiswa yang berada di sana. Trio Sherly, Manda, dan Almira tersenyum penuh kemenangan. Namun senyum mereka reflek memudar saat dekan bersuara memanggil nama siapa saja yang terlibat peristiwa heboh itu. Tak pelak nama ketiganya beserta nama Rania lah yang disuarakan oleh saksi mata security kampus."Pak Abi, tolong tangani masalah ini!" titah Pak Dekan yang diangguki Abi. Rania menunduk malu
Bab 20Setelah kembali dari klinik, Rania bergegas menuju ruang kelasnya di lantai dua. Sudah ketar-ketir karena telat masuk kuliah dosen Linguistik, ternyata sampai di kelas teman-temannya berdiskusi dalam kelompok. Rania dan Cika merasa lega karena tidak ketinggalan pelajaran. Namun rasa kesalnya yang sempat hilang mencuat kembali saat mengetahui dosen yang mengajar adalah Pak Abi. Ternyata beliau menggantikan dosen senior yang sedang ada tugas dari universitas."Bisa-bisanya Pak Abi ngerjain kita, Ci." "Iya, pantesan di mobil tadi, kita kelimpungan memikirkan gimana caranya beralasan kalau ditanya dosen Linguistik, Pak Abi justru menahan tawa." Rania mengangguk tanda mengiyakan pendapat Cika.Lima menit kemudian, sosok yang dibicarakan telah datang dan berdiri dengan gagah di depan kelas."Baiklah mari kita mulai presentasinya! Silakan kelompok siapa yang sudah siap?" tawar Pak Abi. Kelompok Rania yang mengacungkan tangan. Melihat Rania yang pertama mengajukan diri membuat Sherly
Bab 21"Kamu ada usulan tempat?""Vila atau hotel, boleh kita coba, Pak," usul Rania."Kamu yakin?" Rania tersentak, ada setitik keraguan untuk menjawab. Namun tidak ada salahnya mencoba hal baru, Rania pun mengiyakan. Setelah menyepakati waktu dan tempat yang diusulkan Pak Aldo, Rania bergegas berpamitan. Hari ini dia tidak menginap, karena mau pulang ke kampungnya. Setidaknya ada alasan utama juga yaitu mengambil stok susu untuk disetorkan ke kafe milik Pak Aldo.Rania naik bus kota menuju sebuah hotel di kawasan jalan lingkar utara kota Yogya sesuai yang diperintahkan Pak Herman. Setelah dosen seniornya membalas pesan melalui ponsel bahwa hari ini ada seminar di hotel tersebut. Tanpa menaruh curiga, Rania mengiyakan. Dia akan menyerahkan berkas tugas revisi ke Pak Herman di sana.Benar saja, beberapa sosok akademisi yang dikenalnya ada di sana. Termasuk Pak Abi. Namun, Rania sebisa mungkin tidak menampakkan wajah di depan laki-laki itu supaya tidak terkena masalah.Sesekali dia guna
Bab 22Mobil yang dikendarai Abi berhenti di depan sebuah ruko yang difungsikan sebagai kantor konsultan. Entah apa profesi dari Irvan teman dari dosennya itu, Rania tidak ingin sok tahu meski jiwa penasarannya meronta. Pakaian Irvan terlihat rapi pun sering memberi tatapan tajam penuh selidik. Bisa saja profesinya adalah dokter kalau dilihat dari jasnya. Namun Rania ragu karena tidak ada nametag yang tersemat di bajunya."Bi, kenapa ada dia bersamamu?" tanya laki-laki itu heran. Dia mendaratkan pant*tnya ke kursi belakang, lalu Abi melajukan kembali mobilnya."Sudah, naik aja kenapa? Pakai nanya yang nggak penting," jawab Abi tak acuh."Ckkk, jangan main-main, Bi. Urusannya dengan polisi, lho." Irvan memberi ancaman, tetapi diabaikan oleh Abi. Sementara itu, Rania yang paham maksud ucapan penumpang di belakang hanya melirik sekilas dari spion, lalu beralih melirik pengemudi yang tengah fokus dengan jalanan di depannya.Hening, suasana tak menggambarkan bahwa ada tiga orang di dalam mo
