Kini Emil yang sedang duduk sendiri, dengan terus memikirkan ucapan Sabrina yang nyatanya membuat hatinya tak tenang.
"Apa mungkin Alzena melakukan hal itu?" batinnya.Tak lama kemudian. Alzena yang datang, meraih bahu Emil, hingga membuat lamunannya terbuyar."Mas, ada apa? ada yang lagi kamu fikirin?" tanya Alzena setelah terduduk tepat disebelah Emil.Belum menjawab, Emil yang masih terdiam memperhatikan wajah Alzena dengan tajam. Namun demi sang istri Emil berusaha menutupi kegundahan nya."Ngga papa kok sayang," jawabnya tersenyum."Mas, kamu tau ngga, anak kita kangen loh sama kamu, dia belum pernah ngerasain belaian tangan daddy nya," ucap Alzena seraya membelai perut buncit itu.Terdiam dan tertegun memperhatikan Alzena, gerak tangan yang terus memutar pada perut besarnya membuat Emil kini memperhatikan wajah sang istri dengan tajamMelihat dari tingkahnya, sepertinya Emil tak melihat sebuah kebohongan d"Kenapa mas Emil bisa berpikir kaya gitu? secara ngga langsung dia bilang aku wanita murahan, aku ini istrinya masa dia ngga percaya, malah lebih percaya sama Sabrina," gerutu Alzena didalam kamarnya.Namun seketika ekspresi wajah nya berubah kala ia teringat akan kehamilan Sabrina. Matanya melebar dengan ekspresi wajah terkejut."Yaampun, kenapa aku bisa lupa, kalau anak dalam kandungan Sabrina itu anak mas Emil. bener bener keterlaluan, dia nyalahin aku, ngga taunya dia sendiri yang melakukannya," tambahnya yang lalu dengan cepat beranjak dan mencari Emil kembali.Ia dapati Emil yang sedang terduduk seorang diri bertemanankan sepi."Mas," panggil Alzena yang membuat Emil sedikit menoleh, namun kembali lagi pandangan nya beralih.Rasanya sedang tak ingin memandang wajah itu, mungkin karena rasa kecewa."Mas, Sekarang aku yang mau tanya sama kamu. kalau kamu sekarang bilang ini bukan anak kamu, terus gimana sama kandungan Sabrina
"Apa maksudmu Zen? kamu nyalahin aku?""Iya emang kamu yang salah mas, semua karena kamu yang ngga menerima anak itu, harusnya sebagai ayah kamu menerimanya dengan baik, bukan malah menuduh yang tidak tidak, dan sekarang dia lebih memilih pergi dari pada harus kamu curigai kaya gini," ucap Alzena dengan suara bergetar."Zen, maafin aku. Aku ngga bermaksud...""Udah lah mas, sekarang kamu puaskan? anak yang kamu bilang anak Aland itu sekarang udah ngga ada, dan kamu bisa tenang," sambarnya tanpa memandang.Entah mengapa rasanya tak ingin memandang wajah itu, rasa kesal dan kecewa yang kian hadir dalam hati Alzena."Udah Mil, kalian bisa bahas masalah ini nanti, lebih baik sekarang kamu urus pemakaman anak kamu," tahta Adit yang membuat Emil kini mengangguk, dan perlahan melangkah meninggalkan tempat.Keesokan harinya, kini Alzena telah kembali ke rumah, melangkah dengan tak bersemangat dan raut wajah yang tampak sedih.Kepulan
"Ada apa Zen, siapa yang kecelakaan?" tanya Maya kala ia dapati Alzena yang terduduk tak lagi seimbang."Mas Emil kecelakaan kak," jawabnya lemah.Yang membuat Maya terbelalak dan dengan cepat menghubungi Adit yang saat ini sedang berada dikantor."Mas, Emil kecelakaan!""Apa kecelakaan? kamu jaga Alzena ya, aku pulang sekarang.""Iya mas."Dengan cepat Adit pun meninggalkan ruangan, langkah kebutnya terhenti saat kebetulan ia berpapasan dengan Aldo."Pak Aldo," panggilnya yang membuat langkah Aldo terhenti."Ada apa pak Adit? kenapa sepertinya terburu buru?""Emil kecelakaan, saya izin mau kerumah sakit sekarang."Sama seperti yang lain Aldo yang juga terkejut mendengar kabar tersebut, sebagai orang terdekatnya Aldo pun merasa khawatir."Kecelakaan? yasudah pak Adit pergilah, nanti saya menyusul.""Terimakasih, saya duluan."Dengan cepat Adit pun melangkah meninggalk
"Mas, Bangun mas! aku minta maaf ya karena akhir akhir ini aku cuek sama kamu. Kamu boleh marah sama aku, tapi plis jangan tidur terus kaya gini. Bukan cuma aku yang sedih mas, tapi Beverly juga, dia ngga semangat sekolah karena kangen sama kamu," ucap Alzena pada Emil yang terbaring koma dirumah sakit.Banyaknya alat medis yang menempel ditubuh Emil, serta suara berdenging yang memenuhi ruangan, Alzena duduk seorang diri menggenggam tangan sang suami."Mas, kamu tau ngga, aku nyesel banget udah marah sama kamu, udah cuekin kamu. Dan sekarang kamu yang diemin aku kaya gini. Bangun mas! aku kangen sama kamu."Hati yang kian kesepian, nafas yang terasa berat kala pandangannya terus tertuju pada raga tak sadarkan diri dihadapannya tersebut.Alzena hanya dapat menghela nafas dan selalu melayangkan doa untuk kesembuhan sang suami. Ditengah tengah keheningannya, tiba tiba.."Zen."Terdengar nama nya dipanggil membuat Alzena seketika me
