“Saya terima nikah dan kawinnya, Melisa Aderani binti Jaka Arwanto dengan mas kawin emas tiga puluh gram dan seperangkat alat shalat dibayar, tunai.”
“Bagaimana para saksi, Sah?” .
“Sah!”
“Alhamdulillah.”
Air mata Melisa tidak bisa tertahankan lagi setelah ijab qobul selesai diucapkan Azham. Pernikahan ini bagaikan mimpi buruk bagi Melisa. Bukan pernikahan seperti ini yang ia impikan. Menikah dengan bukan pilihannya jauh dari list hidupnya.
Azham, dosen kiler yang paling Melisa benci. Kini, sudah menjadi suaminya. Melisa dengan terpaksa mencium tangan Azham atas paksaan ibunya. Tangan Azham begitu dingin saat Melisa menyentuhnya. Apakah, Azham juga secanggung itu?
Berat sekali rasanya Melisa menerima pernikahan hari ini. Dengan pria yang sama sekali tidak dicintainya, meski kata orang. Cinta akan datang dengan sendirinya. Seiring berjalannya waktu. Namun, tetap saja, Melisa merasa ini terlalu cepat dan mendadak untuknya.
“Bu, bisa saya izin ke kamar duluan?” ujar Melisa meminta izin untuk ke kamarnya lebih dulu.
Berhubung, pernikahan hari ini dilangsungkan di rumah Melisa dengan suasana yang sederhana, tapi khidmat. Semua itu permintaan dari Azham dan Melisa. Mereka tidak ingin ada resepsi atau acara mewah. Mereka juga ingin hanya keluarga inti saja yang hadir dan pernikahan mereka untuk beberapa waktu dirahasiakan dulu. Semua itu adalah syarat yang Azham ajukan kepada kedua orang tuanya, guna untuk menyetujui pernikahannya dengan Melisa. Maka dari itu, Melisa bisa dengan segera meminta untuk masuk ke kamar untuk menenangkan pikirannya.
“Tapi acaranya belum selesai, Nak,” ucap Fitri pada Melisa.
“Acara apa lagi, Bu? Bukannya sudah selesai ya?” tanya Melisa bingung.
“Kalian, kan belum....”
“Sudahlah, Fit. Biarkan Melisa istirahat. Mungkin dia kelelahan, kan nanti malam dia akan berolahraga. Jadi, biarkan saja ia mengumpulkan tenaga,” potong Riana membuat Fitri tersenyum juga Damar.
Namun, tidak dengan Azham dan Melisa. Azham memutar bola mata jengah. Sedangkan Melisa tidak paham dengan apa yang mama mertuanya katakan. Ia hanya diam tak berkomentar apa-apa.
“Oh iya ya, ya sudah. Ke kamar gih. Istirahat yang banyak ya,” perintah ibunya. Melisa mengangguk dan berlalu begitu saja setelah selesai berpamitan dengan kedua mertuanya dan hanya melewati Azham suaminya.
Azham hanya mendengus, juga tidak peduli. Lagian, ia juga malas kalau terus berada di dekat Melisa. Kedua orang tuanya dan mertuanya akan terus menggoda mereka berdua. Maka dari itu, Azham senang Melisa memilih bersembunyi di dalam kamar.
Sedangkan di tempat lain, Melisa terbengong-bengong melihat kondisi kamarnya sekarang. Ia bertanya-tanya siapa yang sudah menghias kamarnya sedemikian rupa? Kamar ini sudah persis seperti kamar pengantin baru.
Melisa mendengus sebal, duduk di pinggiran ranjang menatap seluruh sudut ruangannya yang tidak lepas dari hiasan. Kamarnya terlihat sangat romantis, tetapi membuat hati Melisa semakin memanas. Andai saja, ia menikah dengan pria pilihan dan pria yang dicintainya. Mungkin, Melisa akan senang melihat kamarnya ini.
Melisa beranjak dan bergegas ke dalam kamar mandi untuk berganti pakaian dan bersiap-siap untuk tidur. Walau ini masih pagi, tapi Melisa sudah sangat mengantuk. Karena semalam Melisa tidak bisa tidur karena memikirkan soal pernikahannya hari ini.
“Bapak kenapa ada di sini?” tanya Melisa kaget saat melihat Azham berada di dalam kamarnya.
Melisa baru saja keluar dari kamar mandi, baru selesai mengganti pakaiannya. Dan betapa terkejutnya, Azham ada di dalam kamarnya. Duduk di sisi ranjangnya sembari memainkan ponselnya.