Bab 23"Siapa yang mulai bicara tentang gosip itu, Ri?" Rania bisa menduga siapa orangnya, tetapi dia ingin memastikan apa yang asa di pikirannya sama dengan kondisi nyata."Bu Sastro, Mbak," ucap Sari lirih."Ada yang nggak percaya, tapi ada juga yang memperpanjang obrolan dengan bicara keburukan Mbak. Aku jadi kasian kalau bapak dan ibu sampai mendengarnya." Rania menarik napas panjang, lalu membuangnya kasar.Di tempat lain, sebuah mobil tengah berhenti di pinggir jalan. Mesin yang tak menyala mengundang perhatian seorang pengendara motor lewat.Terdengar bunyi ketukan pada jendela kaca sopir."Ada yang bisa dibantu, Mas? Saya Ardi, sepertinya Mas bukan warga sini?" Abi terkejut mendapat pertanyaan yang lebih tepatnya semacam interogasi. Dia berusaha tenang dalam menjawab agar tidak terkesan memata-matai orang yang tak lain adalah mahasiswinya. Bisa jadi Ardi tetangga Rania, Abi jelas tidak mau tertangkap basah."Maaf sepertinya kami salah jalan, Mas. Kami hendak balik ke Semarang.
Bab 24"Rania, jangan melakukan hal bodoh di tempat itu! Pergi dari situ! Aku akan pulang sekarang juga!" Rania menjauhkan ponsel dari telinganya. Suara teriakan tak lain dari Agha membuatnya tergugu. Memilih menundukkan kepalanya di atas kedua lutut yang ditekuk, Rania menumpahkan beban masalah yang dipikulnya saat ini.Hampir setengah jam, dia menikmati udara sejuk dan pemandangan air terjun. Sampai ada salah satu warga menyapanya."Eh, Mbak Ara kok tumben sendirian di sini? Lagi liburan, ya?"Rania tersenyum getir, liburan? Ya, sejatinya dia ingin liburan. Menjauhkan diri dari hiruk pikuk dan omongan orang tentangnya. Sepertinya bapak yang menyapanya tidak tahu gosip yang menimpa dirinya."Iya, nih, Pak. Saya kangen main di sini?""Mbak Ara kapan-kapan anak saya diajari gimana caranya biar bisa kuliah seperti Mbak. Bapaknya ini memang bodoh cuma lulusan SD, tetapi punya mimpi anak-anaknya sukses dengan pendidikan setinggi-tingginya." Seketika air mata Rania tak terbendung teringat b
Bab 25Brakk.Pintu ditutup kasar, mobil melaju pesat dengan kecepatan tinggi.Rania hanya mampu menelan ludahnya kasar seakan ada duri yang menancap di tenggorokan."Maafkan aku, Mas!" Luka tak kasat mata kini telah hadir. Bulir bening pun setia menyambutnya.Beberapa menit kemudian bus yang ditunggu Rania datang. Dia duduk di kursi bagian tengah samping kiri sopir. Memandang jauh keluar jendela, Rania meratapi nasibnya. Sikapnya barusan amat menyakitkan tidak hanya untuknya, tetapi juga untuk Agha.Ya, laki-laki itu tampak emosi. Rania tak menyangka sebegitu marahnya Agha hanya dengan beberapa patah kata yang diucapkannya. Reflek Rania bergidik ngeri sendiri. Selama ini dia membayangkan Agha sosok penyayang dan lemah lembut, dibalik itu ternyata menakutkan saat emosinya mencuat.Mengusap cairan bening yang mengumpul di pelupuk mata, Rania malu beberapa pasang mata penumpang memergoki tingkahnya."Ah, sudah seperti orang yang sedang diputus pacarnya. Mengenaskan sekali nasibku."Jauh