Dua tahun berlalu.Emil yang masih terbaring koma di rumah sakit, segalanya terbengkalai, keluarga terbengkalai, dan perusahaan pun terbengkalai.Sementara biaya rumah sakit yang setiap bulan harus dibayar, membuat pengeluaran membengkak namun pemasukan minim."Tabungan ku tinggal segini, cuma cukup buat bayar sekolah Be, dan makan sehari hari. Terus aku harus bayar rumah sakit pake apa bulan ini?" gumam Alzena dengan pandangan mata yang terus tertuju pada layar ponselnya. Ternyata tidak mudah hidup seorang diri tanpa suami, sang suami yang masih terbaring tak sadarkan diri setelah satu tahun lamanya.Sementara perusahaan sudah tidak beroperasi dengan baik lagi, kehilangan pemimpin terbaiknya. Dan dua bulan yang lalu baru saja Alzena menerima kabar jika kedua orang tua Emil mengalami kecelakaan saat hendak terbang dari London ke Indonesia.Pesawat yang ditumpanginya hilang kontak dan terjatuh, membuat keduanya tidak selamat dan
"Mas, aku ngga tau harus gimana lagi sekarang, apa aku harus jual rumah itu? tapi bener kata kak Adit, kalau rumah itu terjual, gimana sama kamu nanti kalau sembuh? tapi kalau aku ngga jual rumah itu aku harus dapet uang dari mana buat biaya rumah sakit kamu?" gumam Alzena yang terduduk disebelah Emil yang sedang terbaring tak sadarkan diri.Wajah tampan dengan mata terpejam itu membuat pandangan Alzena tak berkedip. Rasa kerinduan yang tak jua berakhir membuatnya pandangannya enggan untuk menghindar."Persyarat yang Sabrina kasih untuk ku terlalu berat mas, aku fikir Aland adalah satu satu nya orang yang bisa bantu aku, tapi sayang ada Sabrina yang membatalkannya," tambah Alzena."Mas, gimana pun keadaan mu aku akan tetap setia sama kamu mas, aku ngga mau nikah sama laki laki lain, meski pun akhirnya aku bingung harus dengan siapa lagi aku mengeluh? siapa seseorang yang mau aku mintai pertolongan? Aku ngga bisa terus terusan bergantung sama kak Adit mas,
"Jadi Aland bilang kaya gitu?" tanya Adit setelah Alzena menjelaskan semuanya pada sang kakak, tentang ucapan Aland yang akan menceraikannya setelah Emil sadar nanti.Semua ia lakukan hanya karena ingin meyakinkan Sabrina, agar tidak kembali berulah."Iya, makanya aku bilang Aland itu orang baik kak, dia ngga sejahat yang kalian fikir," ucap Alzena yang membuat Adit terdiam."Tapi Zen, ngga akan ada laki laki yang mau berkorban sampai kaya gitu..""Kak, yang terpenting untuk saat ini adalah pembayaran rumah sakit mas Emil berjalan lancar, masalah pernikahan ku dengan Aland, biar saja dulu terjadi, toh Aland juga udah janji mau ceraiin aku setelah mas Emil sadar kan?""Yaudah lah Zen, terserah kamu aja, kakak juga ngga bisa bantu apa apa, cuma doa yang bisa kakak kasih buat kamu.""Kakak tenang aja, semua akan baik baik aja kok."•••Beberapa hari kemudian."Saya terima nikah dan kawinnya Alzena Dinata b
"Mas, maafin aku ya. Aku ngelakuin ini semua buat kamu mas, demi kamu biar terus dapet perawatan dari rumah sakit. Aku ngga bermaksud khianati kamu sedikit pun, dan meski pun status ku dan Aland sekarang sudah menikah, tapi cuma pernikahan diatas kertas kok, aku ngga pernah mencintai Aland dan berharap Aland menjadi suamiku. Begitu juga Aland, yang cuma mau menolongku aja, ngga lebih," ucap Alzena panjang lebar pada Emil yang masih terbaring koma dibed rumah sakit."Cepet sembuh ya mas, aku kangen banget sama kamu, kalau kamu tidur terus kaya gini aku kesepian. Begitu juga Be, dia selalu nanyain kamu, dia pengen main bareng kamu kaya dulu, bercanda tawa kaya dulu, aku berharap kita masih bisa bersatu lagi ya mas," tambah Alzena dengan tangan yang membelai rambut Emil dengan lembut.Sesaat kemudian, jari jemari Emil yang kini tampak bergerak, membuat Alzena terbelalak dan memperhatikannya dengan seksama.Ternyata benar, kelima jari itu bergerak, dengan cepa