Azham mengernyitkan kening. “Ck, kita baru saja menikah kalau kamu lupa,” ujar Azham kesal.
Melisa menghela nafas kasar. Ia merutuki dirinya melupakan kejadian barusan. Melisa kini terdiam dan berpikir, kalau Azham dan Melisa sudah menikah. Itu artinya, mulai sekarang, ia dan Azham akan tidur sekamar?
Melisa langsung bergidik ngeri membayangkan sesuatu yang akan terjadi padanya. Kalau ia dan Azham berada di dalam kamar yang sama. Melisa tidak bisa membayangkan itu. Kepalanya tiba-tiba sakit.
“Astaga!” seru Melisa membuat Azham meliriknya dengan bingung.
“Ada apa?” tanya Azham.
“Ah, ti-tidak ada,” sahut Melisa gugup. Azham mengangkat sebelah alisnya bingung.
Melisa berjalan dengan cepat ke arah sofa dan duduk di sana untuk menenangkan jantungnya. Sedangkan, Azham masih memainkan ponselnya. Lalu, tak lama Azham beranjak dari duduknya. Berjalan ke arah kamar mandi.
“Mau kemana?” tanya Melisa heran.
“ke kamar mandi,” jawab Azham singkat. “Kenapa, mau ikut?”
Melisa mendengus sebal. “Enak saja. Nggak lah.”
“Lalu, kenapa bertanya?” tanya Azham kesal.
“Kan cuman nanya,” sahutnya tak kala kesalnya. Azham memutar bola mata jengah. Ia kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kamar mandi, tapi sebelumnya ia kembali melirik Melisa.
“Kamu siap-siap. Kita akan berangkat sekarang!” perintah Azham.
Melisa mengernyit. “Berangkat ke mana?” tanya Melisa heran.
“Ck, ke rumahku lah. Ke mana lagi?” jawab Azham kesal.
Azham tidak pernah bisa membayangkan hidup bersama dengan Melisa yang memiliki kadar kecerdasan yang amat minim. Mungkin, setiap harinya, Azham akan kesal melihat tingkah Melisa. Dan juga mungkin, ia akan cepat terkena darah tinggi dan lebih para stroke karena menghadapi Misa yang menyebalkan.
“Untuk apa coba?” Bukannya melakukan apa yang Azha perintahkan. Melisa malah kembali bertanya membuat Azham memutar bola mata malas.
“Bisa tidak, nggak perlu bertanya dan kerjakan saja, Melisa?” pinta Azham ketus.
Melisa mendengus sebal. “Kan saya juga perlu tahu kali, Pak.”
Azham tidak memedulikan Melisa lagi, dan masuk begitu saja ke dalam kamar mandi. Melisa kesal sekali melihat tingkah Azham yang mampu membuat Melisa terbakar emosi.
“Nggak di kampus nggak di sini, Pak Azham memang menyebalkan,” gerutu Melisa pelan.
"Saya mendengarnya, Melisa," teriak Azham dari dalam kamar mandi.
Melisa segera membungkam mulutnya dengan kedua tangannya. Sebelum ia terkenan masalah baru dengan prai itu, Melisa memilih untuk diam.
***Azham baru saja keluar mandi setelah mandi dan ganti baju. Ia menghela nafas kasar saat melihat Melisa yang tertidur begitu pulas di atas sofa. Azham menghampiri Melisa dan memandang kesal kearah gadis itu.
“Dasar kebo’” gerutu Azham. “Disuruh siap-siap malah tidur.”
Azham geleng-geleng kepala. Meraih ponselnya yang tadi di letakkan di atas ranjang Melisa, dan berjalan keluar kamar. Di luar ternyata tinggal papa, mama dan ibu mertuanya. Yang sedang duduk bertiga sembari berbincang-bincang.
“Eh, Nak Azham. Baru selesai mandi ya?” tanya Fitri ramah.
Azham tersenyum membalas senyuman mertuanya sembari ikut duduk di samping kedua orang tuanya. “Iya, Bu.”
“Melisa mana, Zham?” tanya Riani pada Azham.
“Molor,” jawab Azham singkat nan ketus.
Riana tersenyum kecut kearah Fitri sembari mencubit lengan Azham membuat pria itu mengaduh. “Sakit, Ma.” Riana mendelik kearah Azham.
“Diam,” pinta Riana pada Azham.
“Hehe... Tenang saja, Melisa memang orangnya gitu,” kata Fitri beranjak berdiri. “Tunggu di sini, saya akan bangunkan.”
