"Mas, Bangun mas! aku minta maaf ya karena akhir akhir ini aku cuek sama kamu. Kamu boleh marah sama aku, tapi plis jangan tidur terus kaya gini. Bukan cuma aku yang sedih mas, tapi Beverly juga, dia ngga semangat sekolah karena kangen sama kamu," ucap Alzena pada Emil yang terbaring koma dirumah sakit.
Banyaknya alat medis yang menempel ditubuh Emil, serta suara berdenging yang memenuhi ruangan, Alzena duduk seorang diri menggenggam tangan sang suami."Mas, kamu tau ngga, aku nyesel banget udah marah sama kamu, udah cuekin kamu. Dan sekarang kamu yang diemin aku kaya gini. Bangun mas! aku kangen sama kamu."Hati yang kian kesepian, nafas yang terasa berat kala pandangannya terus tertuju pada raga tak sadarkan diri dihadapannya tersebut.Alzena hanya dapat menghela nafas dan selalu melayangkan doa untuk kesembuhan sang suami. Ditengah tengah keheningannya, tiba tiba.."Zen."Terdengar nama nya dipanggil membuat Alzena seketika meDua tahun berlalu.Emil yang masih terbaring koma di rumah sakit, segalanya terbengkalai, keluarga terbengkalai, dan perusahaan pun terbengkalai.Sementara biaya rumah sakit yang setiap bulan harus dibayar, membuat pengeluaran membengkak namun pemasukan minim."Tabungan ku tinggal segini, cuma cukup buat bayar sekolah Be, dan makan sehari hari. Terus aku harus bayar rumah sakit pake apa bulan ini?" gumam Alzena dengan pandangan mata yang terus tertuju pada layar ponselnya. Ternyata tidak mudah hidup seorang diri tanpa suami, sang suami yang masih terbaring tak sadarkan diri setelah satu tahun lamanya.Sementara perusahaan sudah tidak beroperasi dengan baik lagi, kehilangan pemimpin terbaiknya. Dan dua bulan yang lalu baru saja Alzena menerima kabar jika kedua orang tua Emil mengalami kecelakaan saat hendak terbang dari London ke Indonesia.Pesawat yang ditumpanginya hilang kontak dan terjatuh, membuat keduanya tidak selamat dan
"Mas, aku ngga tau harus gimana lagi sekarang, apa aku harus jual rumah itu? tapi bener kata kak Adit, kalau rumah itu terjual, gimana sama kamu nanti kalau sembuh? tapi kalau aku ngga jual rumah itu aku harus dapet uang dari mana buat biaya rumah sakit kamu?" gumam Alzena yang terduduk disebelah Emil yang sedang terbaring tak sadarkan diri.Wajah tampan dengan mata terpejam itu membuat pandangan Alzena tak berkedip. Rasa kerinduan yang tak jua berakhir membuatnya pandangannya enggan untuk menghindar."Persyarat yang Sabrina kasih untuk ku terlalu berat mas, aku fikir Aland adalah satu satu nya orang yang bisa bantu aku, tapi sayang ada Sabrina yang membatalkannya," tambah Alzena."Mas, gimana pun keadaan mu aku akan tetap setia sama kamu mas, aku ngga mau nikah sama laki laki lain, meski pun akhirnya aku bingung harus dengan siapa lagi aku mengeluh? siapa seseorang yang mau aku mintai pertolongan? Aku ngga bisa terus terusan bergantung sama kak Adit mas,
"Jadi Aland bilang kaya gitu?" tanya Adit setelah Alzena menjelaskan semuanya pada sang kakak, tentang ucapan Aland yang akan menceraikannya setelah Emil sadar nanti.Semua ia lakukan hanya karena ingin meyakinkan Sabrina, agar tidak kembali berulah."Iya, makanya aku bilang Aland itu orang baik kak, dia ngga sejahat yang kalian fikir," ucap Alzena yang membuat Adit terdiam."Tapi Zen, ngga akan ada laki laki yang mau berkorban sampai kaya gitu..""Kak, yang terpenting untuk saat ini adalah pembayaran rumah sakit mas Emil berjalan lancar, masalah pernikahan ku dengan Aland, biar saja dulu terjadi, toh Aland juga udah janji mau ceraiin aku setelah mas Emil sadar kan?""Yaudah lah Zen, terserah kamu aja, kakak juga ngga bisa bantu apa apa, cuma doa yang bisa kakak kasih buat kamu.""Kakak tenang aja, semua akan baik baik aja kok."•••Beberapa hari kemudian."Saya terima nikah dan kawinnya Alzena Dinata b