Riana dan Damar mengangguk. Riana kembali mencubit lengan Azham saat Fitri sudah pergi berlalu menuju kamar Melisa. Azham kembali mengaduh dengan suara kecil karena cubitan mamanya yang terasa sangat sakit.
“Mama, ihh.. sakit ini,” keluh Azham mengelus lengannya yang sudah dua kali mendapat cubitan maut dari Riana.
“Biarin saja. Siapa suruh itu mulut nggak bisa direm,” ujar Riana kesal.
Azham hanya menghela nafas kasar. Berurusan dengan istri bapaknya, akan membuat Azham menjadi serba salah. Jadi, ia akan memilih untuk diam saja. Sedangkan, Damar hanya tersenyum melihat tingkah keduanya.
Sedangkan di dalam kamar, Melisa sudah menampilkan wajah yang sangat kacau. Bagaimana tidak. Fitri sang ibu yang mengganggu tidur nyenyaknya. Fitri memaksa Melisa bangun dan bersiap-siap.
“Ini memangnya ada apa, sih, Bu?” tanya Melisa kesal sembari mengusap wajahnya kasar.
“Astaga, malah nanya lagi, nih, Anak," gerutu Fitri kesal. "Itu suami kamu udah mau berangkat pulang," ucap Fitri memberi tahu.
Melisa kembali memejamkan matanya berniat melanjutkan tidurnya. "Ya sudah, sih, Bu. Biarin saja," ucap Melisa santai.
Fitri dengan pelan menyentil kening Melisa. "Aduh, Bu. Sakit ini. Kok, di sentil, sih?" protes Melisa seketika bangun dan duduk sembari mengelus jidatnya.
"Lagian kamu menyebalkan," kata Fitri tidak peduli.
"Kamu ini sudah menikah. Jadi, kamu harus ikut ke rumah suamimu. Sudah sana, siap-siap. Jangan kebiasaan membuat orang menunggu, apalagi suami sendiri," titah Fitri.
Melisa menghela nafas kasar. "Memang nggak tinggal di sini ya?" tanya Melisa sok polos, hanya untuk menghindari kemarahan ibunya.
"Nggak! Berhentilah banyak bicara Melisa dan segeralah bergerak. Mertua dan suamimu sudah sejak tadi menunggu," kata Fitri sudah hampir kehilangan kesabaran menghadapi Melisa.
“Ya Allah, kan bisa besok, Bu. Melisa masih ngatuk, dan capek juga.” Melisa kembali mencoba membaringkan tubuhnya, tapi dicegah oleh Fitri.
“Ibu juga maunya begitu kamu bermalam untuk terakhir kalinya di sini. Tapi, suami kamu ada urusan mendadak yang nggak bisa ditunda. Jadi, Ibu nggak bisa apa-apa selain ngikut aja.”
Melisa mendengus. “Alasan dia saja itu, Bu.”
“Udah nggak usah banyak cincong kamu. Mending sekarang beresin barang-barang kamu. Terus, ikut suami kamu ke rumahnya,” perintah Fitri.
“Ibu ngusir Melisa?” tanya Melisa dengan sedih.
Fitri menghembuskan nafas kasar. Fitri menepuk jidatnya. Dan berkata dalam hati. ‘Mulai lagi lebay-nya'
“Nggak usah banyak drama, Mel. Ibu nggak ada ngusir kamu, kok, sayang. Cuman, Azham buru-buru ada urusan katanya.”
“Au Ah, Bu.”
Melisa beranjak dari duduknya dan menghampiri lemarinya. Dengan wajah kesal dan suasana hati yang campur aduk, ia pun mengemasi barang-barang yang perlu saja untuk di bawa ke rumah Azham.
Setelah selesai memasukkan pakaian dan barang-barang pentingnya ke dalam Koper. Melisa meminta izin pada ibunya untuk mengganti pakaiannya. Fitri mengizinkan dan berjalan keluar membawa koper Melisa terlebih dahulu. Setelah gadis itu masuk ke dalam kamar mandi.
“Melisa mana, Fit?” tanya Riana saat Melihat Fitri datang dengan koper di tangannya.
“Oh, lagi ganti baju,” jawab Fitri sembari meletakkan koper Melisa di samping sofa tempatnya duduk. “Bentar lagi datang, kok.”
Riana mengangguk sembari tersenyum. Mereka kembali mengobrol dengan Azham yang menjadi pendengarnya. Tak lama, Melisa datang dengan pakaian rapi dan make up tipis yang membuat wajahnya semakin cantik. Tanpa make up pun gadis itu sudah sangat cantik, apalagi kalau memakai make up.
“Nah, tuh, Melisa sudah datang!” seru Damar melihat Melisa yang baru saja datang. Semua menoleh ke arah Melisa.
Tidak seperti Riana dan Damar yang senang menyambut kedatangan menantu barunya. Azham malah sebaliknya, ia berpikir kalau masalah datang menghampirinya saat melihat kedatangan Melisa.
“Wah, Melisa memang cantik ya. Saking cantiknya, Azham sampai nggak kedip lihatnya,” goda Riana pada Azham yang sejak tadi menatap datar ke arah Melisa.
Melisa menunduk merasa canggung dipuji oleh mertuanya. Sedangkan Azham memutar bola mata jengah melihat Melisa. Apalagi, ia kesal dengan mamanya yang sengaja menggoda dirinya. Padahal, ia menatap Melisa bukan karena terpesona, tapi karena ia sangat kesal dengan gadis itu.
“Hehe... Jangan digodain gitu, Nak Azham-nya. Entar dia malu lagi,” tegur Fitri pada Riana sembari tersenyum.
Damar dan Riana hanya terkekeh. Setelah itu, Azham dan keluarganya pamit pulang pada Fitri beserta meminta izin membawa serta Melisa dengan mereka. Fitri awalnya merasa sedih, tapi ketika merasa amanat yang diberikan Jaka sudah terpenuh, ia merasa lega.
“Tolong jagain Melisa ya, Nak Azham,” pesan Fitri pada Azham. Dengan wajah datar tanpa ekspresi, Azham mengangguk mengiyakan.
Melisa memeluk ibunya erat. Setelahnya, ia masuk ke dalam mobil Azham dan mereka pun menuju ke rumah Azham. Damar dan Riana berada di dalam mobil yang berbeda. Karena Azham sudah memiliki rumah pribadi sejak dulu. Maka dari itu, Azham dan Melisa akan ke rumah Azham yang tidak jauh dari kampus Melisa.
***
Selama perjalanan menuju rumah Azham, mereka hanya diam tanpa ada yang mau mengalah untuk memecah keheningan. Mereka berdua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Azham yang fokus dengan kemudinya. Sedangkan Melisa menatap jauh keluar jendela memperhatikan jalanan yang cukup ramai oleh kendaraan.“Masih jauh lagi nggak ini?” Tiba-tiba Melisa bertanya menghilangkan kesunyian di antara mereka.Azham melirik sebentar, lalu kembali fokus ke depan. “Dikit lagi,” jawabnya singkat.Melisa menghela nafas kasar. “Kenapa nggak menginap saja, sih, di rumah Ibu buat malam ini saja?” tanya Melisa melirik Azham yang masih fokus pada kemudinya.“Saya ada urusan mendadak hari ini, terus pulangnya malam. Nggak bisa jemput kamu,” jelas Azham.“Ya sudah, nggak usah dijemput. Biarin saja saya di rumah Ibu,” usul Melisa.Azham mendengus sebal sembari lirik Melisa melemparkan tatapan tajam. “Itu juga saya mau. Tapi, mama bakalan bikin telinga saya sakit karena diceramahin,” ketus Azham.“Bodo amat,” gu
Sejak tadi, Melisa tidak bisa tertidur. Ia terus mengubah posisi berbaringnya agar bisa terlelap, tapi tetap saja tidak bisa. Entah apa alasan pastinya, tapi mungkin salah satunya karena ada Azham di sampingnya yang tidur dengan pulas.Untuk pertama kalinya, Melisa tertidur di ranjang yang sama dengan lawan jenisnya. Membuat dirinya merasa canggung. Meskipun, Azham tidak meminta yang macam-macam, dan langsung tidur begitu saja di samping Melisa setelah makan malam. Namun tetap saja, Melisa merasa canggung dan gelisah. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya tidur bersama laki-laki. Untuk kesekian kalinya, Melisa mengubah posisi tidurnya yang tadinya tertidur miring sekarang telentang menghadap langit-langit kamar. "Berhenti bergerak, Melisa. Kamu membuatku tidak bisa tidur kalau terus saja bergerak tidak bisa diam," ujar Azham tiba-tiba membuat Melisa terkejut. Ia melirik ke samping melihat Azham yang juga sedang menatapnya. Netra mereka berdua saling beradu satu sama lain. Mem