"Mas, maafin aku ya. Aku ngelakuin ini semua buat kamu mas, demi kamu biar terus dapet perawatan dari rumah sakit. Aku ngga bermaksud khianati kamu sedikit pun, dan meski pun status ku dan Aland sekarang sudah menikah, tapi cuma pernikahan diatas kertas kok, aku ngga pernah mencintai Aland dan berharap Aland menjadi suamiku. Begitu juga Aland, yang cuma mau menolongku aja, ngga lebih," ucap Alzena panjang lebar pada Emil yang masih terbaring koma dibed rumah sakit."Cepet sembuh ya mas, aku kangen banget sama kamu, kalau kamu tidur terus kaya gini aku kesepian. Begitu juga Be, dia selalu nanyain kamu, dia pengen main bareng kamu kaya dulu, bercanda tawa kaya dulu, aku berharap kita masih bisa bersatu lagi ya mas," tambah Alzena dengan tangan yang membelai rambut Emil dengan lembut.Sesaat kemudian, jari jemari Emil yang kini tampak bergerak, membuat Alzena terbelalak dan memperhatikannya dengan seksama.Ternyata benar, kelima jari itu bergerak, dengan cepa
"Bagaimana Zen?" tanya Adit lirih dan memperhatikan wajah Alzena setelah kembali kerumah sakit.Tak menjawab Alzena hanya mengangguk dan tersenyum, hingga membuat Adit dan Maya bernafas lega."Zen, kamu dari mana?" tanya Emil kala Alzena kini berada didekatnya."Ada urusan sebentar mas, oiya kata dokter sore ini mas udah boleh pulang," ucap Alzena yang membuat Emil tersenyum.Rasa lega dan rasa tak sabar ingin menginjakan kakinya pulang kerumah, rasa rindu pada sang anak yang telah menggebu kini memuncak dihatinya."Aku ngga sabar banget pengen pulang, aku kangen banget sama Be, aku kangen sama kamu dan kangen main bareng kalian" ucap Emil yang membuat Alzena tersenyum dan mengangguk."Sabar ya, beberapa jam lagi kok."Melihat pemandangan indah itu, membuat Adit dan Maya tersenyum, akhirnya Adit dapat melihat senyum bahagia Alzena kembali, setelah dua tahun lamanya senyum itu tak pernah terlihat kini akhirnya kembali.
Hari demi hari berlalu, kondisi Emil yang kini semakin membaik, membuatnya dapat kembali beraktifitas seperti sedia kala.Pagi ini ia melangkahkan kakinya masuk kedalam sebuah gedung terbengkalai, ya Emil Group, perusahaan yang telah terbengkalai satu tahun belakangan ini.Pandangan Emil dan Alzena tak berkedip memperhatikan tiap sudut ruangan, yang usang dan penuh debu.Tak dapat berkata apa apa, Emil hanya dapat menghela nafas kala melihat semuanya, perusahaan yang berada dalam kejayaan kini mangkrak dan tak terurus.Entah harus dari mana Emil memulai semuanya lagi, bisakah ia berdiri seorang diri sementara sang orang tua yang dulu selalu mendukung namun kini telah tiada?Melihat sang suami tampak lesu dan tak bersemangat Alzena pun mendekat, mencoba untuk menyemangati dan menenangkannya."Yang sabar ya mas, aku yakin mas pasti bisa kok bangkit lagi," ucap Alzena menepuk bahu Emil.Hingga membuatnya perlahan menoleh da
"Aku harus gimana sekarang? Mas Emil marah dan ngga mau denger penjelasan ku," gumam Alzena dengan wajah frustasi.Dengan cepat kini Alzena meraih ponselnya dan menghubungi Adit, mencoba meminta pendapat pada sang kakak."Kak, aku harus gimana sekarang? mas Emil udah tau kalau aku pernah menikah sama Aland," ucap Alzena yang membuat Adit terbelalak."Gimana bisa dia tau Zen?""Semua karena Sabrina kak, dia yang bongkar semuanya.""Bener bener perempuan ngga tau malu, tenang ya Zen, kakak akan bantu buat jelasin ke Emil.""Makasih ya kak, makasih banyak.""Yaudah, kamu jangan risau ya. Biar aja Emil tenang dulu, mungkin sekarang dia lagi emosi.""Iya kak."Tut tut tut!Panggilan pun terputus. Sementara Beverly yang kini berlari menghampiri Emil yang sedang terduduk dengan perasaan kecewa."Daddy," pekik Beverly yang membuat Emil seketika menoleh.Merentangkan kedua tangannya un
"Mommy, daddy, Be mau main dulu ya. Sama mereka, kaya nya seru deh," ucap Beverly yang pandangannya kini tertuju pada gerombolan anak anak perempuan yang sedang asik bermain."Be sama mbak ya, jangan sendirian. Be kan belum tau daerah sini, nanti kalau Be nyasar gimana?""Iya Be, jangan main sendiri ya, bahaya.""Ngga papa kok mommy daddy, Be janji ngga jauh jauh. Mbak biar dirumah aja, mbak kan lagi masak, kalau Be nungguin mbak, kelamaan," jawab Beverly merayu kedua orang tuanya.Melihat sang anak memohon, terpaksa Alzena mengizinkan, meski harus dengan mewanti wanti agar Beverly berhati hati."Yaudah, hati hati ya nak. Inget jangan jauh jauh mainnya.""Oke mommy. By mommy, by daddy."Dengan cepat Beverly pun melangkah pergi dan mendekati segerombolan anak anak perempuan seusianya tersebut, bergabung untuk ikut bermain."Hay temen temen, apa aku boleh ikut main?" tanya Beverly yang membuat semuanya menoleh.