“Pak?” tanya Melisa kembali. Tak lama, Azha pun menggeleng, lalu menyahut singkat, “Tidak.” Gadis itu seketika bernafas lega karenanya. Padahal, sedari tadi jantung Melisa sudah berdegup kencang karena takut.“Ouh.. kirain,” kata Melisa lega. “Kalau begitu, Bapak tidur lagi saja. Saya mau salat dulu,” kata Melisa pada Azham sembari bergerak turun melanjutkan niatnya salat lima subuh.“Melisa,” panggil Azham.Baru juga Melisa turun, Azham sudah memanggilnya menghentikan gerak Melisa. Melisa menatap kaget pada Azham yang memanggilnya tiba-tiba.“Ada apa, Pak?” tanya Melisa bingung.Azham bangkut dari berbaringnya dan memilih posisi duduk di atas ranjang menghadap Melisa yang menatapnya dengan alis terangkat sebelah menunggu apa yang akan dikatakan Azham padanya.Azham merasa malu dan gugup untuk mengatakan pada Melisa kalau ia ingin ikut Salat dengan gadis itu, apalagi mengatakan kalau dirinya ingin menjadi imam Melisa.“Kenapa diam, Pak?” tanya Melisa lagi saat lama menunggu Azham b
“Jadi, apa Ma?” potong Azham.“Ish, Mama sama Papa mau kamu datang ke rumah. Jangan lupa ajak Melisa. Entar malam,” kata Raina memberitahu.Azham menghela nafas kasar. “Tapi Ma. Az—““Nggak ada alasan, Zham. Mama tunggu nanti malam ya. Ya sudah Mama tutup dulu,” kata Raina mematikan sambungan telfon sepihak.Azham yang baru saja membuka mulutnya ingin menyela, tapi belum selesai Mamanya sudah mematikan sambungan telfonnya. Azham mengusap wajahnya kasar sembari melempar ponselnya ke atas ranjang.“Mama memang menyebalkan.”***Melisa baru saja selesai mandi, ia membuka pintu kamar mandi hendak keluar dan berhias tipis di meja rias yang ada di dalam kamarnya. Melisa melirik ke arah Azham yang duduk di tepi ranjang sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.Melisa mengernyitkan kening heran. “Ada apa, Pak?” tanya Melisa. “Bapak sakit kepala?” Azham yang tidak menyadari kehadiran Melisa sontak terkejut.“Kamu mengagetkan saja, Melisa.,” protes Azham sebal. Melisa hanya nyengir kuda
“Lupakan saja! Sepertinya, saya sudah telat.” Kegugupan jelas tercetak di raut wajah Azham.Azham menggaruk ceruk lehernya yang bisa dipastikan tidak gatal sama sekali. Wajahnya memanas menahan malu.Melisa menatap Azham dengan mata yang mengerjap lucu. Jujur saja, Azham sangat gemas dengan tatapan itu. Namun karena sangat malu, ia pun pergi begitu saja.Melisa masih terdiam, belum bisa mengontrol kondisi saat ini. Benarkah, Azham mengatakan itu barusan? Ah, entahlah, Melisa tidak ingin memikirkan itu.Melisa bangkit dan membereskan meja makan, serta mengutip piring bekas makannya dan Azham.Melisa baru saja ingin mengunci pintu untuk berangkat ke kampus, tetapi geraknya terhenti kala dering di ponselnya.Melisa lantas merogoh tas dan memeriksa siapa yang sedang menghubunginya. Nama ibunya yang tertera di layar ponselnya. Melisa mendesah, tapi tetap mengangkatnya.“Ada apa, Bu?” tanya Melisa saat sambungan telepon tersambung.“Ck, sekalinya sudah menikah. Ibunya dilupakan,” ujar Fitri
“Jadi, bagaimana Pak. Anda setuju dengan kontrak kerja sama kita?” tanya Azham pada kliennya. “Tidak ada alasan untuk menolak, Pak Azham,” ujar pria paruh baya yang menjadi patner kerja sama Azham kali ini. Pria itu tersenyum, tapi seperti biasa Azham hanya akan membalasnya dengan anggukan pelan tanpa adanya senyum ramah di sudut bibirnya. Memang apa yang akan kalian harapkan dengan seorang Azham si gunung salju itu? Senyum ramah? Atau sapaan yang ramah serta kata yang hangat? Ah, sudahlah! Jangan terlalu berharap. Zera sebagai sekretaris yang mendampingi Azham meeting hanya menghela nafas kasar. “Baik kalau begitu. Itu artinya kita deal Tuan Deon?” tanya Azham. Pria paruh baya yang bernama Deon itu mengangguk seraya mengulas senyum manis sekali lagi. “Deal, Pak Azham.” Pria paruh baya itu berdiri dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan tanda mereka sudah sepakat. Spontan Azham ikut berdiri dan menyambut jabat tangan dari kliennya. Deon sepertinya senang sekali mendapat kese
Zera masih diam dan manik matanya sudah dipenuhi bulir bening yang sekali saja Zera berkedip. Bulir bening itu akan jatuh membasahi pipinya.“Dengarkan aku, Zer. Kamu harus tahu ini. Kenapa aku memilih menjadikanmu sebagai sahabatku selamanya. Karena, aku tidak mau menjadikan hubungan yang sudah lama kita jalani hancur hanya karena cinta yang mungkin tidak akan pernah abadi,” lanjut Azham. “Tidak ada yang tahu, Zer. Perasaan cinta kita akan abadi sampai kapan? Jadi, tolong terima keputusanku ini. Tetaplah menjadi Zera sahabatku yang aku sayangi dan jangan berubah hanya soal cintamu yang tak terbalas. Sebab, hubungan persahabatan lebih murni dibanding kau harus memaksa cinta tumbuh di hati yang memang bukan untukmu,” sambung Azham panjang lebar.“Aku akan tetap berada di sampingmu kapan dan di mana kau mau. Bahkan, dalam keadaan apa pun. Aku janji,” tambah Zera. Zera mengangguk mengiyakan. Meski sakit tapi Zera tidak dapat berbuat apa-apa. Ini keputusan Azham, dan dia tidak bisa mema
Selama perjalanan, Azham dan Melisa sama-sama terdiam dengan pikiran mereka masing-masing. Azham dengan kemudinya dan segala hal yang terjadi di kantor tadi memenuhi isi kepalanya. Sementara, Melisa menatap keluar jendela dengan pikirannya yang kesal dengan Azham. Mereka hanya dengan pemikiran mereka. “Ini ... Kita mau ke mana?” tanya Melisa saat tahu jalan yang ditempuh Azham bukan jalan ke rumah mereka. “Ck, tadi pagi saya sudah bilang, bukan!? Kita akan ke rumah Mama. Mama meminta kita ke sana,” jelas Azham tanpa menoleh ke arah Melisa. Melisa hanya mangut-mangut seolah mengerti. Azham yang melihatnya mendengus sebal. “Kenapa memangnya?” “Ke rumah Mama, untuk apa?” “Kau bisa tanyakan itu nanti, pada mertuamu. Setelah sampia,” ucap Azham ketus. Melisa mendecak. Lalu mereka kembali terdiam. Azham kembali memikirkan perihal Zera yang sekarang sudah berani mengungkap perihal perasannya secara terang-terangan. Azham tidak menyangka Zera akan melakukan itu. Juga, Azham tidak tahu
Tidak sedikit orang yang sedang merasakan risau di hatinya lari ke pantai, pasti pantai adalah opsi pelarian paling tepat menurut mereka. Di sana mereka bisa menikmati deru ombak yang sesekali akan menabrakkan diri ke kaki, dan hal itu sangat menyenangkan. Bermain dengan ombak membuat gelisah sedikit berkurang. Begitulah yang saat ini terjadi pada Melisa, dia terlihat begitu nyaman berada di tempat ini. Azham tersenyum melihat keceriaan kembali terpancar di wajah sang istri. Setelah sempat murung beberapa hari, dan terlihat terus ketakutan serta cemas berlebihan atas apa yang menimpanya beberapa hari yang lalu. “Pak!!” seru Melisa membuat Azham tersentak dari lamunan. “Ayo, sini. Ini sangat menyenangkan,” ajak Melisa. Azham tersenyum lalu mengangguk sembari berjalan ke arah Melisa yang tengah memperhatikannya. “Kau menyukainya?” tanya Azham saat sudah berada di dekat Melisa. Dia membiarkan kaki dan celananya basah. “Hmm ...,” jawab Melisa dengan mengangguk sembari kembali menatap
POV Author “Kenapa bisa begini, Rian?” tanya Azham sambil matanya tidak lepas dari seorang gadis dengan menggunakan pakaian serba putih.Gadis itu duduk di sebuah brankar rumah sakit. Tangannya diikat di masing-masing sudut ranjang tersebut. Dia terus saja meronta ingin melepaskan ikatan di tangannya, berteriak tidak jelas. “Entahlah, Zham.” Rian mendesah seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. Tidak sanggup dengan pemandangan di depannya. “Zera sepertinya depresi atas kepergian Leon.” Azham berbalik menghadap Rian mengalihkan pandangannya dari Zera. Ya, gadis yang ada di dalam ruangan yang cukup sempit itu, adalah Zera—sahabat Azham—juga Rian. Kedua pria itu sedih melihat kondisi Zera yang begitu menyedihkan. Memang kehilangan adalah salah satu penyebab luka yang paling dalam. Saking dalam luka yang dialami Zera, gadis itu sampai kehilangan akal sehatnya. Hingga terpaksa dirinya berada di tempat ini, yaitu rumah sakit jiwa. Rian dan kerabat dekat Zera memutuskan untuk memasukk
POV Melisa “Saya sudah siap, kota ketemu di sana saja.” Samar-samar dapat aku dengar suara Pak Azham dari dalam kamar. Dia sedang berbicara dengan seseorang di telfon. “...”“Tidak, saya berangkat sendiri.” Kulihat dari sela pintu yang sedikit terbuka, Pak Azham berjalan ke arah meja rias. Membetulkan dasinya dengan satu tangan, satunya lagi dipakai memegang ponsel yang menempel di telinganya. “Melisa masih masa pemulihan. Lukanya memang sudah mengering, dan bahkan sudah hampir sembuh. Hanya saja ....” Pak Azham terdiam sejenak dengan gerakan tangannya, pun ikut berhenti. Tatapannya lurus pada cermin di depannya. Aku tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan olehnya. Yang aku tahu, dia membuang napas kasar. “Traumanya pasti belum sembuh. Apa yang dilakukan Zera kepadanya, dan apa yang dia saksikan hari itu ... pasti akan sangat membekas di ingatannya.” Pak Azham menarik napas dalam. Kepalanya tertunduk sebentar, lalu kemudian mendongak menatap wajahnya di cermin. “Saya masih ragu mem
POV Melisa Aku, Mama, Ibu dan Pak Azham berjalan bersama-sama menuju parkiran rumah sakit. Setelah hampir seminggu aku dirawat di rumah sakit ini, akhirnya bisa terbebas juga. Aroma obat khas rumah sakit yang selalu mampu menghilangkan nafsu makanku. Kini tak akan lagi aku rasakan setelah kembali ke Makassar. Pak Azham memasukkan tas dan beberapa barang-barang ke dalam bagasi mobil. Setelahnya, dia berpamitan kepada Mama dan Ibu. Begitupun denganku. Setelah dari rumah sakit, kami akan segera ke bandara. Hari ini juga kami akan kembali ke Makassar. Namun, hanya kami. Karena Mama dan Ibu masih akan menetap beberapa hari di Bali. Katanya, ingin berlibur sejenak mumpung masih berada di sini. Sehingga aku dan Pak Azham pun tidak keberatan membiarkannya tetap menetap. Lagian, Ibu juga sudah lama sekali tidak pergi berlibur. Jadi, biarlah. “Kalian yakin nggak apa-apa kalau kami tetap di sini?” tanya Ibu memastikan. “Ibu nggak enak,” ujarnya lagi dengan pelan. “Nggak enak kenapa, Bu?” ta
“Ada apa?” tanya Azham kala melihat Melisa sering curi-curi pandang ke arahnya, yang tengah duduk di kursi dengan laptop di atas pangkuannya. “Sejak tadi kuperhatikan kamu sering melirikku. Apa kamu butuh sesuatu?” Melisa sontak salah tingkah kala Azham mengetahui dirinya sering mencuri pandang ke arah pria itu. Melisa tidak mengerti bagaimana bisa Azham tahu kalau Melisa melakukan itu, padahal sejak tadi gadis itu perhatikan Azham sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari laptop di pangkuannya itu. Aneh, pikir Melisa. “Enggak,” jawab Melisa menggelengkan kepalanya dengan kuat. Berusaha meyakinkan Azham kalau yang pria itu pikirkan itu salah. Dirinya tidak melakukan hal seperti yang dituduhkan Azham. “Siapa bilang saya curi-curi pandang ke Bapak? Ngacoh,” elak Melisa dengan raut salah tingkah. Azham yang masih belum mengalihkan pandangannya ke arah laptop tersenyum mendengar jawaban Melisa, yang terdengar sedang berusaha mengelak apa yang Azham katakan. “Benarkah? Padahal seja
Azham masuk kembali ke ruangan Melisa setelah mengantar mama dan ibu mertuanya ke parkiran. Melisa menoleh kala mendengar suara derit pintu. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum Melisa memutus kontak mata dengan Azham. Pria itu melangkah perlahan mendekati brankar Melisa. Mereka terlihat masih sangat asing. Meskipun, beberapa waktu yang lalu saat kejadian penculikan dan ditemukannya Melisa. Azham sempat mengungkapkan ketakutannya terhadap keadaan sang istri. Namun, sekarang situasi kembali semula. “Mama sama Ibu sudah ke hotel?” tanya Melisa tanpa menatap Azham yang duduk di sampingnya. “Nggak Bapak antar?” Azham menghela napas kasar, dia tidak tahu apakah Melisa hanya berbasa-basi atau memang tidak tahu. Padahal, saat Diana mengatakan sudah memesan tiket pesawat sekaligus hotel Melisa tidak sedang tertidur. Juga tidak sedang dalam keadaan tidak sadar. Gadis itu bahkan memperhatikan wajah Diana saat berbicara. Akan tetapi, kenapa sekarang malah bertanya pikir Azham.
“Jangan bangun dulu.” Azham dengan cepat membantu Melisa kembali berbaring, kala melihat gadis itu mengangkat kepala hendak duduk. “Kata dokter, kamu masih butuh banyak istirahat.” Melisa yang masih lemas terpaksa kembali membaringkan tubuhnya. Padahal, dia sudah merasa pegal kalau harus terus terbaring seperti saat ini. Dia tidak punya cukup tenaga untuk berdebat dengan Azham. “Apa kamu butuh sesuatu? Katakan saja,” pinta Azham. “Mau makan, minum atau apa?” tanyanya kepada Melisa yang hanya menatapnya. Hening. Tidak ada suara yang keluar dari mulut gadis itu. Hanya ada gelengan kepala begitu pelan. Azham mengerti Melisa saat ini pasti masih sangat lemas. Suara Melisa hanya terdengar saat pertama kali siuman. Setelahnya, tidak ada lagi. Azham kemudian diam, dia duduk di kursi yang ada di samping ranjang Melisa. Membiarkan Melisa untuk beristirahat. Tidak lagi memberondong istrinya itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Di saat mereka sedang berada di situasi hening, tiba-tiba pintu ru
“Di mana ruangan Melisa, Di? Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya.” Fitri mencecar Diana untuk segera membawanya ke ruangan Melisa berada. “Kata Rian, Melisa berada di ruangan yang ada di lantai dua. Nomor kamarnya kalau nggak salah 201.” Diana dan Fitri yang mengetahui keadaan Melisa lantas bergegas ke Bali. Mereka tidak lagi ingin menunggu berita burung. Sehingga mereka pun segera memesan tiket penerbangan hari itu juga.Kedua wanita paruh baya itu bergegas ke resepsionis untuk bertanya ruangan Melisa. Setelah mereka sudah mengetahuinya. Lantas segera menuju ruangan gadis itu berada. Di saat keduanya hampir menemukan ruangan Melisa. Tidak sengaja mereka bertemu Rian dan Zera yang hendak kembali ke Makassar untuk pemakaman Leon. Fitri dan Diana yang sedang geram kepada Zera, karena telah menyeka dan menyiksa Melisa hingga membuat gadis itu kini terbaring tak berdaya di rumah sakit. Membuat emosi kedua wanita itu tersulut ketika melihat gadis itu. Keduanya bersama-sama menghamp
Seorang gadis cantik dengan bulu mata lentik yang di wajah dan hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Di samping brankar itu seorang pria duduk di sana sambil menggenggam tangan sang gadis. Menunggu kesadaran gadis itu segera didapatinya. Sudah beberapa jam gadis itu menutup mata rapat tanpa tahu kapan akan membukanya. Padahal dokter sudah mengatakan kepada pria itu kalau sebentar lagi dia akan tersadar. Namun, karena begitu khawatir pada sang gadis. Pria itu merasa waktu beberapa menit sangatlah lama. Tangan gadis itu terpasang selang infus, hidungnya terpasang selang bantu pernapasan. Juga beberapa bagian tubuhnya terpasang alat yang entah fungsinya untuk apa. Pria itu tidak tahu. Yang dia tahu kondisi gadis itu sedikit memburuk akibat di sekap, lalu disiksa. “Melisa, tolong buka matamu. Jangan buat aku khawatir seperti ini,” ucap Azham dengan suara bergetar masih menggenggam tangan Melisa. Ya, gadis di atas ranjang rumah sakit i